JURNAL ILMIAH WIDYA SOSIOPOLITIKA

E-ISSN 2685-4570

STRATEGI KEPOLISIAN RESOR KOTA SURABAYA DALAM PENCEGAHAN TRANSNASIONAL TERORISME PASCA PELEDAKAN BOM DI KOTA SURABAYA TAHUN 2018

Brilliant Windy Khairunnisa

Abid Rohman

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Email: [email protected]

Article Info

ABSTRACT

Transnational terrorism crime acts have become a

Article History:

security issue that threatens Indonesia which cannot be separated from the responsibility of the police as

Received:

law enforcers and community security guards. The bomb terror case that occurred in Surabaya in 2018

Jan/2023

has become a concern for the Intelligence and Security Unit at the Resort Police of Surabaya to

Accepted:

initiate, accompany, and promote any operational activities, to avoid similar incident in the future.

Jun/2023

This article focuses on how the strategy of the Resort  Police  of  Surabaya  in  preventing

Published:

transnational terrorism crime after the bombing attack in the city of Surabaya last 2018. In the

Jul/2023

discussion, the writer uses a qualitative research

method based on primary and secondary data

Keywords:

reviewed through the non-traditional security concept. The results indicate that the Resort Police

Acts, Crime, Prevention, Strategy, Terrorism, Transnational.a

of Surabaya (Polrestabes) has several strategies for the prevention of similar cases, including the development of institutional policies and systems, strengthening the capacity of police personnel, expanding internal and external cooperation networks, and increasing the intensity of guidance to former perpetrators of terrorism criminal acts and their families to return to their normal life which is carried out regularly in supporting efforts to prevent transnational terrorism crime acts, especially in the big city of Surabaya.

PENDAHULUAN

Sejak beberapa tahun terakhir, berita Indonesia banyak terisi dengan adanya kasus tindakan terorisme. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya kasus peledakan bom yang dilakukan oleh para terorisme di beberapa tempat ibadah ataupun tempat umum di kota Surabaya pada tahun 2018. Kota Surabaya sebelumnya telah dikenal sebagai ibu kota provinsi yang aman dan ramai akan tata usaha (Antara, 2019), sehingga dengan adanya kasus pengeboman seketika mengubah citra tersebut. Di sisi lain, kasus terorisme di Surabaya diawali dengan

peledakan bom tiga gereja sebagai target para terorisme, kemudian diikuti dengan pengeboman di markas Polrestabes Surabaya sebagai target selanjutnya. Tidak hanya di Surabaya, tahun berikutnya ada beberapa tempat lain yang juga menjadi sasaran bom teroris, seperti kejadian di Sibolga, Pos Polisi Sukoharjo, hingga pengeboman yang kembali terjadi di Polrestabes Medan (Kompas, 2019).

Munculnya kasus serupa yang dilakukan oleh para terorisme tersebut, menurut kepolisian untuk bekerja lebih keras sesuai dengan Undang-Undang Pasal 2 ayat 1 No. 2 pada tahun 2002, yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki fungsi utama sebagai alat negara dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan pengayoman, pelayanan, dan perlindungan kepada masyarakat hingga dapat memelihara keamanan yang ada di dalam negeri. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa penegakan hukum di hampir setiap negara membutuhkan institusi kepolisian untuk menerapkan dan menjaga penerapan hukum pada seluruh sektor kehidupan masyarakat (Anshar & Setiyono, 2020). Adanya penegakkan hukum, tentu juga mensyaratkan polisi harus berdiri di atas peraturan hukum. Di sisi lain, pihak kepolisian juga mengemban tugas sosial kemasyarakatan yang harus memperhatikan nilai-nilai di masyarakat. Sebagai bagian dari fungsi dan perannya, pihak kepolisian juga diwajibkan untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan masyarakatnya termasuk melindungi dari adanya serangan terorisme.

Usai terjadinya peledakan bom teror di Surabaya silam, Undang-Undang terkait tindak pidana terorisme nomor 5 tahun 2018 pasal 1 mulai disahkan, yakni disebutkan bahwa tindakan terorisme merupakan segala macam perbuatan yang melibatkan adanya tindak kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang memunculkan adanya rasa takut atau suasana teror secara meluas, yang dapat menimbulkan korban bersifat massal, ataupun menimbulkan kehancuran atau kerusakan terhadap Iingkungan hidup, dan objek-objek yang bersifat strategis. Adapun kerusakan pada fasilitas-fasilitas umum yang berdasarkan pada isu-isu politik dan ideologi yang menyebabkan adanya gangguan keamanan juga dapat menggambarkan adanya tindakan terorisme yang terjadi. Berkenaan dengan hal tersebut, peristiwa peledakan bom di Surabaya menuntut dilakukan penanganan serius oleh pihak kepolisian, baik Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim), ataupun Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya, yang secara khusus juga menjadi salah satu titik terjadinya perkara, termasuk dalam upaya mengidentifikasi pelaku, mencari penyebab adanya tindakan tersebut, serta strategi-strategi yang dilakukan untuk menghindari adanya peledakan kembali.

Strategi-strategi yang dilakukan oleh Polrestabes Surabaya dalam mencegah adanya tindakan terorisme kembali di kota Surabaya dilakukan untuk menjadi gambaran bagi wilayah-wilayah lain di Indonesia dalam pencegahan tindak transnasional terorisme di masa mendatang. Pada dasarnya, para pelaku terorisme memiliki pergerakan ataupun komunitas sendiri dalam mewujudkan visi dan misinya yang dapat menyebabkan adanya keresahan atau tidak adanya rasa aman yang dimiliki oleh masyarakat setempat (Ropi, 2018). Terlepas dari latar belakang yang dimiliki oleh para pelaku tindak terorisme, apabila dipandang dari sudut pandang agama tidak terdapat satupun agama yang membenarkan tindakan

pengeboman terhadap suatu masyarakat ataupun wilayah-wilayah tertentu yang sedang dalam keadaan aman. Adapun hal ini diperkuat dengan adanya pembahasan secara meluas oleh para ilmuwan sosial, bahwa pada dasarnya tidak dapat ditemukan adanya hubungan antara agama dan tindakan terorisme yang dilakukan oleh para pelaku pengeboman tersebut (Galtung, 1996; Naharong, 2014), melainkan adanya gangguan dari faktor psikologis yang dapat menjadi pondasi tindakan teror tersebut dilakukan (Sarwono, 2012).

Penulis memfokuskan pembahasan pada strategi yang telah dilakukan oleh Polrestabes Surabaya dalam rangka mencegah tindakan terorisme kembali terulang setelah kejadian pengeboman di kota Surabaya 2018, termasuk di dalamnya upaya pencegahan tindak terorisme di markas Polrestabes Surabaya, maupun upaya pencegahan tindak terorisme di kota Surabaya. Tujuan penelitian ini ialah untuk memaparkan strategi yang dilakukan oleh Polrestabes Surabaya dalam mencegah dan mengantipasi transnasional terorisme pasca terjadinya pengeboman di Surabaya pada tahun 2018. Hal ini dianalisis menggunakan konsep terorisme dari Anthony Richards (Richards, 2014) yang mendeskripsikan bahwa terorisme merupakan bagian dari tujuan politik, berkaitan erat dengan ideology atau perilaku tertentu, dan korbannya dapat berasal dari kalangan manapun. Pada penelitian ini, konsep tersebut diaplikasikan dengan mengimplementasikan fakta yang ada dengan konsep terorisme tanpa memandang agama atau budaya tertentu melainkan pada perbuatan, tujuan, serta dampak akhir dari aksi pelaku terorisme yang terjadi di Surabaya pada tahun 2018.

Berkaitan dengan adanya pencegahan terhadap tindak transnasional terorisme di kota Surabaya, penulis meninjau adanya pengatasnamaan agama yang dilakukan oleh para pelaku terorisme. Hal ini dapat berbahaya bagi agama itu sendiri yang pada dasarnya tidak mengajarkan para penganutnya untuk melakukan tindak terorisme (Yunus, 2017). Dalam mencegah terjadinya tindak terorisme, juga dibutuhkan adanya keterlibatan pemerintah Indonesia terlebih sejak berakhirnya masa orde baru. Hal ini disebabkan oleh era demokratisasi yang juga dapat menjadi faktor munculnya teroris-teroris baru yang memiliki tujuan utama untuk mengganti ideologi negara Indonesia (Mukhtar, 2016). Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga memiliki strategi utama dalam mencegah adanya terorisme, berupa seluruh masyarakat dan pemuda juga harus ikut turun dalam memerangi tindakan tersebut khususnya bagi para pemikir radikal. Sebab pada dasarnya, radikalisme merupakan akar utama munculnya terorisme di tengah masyarakat (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), 2016). Namun demikian, pengeboman yang terjadi di Surabaya telah memberikan dampak terhadap para korban khususnya, dan pada masyarakat pada umumnya. Dampak ini berupa adanya mental secara psikologis, kerugian pada bidang ekonomi dan lingkungan, serta berakibat pada kesehatan secara fisik bagi para korban berupa luka-luka hingga kematian (Thenarianto, 2020).

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dilakukan oleh penulis, ditemukan adanya novelty atau kebaruan yang telah diteliti oleh penulis berupa penelitian terkait strategi dalam mencegah adanya tindak transnasional terorisme pasca pengeboman di Surabaya tahun 2018 yang dilakukan oleh Polrestabes Surabaya belum pernah dilakukan atau dipublikasikan sebelumnya. Baik strategi secara

operasional di markas Polrestabes Surabaya, ataupun strategi dalam pengamanan di kota Surabaya yang dilakukan oleh Polrestabes Surabaya pasca terjadinya pengeboman tersebut. Di sisi lain, adanya penelitian terkait penghargaan sebagai apresiasi dari pemerintah ataupun kerja sama yang dilakukan dengan para korban sebagai upaya pencegahan tindak terorisme belum pernah dilakukan sebelumnya. Adapun persamaan yang ada dari artikel ini dengan artikel-artikel yang telah ditinjau sebelumnya ialah terletak pada pendefinisian terorisme, dampak terorisme bagi negara, serta terorisme sebagai isu non-tradisional yang ada di Indonesia. Namun demikian, persamaan-persamaan tersebut dikembangkan oleh penulis sebagai pelengkap dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Dengan demikian, hasil penelitian berupa artikel yang telah dilakukan oleh penulis dapat dijadikan referensi atau alat untuk dikembangkan kembali dalam bidang keilmuan yang relevan.

METODE PENELITIAN

Penulis melakukan penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Adapun data yang dihasilkan berupa data primer dan sekunder. Data-data primer tersebut diperoleh dengan cara observasi langsung di lapangan, melakukan wawancara dengan atase Polrestabes Surabaya dan beberapa pihak yang ahli dan mengatasi kasus terorisme. Sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur berbasiskan jurnal, buku, dan situs resmi di internet. Dalam pengujian validasi data, penulis menggunakan waktu yang relatif lebih dalam untuk melakukan observasi dan wawancara penggalian data penelitian di lapangan, diskusi lanjutan oleh para pakar, serta adanya triangulasi yang melandaskan teori dan sumber sebagai pembanding.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terorisme dan Keamanan Non-Tradisional

Dalam prosesnya, seseorang mengalami tiga tahapan hingga dapat bertindak sebagai seorang teroris. Hal ini sebagaimana yang telah disampaikan oleh Satuan Intelijen dan Keamanan Polrestabes Surabaya, bahwa tiga tahapan ini diawali dengan adanya eksklusifitas dari calon pelaku. Pada tahapan eksklusifitas ini, pemerintah dan para atase di setiap lembaga pendidikan baik pada tingkatan sekolah maupun universitas memiliki peran utama dalam memberikan pemahaman para setiap siswa dan mahasiswa terkait tindakan terorisme dan segala hal yang terkait dengannya. Hal ini diperlukan untuk menghindari adanya perkembangan yang terjadi, dari tahapan eksklusifitas tersebut. Apabila seseorang telah berlaku eksklusif, tanpa adanya pemahaman lebih lanjut dapat membawanya pada tahap radikal. Pada tahapan ini, seseorang yang radikal dapat memberikan doktrin atau ajakan terhadap orang lain agar memiliki pemikiran yang sama dengannya hingga tujuan utamanya dapat tercapai.

Dalam hal ini, seorang radikalisme dalam diskursus global belum bertindak layaknya seorang teroris, namun ia dapat memberikan ajakan atau perintah terhadap teroris untuk melakukan aksi teror ataupun kekerasan sebagai jalan untuk mencapai

tujuannya tersebut (Isnawan, 2018). Kemudian pada tahap akhir, tanpa adanya penanganan terhadap radikalisme dapat menjadikannya sebagai seorang terorisme yang berbahaya bagi keamanan nasional maupun regional secara non-tradisional (Respati et al., 2020). Sebab pada dasarnya, adanya aksi terorisme dalam suatu negara dapat memberikan dampak bagi negara lain pula (Gamage et al., 2020). Di sisi lain, konotasi konsep terorisme telah mengalami beberapa perubahan sejak tahun 1930an. Berawal dari makna percobaan pembunuhan atau pembunuhan secara langsung yang ditargetkan terhadap pemimpin keluarga maupun pemimpin negara sebagai korbannya, menjadi masyarakat sipil secara umum sebagai korbannya. Adapun pembunuhan yang melibatkan masyarakat sipil sebagai korbannya, merupakan bagian dari pelanggaran Hak Asasi Manusia pada tingkat terberat. Terlebih, apabila tanpa adanya alasan khusus ataupun kesalahan yang telah dilakukan oleh korban (Tjarsono, 2012).

Dalam konsepnya, keamanan nasional merupakan adanya kemampuan dari suatu bangsa dan negara dalam mencegah adanya ancaman dari pihak luar terhadap nilai-nilai internalnya (Amaritasari, 2015). Adapun keamanan non-tradisional, merupakan perkembangan dari keamanan tradisional yang merupakan isu-isu keamanan tanpa melibatkan adanya aspek militer serta dapat memiliki dampak yang cukup serius terhadap keamanan secara internasional, regional, ataupun nasional sekalipun (Rachman & Bainus, 2017; Sagena, 2013). Dengan demikian, adanya keberadaan terorisme di Indonesia dapat mengancam keamanan nasional sebab dapat berdampak pada berkurangnya rasa percaya dan kenyamanan yang ada pada diri masyarakat nasional. Dampak lain dapat dirasakan secara global, seperti ketidakamanan nasional akibat adanya tindak terorisme tersebut dapat menghambat adanya kerjasama Indonesia dalam skala internasional, baik dalam bidang perekonomian, politik, maupun dari segi kunjungan pariwisata (Widajatun & Ichsani, 2019). Dalam hal ini, besarnya ancaman keamanan nasional akibat banyaknya aksi terorisme yang telah terjadi menjadikan Indonesia melakukan berbagai macam upaya dalam penanganannya (Windiani, 2018). Namun demikian, indeks terorisme secara global mencatat Indonesia sebagai negara dengan tingkat keamanan ke-37 tertinggi pada tahun 2020 dengan pengaruh yang berada pada posisi medium (Institute for Economics & Peace, 2020).

Tingginya tingkat ancaman keamanan di Indonesia khususnya pada kasus terorisme, dapat memiliki peluang adanya keterkaitan antara isu keamanan nontradisional dan isu keamanan tradisional di Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh adanya kepentingan nasional yang terdapat di dalam isu keamanan non-tradisional tersebut. Peluang adanya keterkaitan tersebut diperkuat dengan tugas pokok TNI untuk menjaga kedaulatan Republik Indonesia. Sebab pada dasarnya, tindakan terorisme tidak hanya menyebabkan ancaman keamanan, kenyamanan dan ketertiban dalam masyarakat, melainkan telah berkembang hingga menimbulkan ancaman dalam hal kedaulatan, ideology, hingga ancaman terhadap integritas territorial Indonesia. Di satu sisi, adanya instrumen penegak hukum dalam fungsi TNI memiliki potensi untuk mencederai agenda reformasi dan demokrasi apabila terlibat langsung dalam penanggulangan terorisme (The Habibie Center, 2018). Namun di sisi lain, adanya kerjasama yang kuat dalam menanggulangi terorisme

antara pihak kepolisian dan TNI dapat memiliki peluang besar untuk membuat tingkat keamanan Indonesia dari tindakan terorisme semakin menguat pula.

Hal ini dapat dinyatakan sebagai tantangan yang dimiliki oleh Indonesia untuk dapat terus meningkatkan keamanan nasionalnya secara massif. Selain dengan adanya peran yang dimiliki oleh Polri ataupun TNI, kepolisian pada tingkat resor juga memiliki peran khusus dalam mencegah adanya tindak terorisme khususnya pada kota-kota besar. Sebab pada dasarnya, dapat dianalisis bahwa semakin besar suatu kota ataupun daerah dapat memiliki peluang yang lebih besar pula bagi terorisme untuk melakukan aksi terornya, sehingga mengharuskan adanya tingkat kemanan yang lebih tinggi pula. Adapun peningkatan keamanan ini didasarkan oleh adanya keamanan negara, pertahanan negara, keamanan masyarakat, serta adanya keamanan manusia sebagaimana yang terdapat dalam konsep keamanan nasional (Anakotta & Disemadi, 2020). Dengan demikian, keamanan negara Indonesia dapat mengalami peningkatan dan dapat mengurangi adanya tindakan terorisme yang terjadi.

Bom Teror di Surabaya

Berkenaan dengan tindakan terorisme yang dapat menyebabkan ancaman terhadap keamanan nasional dan ketidaknyamanan dalam kalangan masyarakat, tidak terlepas dari sistem pencucian otak yang dilakukan oleh para teroris terhadap masyarakat lainnya sebagai upaya untuk menambah mitranya dalam pemikiran yang sama hingga dapat mencapai tujuannya dengan lebih mudah (Goivani, 2018). Dalam hal ini, Johan Galtung menyebutkan bahwa seseorang yang sedang jatuh cinta ataupun juga para wanita merupakan target utama untuk dilibatkan dalam melakukan aksi terorisme (Galtung, 1996). Hal tersebut terjadi, sebab pada dasarnya para teroris beranggapan bahwa misi yang sedang dilakukan merupakan suatu perbuatan yang benar dan mulia, meski di sisi lain banyaknya kerugian yang disebabkan oleh tindakan terorisme tetap membenarkan adanya kekerasan dan ancaman bagi negara pada umumnya dan bagi masyarakat setempat pada khususnya yang melanggar hukum (Rahardanto, 2012).

Sejak akhir tahun 1990-an, terdapat perbedaan pola serangan yang dilakukan oleh para terorisme di Indonesia. Pola ini bergeser dari serangan terhadap simbol-simbol pemerintahan Indonesia, menjadi mengatasnamakan jihad dalam agama (The Habibie Center, 2018). Adanya pengeboman yang dilakukan oleh para teroris di Surabaya dapat dianalisis sebagai adanya hasil dari penyebaran pemikiran yang dilakukan oleh para teroris terhadap masyarakat awam hingga mereka dapat ikut dalam golongannya, sekaligus menunjukkan adanya pergeseran pola tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sepasang suami dan istri yang membawa anak perempuannya dalam menjalankan aksi terorisme di markas Polrestabes Surabaya. Pelaku menggunakan kata perintah agama sebagai kata kunci ajakannya, yang pada dasarnya tidak ditemukan dalam agama manapun terkait adanya perintah untuk melakukan tindakan terorisme, melainkan disebabkan adanya kesalahan dalam memahami ajaran agama. Adapun pemahaman-pemahaman yang salah tersebut dikatakan oleh atase Polrestabes Surabaya sebagai hasil dari adanya pemikiran radikal yang terus berkembang hingga menjadikannya sebagai teroris.

Di sisi lain, melalui pengatasnamaan terhadap agama dalam aksinya tersebut, dapat mempermudah adanya pemasukan dana yang dibutuhkan untuk melakukan aksi terorisme. Hal ini dapat dianalisis melalui adanya Gerakan Sehari Seribu kemudian disetorkan untuk melakukan aksi terorisme ataupun dengan kotak amal di tempat ibadah, kedua sumber pendanaan terorisme tersebut telah berhasil diungkap dan dibekukan oleh PPATK (Fadholi, 2017). Kemudian telah ditindak secara hukum oleh pihak kepolisian. Pada dasarnya, dalam melakukan aksinya para teroris akan memerlukan dana yang cukup besar yang akan dikeluarkan untuk pembiayaan bahan peledak ataupun alat-alat penunjang lainnya. Dalam hal pendanaan, para pelaku terorisme dapat melibatkan berbagai macam pihak dari lintas batas negara yang memiliki persamaan dalam gerakan transnasional terorismenya. Meski pada dasarnya telah diterapkan sistem keamanan yang semakin ketat dari beberapa bank di Indonesia dalam mencegah terjadinya penyaluran dana transnasional terorisme (Hidayat & Jatikusumo, 2019).

Dari pengeboman yang terjadi di Polrestabes Surabaya tersebut, terdapat beberapa korban yang luka dari pihak kepolisian. Pemerintah memberikan kompensasi terhadap para korban tersebut berupa penghargaan ataupun bantuan finansial, psikologis dan medis yang juga bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Hal ini dilakukan sebagai bentuk apresiasi pemerintah atas pengamanan yang diberikan dari pihak kepolisian terhadap masyarakat. Namun demikian, korban luka akibat pengeboman dari pihak kepolisian tersebut mengatakan bahwa adanya bom teror tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap kesehatan mental mereka. Hal ini disebabkan oleh adanya kesiapan mental yang telah dimiliki oleh pihak kepolisian, hingga dapat dengan mudah menghadapi setiap resiko-resiko yang akan dialami selama masa tugas berlangsung. Namun hal ini tetap berpengaruh cukup besar terhadap mental para korban yang merupakan masyarakat sipil.

Dengan adanya korban yang diakibatkan oleh pengeboman tersebut, BNPT membentuk Forum Silaturahmi Penyintas atau yang biasa dikenal FORSITAS sebagai bentuk adanya kepedulian negara terhadap para korban tindakan terorisme di Indonesia. Selain untuk memberikan dukungan dan perlindungan terhadap para korban secara berkelanjutan, forum tersebut juga didirikan sebagai bentuk kerjasama dengan para korban untuk pendeteksian dini terhadap para pelaku tindak terorisme. Di sisi lain, forum tersebut juga dibentuk sebagai upaya pencegahan terhadap adanya penyebaran paham yang radikal, dapat berpotensi untuk melakukan tindakan terorisme di Indonesia (BNPT, 2020). Di kota Surabaya, pihak Polrestabes melalui Satuan Intelijen dan Keamanan terus melakukan penyelidikan dan analisis dini untuk mencegah adanya tindakan terorisme di kota Surabaya secara umum.

Pencegahan Terorisme di Polrestabes Surabaya

Dalam meningkatkan keamanan dan pencegahan terhadap adanya aksi teror, Polrestabes Surabaya memiliki peran penting khususnya pasca terjadinya pengeboman di Surabaya pada tahun 2018. Selain kota Surabaya sebagai penghubung antara Indonesia di bagian timur, barat, dan utara yang bersifat strategis, adanya kesempatan dan kurangnya pengamanan saat itu menjadikan aksi

bom terorisme dapat berjalan dengan mudah. Sebab pada dasarnya, Surabaya yang termasuk kota besar dan menjadi salah satu pusat perekonomian Indonesia, diperlukan adanya tingkat keamanan yang tinggi pula. Pencegahan oleh Polrestabes Surabaya ini dilakukan dari berbagai macam segi keamanan yang diawali dengan adanya pembangunan sistem dan kebijakan dalam lingkup Polrestabes Surabaya, pembangunan personel, perluasan kerjasama, hingga adanya pembinaan terhadap mantan dan keluarga pelaku tindak terorisme yang dilakukan secara berkala.

Atase Polrestabes Surabaya menyebutkan bahwa pembangunan sistem dan kebijakan pasca terjadinya pengeboman tersebut dilakukan dengan berbagai macam upaya, di antaranya dengan menerapkan sistem satu jalan pada pintu masuk dan pintu keluar di Polrestabes Surabaya, menggunakan adanya x-ray security scanner dan CCTV pada pintu masuk bagi setiap pengunjung baik dari pihak masyarakat maupun dari pihak Polrestabes Surabaya, pengalokasian lahan parkir dari halaman dalam markas menuju halaman luar markas Polrestabes Surabaya, hingga mewajibkan kepada seluruh tamu untuk melaporkan diri pada petugas yang sedang berjaga di pintu masuk dan menyerahkan Kartu Tanda Penduduk miliknya yang akan dikembalikan saat pengunjung akan menuju pintu keluar markas. Para petugas yang sedang menjaga pada pintu masuk dan pintu keluar tersebut diwajibkan menggunakan rompi anti peluru, serta melakukan persenjataan yang lebih ketat dengan selalu membawa senjata di tangannya sebagai antisipatif terhadap keamanan. Di sisi lain, diwajibkan pula bagi setiap pengunjung masjid untuk meletakkan barang bawaannya ke dalam lemari yang tersedia dan mengambilnya saat akan keluar dari masjid. Hal ini dilakukan, untuk menghindari adanya aksi teror saat ibadah tengah dilakukan. Adanya pembangunan pada sistem dan kebijakan dalam lingkup Polrestabes Surabaya ini, dilakukan sebagai upaya pencegahan adanya aksi terorisme kembali khususnya di kawasan markas Polrestabes Surabaya.

Selanjutnya, pembangunan personel yang juga termasuk salah satu upaya pencegahan adanya tindak terorisme, dilakukan dengan kewajiban kepada seluruh anggota kepolisian dengan latar belakang agama yang berbeda-beda untuk melakukan ibadah secara maksimal menurut ajarannya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk membina setiap personel secara spiritual. Adapun dalam pembangunan personel tersebut, terdapat kajian-kajian khusus yang diberikan dengan jadwal yang telah ditentukan pada masing-masing agama kepercayaan personel dalam lingkup Polrestabes Surabaya. Di sisi lain, pembangunan personel secara psikologis dalam bentuk sosialisasi anti-terorisme juga dilakukan terhadap masyarakat maupun pihak kepolisian. Selain sebagai upaya pencegahan terjadinya aksi pengeboman kembali, hal tersebut juga dilakukan sebagai upaya mencegah adanya perkembangan kuantitas pada keanggotaan gerakan terorisme ataupun gerakan-gerakan baru yang mengancam keamanan kota Surabaya secara khusus dan keamanan nasional pada umumnya.

Perluasan kerjasama dilakukan oleh Polrestabes Surabaya yang melibatkan para tokoh masyarakat, pemuka agama, pemuka instansi-instansi pendidikan, hingga para pemuka kemahasiswaan layaknya Badan Eksekutif Mahasiswa dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya tingkat keamanan nasional yang baik, pencegahan adanya radikalisme, serta untuk meningkatkan kesadaran akan bahayanya terorisme bagi nusa, bangsa, dan negara.

Terlebih kerjasama yang dilakukan dengan pemuka instansi-instansi pendidikan, yang biasa dilakukan dengan para rektorat kampus pada tingkat Indonesia maupun kota Surabaya, dilakukan dengan mengadakan pertemuan-pertemuan secara berkala untuk mendiskusikan langkah-langkah ataupun upaya-upaya yang berkelanjutan dalam rangka mecegah adanya terorisme dari tingkat universitas dan dengan adanya sosialisasi anti-terorisme dan narkotika secara berkala pada skala universitas, telah menjadi salah satu hasil dari kerjasama tersebut.

Di sisi lain, adanya pembinaan terhadap mantan terorisme beserta seluruh keluarganya juga dilakukan untuk menghindari munculnya bibit-bibit terorisme kembali. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan komunikasi yang baik secara resmi maupun tidak resmi, memberikan ekstra edukasi secara spiritual dan akademik, ataupun dengan adanya dukungan finansial terhadap keluarga teroris yang telah ditinggalkan. Hal ini dilakukan sebab pada dasarnya, mantan narapidana terorisme ataupun keluarganya tetap bergabung dikalangan masyarakat umum, sehingga upaya pembinaan-pembinaan tersebut dilakukan untuk menghindari perkembangan kembali terkait pemikiran yang radikal di kalangan masyarakat awam. Adapun upaya utama yang dilakukan oleh Polrestabes Surabaya dalam mencegah adanya tindak terorisme kembali. Polrestabes Surabaya semakin menguatkan visi dan misinya dengan TNI dan pemerintah pada tingkat daerah maupun provinsi. Baik dari segi kebijakan politik, kebutuhan finansial, maupun dalam pengamanan itu.

Namun demikian, hubungan baik dengan masyarakat setempat juga dibutuhkan sebagai bentuk dari pola kemitraan yang biasa dilakukan melalui teknik penyelesaian masalah atau yang biasa disebut sebagai problem solving (Respati et al., 2020). Meski demikian, Satuan Intelijen dan Keamanan Polrestabes Surabaya menyatakan tidak adanya kerjasama yang dilakukan dengan pihak luar negeri dalam penanggulangan terorisme. Hal ini disebabkan oleh adanya keterbatasan otoritas, Polrestabes Surabaya menaungi tingkat resor di bawah Kepolisian Daerah Jawa Timur. Adapun kerjasama dengan pihak luar negeri telah dilakukan dari pihak Polri. Sebab pada dasarnya, terorisme merupakan gerakan yang bersifat transnasional. Baik dari segi pendanaan, ataupun dari segi tindakan (Khamdan, 2015).

Kasus pengeboman di Surabaya diimplementasikan sejalan dengan konsep terorisme dari Richards (Richards, 2014) sebab korban yang dihasilkan dari perbuatan teror tersebut juga berasal dari kalangan sipil dan petugas keamanan, pelaku memiliki ideologi atau pemikiran tertentu yang secara psikologis memotivasi mereka untuk berbuat teror, serta adanya perlakuan politik yang dibuktikan dengan keinginan pelaku untuk memperbanyak anggotanya. Penulis menganalisis bahwa upaya yang telah dilakukan oleh Polrestabes Surabaya dalam pencegahan terorisme dilakukan secara maksimal dimana pendekatan-pendekatan secara spiritual, akademik, hingga pendekatan sosial dilakukan dengan baik. Namun demikian, kemajuan teknologi yang ada seharusnya dapat dimaksimalkan oleh Polrestabes Surabaya untuk bekerjasama dengan berbagai pihak pada jangkauan nasional maupun internasional untuk mencegah masuknya pendanaan

ilegal dalam keberlangsungan aksi terorisme. Sebab pada dasarnya, Surabaya sebagai kota yang besar tentu juga memerlukan tingkat pengamanan yang tinggi sehingga kejadian serupa tidak akan terulang lagi.

Tantangan Polrestabes dalam Pencegahan Terorisme

Dalam kasusnya, pengeboman yang terjadi di Surabaya juga disebabkan oleh adanya kesenjangan sosial pada pelaku terorisme. Kesenjangan tersebut dapat mencakup ketidakadilan ataupun kemiskinan yang dirasakan oleh pelaku terorisme. Hal ini juga merupakan faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya tindakan kejahatan berdasarkan kebijakan kriminal (Widayati, 2019). Adapun dalam pencegahan terorisme pasca pengeboman di Surabaya pada tahun 2018, Polrestabes Surabaya dianalisis hampir tidak memiliki tantangan yang cukup serius hingga saat ini. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan analisis dini yang dilakukan oleh pihak Polrestabes Surabaya dalam pencegahan tindak terorisme, sehingga pelaku dapat terdeteksi sebelum terjadinya peledakan bom teror. Namun demikian, terdapat tantangan dalam bidang digital seperti penyebaran informasi dan kabar dapat tersebar luas hanya dalam hitungan detik, sehingga penanganan terhadap terorisme memiliki sedikit hambatan.

Pada dasarnya, adanya kemajuan teknologi dapat menjadikan media sosial sebagai sarana untuk menyebarkan dan memberikan contoh yang baik dalam hal positif khususnya dalam hal kemanusiaan (Parker et al., 2017). Hal ini dapat membantu untuk mengurangi adanya potensi kenaikan tindakan terorisme yang terjadi. Namun demikian, Polrestabes Surabaya secara khusus mengalami tantangan dalam mencegah adanya terorisme. Hal ini disebabkan oleh adanya kebocoran informasi terkait pelaku terorisme yang baru saja diamankan secara meluas di kalangan masyarakat. Adanya kebocoran informasi tersebut dapat menghambat penanganan para pelaku terorisme khususnya yang berada di wilayah lain. Para kerabat terorisme yang belum diketahui dapat melakukan persembunyian atau mengurungkan aksinya sebab ditakutkan tertangkap sebagaimana kerabatnya yang telah menyebar data dirinya sebagai pelaku tindakan terorisme tersebut. Adapun kemajuan teknologi dapat memberikan kemudahan bagi para teroris dalam menyembunyikan identitas dan keberadaannya sebelum benar-benar berhasil diamankan oleh para aparat keamanan (Latif, 2018).

Dengan demikian, dibutuhkan adanya akar hukum yang melandasi adanya pencegahan tersebarnya informasi terkait pelaku terorisme tersebut sebelum adanya kabar resmi dari atasan hukum terkait kasus tersebut. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada bulan Maret 2021 lalu, pelaku terorisme berhasil diamankan sebanyak dua puluh orang. Namun demikian, informasi terkait data diri pelaku terorisme tersebut berhasil tersebar di grub media sosial yang mengakibatkan adanya hambatan dalam penanganannya oleh Polrestabes Surabaya secara khusus. Sebab pada dasarnya, kemajuan era globalisasi berdampak pada kemajuan teknologi informasi juga dapat mempermudah komunikasi yang dilakukan antara sesama gerakan transnasional terorisme (Mahyudin, 2016).

SIMPULAN

Berdasarkan data serta analisis yang telah ditemukan, penulis menyimpulkan bahwa Polrestabes Surabaya telah melakukan berbagai macam upaya dan strategi dalam mencegah terjadinya terorisme sebagaimana pada tahun 2018 yaitu melalui beberapa pendekatan termasuk pendekatan spiritual, akademik, dan sosial. Pada pendekatan sosial, Polrestabes Surabaya memperketat keamanan mulai pintu masuk gedung dengan pengecekan barang bawaan pengunjung, peraturan wajib lapor bagi pengunjung, larangan memarkirkan kendaraan di dalam kawasan Polrestabes, serta mewajibkan penjaga gerbang untuk memakai baju anti peluru dan membawa senjata. Pendekatan sosial juga dilakukan dengan cara komunikasi dan menyantunkan mantan teroris yang telah diidentifikasi untuk dapat memberikan informasi terbaru sekaligus untuk mencegah perbuatan teror kembali oleh mantan teroris tersebut. Pendekatan akademik dilakukan melalui sosialisasi tentang terorisme dan pemberian pengetahuan secara khusus pada institusi-institusi pendidikan untuk menghindari pencucian pemikiran oleh teroris pada ranah pendidikan. Adapun secara spiritual, pencegahan dilakukan melalui kajian keagamaan secara berkala untuk semua agama di kalangan Polrestabes Surabaya serta adanya dorongan untuk memperkuat ibadah secara praktek. Di sisi lain, tantangan dalam pencegahan terorisme oleh Polrestabes Surabaya berasal dari kemajuan teknologi yang dapat menyebarkan informasi dalam waktu yang sangat singkat. Maka dalam hal ini, penulis berpendapat diperlukan Undang-Undang Pers untuk membatasi penyebaran informasi penangkapan pelaku tindakan terorisme sebelum adanya kabar resmi dari atasan kepolisian. Sebab pada dasarnya, hal ini dapat menghambat penanganan kasus terorisme dari pihak kepolisian sebab teroris lain dapat melarikan diri sebelum diketahui keberadaannya atas dasar takut tertangkap. Semakin canggihnya teknologi dan adanya inovasi-inovasi yang baru dapat mengembangkan ruang gerak para pelaku terorisme dalam menjalankan visi dan misinya yang bertentangan dengan hukum, dan dapat mengancam keamanan nasional.

REFERENSI

Amaritasari, I. (2015). Keamanan Nasional dalam Konsep dan Standar Internasional.

Jurnal Keamanan Nasional, 1(2), 153–174. https://doi.org/10.31599/jkn.v1i2.21

Anakotta, M. Y., & Disemadi, H. S. (2020). Melanjutkan Pembangunan Sistem Keamanan Nasional Indonesia Dalam Kerangka Legal System Sebagai Upaya Menanggulangi Kejahatan Terorisme. Jurnal Keamanan Nasional, 6(1), 41–71. https://doi.org/10.31599/jkn.v6i1.455

Anshar, R. U., & Setiyono, J. (2020). Tugas dan Fungsi Polisi Sebagai Penegak Hukum dalam Perspektif Pancasila. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 2(3), 359–372. https://doi.org/10.14710/jphi.v2i3.359-372

Antara. (2019). Investasi Masuk Surabaya Tembus Rp 57 Triliun Sepanjang 2018. https://bisnis.tempo.co/read/1163899/investasi-masuk-surabaya-tembus-rp-57-triliun-sepanjang-2018

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). (2016). Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme. 1–6. http://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/Strategi-Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf

BNPT. (2020). Wakili Penyintas Terorisme Indonesia, 65 Penyintas Peserta FORSITAS

Bacakan Ikrar Penyintas Indonesia.

https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:_yZhbxLViIAJ:https://bnp t.go.id/wakili-penyintas-terorisme-indonesia-65-penyintas-peserta-forsitas-bacakan-ikrar-penyintas-indonesia+&cd=5&hl=en&ct=clnk&gl=id

Fadholi, M. J. (2017). Analisis Kerjasama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam The Egmont Group Terhadap Penanganan Pendanaan Terorisme di Indonesia. Journal International Relations Universitas Diponegoro, 3(4), 115–122. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/view/17687

Galtung, J. (1996). Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. SAGE Publications.

Gamage, S. K. N., Illangarathne, S. ., Kumudumali, S. H. ., & Nedelea, A. M. (2020). Terrorism and Tourism: A Systematic Review of Empirical Literature. Revista de Turism - Studii Si Cercetari in Turism, 29, 77–86. http://revistadeturism.ro/rdt/article/view/473

Goivani, V. (2018). Analisis Kasus Teror Bom Surabaya dan Sidoarjo Ditinjau dari Sudut Pandang Hati Nurani yang Sesat. Filsafat Moral, 1–13. https://osf.io/preprints/inarxiv/2rfkt/

Hidayat, R. R., & Jatikusumo, D. (2019). Monitoring Sistem Berbasis Web Keamanan Transaksi Pengiriman Uang Pada Penyelenggara Transfer Dana Dengan Menggunakan Peraturan Bank Indonesia Anti Pencucian Uang & Pencegahan Pendanaan Terorisme. Petir, 12(1), 81–92. https://doi.org/10.33322/petir.v12i1.415

Institute for Economics & Peace. (2020). Global Terrorism Index 2020.

https://visionofhumanity.org/wp-content/uploads/2020/11/GTI-2020-web-1.pdf

Isnawan, F. (2018). Program Deradikalisasi Radikalisme dan Terorisme Melalui Nilai– Nilai Luhur Pancasila. Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosial Dan Budaya, 3(1), 1-28. https://doi.org/https://doi.org/10.25217/jf.v3i1.275

Khamdan, M. (2015). Rethinking Deradikalisasi: Konstruksi Bina Damai Penanganan Terorisme. Addin, 9(1), 181–204.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21043/addin.v9i1.612

Kompas. (2019, December 25). KALEIDOSKOP 2019: Sejumlah Teror yang Guncang Indonesia, Bom Bunuh Diri hingga Penusukan Wiranto.

https://nasional.kompas.com/read/2019/12/25/07485601/kaleidoskop-2019-sejumlah-teror-yang-guncang-indonesia-bom-bunuh-diri-hingga?page=all

Latif, A. (2018). Peran Kepolisian dalam Memberantas Terorisme di Kota Makasar [Universitas Muhammadiyah Makasar]. In Digilib Unismuh.

https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/2623-Full_Text.pdf

Mahyudin, E. (2016). An Overview upon the Challenge of Intelligence in CounterTerrorism in Indonesia. Intermestic: Journal of International Studies, 1(1), 23–35. https://doi.org/10.24198/intermestic.v1n1.3

Mukhtar, S. (2016). Strategi Pemerintah Indonesia Menghadapi Terorisme Dalam Era Demokratisasi. Jurnal Reformasi, 6(2), 143–153.

https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/reformasi/article/download/691/672

Naharong, A. M. (2014). Terorisme atas Nama Agama. Refleksi, 13(5), 593–622.

https://doi.org/10.15408/ref.v13i5.915

Parker, D., Pearce, J. M., Lindekilde, L., & Rogers, M. B. (2017). Challenges for Effective Counterterrorism Communication: Practitioner Insights and Policy Implications for Preventing Radicalization, Disrupting Attack Planning, and Mitigating Terrorist Attacks. Studies in Conflict and Terrorism, 42(3), 1–61. https://doi.org/10.1080/1057610X.2017.1373427

Rachman, J. B., & Bainus, A. (2017). Editorial: Keamanan Internasional. Intermestic:

Journal of International Studies, 2(1), 1. https://doi.org/10.24198/intermestic.v2n1.1

Rahardanto, M. S. (2012). Mengkaji Sejumlah Kemungkinan Penyebab Tindak

Terorisme: Kajian Sosio-Klinis. EXPERIENTIA : Jurnal Psikologi Indonesia, 1 (1), 70–78. https://doi.org/doi.org/10.33508/exp.v1i1.54

Respati, R. R., Wahyurudhanto, A., & Dharma, S. (2020). Strategi Pemolisian Pencegahan Kejahatan Terorisme. Jurnal Ilmu Kepolisian, 14(3), 189–209. http://jurnalptik.id/index.php/JIK/article/view/279

Richards, A. (2014). Conceptualizing Terrorism. Studies in Conflict and Terrorism, 37(3), 213–236. https://doi.org/10.1080/1057610X.2014.872023

Ropi, I. (2018). Memahami Terorisme: sejarah, Konsep, dan Model (J. Jahroni & J.

Makruf (eds.)). UIN Syarif Hidayatullah.

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41762/1/Ismatu Ropi Terorisme Sebuah Persoalan Defini %28Memahami Terorisme Sejarah%2C Konsep dan Model%29.pdf

Sagena, U. W. (2013). Memahami Keamanan Tradisional dan Non-Tradisional di Selat Malaka: Isu-Isu dan Interaksi Antar Aktor. Jurnal Interdependece, 1(1), 72–90.

Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi (Aisyah (ed.)).

PT. Pustaka Alvabet. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=-

BnYECkUc2oC&oi=fnd&pg=PA1&dq=terorisme+dari+sudut+pandang+agama&ot s=sGJTolp8Bn&sig=9CRzLT1ko-D9Pou6XjRqa19B-

oc&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false

The Habibie Center. (2018). Peran dan Keterlibatan TNI dalam Penanggulangan Terorisme. Kajian Kontra Terorisme Dan Kebijakan, 3(1), 3–13.

https://habibiecenter.or.id/img/publication/THC-kajian-kontra-terorisme-dan-kebijakan-1.pdf

Thenarianto, J. J. (2020). Bouncing Back from A Terror Attack: Community Recovery Following the 2018 Surabaya Attacks. Prepared for Evolving Threats, 99–109. https://doi.org/https://doi.org/10.1142/9789811219740_0008

Tjarsono, I. (2012). Isu Terorisme dan Beban Ancaman Keamanan Kawasan Asia Tenggara Pasca Runtuhnya WTC AS. Jurnal Transnasional, 4(Juli), 10.

Widajatun, V. W., & Ichsani, S. (2019). Dampak Kejadian Aksi Teroris 2000-2016 di

Indonesia. Management and Entrepreneurship Journal, 2(1), 61–70.

Widayati, L. S. (2019). Kebijakan Kriminal dalam Pemberantasan Terorisme. Bidang Hukum InfoSingkat: Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual Dan Strategis, 11(22), 1– 6. http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info Singkat-XI-22-II-P3DI-November-2019-186.pdf

Windiani, R. (2018). Peran Indonesia dalam Memerangi Terorisme. Journal of Social and Political Studies, 16(2), 135–152.

https://doi.org/https://doi.org/10.14710/jis.16.2.2017.135-152

Yunus, A. F. (2017). Radikalisme, Liberalisme dan Terorisme: Pengaruhnya Terhadap Agama Islam. Jurnal Online Studi Al-Qur An, 13(1), 76–94.

https://doi.org/10.21009/jsq.013.1.06

E-ISSN 2685-4570

27

VOL. 5 NO. 1, JULI 2023