Peran ASEAN dalam Krisis Kemanusiaan Pasca Kudeta Militer Myanmar pada Tahun 2021
on
JURNAL ILMIAH WIDYA SOSIOPOLITIKA
E-ISSN 2685-4570
PERAN ASEAN DALAM KRISIS KEMANUSIAAN PASCA KUDETA MILITER MYANMAR SELAMA COVID 19
Novriest Umbu Walangara Nau 1)
Heyna Jekaisa 2)
Sherin Natasya Priscilla 3)
Program Studi Hubungan Internasional Universitas Kristen Satya Wacana1)
Program Studi Hubungan Internasional Universitas Kristen Satya Wacana 2)
Program Studi Hubungan Internasional Universitas Kristen Satya Wacana 3)
Article Info |
ABSTRACT |
Article History: |
This research discusses ASEAN's role in the humanitarian crisis after the Myanmar military coup |
Received: |
during the Covid-19 pandemic. Myanmar's position in the midst of a coup d'état amid Covid-19 has |
Jun/2023 |
greatly impacted people's lives in Myanmar, which have become a victim caused from military regime |
Accepted: |
and the spread of Covid-19. The focus of this research is first, the role of ASEAN as a Southeast |
Jun/2023 |
Asian regional organization after the Myanmar coup. Second, the form of assistance provided by |
Published: |
ASEAN to Myanmar. Third, ASEAN's obstacles in solving problems in Myanmar. The research method |
Jul/2023 |
used is qualitative through literature studies, which found that the principle of ASEAN non-intervention is one of the major challenges for ASEAN. |
Nevertheless, ASEAN continues to actively play a | |
Keywords: |
role by providing humanitarian assistance to combat the spread of Covid-19 such as medical equipment and medicine assistance to Myanmar to help victims |
ASEAN, Humanitarian Aid, Myanmar, Non-intervention. |
after the coup and Covid-19. |
PENDAHULUAN
Myanmar merupakan negara yang terletak di wilayah Asia Tenggara yang tergabung dalam organisasi regional ASEAN. Myanmar tergolong dalam negara dengan sistem kekuasaan atau pemerintahan yang kurang stabil, terlihat dari terjadinya pasang surut atau persaingan kekuasaan dalam pemerintahan Myanmar antara pendukung demokrasi Myanmar dan pihak militer Myanmar. Kudeta Militer Myanmar terhadap pemerintahan semi demokrasi pada tahun 1962, menjadi titik penting dalam berkuasanya militer yang berlangsung cukup lama dan panjang
dalam politik Myanmar, hingga akhirnya terjadi pergerakan-pergerakan yang dilakukan masyarakat untuk menjadi negara demokrasi. Usaha demokratisasi Myanmar terus berlanjut walaupun tidak melewati jalan yang mulus hingga 2015 setelah kegagalan dua kali dalam pemilu sebelumnya di tahun 1990 dan 2011, kemenangan partai National League for Democracy (NLD) (Roza, 2021) diterima oleh Junta Militer, dan hubungan antara militer Myanmar dan pemerintah saat itu berjalan cukup baik.
Kemenangan partai NLD di tahun 2015 terulang kembali pada tahun 2020 namun, kemenangan NLD di tahun 2020 tidak diterima oleh pihak militer, karena dianggap terdapat kecurangan hingga terjadinya kembali kudeta militer Myanmar pada 1 Februari 2021 yang dipimpin oleh Jendral Min Aung Hlaing (Roza, 2021). Agenda kudeta Myanmar pada 2021 adalah untuk menyelenggarakan kembali pemilihan umum, disertai dengan penangkapan politisi di pihak oposisi. Aksi kudeta ini kemudian mendapatkan aksi protes dari masyarakat Myanmar yang pro demokrasi, masyarakat yang didominasi oleh mahasiswa kembali terjun ke jalanan untuk memprotes pemimpin kudeta militer dan pembebasan terhadap tokoh-tokoh politik (Roza, 2021). Setidaknya terdapat pemberian hukuman mati tanpa hak untuk membela diri terhadap 101 orang dengan 50 orang di antara 101 orang tersebut diadili di pengadilan militer rahasia dalam aksi kudeta junta Militer Myanmar (CNN Indonesia, 2022). Dampak pergerakan junta ini adalah instabilitas domestik, khususnya pergolakan politik di mana masyarakat Myanmar menggelar aksi protes secara damai hingga bentuk perlawanan fisik diperlihatkan. Ini terus berlanjut hingga dibentuknya pemerintah tandingan yang menuntun pada konfrontasi berkepanjangan yang memecah belah masyarakat Myanmar, lagi makin meruncingnya perbedaan pihak junta militer dengan oposisi (Lindsay Maizland, 2022).
Pada saat yang bersamaan dengan terjadinya kudeta di Myanmar, dunia sedang dihadapkan dengan permasalahan pandemi Covid-19 yang sudah menyebar ke seluruh dunia tidak terkecuali Myanmar. Adanya Covid-19 dan kudeta yang berlangsung secara bersamaan membuat Myanmar menghadapi krisis kemanusiaan yang kian parah. Berdasarkan data dari Assitance Association for Political Prisoners (AAPP), terdapat sekitar 1.500 orang tewas dan sebanyak 6,2 juta orang juga diperkirakan akan membutuhkan bantuan kemanusiaan darurat di Myanmar (Luthfy Ramiz & Marina Ika Sari, 2022). Keadaan tersebut telah membawa Myanmar pada krisis kemanusiaan. Sejak terjadinya kudeta, angka Covid-19 pun menjadi meningkat. Pada bulan Juni 2021, Myanmar mencatat kasus harian tertinggi yaitu 373 kasus tambahan dalam 1 hari (CNN Indonesia, 2021). Banyak yang memperkirakan bahwa data tersebut hanya sebagian kecil dari jumlah yang sebenarnya terjadi. Kudeta militer membuat ribuan tenaga kesehatan melakukan mogok kerja pada bulan Februari lalu yang kemudian menyebabkan sistem pelayanan kesehatan dan program vaksinasi tertunda sehingga. Kudeta yang terjadi di Myanmar membuat ribuan tenaga kesehatan melakukan mogok kerja pada bulan Februari yang berimbas pada sistem pelayanan kesehatan di Myanmar yang terhenti, begitu juga dengan program vaksinisasi yang tertunda. Sebelum terjadinya
kudeta militer, Myanmar telah memulai program vaksinasi namun tertunda akibat kudeta militer.
Kudeta yang terjadi di Myanmar berdampak berbagai sektor. Salah satunya pada sektor kesehatan di Myanmar, dimana sektor kesehatan menjadi sektor yang sangat penting di tengah banyaknya korban akibat Covid-19 dan korban akibat kekerasan pada aksi unjuk rasa kudeta Myanmar. Sektor kesehatan sangat diperlukan pada krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar, namun sangat disayangkan akibat kudeta di Myanmar sebanyak 70% tenaga kesehatan memilih untuk meninggalkan pekerjaannya. Berdasarkan catatan WHO, terdapat 13 tenaga kesehatan yang tewas terbunuh akibat kekerasan yang terjadi di Myanmar dan secara total terdapat 179 serangan yang ditujukan kepada tenaga medis, fasilitas medis, dan transportasi medis (CNN Indonesia 2021).
Pada bulan Juli 2021 penambahan kasus Covid-19 mencapai angka 7.083 orang dan tren kasus baru di kisaran 5.000-6.000 kasus per hari, hingga bulan Juli 2021, total kasus Covid-19 di Myanmar berjumlah 294.460 orang (CNBC Indonesia, 2021). Penambahan kasus Covid-19 di Myanmar membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa Myanmar membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk mengatasi permasalahan Covid-19 yang terjadi berbarengan dengan kudeta militer Myanmar. Meningkatnya kasus Covid-19 di tengah-tengah kudeta Myanmar ini kemudian menambah keprihatinan terhadap masyarakatnya, dikarenakan di masa Covid-19 sektor kesehatan menjadi bagian penting untuk keberlangsungan hidup masyarakat. ASEAN sebagai organisasi regional di wilayah Asia Tenggara dan Myanmar merupakan bagian dari keanggotan ASEAN, menjadikan ASEAN memiliki peran penting dalam menanggapi kasus kudeta yang terjadi serta memberikan bantuan kemanusiaan ke Myanmar. ASEAN didorong untuk terlibat lebih aktif dalam penanganan kudeta di Myanmar dengan mendesak Myanmar untuk mematuhi prinsip-prinsip dalam Piagam ASEAN yakni demokrasi, di samping juga supremasi hukum dan pemerintah yang baik, menjunjung pemenuhan HAM, kebebasan fundamental yang tujuan pentingnya adalah menciptakan stabilitas politik di ASEAN penting untuk keadilan, kesejahteraan dan perdamaian di tengah komunitas ASEAN (Roza, 2021). Dalam partisipasi untuk penyelesaian kudeta di Myanmar, ASEAN juga telah mengirimkan Menteri Luar Negeri Brunei Darussalam, Erywan Yusof ke Myanmar untuk memediasi kelompok yang berkonflik (BBC Indonesia, 2021).
Pasca kudeta militer dan serangan Covid-19 di Myanmar, sektor ekonomi di negara tersebut dapat merasakan dampaknya dimana semasa tersebut perdagangan baik masuk atau keluar Myanmar terhenti. Masalah ketenagakerjaan juga melanda negara tersebut dimana banyak tenaga kerja yang memilih untuk pergi dari kota dan meninggalkan pekerjaannya karena alasan keselamatan. Sektor industri garmen yang merupakan penyumbang utama untuk pekerjaan dan mata pencaharian bagi masyarakat Myanmar menjadi terganggu akibat dari kudeta dan Covid-19. Pasokan bahan pokok yang tidak bisa tersalurkan, banyaknya pesanan yang dibatalkan, hingga terjadi PHK besar-besaran terhadap pekerja (Thea Fathanah Arbar, 2021).
Konsep Human Security muncul sejak tahun 1896 setelah berdirinya Palang Merah Internasional (International Red Cross), kemudian konsep ini pada tahun 1945 disahkan melalui Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 (Faisal et al., 2012). Konsep Human Security berkembang setelah berakhirnya Perang Dingin, dimana pada masa tersebut sarat oleh isu “Ideologi”, “Politik dan “Militer”. Berakhirnya Perang Dingin kemudian menjadi momentum berkembangnya konsep Human Security setelah munculnya isu-isu global kontemporer dan terjadinya perubahan makna keamanan, hal ini ditegaskan oleh PBB melalui Laporan UNDP tentang Pembangunan pada tahun 1993 yang menyatakan fokus keamanan di abad ke-21 adalah Human Security (Keamanan Manusia), tidak seperti masa Perang Dingin yang didominasi dengan keamanan negara (Faisal et al., 2012).
Human Security menurut Human Development Report UNDP pada tahun 1994 menjelaskan “first, safety from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And, second, protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily life whether in homes, in jobs or in communities”. Terdapat 7 aspek Human Security menurut UNDP yaitu; Economic Security, mencakup bebas dari kemiskinan dan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar; Food Security, mencakup akses tehadap pangan; Health Secuirty, mencakup layanan kesehatan dan proteksi dari penyakit; Enviromental Security, mencakup proteksi dari polusi udara dan pencemaran lingkungan, akses terhadap air dan udara bersih; Personal Security, mencakup keselamatan dari ancaman fisik akibat perang, kekerasan domestik, kriminalitas, penggunaan obat-obat terlarang, dan kecelakaan lalu lintas; Community Security, mencakup pelestarian identitas kultural, tradisi dan budaya; terakhir adalah Political Security, mencakup perlindungan HAM dan kebebasan dari tekanan politik) (Faisal et al., 2012).
Konsep Human Security dianggap penting setelah berakhirnya Perang Dingin, dimana ancaman keamanan difokuskan pada keadaan-keadaan aktual masyarakat. Menurut Amitav Acharya perkembangan isu-isu kontemporer yang terjadi setelah perang dingin, seperti tersebarnya sistem demokrasi, intervensi kemanusiaan, dan dampak-dampak buruk dari krisis perekonomian di tahun 1990an turut melatarbelakangi pentingnya pembahasan konsep human security. Human Security memiliki pengertian yang berbeda dari pengertian keamanan tradisional (national security), dengan munculnya isu-isu baru dalam konsep keamanan yang tidak hanya berpusat di negara namun masyarakat/rakyat. Aktor yang berperan dalam konsep human security tidak hanya state actor namun juga melibatkan nonstate actor seperti organisasi internasional, NGO, individu dan sebagainya yang memungkinkan keterlibatan aktor lain apabila terdapat ancaman keamanan di suatu negara atas dasar perlindungan terhadap keamanan manusia. Perbedaan dari human security dan national security kemudian tidak seharusnya menjadi bertentangan karena bagaimanapun national security dibutuhkan untuk menjamin human security (Faisal et al., 2012). Human security membahas atau melihat keamanan tidak berpusat pada negara melainkan perlindungan terhadap rakyat dari ancaman-ancaman, dengan isu-isu mencakup ekonomi, kesehatan. pangan, lingkungan,
personal, komunitas dan politik. Penelitian ini kemudian melihat terdapatnya ancaman keamanan terhadap rakyat Myanmar setelah terjadinya Kudeta Militer Myanmar pada tahun 2021 yang menimbulkan terjadinya krisis kemanusian karena dampaknya ke berbagai sektor seperti ekonomi, kesehatan, politik, pangan dan sebagainya dan keterlibatan aktor lain seperti ASEAN dalam penyelesaian masalah kudeta serta pemberian bantuan kemanusiaan ke Myanmar.
Kudeta militer telah menyebabkan terjadinya krisis kemanusiaan karena beriringan dengan pandemi Covid-19 yang memperparah keadaan di Myanmar sehingga diperlukannya bantuan kemanusiaan dari berbagai pihak terkhususnya ASEAN Kenaikan kasus Covid-19 per harinya yang mencapai angka di kisaran 5.000-6.000 pada bulan Juli dan korban jiwa akibat aksi unjuk rasa telah mencapai angka 1.500 jiwa , telah membuat membawa Myanmar pada krisis kemanusiaan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini ingin melihat bagaimana peran ASEAN dalam mengatasi krisis kemanusiaan di Myanmar akibat kudeta militer yang juga memperparah Covid-19 di Myanmar.
Diplomasi kemanusiaan berakar dari adanya sejarah aksi-aksi kemanusiaan yang dilakukan sebelumnya di abad ke-19, yang mendapatkan dukungan atau dorongan dari para pekerja bantuan kemanusiaan internasional. Diplomasi kemanusiaan berfokus pada memaksimalkan dukungan untuk operasi, program, dan membangun kemitraan yang diperlukan jika tujuan kemanusiaan harus dicapai (Ragnier, 2011). Pengertian konsep diplomasi kemanusiaan meliputi kegiatan organisasi kemanusiaan untuk mendapatkan ruang dari politik dan militer otoritas di suatu negara, dengan membujuk para pembuat keputusan atau pemimpin untuk bertindak menegakkan dan menghormati prinsip kemanusiaan. Kegiatan dari organisasi-organisasi kemanusiaan tersebut meliputi upaya-upaya untuk mengatur kehadiran organisasi kemanusiaan di negara tertentu, menegosiasikan akses ke penduduk sipil yang membutuhkan bantuan serta perlindungan, memantau program bantuan, mempromosikan penghormatan terhadap hukum dan norma internasional, mendukung individu dan lembaga adat, dan terlibat dalam advokasi di berbagai tingkatan untuk mendukung tujuan kemanusiaan (Ragnier, 2011).
Dalam praktek diplomasi kemanusiaan setiap organisasi kemanusiaan memiliki prioritas yang berbeda-beda namun menurut IFRC (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies) terdapat 12 prioritas aksi diplomasi kemanusiaan yaitu; pengurangan bencana; mempromosikan status membantu Palang Merah/Bulan Sabit Merah; mencegah penyakit dan tantangan kesehatan lainnya; promosi, perlindungan, dan pengakuan relawan; kerangka hukum untuk tanggap bencana dan bantuan bencana serta manajemen penanggulangan; melindungi ruang kemanusiaan Palang Merah/Bulan Sabit Merah; adaptasi perubahan iklim; ketahanan pangan; mengatasi migrasi dan perdagangan manusia; mempromosikan non-kekerasan; mengatasi urbanisasi dan konsekuensi kemanusiaan; dan reformasi sektor kemanusiaan dan koordinasi cluster (Ragnier, 2011).
Pelaksanaan diplomasi kemanusiaan tidak memandang ras, suku, gender, agama, warga negara dan sebagainya, karena dalam prakteknya diplomasi kemanusiaan ditujukan untuk melindungi pihak yang tertindas (Mumtazinur, 2020). Aktor-aktor yang dapat terlibat dalam diplomasi kemanusiaanpun beragam tidak hanya state actor namun juga meliputi individu, IGO (International Governmental Organization) dan NGO (Non-governmental Organization), dimana dalam tingkat internasional diplomasi kemanusiaan dikelola oleh PBB dan pada tingkat nasional diplomasi kemanusiaan dikelola oleh pemerintah nasional (Rahmawati, 2021). Melalui penjelasan diatas dapat diketahui bahwa diplomasi kemanusian secara sederhana adalah upaya damai untuk mencapai kesepakatan dalam hal komitmen terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan, yang meliputi juga kegiatan organisasi kemanusiaan dengan mengikutsertakan atau membujuk pihak-pihak berkuasa untuk berpegang pada prinsip kemanusiaan, dimana aktor yang terlibat meliputi state actor dan non-state actor. Dalam penelitian ini konsep diplomasi kemanusiaan digunakan untuk melihat apakah tindakan atau aksi yang dilakukan ASEAN ke Myanmar termasuk dalam diplomasi kemanusiaan dan apa bentuk diplomasi kemanusiaan dari ASEAN ke Myanmar pasca kudeta militer di masa pandemi Covid-19.
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analisis. Menurut John W. Creswell penelitian kualitatif merupakan metode-metode yang digunak untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan (W. Creswell, 2016). Data yang digunakan yaitu data sekunder yang didapatkan melalui buku, jurnal, surat kabar cetak, surat kabar daring, dan juga video berita yang diakses melalui internet. Dalam penelitian ini akan menggunakan literatur kepustakaan sebagai teknik pengumpulan data. Literatur kepustakaan yang akan digunakan yaitu buku, jurnal, dan surat kabar daring yang membahas mengenai krisis kemanusiaan di Myanmar pasca kudeta militer dan peran ASEAN dalam memberikan bantuan kemanusiaan ke Myanmar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Myanmar merupakan negara yang dikuasai oleh Junta Militer untuk periode waktu yang cukup lama. Titik awal dikuasainya Myanmar oleh Junta Militer terjadi setelah aksi kudeta yang dilakukan oleh Jenderal Ne Win pada tahun 1962 setelah menggulingkan Perdana Menteri U Nu yang sudah berkuasa sejak awal Myanmar merdeka. Pengambilalihan kekuasaan oleh pihak militer ditunjukan melalui perubahan pemerintahan di Myanmar yang awalnya Constitutional Democracy menjadi Direct Military Rule. Di masa kepemimpinan Jenderal Ne Win segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan periode sebelumnya diganti atau diberhentikan seperti anggota parlemen; tidak diperbolehkannya ada partai lain,
melainkan hanya ada satu partai di masa tersebut yaitu BSPP (Burma Socialist Programme Party); dan pemegang otoritas tertinggi di Myanmar pada saat itu adalah militer (Ivana et al., 2021).
Kepemimpinan Ne Win, diliputi banyak aksi brutal dari aparat militer seperti apabila ada masyarakat yang memberontak atau melakukan demonstrasi akan ditumpas dengan brutal. Pada masa ini juga Myanmar menjadi tertutup secara politik dari dunia internasional, hal ini ditunjukan dari beberapa kebijakan seperti pembatasan visa kunjungan yang berlaku hanya selama 24 jam, menasionalkan perusahaan-perusahaan swasta di berbagai sektor, mengusir akademisi asing, diplomat serta yayasan atau organisasi internasional dari ibu kota, dan masih banyak lagi tindakan-tindakan kontroversi atau direktorat yang dilakukan oleh Ne Win di masa kepemimpinannya yang menimbulkan kerugian maupun ketidak percayaan masyarakatnya terhadap pemerintahan Junta Militer serta menimbulkan banyaknya aksi protes.
Ketidakpuasan masyarakat Myanmar terhadap masa pemerintahan Ne Win dengan sistem Junta Militer ditunjukan dengan banyaknya muncul atau timbulnya gerakan demokrasi di Myanmar salah satunya pada tahun 1975 terbentuknya Front Demokratik Nasional yang kemudian melakukan pemberontakan secara gerilya hingga puncaknya pada 8 Agustus 1988. Gerakan protes yang dilakukan oleh masyarakat Myanmar dikenal sebagai “8888 Uprising” atau “Perlawanan 8888” menjadi puncak demonstrasi masyarakat Myanmar menurut demokrasi dengan dipimpin oleh Aung San Suu Kyi yang melakukan orasi mendesak pemerintah Myanmar untuk segera mengembalikan demokrasi (Ivana et al., 2021). Dalam aksi Perlawanan 8888 menewaskan ribuan orang karena kebrutalan militer saat itu. Dua tahun kemudian setelah aksi Perlawanan 8888, pemilihan umum Myanmar dilakukan untuk pertama kalinya setelah 30 tahun pada tahun 1990.
Pada pemilu 1990 di Myanmar yang diikuti oleh banyak partai politik salah satunya NLD National League for Democracy (NLD) yang didirikan oleh Aung San Suu Kyi (Roza, 2021). Pemilu 1990 dimenangkan oleh partai NLD namun keputusan ini ditolak oleh pihak militer dan menjatuhkan hukuman jangka panjang kepada anggota parlemen NLD serta melakukan penahanan dan pengasingan kepada beberapa anggota partai NLD salah satunya Aung San Suu Kyi. Setelah penolakan terhadap hasil pemilu 1990, pada 30 Agustus 2003, pemerintah dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Khin Nyut menerapkan sistem demokrasi di Myanmar. Langkah awal dalam penerapan demokrasi di Myanmar oleh Khin Nyut adalah dengan membuat kebijakan yang dikenal sebagai Seven Steps Roadmap to Discipline-Flourishing Democracy (Ivana et al., 2021). Discipline Democracy ini dilihat sebagai bentuk upaya rezim militer untuk memperkuat kontrolnya di pemerintahan.
Penerapan demokrasi seperti yang ditetapkan sebelumnya berlanjut dengan dilaksanakannya Pemilu pada tahun 2011. Sebelum melangsungkan pemilu di tahun 2011 membentuk 5 Undang-undang, namun ke-5nya menerima kritik karena dinilai merugikan pihak oposisi. Adapun beberapa penetapan yang dilakukan
adalah seperti; larangan bagi pemuka agama atau anggota ordo keagamaan dan orang yang pernah memiliki track record menjadi tahan untuk mencalonkan diri, periode pendaftaran calon yang singkat dengan biaya yang tinggi untuk pencalonan, melarang anggota militer aktif dan warga negara Myanmar yang menikah dengan warga negara asing untuk mencalonkan diri dan sebagainya. Aturan-aturan tersebut khususnya merugikan partai NLD yang dipimpin oleh Aung Saan Suu Kyi karena tidak memenuhi syarat yang ditetapkan. Hal ini mengakibatkan ketidak ikut sertaan NLD dalam Pemilu 2011 (Ivana et al., 2021). Pemilu 2011 kemudian dimenangkan oleh partai Union Solidarity and Development Party (USDP), dipimpin oleh Jendral Min Aung Hlaing (Roza, 2021).
Pemilu ketiga dilaksanakan pada tahun 2015, yang kemudian dimenangkan oleh partai NLD, yang dipimpin oleh Presiden Htin Kyaw dan Aung San Suu Kyi sebagai State Counsellor. Pada periode pemerintahan Presiden Htin Kyam, hubungan antara pihak militer dan pihak pemerintah saat itu berjalan cukup baik, bahkan hingga terkesan mendukung pihak militer Myanmar, dimana Aung San Suu Kyi pada saat itu dituduh telah membela pihak militer Myanmar yang telah melakukan pembantaian terhadap etnis Rohingya (Roza, 2021).
Pada penyelenggaraan pemilu selanjutnya, tahun 2020 kembali dimenangkan oleh partai NLD. Kemenangan terhadap partai NLD untuk kedua kalinya tidak diterima oleh pihak militer, karena pihak militer menganggap adanya kecurangan dalam pemilu 2020. Hal tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya Kudeta Militer Myanmar untuk kedua kalinya pada tanggal 1 Februari 2021, dipimpin oleh Jendral Min Aung Hlaing. Pemimpin kudeta Myanmar pada tahun 2021 menuntut untuk diadakannya kembali pemilihan umum dan juga mengklaim bahwa pemerintahan dibawah rezimnya akan berbeda dari rezim militer sebelumnya yang dikenal brutal (Roza, 2021). Aksi kudeta militer Myanmar kemudian mendapatkan aksi protes dari masyarakat Myanmar yang pro demokrasi, masyarakat yang didominasi oleh mahasiswa kembali terjun ke jalanan untuk memprotes kudeta militer yang dilakukan dan menuntut pembebasan terhadap tokoh-tokoh politik yang ditahan. Kudeta di Myanmar pada tahun 2021 merupakan kudeta yang terjadi untuk kedua kalinya setelah sebelumnya terjadi pada tahun 1962. Tindakan kudeta di Myanmar mendapatkan kecaman dari dalam negeri maupun luar negeri, banyak warga negara Myanmar yang menolak kembalinya ke masa-masa kekuasaan militer dan ingin mempertahankan situasi pemerintahan yang demokratis di Myanmar.
Myanmar sejak tahun 2011 sudah menerapkan sistem pemerintah demokratis di negaranya, tapi pengaruh militer masih cukup besar di Myanmar. Hal ini terlihat dari 25% kursi parlemen diberikan khusus untuk militer dan memperbolehkan untuk memilih menteri-menteri urusan pertahanan dan dalam negeri, sesuai dengan Konstitusi tahun 2008. Keadaan dimana pemerintahan sipil dan militer di Myanmar yang saling berdampingan ini kemudian mempengaruhi mudahnya terjadi kudeta di Myanmar. Kudeta yang terjadi pada awal tahun 2021 di Myanmar, secara konstitusi negara Myanmar dianggap sah karena pada pasal 417 mengizinkan militer merebut kekuasaan dalam situasi darurat atau saat
kedaulatan negara terancam, dimana konstitusi ini membenarkan atau mengizinkan adanya kudeta dalam situasi darurat. Kudeta yang terjadi mendapatkan kecaman baik dari dalam negeri maupun internasional. Masyarakat Myanmar melakukan protes dengan turun ke jalanan melakukan demonstrasi menuntut dan mendesak Junta Militer untuk mengembalikan pemerintahan ke pemimpin yang sudah terpilih dalam pemilu sebelumnya. Situasi di Myanmar semakin memanas dengan turunnya militer dan kepolisian yang bertindak semakin agresif dalam menertibkan demonstrasi yang terjadi. Dalam kudeta di tahun 2021 ini juga diberlakukan beberapa peraturan seperti pemberlakuan jam malam, pemutusan jaringan internet, pembatasan kerumunan, pengerahan kendaraan lapis baja dan penggunaan kekerasan yang ditujukan untuk menekan aksi demonstrasi (Roza, 2021). Keadaan di Myanmar semakin terpuruk dengan adanya pandemi Covid-19 yang melanda, pemerintah dianggap gagal karena melaksanakan pemilu di tengah-tengah Covid-19. Dampak dari Kudeta ini kemudian berimbas dengan tidak tertanggulanginya kasus Covid-19 di Myanmar, dengan banyaknya masyarakat yang turun ke jalan melakukan aksi protes, sarana dan prasarana yang rusak, mogok kerja dan pengunduran yang dilakukan oleh tenaga medis, penutupan diri oleh Myanmar telah memperlambat penanganan Covid-19 dan menimbulkan lebih banyak korban tidak hanya akibat kudeta namun juga Covid-19.
Kudeta yang terjadi bersamaan dengan Covid-19 di Myanmar, semakin memperparah situasi atau keadaan masyarakat Myanmar. Sejak awal munculnya Covid-19 hingga Juli 2021 Myanmar telah mencatat lebih dari 280.000 kasus positif Covid-19 dengan 8.200 jumlah kasus kematian (G. T. dan M. M. BBC Indonesia, 2021). Adanya kudeta membuat kasus Covid-19 di Myanmar terus meningkat. Myanmar mencatat kasus harian tertinggi sejak kudeta militer melanda pada bulan Juni dengan jumlah 373 kasus tambahan dalam 1 hari (CNN Indonesia, 2021). Kasus Covid-19 di Myanmar semakin diperparah dengan ditangkapnya 72 tenaga kesehatan, termasuk mantan kepala program vaksinasi yang ditahan hingga pertengahan 2021 dan hampir 600 orang masuk daftar pencarian orang, menurut catatan Assistance Association for Political Prisoners (G. T. dan M. M. BBC Indonesia, 2021). Selain itu banyaknya tenaga medis yang memilih untuk meninggalkan pekerjaannya, sekitar 70% tenaga medis memilih untuk mundur dikarenakan kembalinya kekuasaan ke pihak militer, dimana melihat ke belakang pada masa kepemimpinan rezim militer sebelumnya telah gagal dalam mengembangkan sistem kesehatan di Myanmar dan menimbulkan ketimpangan pelayanan kesehatan (J. H. BBC Indonesia, 2022). Selain itu, WHO juga mencatat bahwa setengah dari 500 serangan terhadap petugas kesehatan terjadi di Myanmar (J. H. BBC Indonesia, 2022).
Keadaan di Myanmar yang dimana harus menghadapi kudeta dan Covid-19 secara bersamaan membawa dampak besar bagi masyarakat Myanmar, karena menimbulkan banyak korban yang tidak hanya terjadi akibat dari kudeta namun juga serangan Covid-19, dan pemerintah yang gagal dalam menanggulangi Covid-19. Dampak lain dari terjadinya kudeta di Myanmar yang berbarengan dengan Covid-19 adalah terhadap sektor ekonomi, banyak masyarakat Myanmar yang
kehilangan pekerjaan. Beberapa sektor ekonomi yang paling terdampak adalah sektor konstruksi, garmen, pariwisata dan perhotelan, dimana lapangan pekerjaan dalam sektor tersebut mengalami penurunan hingga sekitar 25% - 35% (KSBSI, 2021). Menurut laporan UNDP, kudeta militer yang dilakukan serta Covid-19 yang melanda Myanmar akan memperparah krisis ekonomi di Myanmar, dimana akan meningkatkan tingkat kemiskinan di Myanmar dari 24,8% menjadi 36,1% dan apabila terus berlanjut akan mencapai 48,2% (CNN Indonesia, 2021a). Selain itu kudeta dan pandemi Covid-19 di Myanmar menyebabkan akses terhadap beberapa bidang terhambat seperti kesehatan, pelayanan dasar perlindungan sosial, makanan dan sebagainya. Hal ini diakibatkan banyaknya aksi mogok kerja dan boikot karena menolak untuk bekerja kepada rezim militer, beberapa harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan seperti beras dan minyak nabati yang kemudian membuat munculnya kelaparan di Myanmar dikarenakan kenaikan harga dan menurunnya pemasukan masyarakat (BBC Indonesia, 2021).
Kudeta militer yang terjadi di tengah pandemi Coid-19 telah berdampak secara menyeluruh ke berbagai sektor baik politik, sosial, ekonomi, maupun kesehatan. Hal ini menyebabkan menambahnya krisis kemanusiaan di Myanmar dengan banyaknya korban yang ditimbulkan akibat dari kudeta militer yang memperparah keadaan masyarakat Myanmar yang juga sedang berhadapan dengan Covid-19. Kudeta militer juga telah membuat tenaga kesehatan tidak bekerja lagi, sehingga korban-korban konflik dan masyarakat yang terkena Covid-19 sama-sama tidak dapat berobat dan semakin memperburuk krisis kemanusiaan di Myanmar. Masyarakat Myanmar tidak hanya terluka secara fisik, melainkan juga kehilangan kebebasannya, kehilangan pekerjaan, pendapatannya menurun, harus menghadapi kelaparan, dan sebagainya. Hal-hal ini kemudian yang mendapatkan kecaman dari dalam negeri maupun internasional, beberapa organisasi-organisasi kemanusiaan berusaha untuk masuk atau melakukan intervensi ke Myanmar dengan tujuan kemanusiaan. ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara dan salah satu negara anggotanya adalah Myanmar, mendapatkan tekanan dari dalam sesama negara keanggotaannya maupun negara lain untuk dapat berpartisipasi dalam menyelesaikan permasalahan di Myanmar (Roza, 2021). ASEAN melakukan beberapa usaha damai maupun memberikan bantuan kemanusiaan ke Myanmar untuk menekan dampak dari pasca kudeta dan Covid-19 di Myanmar.
Junta militer Myanmar sempat menutup diri untuk tidak menerima bantuan dari negara manapun termasuk negara-negara Asia Tenggara. Hal ini menjadi salah satu hambatan yang membuat sulitnya akses bantuan kemanusiaan masuk ke Myanmar. Selain itu, ASEAN juga memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan konflik di kawasannya dengan seperangkat aturan main yang telah disepakati bersama, cara itu dikenal dengan ASEAN Way. ASEAN Way merupakan norma-norma yang menekankan pada prinsip non-intervensi untuk menghormati kedaulatan masing-masing negara anggota ASEAN dan juga menekankan pada pendekatan konsensus dan konsultasi dalam penyelesaian masalah di kawasan. Prinsip Non-Intervensi atau Non-Interference tertuang di dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC). Dalam Treaty of Amity and Cooperation
in Southeast Asia (TAC), 24 Februari 1976 pada pasal 2 menjelaskan bahwa hubungan antara negara anggota didasari oleh beberapa prinsip fundamental yaitu; menghormati kebebasan, kedaulatan, kesamaan, kesatuan wilayah dan identitas nasional setiap bangsa; setiap negara anggota berhak untuk mengatur penyelenggaraan negaranya dengan terbebas dari intervensi eksternal; dan adanya prinsip non-intervensi yang diterapkan dalam hubungan internal internal sesama anggota ASEAN.
Prinsip ini menekankan pada cara-cara diplomatik dan kekeluargaan yang dapat dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN dalam mengatasi konflik yang terjadi di kawasannya. Adanya prinsip non-intervensi ini meskipun terlihat menjadi cara untuk tidak menciptakan ketegangan antar negara anggota ASEAN, namun di sisi lain pada kasus-kasus tertentu seperti kasus kudeta militer Myanmar prinsip ini menjadi salah satu penghambat sulitnya bantuan kemanusiaan masuk ke Myanmar.
Prinsip non-intervensi ASEAN dapat menjadi halangan dan tantangan bagi ASEAN yang sedang mendapat desakan dari masyarakat internasional untuk segera dapat berpartisipasi dalam penyelesaian masalah kudeta di Myanmar. Namun, adanya prinsip non-intervensi tidak serta merta membuat ASEAN hanya duduk diam melihat kejadian yang terjadi di Myanmar. Meskipun ASEAN tidak dapat melakukan intervensi secara langsung namun ASEAN telah mengambil langkah dengan membuat lima konsensus. Melalui lima konsensus tersebut ASEAN dapat memberikan bantuan kemanusian seperti donasi vaksin, bantuan kesehatan seperti obat-obatan ataupun peralatan kesehatan lainnya dan juga bantuan dana. ASEAN juga telah mengambil tindakan tegas dengan tdak mengikutsertakan Myanmar dalam KTT ASEAN yang dilaksanakan pada April 2021. Sebagai bentuk dari ASEAN Way maka ASEAN telah mengirimkan perwakilan ke Myanmar untuk memediasi konflik dan ini merupakan usaha diplomasi kemanusiaan yang dilakukan ASEAN. Masalah kesehatan dan mempromosikan non-kekerasan merupakan bagian dari ke-12 prioritas dalam diplomasi kemanusiaan dan hal ini dapat terlihat dalam diplomasi kemanusiaan yang dilakukan ASEAN ke Myanmar pasca kudeta militer di masa pandemi Covid-19.
Prinsip non-intervensi merupakan norma bersama yang disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN seperti yang dikatakan oleh konstruktivisme bahwa struktur non-material seperti ide, kepercayaan, nilai dapat mempengaruhi identitas dimana identitas mempengaruhi kepentingan dan kepentingan akan menentukan tindakan yang akan diambil. Negara-negara anggota ASEAN setuju untuk tetap menggunakan ASEAN Way dengan prinsip non-intervensi dalam mengatasi krisis kemanusiaan pasca kudeta militer di Myanmar, karena ide, norma dan identitas yang telah dibentuk bersama. Negara-negara anggota ASEAN memiliki latar belakang sebagai negara-negara yang pernah dijajah, sehingga antar negara di ASEAN menghargai hal tersebut dengan tidak melakukan intervensi untuk menghargai kedaulatan masing-masing negara. Melihat negara-negara anggota ASEAN taat pada norma yang telah disepakati bersama memang menjadi sebuah dilema yang cukup besar, pada satu sisi apa yang dilakukan negara anggota ASEAN sangat baik karena taat pada apa yang telah diyakini dan disepakati bersama selain
itu juga prinsip non-intervensi ini mencegah terjadinya penggunaan kekerasan. Namun namun disisi lain norma yang telah disepakati bersama ini dapat menjadi hambatan dalam penyelesaian konflik, seperti yang terjadi pada kudeta militer di Myanmar, untuk memberikan bantuan kemanusiaan pun ASEAN harus melakukan negosiasi yang memakan waktu cukup lama. Hambatan yang terjadi ini dapat menjadi refleksi bagi ASEAN untuk dapat menciptakan pemahaman baru untuk membuat norma yang baru terkhususnya pada kasus-kasus krisis kemanusiaan.
Kudeta militer yang terjadi di Myanmar yang menyebabkan terjadinya krisis kemanusiaan dikarenakan banyaknya korban yang ditimbulkan akibat aksi unjuk rasa di tengah maraknya peningkatan kasus Covid-19 di Myanmar. Hal tersebut membuat ASEAN sebagai organisasi regional yang menaungi Myanmar perlu mengambil langkah tegas dan cepat untuk mengatasi permasalahan di salah satu negara anggotanya. Menanggapi permasalahan tersebut maka pada KTT ASEAN yang diselenggarakan pada bulan April 2021 dibuatlah lima poin konsensus yang ditujukan kepada Myanmar, yakni mengupayakan penghentian kekerasan dari semua pihak, kemudian mendorong pertemuan konstruktif seluruh pihak untuk mencapai perdamaian demi rakyat, tersedianya utusan khusus bersama Sekjen ASEAN untuk menjembatani dialog, menyediakan sokongan kemanusiaan ke Myanmar melalui ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance of Disaster Management (AHA Centre), dan adanya kunjungan ke Myanmar oleh utusan khusus dan tim delegasi.
Lima konsensus tersebut merupakan langkah awal dari peran ASEAN untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Myanmar, walaupun saat itu ASEAN masih belum dapat terlibat secara langsung mengatasi krisis kemanusiaan ASEAN dan peran ASEAN saat itu masih sebatas membuat lima konsensus untuk Myanma Sebelum diadakannya KTT ASEAN para menteri luar negeri negara anggota ASEAN telah melaksanakan ASEAN Foreign Minister’s Meeting (AMM) yang diselenggarakannya secara virtual pada 2 Maret 2021. Pada pertemuan tersebut para menteri luar negeri memutuskan untuk menunjuk menteri luar negeri Brunei Darussalam yaitu Erwan Yusof sebagai utusan khusus untuk Myanmar. Erwan Yusof akan melakukan diplomasi dengan pemerintah militer Myanmar untuk membangun rasa percaya dan keyakinan membuka akses penuh kepada semua pihak. Namun pada Februari 2022 setelah setahun terjadinya kudeta militer, ASEAN menunjuk perwakilan baru untuk misi Myanmar yaitu Menteri Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Kamboja, Prak Sokhonn.
Krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar membuat negara-negara anggota ASEAN berusaha untuk membantu masyarakat Myanmar yang terkena dampak dari kudeta militer di tengah-tengah parahnya angka Covid-19 di Myanmar. Lima konsensus yang disepakati pada KTT ASEAN perlahan-lahan mulai mendapat titik terang untuk diimplementasikan. Pada Juli 2021, pemimpin Junta Myanmar, Jenderal Ming Aung Hlaing meminta bantuan kepada ASEAN untuk penanggulangan Covid-19 di Myanmar. Kemudian ASEAN menyetujui dan membuka jalan bagi negara-negara anggota ASEAN yang ingin memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre. Bantuan kemanusiaan ini sebagai
bentuk dari Lima Konsensus pada poin keempat. Dalam mendistribusikan bantuan, AHA Centre akan melakukan kerjasama dengan Myanmar Red Cross Society (MRCS) sehingga bantuan-bantuan tersebut dapat didistribusikan dengan baik kepada pihak-pihak yang paling terdampak di Myanmar. Negara yang ikut memberikan bantuan kemanusiaan pada pada fase 1 (live saving) yaitu Indonesia, Filipina, Thailand dan Yayasan Tamasek milik pemerintah Singapura. Bantuan kemanusiaan pada fase pertama ini dikhususkan untuk membantu menangani Covid-19 di Myanmar dikarenakan banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan untuk penanganan Covid-19 yang kian parah akibat kudeta militer. Pada fase 1 ini, Indonesia ikut memberikan alat kesehatan dan obat-obatan yang diberikan ke Myanmar, Singapura menyumbang sebanyak Rp1,4 miliar dan negara-negara lainnya seperti Filipina dan Thailand tidak diketahui seberapa banyak nominal yang diberikan. Pada 15 September 2021 bantuan kemanusiaan ASEAN ke Myanmar sejumlah 1,1 juta USD resmi diserahkan (Yangon, 2021).
Prinsip non-intervensi tidak membuat ASEAN hanya berdiam diri saja, ASEAN berusaha untuk berperan dalam mengatasi permasalahan di Myanmar dengan langkah membuat konsensus dan melakukan diplomasi kemanusiaan dengan memberikan bantuan kemanusiaan kepada Myanmar. Selain itu, ASEAN juga memiliki peran dalam berhasilnya terbuka akses untuk pemberian bantuan kemanusiaan ke Myanmar. Keberhasilan ini didapatkan melalui utusan khusus yang telah dipilih oleh ASEAN yaitu Erywan Yusof yang melakukan diplomasi dengan pihak Myanmar. Keberhasilan ASEAN dalam membuka akses bantuan kemanusiaan di Myanmar telah menjadi langkah awal yang baik bagi ASEAN dengan harapan Myanmar akan segera menyetujui untuk melakukan lima poin konsensus yang telah dibuat.
Diplomasi kemanusiaan sesuai dengan pengertiannya dilakukan ASEAN untuk membela kelompok yang tertindas, dimana dalam penelitian ini adalah masyarakat Myanmar, akibat dari adanya kudeta dan Covid-19 yang menyerang Myanmar secara bersamaan. ASEAN mengatur kehadiran perwakilannya di Myanmar sebagai penengah untuk penyelesaian konflik di negaranya dan mengatur kehadiran organisasi kemanusiaan seperti AHA Centre sebagai penyambung untuk pendistribusian bantuan kemanusiaan ke Myanmar dengan bekerjasama bersama dengan MRCS. ASEAN secara sadar memberikan bantuan kemanusiaan kepada Myanmar yang merupakan norma yang seharusnya dipatuhi, sehingga ASEAN berusaha untuk mengikuti norma tersebut terkhususnya karena Myanmar merupakan negara anggota ASEAN dan sudah seharusnya ASEAN turut berperan di dalam mengatasi krisis kemanusiaan di negara anggotanya. Hal ini telah menjadi norma yang berusaha diikuti oleh ASEAN melalui pelaksanaan diplomasi kemanusiaan ke Myanmar.
SIMPULAN
Kudeta militer yang terjadi di Myanmar telah berdampak terhadap keamanan masyarakat Myanmar. Kudeta militer di Myanmar yang terjadi pada
tahun 2021 telah berdampak ke berbagai sektor kehidupan masyarakat seperti ekonomi, politik, kesehatan, pangan dan sebagainya. Ancaman keselamatan masyarakat Myanmar tidak hanya dari terjadinya kudeta militer melainkan juga dengan adanya Covid-19 yang menyerang secara bersamaan dengan kudeta yang berlangsung. Kudeta militer yang terjadi kemudian mempengaruhi penanganan Covid-19 di Myanmar, dengan adanya pembatasan-pembatasan yang diterapkan dan aksi protes dari masyarakat Myanmar serta tenaga medis yang membuat penanggulangan Covid-19 di Myanmar terhambat. ASEAN sebagai organisasi regional yang beranggotakan negara-negara Asia Tenggara salah satunya Myanmar kemudian memiliki peran penting dan mendapatkan dorongan dari internasional untuk ikut serta dalam menyelesaikan permasalahan di Myanmar dan mengatasi atau membantu krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar.
Dalam pelaksanaan diplomasi kemanusian ASEAN ke Myanmar menghadapi beberapa tantangan dan halangan karena adanya prinsip non-intervensi yang dianut oleh organisasi regional ini. Prinsip non-intervensi telah menghambat langkah-langkah ASEAN dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi negaranya anggotanya secara langsung seperti yang terjadi dalam krisis kemanusiaan di Myanmar. Namun, prinsip non-intervensi yang dianut ASEAN tidak menghalangi ASEAN untuk ikut terlibat dalam penyelesaian permasalahan di Myanmar. Melalui prinsip non-intervensi, ASEAN membuat lima konsensus untuk konflik kudeta militer Myanmar. Dalam mewujudkan lima konsensus tersebut ASEAN akan melakukan dengan cara diplomasi kemanusiaan. ASEAN menempatkan perwakilan negaranya untuk menjadi penengah dalam mengatasi konflik yang terjadi antar rezim militer dan masyarakat maupun partai serta tokoh-tokoh pemenang pemilu tahun 2020 yang dilaksanakan, menempatkan organisasi kemanusiaan salah satunya AHA Centre dalam pendistribusian bantuan kemanusiaan yang diberikan ASEAN.
ASEAN telah menjalankan beberapa prioritas dalam diplomasi kemanusiaan menurut IFRC yaitu mencegah penyakit dan tantangan kesehatan lainnya dengan memberikan bantuan kemanusian seperti bantuan medis seperti peralatan, obat-obatan dan sebagainya, lalu mempromosikan non-kekerasan dengan terus menerus mengingatkan Myanmar untuk segera menyelesaikan konfliknya dan menjunjung HAM. Diplomasi kemanusiaan yang dilakukan ASEAN ini juga merupakan bentuk dari pelaksanaan norma yang dianut oleh organisasi regional ini salah satunya adalah penghormatan terhadap HAM seperti yang sudah tertera dalam ASEAN Human Right Declarations disertai dengan tidak melupakan prinsip yang dipegang teguh oleh ASEAN yaitu non-intervensi, yang dimana telah berperan dalam meminimalisir konflik yang terjadi antara negara anggota, karena perbedaan yang dapat dilihat dari setiap negara anggota di ASEAN dengan menjunjung tinggi kedaulatan negara masing-masing.
REFERENSI
BBC Indonesia. (2021a). ASEAN akhirnya tunjuk Menlu Brunei jadi utusan khusus: Komisi HAM tuntut akses ke semua pihak dan tempat termasuk penjara. BBC Indonesia.
BBC Indonesia. (2021b). Myanmar: Rakyat dihantui kelaparan akibat Covid dan ketidakstabilan politik, sistem perbankan “di ambang kehancuran.” BBC Indonesia.
BBC Indonesia, G. T. dan M. M. (2021). Covid dan kudeta: Ulah militer membuat rakyat Myanmar semakin sulit - “meninggal dunia akibat virus corona atau krisis politik?” BBC Indonesia.
BBC Indonesia, J. H. (2022). Kudeta Myanmar: Dokter dan perawat yang menentang rezim militer bekerja secara sembunyi-sembunyi demi menolong pasien. BBC Indonesia.
CNBC Indonesia, R. K. H. (2021). Corona di Myanmar Makin Gawat, Junta Militer Minta Bantuan! CNBC Indonesia.
CNN Indonesia. (2021a). Krisis Kudeta-Covid-19 Dorong Myanmar ke Jurang Kemiskinan. CNN Indonesia.
CNN Indonesia. (2021b). Myanmar Kewalahan Tangani Covid-19 Akibat Kudeta. CNN Indonesia.
CNN Indonesia. (2021c). Myanmar Tembus Rekor Covid Harian Terbanyak sejak Kudeta. CNN Indonesia.
CNN Indonesia. (2022). Setahun Kudeta, Junta Myanmar Sudah Hukum Mati 100 Orang di Yangon. CNN Indonesia.
Darmawan, A. B., & Kuncoro, H. R. (2019). Penggunaan ASEAN Way dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut Tiongkok Selatan: Sebuah Catatan Keberhasilan? Andalas Journal of International Studies (AJIS), 8(1), 43. https://doi.org/10.25077/ajis.8.1.43-61.2019.
Faisal, E., Karisma, G., Har, H. S., & Eyenairo, R. R. (2012). Human Security, Teori dan Implementasi di Asia. 1–16.
Ivana, F., Dewi, E., & Rahmatina, F. (2021). Kudeta Myanmar: Junta Militer Di Era Modern. Pena Wimaya, 1(1), 43–58.
KSBSI. (2021). Dampak Kudeta Militer dan Covid-19, Separuh Buruh Negara Myanmar Kehilangan Pekerjaan. KSBI.
Lindsay Maizland. (2022, January). Myanmar’s Troubled History: Coups. Military Rule, and Ethnic Conflict. Council on Foreign Relations.
Luthfy Ramiz, & Marina Ika Sari. (2022). Menanti Pencapaian Baru ASEAN: Perkembangan dan Solusi atas Krisis Myanmar di Bawah Kepemimpinan Kamboja. ASEAN BRIEFS, 8(1).
Mumtazinur, M. (2020). Pengaruh Bantuan Kemanusiaan Aceh bagi Pengungsi Rohingnya Terhadap Upaya Diplomasi Kemanusiaan. Media Syari’ah, 22(1), 16.
https://doi.org/10.22373/jms.v22i1.6825
Ragnier, P. (2011). The emerging concept of humanitarian diplomacy: Identification of a community of practice and prospects for international recognition. International Review of the Red Cross, 93(884), 1211–1237. https://doi.org/10.1017/S1816383112000574
Rahmawati, R. (2021). Hak Asasi Manusia dan Diplomasi Kemanusiaan. Global Mind, 3(1).
Rosyidin, M. (2017). Intervensi Kemanusiaan dalam Studi Hubungan Internasional: Perdebatan Realis Versus Konstruktivis. Jurnal Global & Strategis, 10(1), 55.
https://doi.org/10.20473/jgs.10.1.2016.55-73
Roza, R. (2021). Kudeta Militer Di Myanmar: Ujian Bagi Asean. Info Singkat, XIII(No.4/II/Puslit/Februari/2021), 7–12.
Thea Fathanah Arbar. (2021, April 21). Myanmar Ditinggal Industri Garmen ke Kontruksi Mati Suri. CNBC.
W.Creswell, J. (2016). Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran (1st ed.).
Yangon, K. (2021). ASEAN Serahkan Bantuan Kemanusiaan untuk Myanmar. Kemlu.Go.Id. https://kemlu.go.id/yangon/id/news/16074/asean-serahkan-bantuan-kemanusiaan-untuk-myanmar#:~:text=ASEAN secara resmi menyerahkan bantuan,virtual pada 15 September 2021.
E-ISSN 2685-4570
78
VOL. 5 NO. 1, JULI 2023
Discussion and feedback