JURNAL ILMIAH WIDYA SOSIOPOLITIKA

E-ISSN 2685-4570

PERSPEKTIF KELAS DALAM PERLAWANAN WARGA DESA WADAS TERHADAP RENCANA PEMBANGUNAN BENDUNGAN BENER

Fredick Broven Ekayanta

Program Studi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara Email: [email protected]

ABSTRAK

Proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan pemerintah seringkali menimbulkan dampak sosial yang merugikan warga. Artikel ini menganalisis bagaimana penolakan warga terhadap rencana pembangunan infrastruktur, dengan mengambil studi kasus penolakan warga Wadas terhadap penambangan batu andesit dan Bendungan Bener. Artikel ini menggunakan perspektif kelas agar mendapat jawaban yang komprehensif dari warga yang terdampak. Dengan menggunakan teori akumulasi primitif, artikel ini berkesimpulan bahwa penolakan dan perlawanan terhadap rencana pembangunan merupakan respon atas proses separasi (penyingkiran dari kondisi kerja) dalam akumulasi primitif yang akan terjadi. Artikel ini memperkuat teori akumulasi primitif yang memiliki karakteristik adanya keterlibatan kekuasaan negara. Dari kasus Wadas ini, peran kekuasaan tersebut adalah dengan menerbitkan aturan-aturan hukum, pengerahan aparat, dan sebagai pelaksana dari proyek pembangunan tersebut.

Kata kunci: perspektif kelas, akumulasi primitif, pembangunan, Wadas

ABSTRACT

Infrastructure development projects implemented by the government often have social impacts that are detrimental to community. This article analyzes how community reject the infrastructure development plan, by taking a case study of the Wadas residents' rejection of andesite mining and the Bener Dam. This article uses a class perspective in order to get comprehensive explanations from affected community. By using the theory of primitive accumulation, this article argues that rejection and resistance to infrastructure development plans is a response to the process of separation (removal from working conditions) in primitive accumulation that will occur. This article strengthens the theory of primitive accumulation which is characterized by the involvement of state power. From the Wadas case, the role of this power is to issue legal regulations, deploy officers, and act as implementers of the development project.

Keywords: class perspective, primitive accumulation, development, Wadas

PENDAHULUAN

Proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan pemerintah seringkali menimbulkan dampak sosial yang merugikan warga (Ekayanta 2019). Hal ini dikarenakan pembangunan infrastruktur membutuhkan lahan yang luas sehingga terkadang mengambil lahan-lahan yang menjadi sumber kehidupan warga. Salah satu contohnya adalah rencana pembangunan Bendungan Bener di Jawa Tengah.

Bendungan Bener adalah salah satu Proyek Strategis Nasional, dengan nilai pembangunan mencapai Rp 2,060 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN). Proyek pembangunan bendungan ini adalah salah satu dari 48 proyek pembangunan bendungan yang direncanakan pemerintah berdasarkan Perpres Nomor 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Proyek Strategis Nasional. Laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas mendeskripsikan proyek pembangunan Bendungan Bener sebagai berikut:

“Bendungan Bener adalah bendungan yang terletak di provinsi Jawa Tengah, di kabupaten/kota Purworejo. Bendungan ini direncanakan akan memiliki kapasitas sebesar 100.94m³ diharapkan dapat mengairi lahan seluas 15.069 Ha, mengurangi debit banjir sebesar 210 m³/detik, menyediakan pasokan air baku sebesar 1,60 m³/detik, dan menghasilkan listrik sebesar 6,00 MW (kppip.go.id).”

Berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018, lokasi penambangan batu andesit material pembangunan Bendungan Bener ditetapkan di Desa Wadas. Pembangunan bendungan ini telah dimulai sejak 2018 dan ditargetkan mulai beroperasi pada 2023. Tetapi pada prosesnya, warga menggugat keputusan Gubernur Jateng ke PTUN Semarang, namun ditolak pada 13 Agustus 2021. Setelah itu, warga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun kembali ditolak pada tanggal 29 November 2021.

Pembangunan bendungan tersebut mengakibatkan ada 617 bidang lahan yang terdampak dengan luasan 124 Ha. Ada 353 pemilik bidang tanah yang setuju dan mau melepas lahannya, dan ada pemilik 264 bidang lahan yang menentangnya. Perbedaan tersebut menghasilkan perpecahan di kalangan warga. Warga yang setuju menginginkan pengukuran pembayaran ganti rugi dipercepat, sedangkan yang tidak setuju beralasan bahwa pembangunan tersebut akan merusak lingkungan dan mengganggu kehidupan warga karena akan mengancam keberadaan sumber mata air dan merusak lahan pertanian (Harian Kompas 2022: 1 dan 15).

Pada 8 Februari 2022, 250 personel gabungan dari TNI, Polri, dan Satpol PP mendampingi 70 anggota tim pengukur lahan dari Badan Pertanahan Nasional dan Dinas Pertanian Kabupaten Purworejo ke Desa Wadas. Pengamanan tersebut dilaksanakan berdasarkan surat dari Kementerian PUPR Nomor UM 0401.AG.3.4/45 tentang permohonan pengamanan pelaksanaan pengukuran di Desa Wadas, Kab Purworejo dan dari Kementerian ATR/BPN Kabupaten Purworejo Nomor AT.02.02/344-33.06/II/2022 perihal permohonan personel pengamanan pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi di Desa Wadas, Kab Purworejo (Briantika 2022).

Proses pengukuran tersebut berujung konflik dan terjadi penangkapan terhadap 60an warga Wadas. Pada hari sebelumnya aliran listrik di Wadas dipadamkan. Sementara pada tanggal 8 Februari 2022, personel memasuki desa, mencopot dan merobek poster-poster yang berisi penolakan rencana pembangunan. Polisi kemudian menangkap para warga dengan alasan karena mereka membawa senjata tajam untuk menghalangi pengukuran lahan. Pada 9 Februari 2022, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mendatangi Wadas untuk menyampaikan permohonan maaf dan berdialog dengan warga (Ramadhan 2022). Polisi juga kemudian melepaskan warga Wadas yang ditahan, tetapi proses pengukuran lahan tetap dilanjutkan (CNN Indonesia 2022a).

Proses penolakan dan perlawanan warga terhadap rencana pembangunan dan terkadang berujung pada konflik dan bentrokan dengan aparat negara bukan sesuatu yang baru terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain (Delina 2021; Perz 2012; Regus 2011). Dengan mengambil studi kasus pada penolakan warga Wadas terhadap rencana pembangunan yang ditetapkan pemerintah, tulisan ini akan mengkaji bagaimana perspektif kelas memandang fenomena penolakan warga ini terhadap rencana pembangunan.

Hingga saat ini belum ada penelitian yang secara khusus menganalisis fenomena penolakan warga Wadas terhadap rencana pembangunan dan penambangan melalui perpektif kelas. Penelitian-penelitian yang ada masih sebatas menjelaskan bagaimana perlawanan perempuan warga Wadas (Iqbal 2022; Nursalim dan Riyono 2022), pengorganisasian perlawanan melalui media sosial (Tayibnapis dan Abdurrohim 2022), penjelasan penyebab perlawanan dengan menggunakan konsepsi konflik agraria (Budiharto 2022), ataupun dengan menggunakan perspektif sosio-ekologis yang melihat bahwa perlawanan warga Wadas adalah karena kekhawatiran atas munculnya perusakan lingkungan dan hilangnya mata pencaharian (Kismunthofiah, Masyitoh, dan Hidayatullah 2021).

Sebelum mendiskusikan data-data dan argumen dalam artikel ini, akan dijabarkan terlebih dahulu metode penelitian dan teori akumulasi primitif yang akan digunakan untuk menganalisis masalah penelitian ini.

METODE PENELITIAN

Artikel ini ditulis dari hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan mengambil studi kasus pada perlawanan warga Wadas terhadap rencana pembangunan Bendungan Bener. Kasus ini menarik untuk diteliti karena dapat mewakili bentuk resistensi dari warga terhadap rencana pembangunan yang diinisiasi pemerintah melalui proyek-proyek strategis nasional. Pengumpulan data dalam artikel ini dilakukan melalui studi literatur atas berbagai dokumen, artikel, dan pemberitaan di media.

TEORI AKUMULASI PRIMITIF

Teori akumulasi primitif adalah konsep penting yang menggunakan perpektif kelas, berdasarkan pemikiran-pemikiran Karl Marx yang mengkritik kapitalisme. Akumulasi primitif disini didefinisikan sebagai proses pemisahan kaum produsen dari alat-alat produksi (Marx 1993). Atau dalam bahasa yang lebih konseptual adalah proses pemisahan pekerja dari kondisi kerjanya. Kondisi kerja (conditions of labor) adalah kondisi-kondisi yang secara alamiah memungkinkan manusia untuk bekerja dan berproduksi, seperti lahan, alam, tempat tinggal, dan relasi sosialnya. Proses pemisahan tersebut seringkali dilakukan secara sepihak oleh pihak yang akan mengambil alih lahan tersebut. Ada empat variabel umum yang terjadi pada proses tersebut, yaitu separasi, kapitalisasi, proletarianisasi, dan komodifikasi. Pertama, pekerja tersingkir dari kondisi kerjanya. Kedua, pekerja yang tersingkir tadi tak lagi memiliki akses terhadap kondisi kerjanya yang telah dikuasai atau dimonopoli oleh kapitalis. Ketiga, karena tersingkir dan tak memiliki

akses, pekerja “terpaksa” menjadi buruh yang bekerja pada kapitalis. Keempat, penghasilan buruh adalah dalam bentuk upah, sementara hasil kerjanya bertransformasi menjadi komoditas yang dikuasai oleh kapitalis (Polimpung 2018).

Mengapa akumulasi primitif ini terjadi? Menurut Sangadji (2019), akumulasi primitif berlangsung sebagai prasyarat bagi akumulasi modal. Sementara Karl Marx dalam Introduction to Capital: A Critique of Political Economy menjelaskan bahwa akumulasi primitif pada dasarnya adalah dalam rangka upaya untuk membuat kerja konkret menjadi kerja abstrak. Kerja disini dimaknai sebagai proses menghasilkan nilai, dan terbagi menjadi kerja konkret dan kerja abstrak. Kerja konkret akan menghasilkan nilai guna sementara kerja abstrak menghasilkan nilai tukar. Nilai guna dimaknai sebagai nilai yang dikonsumsi oleh orang yang menciptakan nilai tersebut, sementara nilai tukar adalah nilai guna yang dikonsumsi oleh orang yang bukan produsen atau kreator dari nilai tersebut.

Sebagai contoh adalah seorang petani menanam padi untuk menghasilkan beras. Saat beras tersebut dikonsumsi oleh petani itu sendiri, kerjanya bisa dikategorikan sebagai kerja konkret, dan beras yang ia konsumsi sebagai nilai guna. Tetapi, saat beras tersebut ia jual dengan imbalan atau harga tertentu kepada pihak lain, dan kemudian dikonsumsi oleh pihak lain tersebut, maka kerja petani menjadi kerja abstrak dan nilai yang dihasilkan menjadi nilai tukar. Saat pertukaran tersebut berlangsung dalam kondisi yang setara, atau dalam kata lain adalah modal yang dibutuhkan petani dalam seluruh proses menghasilkan beras itu ditukar/dibayar dengan nilai yang setara, maka kerja abstrak dan nilai tukar tadi seketika kembali lagi menjadi kerja konkret dan nilai guna bagi si petani. Masalahnya adalah dalam sistem kapitalisme, petukaran tersebut tidak berlangsung dalam kondisi yang setara.

Pertukaran yang tidak setara dimungkinkan melalui waktu kerja. Sistem kapitalisme menciptakan pematokan standar dalam waktu kerja untuk para pekerja, yang biasa kita kenal seperti bekerja delapan jam sehari. Pekerja akan menghasilkan sejumlah nilai tertentu dalam bentuk komoditas saat bekerja delapan jam sehari. Tetapi pada saat menerima upah, pekerja tidak akan menerima jumlah upah yang setara dengan nilai dari komoditas yang ia hasilkan. Hal inilah yang disebut eksploitasi dari perspektif kelas atau Marxian. Selisih dari upah yang diterima pekerja dengan nilai komoditas yang ia hasilkan kemudian disebut sebagai nilai lebih yang diambil oleh kapitalis atau pemilik modal.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem kapitalisme menghendaki agar seluruh kerja manusia adalah kerja abstrak, karena tanpa kerja abstrak tidak akan akan nilai lebih yang bisa diambil. Tanpa ada nilai lebih yang bisa diambil, maka akumulasi modal tidak akan dapat dilakukan. Untuk membuat kerja abstrak ini menjadi normal dan formal, ada peran dari kekuasaan disini. Kekuasaan tersebut digunakan melalui pembentukan norma-norma yang mengatur tentang upah, perintah, kerja, dan sebagainya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses pengambilan 617 bidang lahan milik warga Wadas untuk penambangan batu andesit dan pembangunan Bendungan Bener ini adalah proses pertama dalam akumulasi primitif. Pengambilan tersebut akan memisahkan

warga/pekerja di Wadas dari kondisi kerjanya, yaitu lahan. Proses yang disebut sebagai separasi ini akan diikuti oleh transformasi lahan yang telah diambil tersebut menjadi kapital atau disebut sebagai proses kapitalisasi. Proses pengambilan lahan ini akan berdampak pada hilangnya akses warga Wadas untuk bekerja dan berproduksi.

Berdasarkan analisis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), potensi hasil dari perkebunan di Wadas bisa mencapai Rp8,5 miliar per tahun, dari hasil pohon aren, mahoni, jati, durian, sengon, kemukus, cabai, petai, pisang, kelapa, kopi, dan jahe. Hasil-hasil dari bumi Wadas ini menjadi sumber utama untuk mencukupi kebutuhan hidup dan kesejahteraan warga Wadas (CNN Indonesia 2022b). Data lain menunjukkan bahwa nilai akumulasi tanaman budidaya warga di Wadas menghasilkan jutaan hingga miliaran rupiah setiap tahun, mulai dari kayu sengon (Rp 2 miliar), petai (Rp241 juta), durian (Rp 1,24 miliar), vanili (Rp266 juta), dan kemukus (Rp 1,35 miliar). Selain itu, ada belasan jenis burung dan elang yang berstatus satwa yang dilindungi juga terdapat di Wadas (Muryanto 2021).

Oleh karena itu, saat warga Wadas kehilangan lahannya, maka saat itu pula mereka akan kehilangan akses terhadap hasil-hasil Bumi yang bisa tumbuh dari tanah Wadas yang menjadi sumber penghasilan dan kesejahteraan warga Wadas. Maka wajar jika terjadi resistensi atas rencana pembangunan yang akan mengambil lahan tersebut. Yatimah, seorang warga Wadas mengungkapkan bahwa: “Kami mempertahankan hak kami untuk kelangsungan hidup di sini, untuk anak cucu. Supaya tanah Wadas masih utuh, desa masih utuh. Ini tanah leluhur yang harus dijaga kelangsungannya” (Maqoma 2022). Saat kehilangan lahan, warga Wadas berisiko akan menjadi pengangguran.

Proses separasi dalam akumulasi primitif ini seringkali dilakukan secara sepihak oleh mereka yang akan menyandang predikat kapitalis pasca akumulasi (Polimpung 2018). Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) menjelaskan bahwa warga Wadas telah menolak rencana pertambangan batu andesit sejak tahun 2013. Alasan utamanya adalah karena pertambangan tersebut akan mematikan sumber air yang penting bagi kehidupan dan pertanian warga. Tetapi meski warga masih terus menolak, pemerintah terus berusaha menjadikan Wadas sebagai lokasi pertambangan (Isnur 2022). Berbagai bentuk penolakan dilakukan oleh warga Wadas seperti membangun belasan pos jaga di jalan masuk desa sampai hutan, menghadang petugas yang hendak mengukur lahan dan polisi yang berpatroli, dan menyambangi sejumlah kementerian dan lembaga untuk memaparkan risiko jika penambangan batu andesi tetap dijalankan (Rikang 2022).

Bentuk penolakan sejumlah warga Wadas juga ditunjukkan dengan upaya untuk menggugat Gubernur Jateng ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang pada tanggal 16 Juli 2021. Warga menuntut Gubernur Jateng untuk menunda SK Gubernur Jateng Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kab Purworejo dan Kab Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2021. Salah satu warga Wadas mengungkapkan bahwa gugatan tersebut merupakan bentuk perlawanan warga Wadas terhadap kesewenang-wenangan pejabat publik. Pembangunan proyek yang disetujui tersebut dianggap akan merusak ekosistem di Wadas (CNN Indonesia 2021).

Akan tetapi PTUN Semarang menolak gugatan tersebut berdasarkan putusan bernomor 68/G/PU/2021/PTUN.SMG tanggal 30 Agustus 2021. Warga Wadas kembali menempuh jalur hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada tanggal 14 September 2021. Hal ini menegaskan penolakan yang diutarakan oleh warga Wadas terhadap pembangunan. Namun upaya kasasi juga tidak berhasil. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengungkapkan bahwa dengan penolakan tersebut program pemerinta sudah benar dan instrumen pendukung seperti Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) pun sudah dipenuhi (Kumparan 2022).

Tabel 1. Bentuk-bentuk Penolakan dan Perlawanan Warga Wadas

Waktu

Peristiwa

2015

Perusahaan swasta mulai mengebor di dua lokasi dengan kedalaman 75 dan 50 meter di Desa Wadas sebagai bahan uji di Balai besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWS-SO)

4 September

2017

BBWS-SO memasang spanduk pemberitahuan bahwa desa akan terkena dampak pembangunan bendungan Bener

8 Maret 2018

Pemerintah menerbitkan izin lingkungan. Penolak tambang membentuk Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa)

17 Maret

2018

BBWS-SO mensosialisasikan pengadaan tanah pembangunan bendungan Bener di balai desa. Warga Wadas yang menolak penambangan memilih walkout.

September 2019

Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta menyatakan Wadas dikepung polisi dan sebelas penduduk ditangkap.

November 2020

Gempa Dewa melaporkan maladministrasi oleh Gubernur Jateng dan BBWS-SO kepada Ombudsman Jateng

22-23 April 2021

Aparat yang hendak mensosialisasikan pemasangan patok trase dan bidang tanah dihadang. Terjadi bentrokan dan 12 penduduk ditangkap.

September 2021

Polisi menggencarkan patroli keliling desa dengan senjata lengkap.

8 Februari 2022

Polisi mengepung Wadas, sebanyak 64 orang ditangkap.

Sumber: Rikang (2022)

Dalam hal ini, ada peran penting kekuasaan negara untuk memulai proses akumulasi primitif di Wadas. Dengan kekuasaannya, negara atau pemerintah menggunakan instrumen-instrumennya melaksanakan pembangunan meski masih ada warga terdampak dari pembangunan yang menolak rencana tersebut. Peran kekuasaan di sini dibuktikan dengan berbagai upaya pemerintah dalam mengeluarkan norma hukum, mulai dari Perpres Nomor 109 Tahun 2020, SK Gubernur Jateng Nomor 590/41/2018, hingga surat permohonan pengamanan dari aparat. Selain melalui norma hukum, penggunaan kekuasaan juga dilakukan melalui pengerahan polisi untuk berpatroli, melarang diskusi tentang Wadas, memperlambat jaringan seluler dan internet, pemadaman listrik, serangan digital

terhadap akun Twitter @Wadas_Melawan, menuduh warga Wadas melakukan hoaks, hingga penangkapan (Rikang 2022). Dalam konteks yang lebih luas, dari kasus Wadas tergambar bahwa pemerintah Indonesia di era reformasi masih melakukan pendekatan top-down dalam merencanakan dan mengimplementasikan pembangunan.

Peran negara dalam proses awal akumulasi primitif di Wadas bukan sebatas mengeluarkan norma hukum dan pengerahan aparat. Tetapi juga menjadi pelaksana kontraktor proyek pembangunan Bendungan Bener tersebut. Tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memenangkan lelang kontraktor di Bendungan Bener ini adalah PT Brantas Abipraya, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Waskita Karya (Petriella 2018). Maka dapat disimpulkan bahwa kekuasaan negara berkontribusi penuh terhadap proses awal akumulasi primitif ini. Susanti (2022) mengungkapkan bahwa:

“Penguasa menyukai hukum untuk pembangunan karena ia memiliki sifat memaksa (coercive) berupa keharusan, larangan, dispensasi, dan izin yang dikuatkan dengan sanksi dan hukuman. Kekuatan hukum memang efektif membuat sebidang tanah cepat berpindah tanpa memerlukan pembahasan dan banyak pertemuan….Karena targetnya semata menumbuhkan ekonomi, perlindungan terhadap hak asasi dan lingkungan akan dianggap sebagai penghambat. Untuk mengenyahkannya, para aktor politik membuat atau memakai hukum, seperti dari undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan menteri atau keputusan gubernur. Undang-undang Cipta Kerja mengistimewakan ratusan proyek strategis nasional. Agar negara gampang merampas tanah masyarakat, ada serangkaian aturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.”

Dari perspektif kelas, kekhawatiran warga akan kehilangan sumber kehidupan dan kesejahteraannya menggambarkan bahwa warga menyadari ancaman berubahnya kerja-kerja konkret mereka selama ini menjadi kerja abstrak di kemudian hari. Seorang petani di Wadas mengungkapkan bahwa ia bisa mendapatkan uang Rp25 juta dari pohon durian yang ia miliki sebagai warisan dari kakeknya. Selain durian, pendapatannya berasal dari hasil tanaman lain seperti kemukus, vanili, lada, manggis, dan petai (Nuswantoro 2019). Pengalaman petani tersebut adalah cerminan dari mayoritas warga Wadas berprofesi petani yang selama ini dapat melakukan kerja-kerja konkret yang menghasilkan nilai guna untuk kehidupan mereka berkat kepemilikan akan lahan. Bagi mereka kehilangan lahan berarti juga kehilangan kesempatan untuk melakukan kerja-kerja konkret. Dalam proses akumulasi primitif, warga akan “dipaksa” menjadi pekerja dalam relasi upah, yang akan melakukan kerja-kerja abstrak.

SIMPULAN

Artikel ini menganalisis penolakan warga Wadas terhadap rencana penambangan batu andesit dan Bendungan Bener dapat dikaji melalui perspektif kelas. Perspektif yang melihat dari kacamata pekerja ini berargumen bahwa penolakan dan perlawanan terhadap rencana pembangunan merupakan respon atas proses separasi (penyingkiran dari kondisi kerja) dalam akumulasi primitif yang

akan terjadi. Artikel ini memperkuat teori akumulasi primitif yang memiliki karakteristik adanya keterlibatan kekuasaan negara. Dari kasus Wadas ini, peran kekuasaan tersebut adalah dengan menerbitkan aturan-aturan hukum, pengerahan aparat, dan sebagai pelaksana dari proyek pembangunan tersebut.

DAFTAR REFERENSI

Briantika, Adi, 2022, “Tugas Aparat Gabungan Dampingi Pengukuran Tanah di Desa Wadas”, diakses dari https://tirto.id/tugas-aparat-gabungan-dampingi-pengukuran-tanah-di-desa-wadas-goG5 pada tanggal 28 Februari, pukul 11.40 WIB.

Budiharto, Imam, 2022, “Konflik Politik Agraria di Desa Wadas Pasca Rencana Pembangunan Bendungan Bener Kabupaten Purworejo Tahun 2018-2021”, Skripsi, Universitas Jenderal Soedirman.

CNN Indonesia, 2021, “Warga Wadas Gugat Ganjar Pranowo terkait Bendungan Bener”, diakses dari

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210723191759-12-

671526/warga-wadas-gugat-ganjar-pranowo-terkait-bendungan-bener pada tanggal 28 Februari 2022 pukul 19.47 WIB.

CNN Indonesia, 2022a, “67 Warga Desa Wadas Dilepaskan, Pengukuran Tanah Tetap Jalan”, diakses dari

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220210071646-12-757335/67-warga-desa-wadas-dilepaskan-pengukuran-tanah-tetap-jalan pada tanggal 28 Februari 2022, pukul 12.27 WIB.

CNN Indonesia, 2022b, “Walhi: Hasil Kebun Desa Wadas Capai Rp8,5 M per Tahun”, diakses dari

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220211154103-20-

758102/walhi-hasil-kebun-desa-wadas-capai-rp85-m-per-tahun pada tanggal 28 Februari 2022 pukul 18.22 WIB.

Delina, Laurence. 2021. “Topograhies of coal mining dissent: Power, politics, and protest in southern Philippines”, World Development, Vol 137: 1-14.

Ekayanta, Fredick Broven. 2019. “Ideology and Pragmatism: Discourse Factors in Infrastructure Development in Indonesia’s Jokowi-JK Era”, Jurnal Politik, Vol 4 No 2: 297-328.

Harian Kompas, 2022, “Harmoni di Wadas Buyar Saat Semua Merasa Benar”, 10 Februari, hal 1 dan 15.

Iqbal, Muhammad, 2022, “Perempuan dalam Konflik Agraria: Politik Perlawanan Gempadewa (Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas) dalam Menolak Penambangan Quarry di Desa Wadas Kabupaten Purworejo”, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Isnur, Muhammad. 2022. diakses Youtube LP3ES Jakarta, “Bekerjanya Hukum Represif: Belajar dari Kasus Wadas”, diakses pada tanggal 28 Februari 2022 pukul 19.36 WIB.

Kismunthofiah, Masyitoh, Dewi., dan Hidayatullah, Ahmad Fauzan, 2021, “Socio-Ecological Analysis of Andesite Mining Plans in Wadas Village, Purworejo, Central Java”, Masyarakat: Jurnal Sosiologi, Vol 26 No 1: 21-45.

KPPIP. “Bendungan Bener”, diakses dari https://kppip.go.id/proyek-strategis-nasional/p-proyek-bendungan-dan-jaringan-irigasi/bendungan-bener/ pada tanggal 28 Februari, pukul 10.53 WIB.

Kumparan, 2022, “Mahfud: Tak Ada Pelanggaran hukum Pembangunan di Wadas, Gugatan di MA Ditolak”, diakses dari https://kumparan.com/kumparannews/mahfud-tak-ada-pelanggaran-hukum-pembangunan-di-wadas-gugatan-di-ma-ditolak-1xTOjbzfhAR/full pada tanggal 28 Februari 2022, pukul 20.08 WIB.

Maqoma, Robby Irfany, 2022, “Ekospritualitas memicu sengitnya penolakan warga Wadas terhadap penambangan andesit”, diakses dari https://theconversation.com/ekospiritualitas-memicu-sengitnya-penolakan-warga-wadas-terhadap-penambangan-andesit-177733 pada tanggal 28 Februari 2022 pukul 18.41 WIB.

Marx, Karl. 1993. Grundrisse: Foundations of the Critique of Political Economy. UK: Penguin Classic.

Muryanto, Bambang, 2021, “’Tanah Surga’ Wadas Dijadikan Tambang: ‘Mengapa Pemerintah Menindas Petani?’”, diakses dari https://projectmultatuli.org/tanah-surga-wadas-dijadikan-tambang-mengapa-pemerintah-menindas-petani/ pada tanggal 28 Februari 2022 pukul 18.34 WIB.

Nursalim dan Riyono, Slamet., 2022, “Analisis Perlawanan Perempuan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penambangan Batu Andesit di Desa Wadas”, Mimbar Administrasi, Vol 19 No 1: 32-49.

Nuswantoro, 2019, “Limpahan Panen Bumi Warga Wadas di Tengah Ancaman Penambangan”, diakses dari https://www.mongabay.co.id/2019/03/14/limpahan-panen-bumi-warga-wadas-di-tengah-ancaman-penambangan/ pada tanggal 28 Februari 2022, pukul 20.45 WIB.

Perz, Stephen. 2012. “Social Mobilization in Protest of Trans-boundary Highway Projects: Explaining Contrasting Implementation Outcomes”, Development & Change, Vol 43(3): 797-821.

Petriella, Yanita. 2018. “3 BUMN Menangi Lelang Bendungan Bener, Siapa Saja Mereka?”, diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20180625/45/809037/3-bumn-menangi-lelang-bendungan-bener.-siapa-saja-mereka pada tanggal 28 Februari 2022, pukul 20.28 WIB.

Polimpung, Hizkia Yosias, 2018, “Secanggih-canggihnya Revolusi Teknologi Industri 4.0, Tetaplah Ia Primitif”, diakses dari https://indoprogress.com/2018/04/secanggih-canggihnya-revolusi-teknologi-industri-4-0-tetaplah-ia-primitif/ pada tanggal 28 Februari 2022, pukul 12.50 WIB.

Ramadhan, Fitra Moerat, 2022, “Duduk Perkara Penangkapan Warga Desa Wadas”, diakses dari https://grafis.tempo.co/read/2936/duduk-perkara-penangkapan-warga-desa-wadas pada tanggal 28 Februari 2022, pukul 12.23 WIB.

Regus, Maximus. 2011. “Tambang dan Perlawanan Rakyat: Studi Kasus Tambang di Manggarai, NTT”. Masyarakat: Jurnal Sosiologi, Vol 16 No 1: 1-26.

Rikang, Raymundus. 2022. “Pelawan Tiran dari Tanah Wadas”. Majalah Tempo. 27 Februari-5 Maret.

Sangadji, Arianto. 2019. “Akumulasi Primitif: Pengalaman Industri Pertambangan di Indonesia”, Prisma, Vol 38 No 3: 52-65.

Susanti, Bivitri. 2022. “Hukum untuk Pembangunan”. Majalah Tempo. 27 Februari-5 Maret.

Tayibnapis, Radita Gora dan Abdurrohim, Muhammad, 2022, “Virtual Social Movement in a Wadas Citizens Support Network on Twitter”, International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, Vol 9 No 5: 270-282.

27