JURNAL ILMIAH WIDYA SOSIOPOLITIKA

E-ISSN 2685-4570

ANALISIS KONSEP DASAR: PENGAKHIRAN LETTER OF INTENT ANTARA INDONESIA-NORWEGIA DALAM KERJA SAMA REDD+

Yanuar Rahmadan

Prodi Hubungan Internasional Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta email: [email protected]

Article Info            ABSTRACT

Article History:

The  press  release  from  Indonesian

government to end the REDD+ cooperation

Received:

with the Norwegian government on 10

September 2021 has put Indonesia in

Maret/2023

question whether the government is ready to threaten their commitment to lower the

Accepted:

green house emission from deforestation and forest degradation. Discourses emerged from the official press release as well as on

Juni/2023

media to mention the end of the cooperation. By using the basic concept methodology and

Published:

further investigated using the regime effectiveness concept, this study aims to

Juli/2023

investigate the discourse emerged during the

earlier period of the announcement. It is

Keywords:

found that the discourse of emission resulted from energy is absent although it becomes

Basic Concept, Indonesia, Norway, REDD+, Regime Effectiveness a

the biggest contributor. Moreover, it is also found that the end the partnership is caused by the Norwegian government did not conform to the regime effectiveness concept despite the Indonesian government has fulfilled the target and requirements set earlier during the agreement.

PENDAHULUAN

Kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia dalam rangka penurunan emisi gas rumah kaca yang bersumber dari deforestasi dan degradasi hutan dan kehilangan lahan gambut bermula dari ditandatanganinya Nota Kesepahaman (Letter of Intent) pada 26 Mei 2010. Pemerintah Norwegia sepakat untuk mengalokasikan dana hingga 1 Miliar Dollar Amerika Serikat untuk membantu Pemerintah Indonesia melindungi hutan hujan tropis Indonesia yang kaya akan karbon dan keanekaragaman hayati (Austin et al., 2010). Kerja sama yang dilakukan melalui kerangka REDD+, merupakan kerangka yang dibuat oleh Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) untuk memandu aktivitas-aktivitas di sektor perhutanan guna mengurangi emisi dari deforestasi dan

degradasi hutan serta manajemen hutan yang berkelanjutan, konservasi, dan peningkatan stok karbon hutan di negara-negara berkembang (United Nations Climate Change, 2018).

Kerja sama REDD+ antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia dilakukan dalam tiga tahapan. Fase 1 atau fase persiapan (tahun 2011-2013) merupakan tahapan pengembangan strategi nasional yang diikuti oleh perencanaan aksi, kebijakan dan pembangunan kapasitas. Fase 2 atau fase transformasi (tahun 20172020) difokuskan pada peningkatan kapasitas, pengembangan kebijakan dan implementasi. Fase 3 atau fase implementasi penuh (setelah tahun 2018) diterapkannya pembayaran berbasis kinerja yang telah terverifikasi dibarengi oleh peningkatan kapasitas dan kebijakan (Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim – Kementerian Lingkuangan Hidup dan Kehutanan, 2017). Sedangkan, capaian kerja sama REDD+ antara Pemerintah Indonesia dengan Norwegia di antaranya adalah tersusunnya strategi nasional REDD+ untuk tahun 2012-2030, tersusunnya strategi dan rencana aksi provinsi di 11 provinsi, mendorong terciptanya Moratorium Izin Baru yang tertuang dalam Instruksi Presiden No. 10/2011 mengenai penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut, dilakukannya nota kesepahaman pelaksanaan REDD+ di 78 Kabupaten, pengembangan sistem FREL (Forest Reference Emission Level) dan MRV (Monitoring, Reporting, and Verification), pengembangan desa hijau di Provisi percontohan Kalimantan Tengah, pencegahan kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat, dan pengembangan potensi perhutanan sosial melalui program livelihood di Sumatera Barat dan Riau (Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017).

Namun, dari seluruh capaian yang telah ada, Pemerintah Indonesia melalui siaran pers akhirnya memutuskan untuk mengakhiri Nota Kesepahaman dengan Norwegia pada 10 September 2021 setelah melalui proses konsultasi intensif. Pemerintah Indonesia menilai tidak adanya kemajuan konkret atas komitmen Pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran atas pengurangan emisi Indonesia pada tahun 2016/2017 (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2021). Oleh karena itu, isu ini diteliti dengan dua tujuan: (1) untuk melihat bagaimana diskursus yang berkembang di siaran pers dan artikel berita daring dalam pemberitaan terkait pengakhiran Nota Kesepahaman tersebut, serta (2) untuk mengonfirmasi apakah diskursus yang berkembang tersebut telah mencerminkan kondisi kerja sama yang tidak efektif sehingga langkah Pemerintah Indonesia untuk mengakhiri Nota Kesepahaman sudah tepat.

Pembahasan mengenai kerja sama Pemerintah Indonesia dalam REDD+ mayoritas berkutat pada pembahasan terkait kajian jalannya program REDD+ seperti fase kerja sama REDD+ antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia (Ilmiah, 2018; Lady, 2018), turunan kebijakan di Indonesia dan dampak dari adanya kerja sama REDD+ dengan Pemerintah Norwegia (Satwika, 2020), kepentingan nasional Indonesia dan Norwegia dalam melakukan kerja sama REDD+ (Haeda et al., 2020; Ningsih, 2019), pembahasan terkait tata kelola Pemerintah Norwegia atas kerja sama REDD+ di Indonesia (McNeill, 2015), tantangan dan hambatan politik dalam pelaksanaan REDD+ di Indonesia (Luttrell et al., 2014), dan strategi nasional Indonesia yang condong pada kerja sama REDD+ dengan Pemerintah Norwegia

dibandingkan pada Perjanjian Cancun (Bae, 2013). Selain pembahasan terkait kebijakan, tata kelola dan isu politik dalam kerja sama REDD+, pembahasan terkait penambahan konsep “karbon” sebagai bagian dari proses manajemen hutan di Indonesia oleh Satuan Tugas REDD+ juga muncul (Astuti dan McGregor, 2015). Hal ini mengindikasikan bahwa kerja sama REDD+ turut memberikan sumbangsih dalam penciptaan diskursus baru dalam proses pengambilan kebijakan di Indonesia khususnya yang terkait dengan manajemen hutan.

Studi ini memiliki kemiripan metode penelitian dengan studi tesis Selina Köstenberger dengan menggunakan metode diskursus dalam menjelaskan kerja sama REDD+ antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia dan bagaimana REDD+ merubah representasi lahan dan masyarakat di Indonesia (Köstenberger, 2021). Selain itu, penggunaan metode diskursus juga digunakan dalam studi terkait REDD+ lainnya seperti dalam studi diskursus kerja sama REDD+ antara Pemerintah Ethiopia dan Norwegia yang ditemukan bahwa kerja sama tersebut belum bisa mengakomodir kepentingan dari komunitas rural di Ethiopia dan REDD+ justru dilihat sebagai bentuk tata kelola lingkungan yang neoliberal (Brown dan MacLellan, 2020). Metode analisis konten di media seperti yang dilakukan dalam studi ini juga pernah dilakukan dengan metode sampel tahun 20072012 ketika terjadi pergeseran debat dan pembahasan dalam media Indonesia terkait kerja sama REDD+ ini yang semula dilihat sebagai solusi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan usaha konservasi lingkungan, dan kemudian beralih munculnya diskursus terkait kesadaran akan pentingnya reformasi institusi dan pemerintahan pada periode saat Nota Kesepahaman REDD+ ditandatangani oleh kedua negara (Cronin et al., 2016).

Dalam studi terkait REDD+ lain juga ditemukan bagaimana implementasi kebijakan berbasis pendekatan pasar dalam manajemen hutan di Vietnam masih terperangkap dalam struktur institusi dan kebijakan politik Vietnam sehingga implementasi pendekatan berbasis pasar termodifikasi saat dijalankan di tingkat regional dan lokal (Trӕdal et al., 2016). Implementasi tersebut bertolak belakang dengan hasil yang didapat oleh Republik Demokrasi Kongo ketika implementasi campuran antara pembentukan dana nasional REDD+ dan proyek-proyek independen REDD+ dapat meningkatkan legitimasi dari berbagai entitas di pemangku kebijakan serta mampu mengatasi penyebab utama deforestasi di tingkat lokal (Aquino dan Guay, 2013). Selain itu, studi implementasi REDD+ dalam fase persiapan di Vietnam dan Indonesia membuktikan adanya ketidaksiapan operasional di tingkat lokal / daerah dan hanya berkonsentrasi di tingkat pemerintah pusat dengan fokus pembuatan perangkat kebijakan prosedural (Casse et al., 2019). Hal ini salah satunya bisa disebabkan oleh adanya pertarungan kepentingan antara aktor internasional (pemerintah negara dan organisasi internasional) dengan pemangku kepentingan di tingkat lokal ketika adanya kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian dan produksi lainnya yang berbasis lahan (Ewing, 2011). Oleh karena itu, terdapat studi yang justru menyebutkan bahwa hanya sedikit pemangku kepentingan di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional yang memiliki keyakinan REDD+ akan sukses dijalankan (Enrici dan Hubacek, 2019).

Meskipun demikian, proyek REDD+ tetap dilihat dapat menjadi katalis untuk meningkatkan perhatian pemangku kebijakan atas permasalahan hutan di Indonesia. Salah satu penyebab dari rendahnya keyakinan REDD+ akan sukses dijalankan, yakni adanya proses proyektivikasi dari REDD+ yang hanya terimplementasi sebagai solusi teknis yang disimplifikasi dan cenderung gagal melakukan reformasi lintas sektor dan kepentingan karena mengabaikan permasalahan sosial-ekonomi dan konteks ekonomi politik Indonesia yang kompleks (Moeliono et al., 2020). Permasalahan birokrasi dan kerentanan dari Kementerian terkait di Indonesia menyumbang ketidak-optimalan dari implementasi kerja sama REDD+ dengan Norwegia (Korhonen-Kurki et al., 2017).

Perbedaan antara studi ini dengan studi terdahulu yang telah dibahas di paragraf-paragraf sebelumnya terletak pada periode pembahasan studi yang mengambil periode di saat Pemerintah Indonesia mengumumkan pengakhiran LoI kerja sama REDD+ dengan Norwegia. Studi terdahulu mayoritas mengambil periode studi saat dimulainya kerja sama REDD+ hingga periode berjalannya kerja sama. Belum ada studi yang mengambil periode pembahasan saat Pemerintahan Indonesia mengumumkan pengakhiran LoI tersebut. Studi ini penting untuk melihat diskursus isu yang dibawa oleh Pemerintah Indonesia saat mengumumkan pengakhiran kerja sama, serta melihat perkembangan diskursus yang dimunculkan oleh media di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif berupa konsep dasar untuk dapat menyelidiki kata/konsep yang muncul pada 10 (sepuluh) sumber data berupa artikel daring dan siaran pers pemerintah. Sumber data yang digunakan mengambil sampel periode data artikel dan siaran pers yang dikeluarkan pada 1022 September 2021. Periode ini digunakan dengan dua alasan. Pertama, pemerintah Indonesia secara resmi mengeluarkan Pernyataan Kehendak pada 10 September 2021, sehingga periode data yang dimulai pada tanggal 10 September 2021. Periode yang tidak terlalu panjang (hingga 22 September 2021) bertujuan untuk melihat diskursus awal yang berkembang pada sumber data terkait isu pengakhiran kerja sama dengan Norwegia tersebut. Pemilihan periode ini juga dianggap telah merepresentasikan secara sosial tentang situasi kejadian dan proses yang terjadi.

Penelitian konsep dasar menggunakan metode semantik sosio-historis yang dikembangkan oleh Rolf Reichardt merupakan jalan tengah dari metode leksikometri dan metode sejarah konseptual. Sehingga, kedua metode tersebut akan dilakukan secara berkesinambungan untuk menciptakan metode yang lebih komprehensif dan dapat menjelaskan diskursus terhadap suatu isu secara lebih mendalam. Langkah pertama yang dilakukan yakni dengan mengumpulkan sumber data (artikel berita daring dan siara pers) untuk dilakukan analisis frekuensi leksikometri. Dengan menggunakan bantuan perangkat lunak NVivo 12, sejumlah daftar kata yang secara frekuen disebutkan dalam sumber data akan terlihat. Tujuan dilakukannya langkah ini adalah untuk mendapatkan kata/konsep sentral yang secara frekuen muncul di seluruh sumber data yang berkaitan dengan isu pengakhiran kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia tersebut. Rolf Reichardt menyebutkan bahwa metode kuantifikasi kata ini merepresentasikan cara

yang paling objektif untuk melihat adanya: (1) obsesi penulis dari sumber data untuk secara berulang menggunakan suatu kata/konsep, (2) perubahan frekuensi temporer dari penulis sumber data atas kata/konsep yang digunakan di sumber data, (3) kumpulan kata/konsep yang muncul secara frekuen sehingga mengabaikan kata/konsep lain yang mungkin perlu untuk digunakan atau perlu muncul dalam diskursus isu yang ada, dan (4) hubungan kedekatan antara kata/konsep sentral dengan kata/konsep lain yang juga secara frekuen digunakan di sumber data (Reichardt, 2016). Meskipun demikian, penggunaan metode tunggal -leksikometri, memiliki 2 kelemahan utama, yakni jumlah sumber data yang relatif kecil memungkinkan temuan yang cukup spesifik dan penggunaan kata/konsep sentral memungkinkan terjadinya pelanggaran ketepatan linguistik untuk dapat menginterpretasikan dan mendiskusikan isu tertentu (Reichardt, 2016). Sehingga dilakukan langkah lanjutan yang disebut dengan metode sejarah konseptual untuk mengatasi kelemahan tersebut.

Langkah kedua yang dilakukan yakni dengan mengaplikasikan metode sejarah konseptual dengan mengelompokkan kata/konsep yang terdapat pada sumber data maupun dari hasil analisis frekuensi leksikometri pada langkah sebelumnya. Kata/konsep tersebut dikelompokan pada empat kelompok: (1) bidang paradigmatik (kelompok kata yang dapat mendefinisikan secara langsung kata/konsep sentral), (2) bidang sintagmatik (kelompok kata yang dapat menjelaskan arti kata/konsep sentral), (3) bidang antonimik (kelompok kata yang dapat menjelaskan lawan dari kata/konsep sentral), dan (4) bidang kejadian sejarah yang benar terjadi (kelompok kata yang dapat menggambarkan hubungan kata/konsep sentral dengan konteks atau kejadian yang sesungguhnya terjadi).

Langkah terakhir yakni dengan melakukan analisis atas hasil yang didapat dengan menggunakan metode leksikometri dan metode sejarah konseptual untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah. Proses analisis yang dilakukan setidaknya melibatkan dua hal: (1) dengan melakukan eksplorasi dan komparasi terkait kata/konsep lain di luar periode yang dijadikan sampel dalam tulisan ini, dan (2) melakukan analisis terkait adanya kata/konsep yang konsisten (maupun tidak konsisten) digunakan dalam sumber data. Analisis pada langkah terakhir ini akan diukur 2 (dua) dimensi: kepatuhan (compliance) dan penyelesaian masalah (problem solving) yang merupakan bagian dari konsep “efektivitas rezim” untuk melihat apakah keputusan Pemerintah Indonesia untuk mengakhiri Nota Kesepahaman dengan Norwegia sebagai hasil dari tidak efektif nya “rezim” kerja sama REDD+ tersebut.

Kepatuhan didefinisikan sebagai “…perilaku dari suatu pihak dari suatu perjanjian internasional -bertindak sesuai dengan kondisi-kondisi yang ditetapkan dalam perjanjian” (O’Neill, 2019:106). Terdapat dua tipe kepatuhan yang biasa diukur: (1) kepatuhan atas tanggung jawab dan (2) kepatuhan atas kegiatan-kegiatan negara (O’Neill, 2019:107). Namun, dalam studi ini yang digunakan hanya tipe pertama, kepatuhan atas tanggung jawab. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan sumber data dan waktu sehingga tipe kepatuhan kedua bisa dijadikan studi lebih lanjut mengingat tipe kedua ini mengukur secara spesifik atas seluruh kegiatan-kegiatan negara.

Tipe kepatuhan atas tanggung jawab diukur berdasarkan tiga perilaku negara: (1) kepatuhan yang bersifat prosedur -aktor negara memenuhi kewajibannya dalam proses perjanjian, (2) kepatuhan yang bersifat substantif -aktor negara menjalankan sejumlah aksi/kegiatan untuk memenuhi kewajiban dalam proses perjanjian, dan (3) kepatuhan dalam rangka memenuhi semangat (spirit) perjanjian -aktor negara melakukan aksi/tindakan dalam rangka memenuhi kerangka normatif dari perjanjian (O’Neill, 2019:107). Tiga perilaku negara ini juga dilakukan investigasi untuk mengonfirmasi temuan dari metode konsep dasar (dua langkah sebelumnya).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Frekuensi Leksikometri

Hasil dari analisis frekuensi leksikometri dari 5,211 kata, didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Analisis Frekuensi Leksikometri

Kata

Jumlah

Persentase

Emisi

152

2.92

REDD+

134

2.57

Kerjasama

108

2.07

Hutan

98

1.88

LOI

84

1.61

Sumber: Hasil Olahan Data Penulis

Hasil dari Tabel 1 didapatkan dengan melakukan pengecualian atas kata kunci yang tidak relevan, seperti kata hubung (yang, dan, dari, dll), kata objek yang merujuk langsung pada isu yang diteliti (Indonesia, Norwegia, Pemerintah, dll) nomor (tanggal, tahun, dll), maupun karakter spesial/khusus.

Dari hasil Tabel 1 dapat dilihat bahwa kata/konsep “emisi” menjadi kata/konsep yang memiliki frekuensi terbanyak dari sumber data yang digunakan -dengan total 152 kali. Berturut-turut kata REDD+, kerjasama, hutan dan LOI menjadi kata/konsep yang paling banyak digunakan dalam sumber data. Kelima kata/konsep ini secara umum telah menggambar isu pengakhiran kerjasama antara Indonesia dan Norwegia dalam hal kerjasama REDD+. Meskipun demikian, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik ditemukan bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bukan menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia, melainkan dari sektor energi.

900

800

700

600

500

400

300

200

100

0

—•— Energi

—FOLU

—^ IPPU

—^Pertanian

—^Kebakaran Hutan^^^Limbah

Grafik 1. Data Kontribusi Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia Berdasarkan Sektor (Dalam Juta Ton CO2)

Sumber: Olahan penulis dari data Badan Pusat Statistik (Badan Pusat Statistik, 2022a)

Namun, bila ikut memperhitungkan tingkat emisi gas rumah kaca dari pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (forest and other land uses -FOLU), maka tingkat emisi gas rumah kaca menjadi lebih besar bila dibandingkan dengan emisi dari sektor energi. Sebagai contoh, pada tahun 2019, kontribusi emisi dari sektor FOLU dan karhutla mendekati angka 925 juta ton, sedangkan kontribusi emisi dari sektor energi di bawah angka 639 juta ton. Hal ini mengindikasikan bahwa kerjasama REDD+ menjadi kerjasama yang penting guna mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca yang berasal dari karhutla dan pemanfaatan hutan dan penggunana lahan. Data tersebut sejalan dengan data dari Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat bahwa sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan sebagai sektor penyumbang terbesar kedua emisi gas rumah kaca global sebesar 24% -setelah sektor produksi listrik dan panas sebesar 25% (United States Environmental Protection Agency, 2022).

Pembahasan emisi dengan menggunakan diskursus emisi yang berasal dari karhutla dan penggunaan lahan memang sudah semestinya dominan dalam periode pengakhiran kerjasama REDD+ antara Pemerintah Indonesia dengan Norwegia. Namun, ketiadaan diskursus terkait pembahasan emisi yang berasal dari sektor energi menjadi salah satu poin penting mengingat seperti yang dapat dilihat pada

data Badan Pusat Statistik menjadi penyumbang emisi terbesar di Indonesia. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa Pemerintah Indonesia masih belum menetapkan target pengurangan emisi yang spesifik secara keseluruhan. Dalam seluruh sumber data yang digunakan juga tidak ditemukan target waktu dari Pemerintah Indonesia untuk net zero emission.

Analisis Sejarah Konseptual

Dari hasil frekuensi leksikometri didapatkan “emisi” sebagai kata/konsep yang paling banyak muncul dalam sumber data yang digunakan. Kata/konsep “emisi” ini kemudian digunakan sebagai konsep dasar dalam metode analisis sejarah konseptual (langkah kedua). Dari kata/konsep “emisi” ini kemudian ditelusuri kembali dari sumber data yang diperoleh untuk mendapatkan kata/konsep yang berhubungan dengan “emisi” yang masuk kedalam empat kelompok: (1) bidang paradigmatik (kelompok kata yang dapat mendefinisikan secara langsung kata/konsep sentral), (2) bidang sintagmatik (kelompok kata yang dapat menjelaskan arti kata/konsep sentral), (3) bidang antonimik (kelompok kata yang dapat menjelaskan lawan dari kata/konsep sentral), dan (4) bidang kejadian sejarah yang benar terjadi (kelompok kata yang dapat menggambarkan hubungan kata/konsep sentral dengan konteks atau kejadian yang sesungguhnya terjadi). Dari hasil tersebut didapatkan hasil berikut:

Pragmatic field (directly defining the central concept)


  • 1.    Gas rumah kaca

    Actual Historical Occurrences

    (In relation to which concrete events or contexts)


    1. Pengakhiran Letter of Intent


    2. CO2 (karbon)

    3. Pemanasan global

    4. Perubahan iklim

    2. Result-based payment

    3. Perdagangan karbon

    Emisi

    1. Deforestasi

    2. Degradasi hutan

    3. Kebakaran hutan


    Syntagmatic field (Explain or elaborate its meaning)


    • 1.    REDD+

    • 2.    Perjanjian Paris

    • 3.    SDGs

    • 4.    Hibah

    • 5.    Konservasi hutan

    • 6.    Green Climate Fund

    • 7.    RUU Perubahan Iklim

    • 8.    Political will

    • 9.    Negara donor



    Antonymic field (Defining its opposite)


  • 10.    Moratorium izin perkebunan di rawa gambut

  • 11.    Anggaran APBN

Bagan 1. Hasil Analisis Sejarah Konseptual

Sumber: Hasil Olahan Data Penulis

Dalam hasil konsep dasar, pada kolom pragmatic field (bidang paradigmatik), kata/konsep gas rumah kaca dan CO2 (karbon) telah menggambarkan definisi dari “emisi” sebagai kata/konsep yang muncul paling frekuen dalam sumber data yang digunakan. Lebih lanjut, pemanasan global dan perubahan iklim juga menjadi dua kata/konsep yang secara tepat telah merujuk pada dampak/konsekuensi dari adanya emisi. Pada kolom bidang paradigmatik, hasil dari penelusuran konsep dasar dalam sumber data telah mencerminkan hasil yang semestinya.

Hasil dari konsep dasar pada kolom syntagmatic field (bidang sintagmatik) telah menjelaskan definisi secara jelas terkait penyebab dari “emisi” dengan hanya menggunakan artikel daring dan siaran pers pemerintah terkait pengakhiran

kerjasama REDD+. Definisi emisi yang muncul berupa penyebab emisi yang terkait dengan karhutla dan deforestasi serta degradasi hutan akibat penggunaan lahan. Diskursus pada pembahasan definisi emisi yang tidak berkaitan dengan REDD+ benar tidak muncul dalam seluruh sumber data. Hasil ini sejalan dengan hasil dari penelusuran metode leksikometri -diskursus penyumbang emisi dari sektor lain seperti energi, limbah, dan sebagai tidak muncul dalam seluruh sumber data.

Selain diskursus terkait sektor lain sebagai penyumbang emisi di Indonesia, diskursus terkait penyebab karhutla, deforestasi dan degradasi hutan juga tidak terlihat dalam seluruh sumber data. Seperti hal nya menurut data dari Badan Nasional Penanggulan Bencana bahwa 99% penyebab karhutla adalah ulah manusia seperti tidak sengaja membuang putung rokok, membakar sampah, pembukaan lahan untuk memanfaatkan daerah yang subur untuk bertanam kopi, lada, dan lain-lain (Nugroho, 2019). Hal ini sejalan dengan publikasi dari Wetlands International ketika pembukaan areal HTI dan perkebunan serta penyiapan lahan pertanian oleh masyarakat menjadi salah satu penyebab karhutla (Adinugroho & Suryadiputra, 2005).

Hasil dari konsep dasar pada kolom antonymic field (bidang antonimik) juga memberikan hasil yang komprehensif yang bukan hanya menjelaskan kerangka kerjasama di tingkat domestik seperti RUU Perubahan Iklim, Moratorium Izin Perkebunan di Rawa Gambut, dan Anggaran APBN sebagai bentuk komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan emisi gas rumah kaca Indonesia yang berasal dari Karhutla dan penggunaan lahan, namun juga terdapat kerangka kerjasama internasional seperti REDD+, Perjanjian Paris, maupun SDGs yang juga muncul dalam diskursus. Hal ini mengindikasikan komitmen Pemerintah Indonesia ke dunia internasional bahwa Indonesia ikut berperan aktif dalam membantu menyelesaikan permasalahan emisi gas rumah kaca dunia. Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MPV 2020 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia menunjukkan jumlah emisi yang cenderung stagnan pada level di atas 1.300 juta ton CO2e setiap tahunnya.

0

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

^^^^^» Emisi Gas Rumah Kaca

Grafik 2. Emisi Gas Rumah Kaca Tahunan Indonesia

Sumber: Olahan penulis dari data Badan Pusat Statistik (Badan Pusat Statistik, 2022a)

Hal ini menunjukkan kontribusi Indonesia dalam menyumbang emisi gas rumah kaca dunia yang pada tahun 2018 menyumbang 1,68% dari seluruh total emisi karbon global (Orim, 2020). Menurut data dari World Resources Institute, Indonesia menjadi negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar ke-5 di dunia (World Resources Institute, 2022). Berdasarkan data dari United Nations Environment Programme (UNEP), Indonesia berada di peringkat ketujuh sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca dunia sebesar 2,17% dari total emisi karbon global (UN Environment Programme, 2021). Dari tiga data berbeda tersebut, Indonesia secara konsisten masuk ke peringkat 10 besar negara penyumbang emisi gas rumah kaca dunia. Selain itu, pada tahun 2022, Indonesia juga mengalami penurunan 3 peringkat dalam Climate Change Performance Index (CCPI) dari tahun sebelumnya menjadi peringkat ke-27 (Germanwatch e.V., 2022). CCPI sendiri merupakan mekanisme pemantauan yang bersifat independen untuk melakukan pelacakan keberlangsungan perlindungan iklim di 60 negara di dunia dan Uni Eropa. Hal ini mengindikasikan pentingnya peranan dan usaha dari Indonesia untuk ikut berkontribusi dalam menurunan tingkat emisi gas rumah kacanya.

Green Climate Fund, negara donor dan hibah juga muncul dalam diskursus sumber data. Hal ini mengindikasikan adanya ketergantungan dari Pemerintah Indonesia terhadap kerjasama dan bantuan dari negara lain dalam menyelesaikan emisi gas rumah kaca. Ini dapat dilihat sebagai kurang kuatnya komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengalokasikan sumber daya nya sendiri untuk menyelesaikan permasalah emisi gas rumah kaca. Meskipun rasionalisasi dari

skema REDD+ adalah pemberian insentif finansial bagi negara yang dapat mengubah kebiasaannya untuk melakukan konservasi hutan dibandingkan mendapat keuntungan ekonomi melalui kegiatan deforestasi dan degradasi hutan (Humphreys, 2013:82). Selain itu, hal ini juga mengindikasikan bahwa Pemerintah Indonesia terjebak dalam cycle (siklus) ketika dana hibah dari negara donor hanya “dimanfaatkan” untuk menurunkan emisi secara parsial dan periode waktu tertentu, bukan komitmen Pemerintah jangka panjang. Hal ini bisa terlihat pada tingkat emisi gas rumah kaca Indonesia yang masih berada pada tren kenaikan seperti yang terlihat pada Grafik 2.

Skema REDD+ secara khusus juga mendefinisikan ulang ide pengimbangan karbon yang ide awalnya untuk mengkompensasi emisi karbon di satu tempat dengan mengurangi emisi atau dengan meningkatkan kapasitas penyerapan karbon di tempat lain (Humphreys, 2013:84). Namun, skema REDD+ justru memunculkan permasalahan ketika tidak adanya penambahan area hutan (Humphreys, 2013:84). Adanya indikasi “tambal-sulam” dalam skema REDD tanpa adanya langkah konkret untuk menurunkan emisi secara menyeluruh dan usaha untuk menambah luas area hutan. Seperti hal nya yang terjadi melalui kerjasama REDD+ antara Pemerintah Indonesia dengan Norwegia ketika luas kawasan hutan Indonesia cenderung mengalami stagnansi, yang dapat dilihat pada Grafik 3.

Grafik 3. Luas Kawasan Hutan Indonesia (Dalam Ratus Ribu Hektar)

Sumber: Olahan penulis dari data Badan Pusat Statistik (Badan Pusat Statistik, 2022b)

Luas daratan kawasan hutan Indonesia stagnan pada angka 120 juta hektare sejak tahun 2017 hingga tahun 2020 di angka 120 juta hektare. Hal ini mendukung indikasi pada paragraf sebelumnya bahwa luasan kawasan hutan Indonesia benar tidak terjadi penambahan kawasan.

Pada data yang lain, emisi karbon gas rumah kaca Norwegia ternyata tidak lebih baik dari Indonesia. Norwegia berada di peringkat 64 pada total emisi gas rumah kaca secara global, namun Norwegia memiliki emisi karbon sebesar 13,26 metrik ton perkapita (UN Environment Programme, 2021). Emisi karbon perkapita ini lebih besar dibandingkan Indonesia dengan emisi karbon sebesar 4,03 metrik ton perkapita. Hal ini mendukung argumen bahwa Norwegia menjadi negara donor bagi Indonesia sebagai bentuk kompensasi atas emisi gas rumah kaca yang dihasilkan (Humphreys, 2013:82). Untuk melakukan pengimbangan atas emisi gas rumah kaca yang dihasilkan negara nya, Norwegia melakukan perdagangan karbon dengan Indonesia melalui mekanisme REDD+ tersebut dengan menggunakan result-based payment yang telah diverifikasi sebelumnya. Hal ini sudah tercermin dalam hasil konsep dasar actual historical occurrence (bidang kejadian sejarah yang benar terjadi). Meskipun, dalam sumber data dapat ditemukan bahwa pengakhiran Letter of Intent (LoI) disebabkan salah satunya akibat Pemerintah Indonesia merasa bahwa Pemerintah Norwegia tidak menjalankan komitmennya dalam melakukan realisasi pembayaran result-based payment atas realisasi pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia dari pengurangan karhutla, deforestasi dan degradasi lahan meskipun telah terverifikasi oleh lembaga internasional yang diakui (Puspa, 2021b; Winarto, 2021).

Analisis Efektivitas Rezim

Untuk mengonfirmasi hipotesis kedua, Pemerintah Indonesia mengakhiri kerja sama REDD+ dikarenakan mekanisme yang telah berjalan tidak memenuhi kriteria efektivitas rezim ketika Pemerintah Norwegia tidak menjalankan: (1) kepatuhan yang bersifat prosedur -aktor negara memenuhi kewajibannya dalam proses perjanjian, (2) kepatuhan yang bersifat substantif -aktor negara menjalankan sejumlah aksi/kegiatan untuk memenuhi kewajiban dalam proses perjanjian, dan (3) kepatuhan dalam rangka memenuhi semangat (spirit) perjanjian -aktor negara melakukan aksi/tindakan dalam rangka memenuhi kerangka normatif dari perjanjian.

Tabel 2. Hasil Analisis Efektivitas Rezom

Indonesia

Norwegia

Kepatuhan prosedur

Memenuhi

Tidak Memenuhi

Kepatuhan substantif

Memenuhi

Tidak Memenuhi

Kepatuhan semangat perjanjian

Memenuhi

Tidak Dapat Ditentukan

Sumber: Hasil Olahan Data Penulis

Dalam kepatuhan prosedur, Pemerintah Indonesia menganggap telah memenuhi realisasi pengurangan emisi dan telah terverifikasi oleh lembaga internasional. Hal ini tertuang dalam siaran pers dari Kementerian Luar Negeri pada 10 September 2021 (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2021):

Keputusan Pemerintah RI tersebut diambil melalui proses konsultasi intensif dan mempertimbangkan tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi

kewajiban pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran Result Based Payment (RBP) atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton CO2eq pada tahun 2016/2017, yang telah diverifikasi oleh lembaga internasional.

Pernyataan dalam siaran pers tersebut kemudian dijadikan sebagai acuan pada pemberitaan berbagai artikel berita daring untuk menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah memenuhi kewajibannya (Arifa, 2021; Arumingtyas, 2021; Maulana, 2021; Puspa, 2021b; VOA Indonesia, 2021; Winarto, 2021). Sedangkan, Pemerintah Norwegia tidak kunjung menepati komitmennya untuk melakukan pembayaran atas sejumlah nominal pengurangan emisi tersebut. Sehingga, berdasarkan kepatuhan prosedur, Pemerintah Norwegia dianggap tidak memenuhi kewajibannya dalam proses perjanjian REDD+ dengan Pemerintah Indonesia.

Pada kepatuhan substantif, Pemerintah Indonesia juga telah melakukan berbagai usaha di antaranya pengurangan emisi sebesar 11,2 juta ton CO2 pada tahun 2016/2017 dan Indonesia mengalami kemajuan dalam menekan laju deforestasi seperti dalam kutipan artikel berikut : “…capaian itu terlihat dari deforestasi terendah selama 20 tahun pada 2020 sebesar 115.459 hektar, dan ada penurunan signifikan luasan kebakaran hutan di Indonesia.” (Arumingtyas, 2021). Sedangkan, Pemerintah Norwegia dinilai tidak memenuhi kepatuhan substantif karena dianggap oleh Pemerintah Indonesia memberikan persyaratan pada banyak hal, tidak sesuai dengan kesepakatan awal, seperti dalam kutipan: “…menyangkut aturan main. Karena sebetulnya Norwegia harus membayar result based payment, menurut perjanjian harusnya sudah memberikan pada Indonesia US$56 juta. Tapi dalam interaksinya mempersyaratkan banyak hal” (Puspa, 2021b).

Pada kepatuhan semangat perjanjian, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya seperti memastikan kemajuan pengurangan emisi yang signifikan dalam memenuhi kewajiban Perjanjian Paris (Paris Agreement). Selain itu, Pemerintah Indonesia berusaha untuk merealisasikan sasaran pembangunan berkelanjutan (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2021; Puspa, 2021a, 2021b). Sedangkan, untuk Pemerintah Norwegia tidak dapat teridentifikasi kepatuhan semangat perjanjian dalam sumber data dikarenakan tidak adanya pembahasan terkait hal tersebut. Hal ini menyebabkan proses identifikasi pada kepatuhan semangat perjanjian Pemerintah Norwegia tidak dapat dilakukan.

SIMPULAN

Berdasarkan metode konsep dasar, sumber data yang digunakan dalam studi ini menghasilkan “emisi” sebagai kata/konsep yang paling banyak digunakan dalam sumber data berdasarkan metode leksikometri. Hasil ini telah mencerminkan secara tepat terkait isu pembahasan pengakhiran Nota Kesepahaman (Letter of Intent) kerja sama REDD+ antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia. “Hutan” juga menjadi kata/konsep yang paling banyak digunakan dalam sumber data. Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan terkait emisi gas rumah kaca yang berasal dari kebakaran hutan dan degradasi lahan perhutanan telah tercermin secara tepat dalam sumber data. Meskipun demikian, ketiadaan diskursus terkait emisi gas rumah kaca

yang berasal dari sektor lain, seperti sektor energi, limbah, dan sebagainya, menjadi catatan yang tersendiri.

Berdasarkan metode sejarah konseptual, kata/konsep “emisi” dijadikan sebagai kata/konsep sentral untuk melihat sebaran diskursus berdasarkan 4 (empat) bidang: paradigmatik, sintagmatik, antonimik, dan kejadian sejarah. Hasilnya, pada bidang paradigmatik, kata/konsep “emisi” telah dijelaskan dengan tepat melalui kata/konsep gas rumah kaca dan CO2 (karbon). Pada bidang sintagmatik, kata/konsep karhutla, deforestasi serta degradasi hutan akibat penggunaan lahan telah menjelaskan penyebab dari emisi gas rumah kaca. Namun, ketiadaan kata/konsep penyebab emisi gas rumah kaca lainnya dalam diskursus sumber data menjadi salah satu temuan yang patut dicatat mengingat sektor energi menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Hasil pada bidang antonimik, kata/konsep yang berkaitan dengan kerangka kerja sama domestik dan internasional dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca telah muncul dalam sumber data, seperti halnya kata/konsep RUU Perubahan Iklim, Moratorium Izin Perkebunan di Rawa Gambut, Perjanjian Paris, SDGs, dan sebagainya. Hasil pada bidang kejadian sejarah juga telah menghasilkan pengakhirkan letter of intent, perdagangan karbon, dan pembayaran result-based payment sebagai kejadian yang terkait dengan isu studi ini.

Temuan dari metode konsep dasar ini dilengkapi dengan penggunaan analisis efektivitas rezim yang didapatkan bahwa Pemerintah Norwegia tidak memenuhi kriteria efektivitas rezim ketika Pemerintah Norwegia tidak menjalankan kepatuhan prosedur dan kepatuhan substantif. Pemerintah Indonesia menilai Pemerintah Norwegia tidak kunjung menepati komitmennya untuk melakukan pembayaran atas sejumlah nominal pengurangan emisi tersebut dan memberikan berbagai persyaratan yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Hal ini yang kemudian menjadi penyebab Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengakhiri Nota Kesepahaman kerja sama REDD+ dengan Pemerintah Norwegia.

REFERENSI

Adinugroho, W. C., & Suryadiputra, I. Pengaduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Bogor: Katalog Integrasi Perpustakaan Lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan

Aquino, A., & Guay, B. 2013. Implementing REDD+ in the Democratic Republic of Congo: An analysis of the emerging national REDD+ governance structure. Forest Policy and Economics, 36, 71-79. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.forpol.2013.04.003

Arifa, S. N. 2021. Meski Kerja Sama REDD+ dengan Norwegia Berakhir, Indonesia Tetap Konsisten          Lindungi          Hutan.          Retrieved          from

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/09/15/meski-kerja-sama-redd-dengan-norwegia-berakhir-indonesia-tetap-konsisten-lindungi-hutan.

Arumingtyas, L. 2021. Kala Indonesia Akhiri Kerja Sama Tekan Emisi dan Deforestasi dengan Norwegia. Retrieved from https://www.mongabay.co.id/2021/09/14/kala-indonesia-akhiri-kerja-sama-tekan-emisi-dan-deforestasi-dengan-norwegia/.

Astuti, R., & McGregor, A. 2015. Governing carbon, transforming forest politics: A case study of Indonesia's REDD+ Task Force. Asia Pasific Viewpoint, 56(1), 21-36.

Austin, K., Gingold, B., & Stolle, F. 2010. Bagaimana Kerjasama Hutan Indonesia-Norwegia Kedepannya? Retrieved from https://wri-indonesia.org/id/blog/what%E2%80%99s-next-indonesia-norway-cooperation-forests

Badan Pusat Statistik. 2022a. Emisi Gas Rumah Kaca menurut Jenis Sektor (ribu ton CO2e), 2000-2019. In.

Badan Pusat Statistik. 2022b. Luas Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. In: Badan Pusat Statistik.

Bae, J. S. 2013. Indonesia's REDD+ National Strategy between Ideal and Reality. Journal of Korean Society of Forest Science, 102(2), 189-197.

Brown, D., & MacLellan, M. 2020. A Multiscalar and Justice-Led Analysis of REDD+ : A Case Study of the Norwegian-Ethiopian Partnership. Global Environmental Politics, 20(1). doi:https://doi.org/10.1162/glep_a_00536

Casse, T., Milhøj, A., Nielsen, M. R., Meilby, H., & Rochmayanto, Y. 2019. Lost in implementation?: REDD+ country readiness experiences in Indonesia and Vietnam. Climate and Development, 11(9). doi:10.1080/17565529.2018.1562870

Cronin, T., Santoso, L., Di Gregorio, M., Brockhaus, M., Mardiah, S., & Muharrom, E. 2016. Moving consensus and managing expectations: media and REDD+ in Indonesia. Climatic Change, 137, 57-70. doi:10.1007/s10584-015-1563-3

Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017. Kerjasama REDD+ Indonesia - Norwegia. Retrieved from http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/hasil-kerjasama/254-kerjasama-redd-indonesia-norwegia.

Enrici, A., & Hubacek, K. 2019. A Crisis of Confidence: Stakeholder Experiences of REDD+ in Indonesia. Human Ecology, 47, 39-50. doi:https://doi.org/10.1007/s10745-019-0045-z

Ewing, J. J. 2011. Forests, Food and Fuel: REDD+ and Indonesia's Land-use Conundrum. Asia Security Initiative Policy Series Working Paper No. 19. Singapore.

Germanwatch e.V. 2022. Indonesia. Retrieved from https://ccpi.org/country/idn/.

Haeda, N., Cangara, A. R., Culla, A. S., Burhanuddin, Lumumba, P., & Apriliani, A. 2020. Indonesia-Norway cooperation in reducing emission from deforestation and degradation framework: a case study of Central Kalimantan forest. Paper presented at the IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.

Humphreys, D. 2013. Deforestation. In R. Falkner (Ed.), The Handbook of Global Climate and Environment Policy. Chichester: Wiley-Blackwell.

Ilmiah, N. F. 2018. Mengkaji Program REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) Plus dalam Kerjasama Norwegia dengan Indonesia. Universitas Airlangga, Surabaya. Retrieved from https://repository.unair.ac.id/68039/

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 2021. Indonesia akhiri Kerja Sama REDD+ dengan       Norwegia       [Press       release].       Retrieved       from

https://kemlu.go.id/portal/id/read/2912/berita/indonesia-akhiri-kerja-sama-redd-dengan-norwegia.

Korhonen-Kurki, K., Brockhaus, M., Muharrom, E., Juhola, S., Moeliono, M., Maharani, C. D., & Dwisatrio, B. 2017. Analyzing REDD+ as an experiment of transformative climate governance: Insights from Indonesia. Environmental Science & Policy, 73, 6170. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.envsci.2017.03.014

Köstenberger, S. 2021. Discourses on REDD+, land and people in the Norwegian-Indonesian REDD+ partnership. (Natural Resource Management). Norwegian University of Science and Technology,

Lady, N. 2018. Kerjasama Indonesia - Norwegia melalui Skema Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dalam Upaya Penyelematan Hutan Indonesia. Global Political Studies Journal, 2(1).

Luttrell, C., Resosudarmo, I. A. P., Muharrom, E., Brockhaus, M., & Seymour, F. 2014. The political context of REDD+ in Indonesia: Constituencies for change. Environmental Science & Policy, 35, 67-75. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.envsci.2012.10.001

Maulana, R. 2021. Indonesia Hentikan Perdagangan Karbon dengan Norwegia. Retrieved from https://www.forestdigest.com/detail/1310/perdagangan-karbon-dengan-norwegia#:~:text=Rama%20Maulana&text=SETELAH%20berlangsung%20selama %2011%20tahun,dalam%20rilis%20pada%20tanggal%20tersebut.

McNeill, D. 2015. Norway and REDD+ in Indonesia: The Art of Not Governing?. Forum for Development               Studies,               42(1),               113-132.

doi:http://dx.doi.org/10.1080/08039410.2014.997791

Moeliono, M., Brockhaus, M., Gallemore, C., Dwisatrio, B., Maharani, C. D., Muharrom, E., & Pham, T. T. 2020. REDD+ in Indonesia: A new mode of governance or just another project?.        Forest        Policy        and       Economics,        121.

doi:https://doi.org/10.1016/j.forpol.2020.102316

Ningsih, P. C. H. 2019. Diplomasi Lingkungan Hidup Indonesia-Norwegia Melalui REDD+ Agreement. Insignia Journal of International Relations, 6(2), 83-93. Retrieved from https://jos.unsoed.ac.id/index.php/insignia/article/view/1504/1208

Nugroho, S. P. 2019. 99% Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Adalah Ulah Manusia. Retrieved from https://bnpb.go.id/berita/99-penyebab-kebakaran-hutan-dan-lahan-adalah-ulah-manusia.

O'Neill, K. 2009. The Environment and International Relations. New York: Cambridge University Press.

Orim, R. 2020. Indonesia Has Seen a Whopping 313% Increase in Greenhouse Gas Emissions Since 1990. Retrieved from https://www.climatescorecard.org/2020/12/indonesia-has-seen-a-whopping-313-increase-in-greenhouse-gas-emissions-since-1990/.

Puspa, A. 2021a. DPR: Pengakhiran Kerja Sama REDD+ RI-Norwegia Jangan Rugikan Posisi Negara          Media          Indonesia.          Retrieved          from

https://mediaindonesia.com/humaniora/432684/dpr-pengakhiran-kerja-sama-redd-ri-norwegia-jangan-rugikan-posisi-negara

Puspa, A. 2021b. Menteri LHK Jelaskan Pengakhiran Kerja Sama REDD+ Indonesia-Norwegia.          Media          Indonesia.          Retrieved          from

https://mediaindonesia.com/humaniora/434495/menteri-lhk-jelaskan-pengakhiran-kerja-sama-redd-indonesia-norwegia

Reichardt, R. 2016. For a Socio-historical Semantics as a Middle Course between 'Lexicometry' and 'Conceptual History'. In Global Conceptual History: A Reader (1 ed., pp. 75-104). London: Bloomsbury Academic.

Satwika, W. F. 2020. Komitmen Indonesia dalam Mematuhi Perjanjian Kerjasama REDD+ Indonesia-Norwegia terhadap Upaya Penanganan Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia. Journal of International Relations,    6(2),    288-298.

doi:https://doi.org/10/14710/jirud.v6i2.27283

Trӕdal, L. T., Vedeld, P. O., & Pétursson, J. G. 2016. Analyzing the transformations of forest PES in Vietnam: Implications for REDD+ Forest Policy and Economics, 62, 109-117. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.forpol.2015.11.001

UN Environment Programme. 2021. State of the climate: Climate Action Note - data you need to know. Retrieved from https://www.unep.org/explore-topics/climate-action/what-we-do/climate-action-note/state-of-climate.html?gclid=CjwKCAiA9qKbBhAzEiwAS4yeDYT1pLXwZfhjyLCkCVSe-ZyojFLLZ7x9I4S3Wehh06etFyYPS-bU8RoC4jcQAvD_BwE.

United Nations Climate Change. 2018. What is REDD+? Retrieved from https://unfccc.int/topics/land-use/workstreams/redd/what-is-

redd?gclid=CjwKCAjwvsqZBhAlEiwAqAHElTdzPDqqgEfYXyGHu4Qbk0F6ZIRv QLn2TisPl83-9DLLkFC2Qkt9YxoCgVIQAvD_BwE.

United States Environmental Protection Agency. 2022. Global Greenhouse Gas Emissions Data. Retrieved from https://www.epa.gov/ghgemissions/global-greenhouse-gas-emissions-data.

VOA Indonesia. 2021. Indonesia Akhiri Pakta Deforestasi dengan Norwegia. Retrieved from https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-akhiri-pakta-deforestasi-dengan-norwegia/6223221.html.

Winarto, Y. 2021. Indonesia akhiri kerja sama REDD+ dengan Norwegia. kontan.co.id. Retrieved from https://nasional.kontan.co.id/news/indonesia-akhiri-kerja-sama-redd-dengan-norwegia

World Resources Institute. 2022. Forests and Lanscapes in Indonesia. Retrieved from https://www.wri.org/initiatives/forests-and-landscapes-indonesia#

E-ISSN 2685^570

45

VOL. 5 NO. 1,JULI 2023