JURNAL ILMIAH WIDYA SOSIOPOLITIKA

E-ISSN 2685-4570

PROSPEK DIPLOMASI EKONOMI INDONESIA MELALUI POROS

MARITIM DUNIA DALAM IMPLEMENTASI ASEAN BLUE ECONOMY

Article History:

Received:

May/2023

Accepted:

Nov/2023

Published:

Dec/2023

Keywords:

ASEAN Blue Economy, World Maritime Axis, Indonesia and ASEAN Economic Diplomacy


Cherly Shereyah Wu1)

Rachel Graceya Epipania Junissi Pasaribu2) Jelita Eka Azzahra3)

Dudy Heryadi4) Deasy Silvya Sari5)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran1) email: cherly21001@mail.unpad.ac.id

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran 2) email: rachel21003@mail.unpad.ac.id

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran3) email: jelita21001@mail.unpad.ac.id

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran 4) email: dudy.heryadi@unpad.ac.id

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran5) email: deasy.silvya@unpad.ac.id

Article Info            ABSTRACT

This article analyzes the implementation of Indonesia's Global Maritime Axis (GMA) in the context of ASEAN economic diplomacy and its relation to the concept of Blue Economy in Southeast Asia. The study identifies Indonesia's ambition to lead the empowerment of Southeast Asian maritime affairs for sustainable economic development and examines the prospects of GMA policy implementation from 2019 to 2023. Through document and literature analysis, this research highlights the importance of aligning GMA policy with Blue Economy in achieving inclusive and sustainable development goals in ASEAN. However, the research also notes that the implementation of GMA policy has not fully encompassed the economic dimension of ASEAN. In this context, the research aims to contribute by analyzing the prospects of Indonesia's economic diplomacy with ASEAN through the Global Maritime Axis, particularly in the context of implementing the ASEAN Blue Economy. The findings of this article can provide a better understanding of the challenges and opportunities in realizing sustainable economic growth in the Southeast Asian region, and offer policy recommendations to strengthen regional collaboration and the implementation of the ASEAN Blue Economy.

PENDAHULUAN

Dalam ASEAN Economy Outlook 2023, ASEAN merupakan wujud integrasi kawasan yang mendapati pertumbuhan tercepat di dunia pada tahun 2022 serta diproyeksikan akan terus berlanjut yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi signifikan dan stabilitas kawasan. Asia Tenggara adalah kawasan yang paling stabil dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan negara-negaranya dapat menjaga perdamaian ko-eksistensi (Acharya, 2014; Narine, 2002: 2). Meski demikian, laporan Asian Development Bank menunjukan prediksi pertumbuhan ekonomi ASEAN justru menurun di tahun 2023, menyentuh angka 4.7% daripada tahun 2022yang mencapai 5.5%, sebagai akibat dari kondisi perekonomian global yang memburuk dan kebijakan moneter yang semakin ketat. Hal tersebut lantas menjadi momentum bagi kepala-kepala negara ASEAN untuk mempertimbangkan cara yang efektif untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi kawasan Asia Tenggara. Salah satu strategi utama yang dipilih yakni implementasi ekonomi biru di kawasan Asia Tenggara.

Gagasan Blue Economy menyatakan bahwa model bisnis Blue Economy dapat menciptakan kemungkinan adanya pengembangan di bidang investasi maupun bisnis yang menguntungkan secara value maupun ramah terhadap lingkungan. Dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam secara ringkas dan sustainable, sistem produksi akan menjadi singkat dan bersih, sehingga menghasilkan produk dengan nilai ekonomi yang lebih besar. Selain itu, konsep Blue Economy juga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memberikan kesempatan bagi setiap kontributor untuk mendapatkan manfaat secara adil.

Pada ASEAN Summit 2021 lalu, negara-negara ASEAN menandatangani suatu perjanjian yang dimaksudkan menjadi strategi kawasan Asia Tenggara dalam melangsungkan pertumbuhan ekonomi regional dan global yang dituangkan dalam Asean Leaders’ Declaration on The Blue Economy. Lebih lanjut, Deklarasi ASEAN terkait Blue Economy bertindak sebagai pedoman dan pengembangan berbagai upaya dan inovasi negara-negara Asia Tenggara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus memaksimalkan potensi perairan Asia Tenggara untuk menghadapi tantangan dinamis di bidang geopolitik, sosio-ekonomi, serta dampak multidimensional dari pandemi Covid-19.

Menindaklanjuti kesepakatan kebijakan ASEAN Blue Economy, Indonesia telah mengangkat ASEAN Blue Economy Framework sebagai salah satu prioritas utama pada bidang ekonomi. Kerangka ASEAN Blue Economy ditujukan untuk membangun ekonomi berkelanjutan dengan memperhatikan aspek kreasi, inklusivitas dan keberlangsungan laut yang mendorong inisiatif dan keunggulan Masyarakat Ekonomi ASEAN untuk menembus pusat ekonomi global di masa mendatang. Keketuaan ASEAN 2023 ini selaras dengan orientasi kebijakan terkait intensitas potensi laut Indonesia sebagaimana termaktub dalam kebijakan Poros Maritim Dunia oleh Presiden Jokowi.

Penetapan kebijakan Poros Maritim Dunia tidak terlepas dari keuntungan strategis geografi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Karenanya, kebijakan PMD di konsiderasi sebagai suatu direksi, doktrin geopolitik dan ekonomi penting bagi pembangunan nasional sekaligus menunjukan eksistensi Indonesia di kancah internasional terkait upaya kontribusi terhadap pemenuhan Sustainable Development Goals melalui prinsip ekonomi dan kemaritiman yang berkesinambungan. Melalui prinsip tersebut, dapat dipahami bahwasannya Poros Maritim Dunia memiliki keselarasan orientasi dengan prinsip Blue Economy yang merupakan inovasi dunia dalam menjamin manajemen keberlangsungan ekosistem maritim yang lebih sehat dan produktif dengan menempatkan maritime power sebagai tonggak utama bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Blue Economy ternyata bukan sesuatu yang baru bagi Indonesia meski telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2012. Salah satu tempat di Indonesia yang dijadikan proyek percobaan dalam pengelolaan kawasan konservasi yang efektif adalah Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida di Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Proyek ini mengikuti prinsip-prinsip dari Blue Economy yang mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pembangunan wilayah yang berkelanjutan. (Antara,2013). Hal ini mengindikasikan konsistensi Indonesia dalam pemenuhan tujuan pembangunan berkelanjutan melalui optimalisasi strategi maritime power yang semakin diupayakan maksimal melalui pengakplikasian Poros Maritim Dunia. Terlebih lagi, prinsip kebijakan Poros Maritim Dunia tentu semakin digaungkan mengingat masa jabatan Presiden Jokowi selama dua periode.

Data di atas, menunjukkan bahwa gagasan dan penerapan dari Blue Economy telah dilakukan oleh Indonesia dan penerapannya di wilayah Asia Tenggara merupakan aspek vital pembangunan berkelanjutan yang inklusif bagi masyarakat Asia Tenggara dan kebijakan Poros Maritim Dunia Indonesia. Meski begitu, proses kerangka kerja ASEAN Blue Economy masih terus berjalan dan belum sepenuhnya terwujud. Sehingga posisi Indonesia sebagai leader dari ASEAN 2023 yang menitikberatkan aplikasi ASEAN Blue Economy menunjukan ambisi Indonesia dalam memimpin pelaksanaan pemberdayaan optimalisasi sektor maritim di kawasan Asia Tenggara untuk pembangunan ekonomi kawasan yang berkelanjutan. Meski demikian, perlu dipahami bahwasannya aplikasi gagasan Poros Maritim Dunia yang memberikan nilai dan ciri khas tersendiri bagi Indonesia hanya memperoleh rekognisi di tingkat ASEAN pada bidang keamanan maritim Asia Tenggara. Padahal outlook PMD menaungi dimensi lainnya seperti ekonomi. Berangkat dari pemahaman yang menitikberatkan pada gap implementasi PMD di sektor keamanan dan ekonomi ASEAN, penulis tertarik untuk meninjau prospek diplomasi ekonomi Indonesia dengan ASEAN melalui Poros Maritim Dunia dengan spesifikasi implementasi kebijakan PMD tersebut sejak tahun 2019 hingga 2023 sebagai sumbangsih dalam implementasi ASEAN Blue Economy.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Untuk menjawab pokok-pokok permasalahan penelitian ini dan berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan memperhatikan aspek-aspek seperti desain penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisis data, validitas data. Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang merujuk pada John W. Creswell untuk mengeksplorasi dan memahami makna dari individu atau kelompok individu yang menghadapi suatu masalah (Creswell, 2009). Terdapat lima jenis metode penelitian kualitatif, yakni biografi, fenomenologi, grounded theory, etnografi, dan studi kasus, yang digunakan oleh Creswell. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebuah analisis mengenai bagaimana proses diplomasi ekonomi yang dilakukan Indonesia dengan organisasi regional ASEAN dalam Upaya Penerapan ASEAN Blue Economy. Lebih lanjut, penulis menerapkan metode interpretatif pada penelitian ini untuk menjelaskan secara lugas berbagai data dan informasi yang digunakan dalam mendukung pemecahan permasalahan penelitian.

Penelitian melihat bagaimana prospek kerjasama Indonesia dengan nilai yang dibawa melalui Poros Maritim Dunia dengan ASEAN dalam meningkatkan perekonomian serta menyelamatkan lingkungan hidup melalui program Blue Economy. Dari data yang diperoleh, penulis melakukan analisis untuk menghasilkan pemahaman suatu pola tertentu yang dapat disajikan dalam bentuk deskriptif. Peneliti melakukan beberapa langkah-langkah riset, termasuk membingkai pertanyaan riset, menentukan metode riset, teknik pengumpulan data, dan analisis data.

Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan analisis penelitian yang bisa berupa individu, kelompok, benda atau suatu latar peristiwa sosial seperti misalnya aktivitas individu atau kelompok sebagai subjek penelitian” (Hamidi, 2010:95). Dalam menentukan unit analisis yang akan kami kaji, terlebih dahulu kami mencetuskan level of analysis yang akan menjadi cakupan unit analisis kami, yaitu pada level state to region antara Indonesia dan ASEAN secara menyeluruh. Berangkat dari pemahaman tersebut maka unit analisis dalam penelitian kami yaitu;

Implementasi kebijakan Poros Maritim Dunia dalam merealisasikan ASEAN Blue Economy.

Sumber Data

Dalam penelitian ini menganalisis berbagai sumber data berupa sumber data primer dan sumber data sekunder yang dianggap relevan dengan penelitian. Sumber data primer adalah bahan orisinil yang menjadi dasar bagi penelitian lain, yang memberikan informasi asli tanpa interpretasi, ringkasan, atau evaluasi oleh penulis

lain. Dalam penelitian ini, sumber data primer yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

Laporan resmi ASEAN LEADERS’ DECLARATION ON THE BLUE ECONOMY Tahun 2021 dari Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Statements.

Sumber data sekunder dari penelitian berasal dari studi kepustakaan dan internet yang berupa hasil analisis dan interpretasi sumber data primer. Sumber data sekunder membahas bukti-bukti yang terdapat pada sumber data primer.

Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Riset

Studi Pustaka dan Literatur

Dalam studi kepustakaan ini, peneliti mencari dokumen, buku, jurnal, dan artikel-artikel yang relevan dengan penelitian tersebut. Dokumen-dokumen ini merupakan dokumen asli yang memiliki relevansi dengan topik penelitian, yang akan digunakan sebagai bahan referensi dan sumber data utama. Guna mengefisiensikan waktu penelitian, peneliti melakukan pencarian data berbasis digital yang memungkinkan peneliti untuk mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang relevan dengan penelitian dari berbagai penjuru dunia.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pencarian data atau informasi melalui website-website resmi kelembagaan, instansi pemerintah yang terkait, dan berbagai macam website resmi lainnya seperti Open Knowledge Maps dan Science Direct. Tujuan dari penggalian sumber referensi melalui internet adalah untuk mendapatkan dokumen seperti undang-undang, Blue Print, artikel, sejarah, perjanjian internasional atau naskah kerjasama yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.

Observasi

Observasi atau pengamatan dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Observasi lapangan pada implementasi Blue Economy di Nusa Penida, Bali dan hasil wawancara terkait dilakukan peneliti untuk mengoptimalkan data mengenai aktivitas Blue Economy Indonesia yang dapat diangkat pada lingkup ASEAN.

Analisis Data

Setelah mengumpulkan data kualitatif, dilakukan analisis data dengan menggunakan metode analisis isi yang terdiri dari empat tahapan, sebagaimana dijelaskan oleh Lamont (Lamont, 2015:89-91). Tahap pertama adalah menentukan ruang lingkup analisis dengan mencari informasi yang dapat merepresentasikan kebutuhan sumber terkait riset ini, seperti kegiatan diplomasi ekonomi melalui blue economy yang dilakukan oleh Indonesia dalam implementasi poros maritim dunia.

Selanjutnya, dalam tahap kedua, peneliti memilih sumber data yang relevan dan mempersempit cakupan data yang ingin dianalisis, khususnya yang berkaitan dengan ASEAN. Tahap ketiga adalah mengkategorisasikan data dengan teknik deduktif, yaitu dengan menentukan tema-tema yang sesuai untuk mencari data yang dibutuhkan. Kemudian, tahap terakhir adalah melakukan coding pada setiap teks yang sudah dikumpulkan berdasarkan tema-tema tertentu hingga menghasilkan data coding dengan pola-pola tertentu yang memiliki korelasi antar kode. Dalam tahap ini, periset menggunakan aplikasi Atlas.ti sebagai alat bantu untuk melakukan coding.

Validitas dan Reliabilitas Data

Keakuratan sebuah penelitian sangat tergantung pada validitas data yang digunakan. Validitas merujuk pada kebenaran interpretasi yang didasarkan pada penggambaran yang akurat mengenai suatu fenomena dalam masyarakat sehingga informasi yang diterima tidak bertentangan pada objek yang diteliti. Triangulasi data digunakan untuk menjaga validitas data dan menghindari bias data dengan mengumpulkan berbagai jenis data melalui wawancara, studi literatur, dan dokumen, serta membandingkan data tersebut. Setelah triangulasi data dilakukan, keobjektifan penelitian dipertahankan dengan cara memaparkan data apa adanya.

Dalam penelitian yang mengumpulkan data melalui teknik document based research, terdapat keterbatasan dalam memastikan kebenaran informasi yang diperoleh. Oleh karena itu, upaya untuk memverifikasi kebenaran informasi dengan membandingkan dengan sumber data lain perlu dilakukan. Strategi efektif untuk melakukan validasi data adalah dengan melakukan triangulasi, sebagaimana diungkapkan oleh Lamont (2015,:79). Dalam riset ini, data yang terkumpul seperti yang tertera pada tabel 1.1 dan tabel 1.2 akan dilakukan triangulasi untuk memastikan analisis dan kesimpulan yang dihasilkan dapat dipercaya. Selain validitas, reliabilitas data juga perlu diperhatikan untuk memastikan konsistensi dan akurasi data yang digunakan dalam penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemahaman mengenai Poros Maritim Dunia (PMD) sejatinya merupakan konsep maupun teori baru dalam suatu kajian yang menjadi perhatian para pembuat kebijakan, baik akademisi hingga masyarakat umum terkait prinsip dan implementasi dari konsep PMD tersebut. agasan Poros Maritim Dunia sendiri muncul di bawah pemerintahan Joko Widodo pada periode awal kepemimpinannyaya sebagai Presiden Republik Indonesia di tahun 2014. Agenda tersebut dicanangkan sebagai kebijakan pembangunan Indonesia yang menitikberatkan pada pembangunan sektor kelautan di berbagai aspek pada rentang waktu 2015-2019 sebagai kebijakan Maritime Axis (Nainggolan, 2015). Konsep PMD diuraikan lebih lanjut dalam KTT Asia Timur pada 13 November 2014 di Nay Pyi Taw, Myanmar dimana Jokowi menjelaskan bahwa doktrin mengenai kebijakan PMD menyasar pembangunan infrastruktur tol laut, industri perkapalan dan pariwisata maritim serta penerapan diplomasi maritim, baik itu peningkatan kerja

sama maupun penanganan konflik maritim, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah dan perompakan maritim. (Syahrin,2018). Strategi tersebut memuat pesan politik yang mengindikasi para pemimpin di kawasan Asia Tenggara, Timur dan Asia Pasifik untuk mendorong stabilitas keamanan dan ekonomi regional dan global–mengingat urgensi kawasan Asia Pasifik telah bertransformasi menjadi percaturan penting dunia. Karena itu, gagasan Poros Maritim Dunia di konsiderasi menjadi langkah untuk menegakkan kedaulatan wilayah perairan Indonesia yang mampu menopang peningkatan mutu sumber daya manusia, merevitalisasi sektor ekonomi, menguatkan konektivitas maritim dan konservasi biodiversitas laut.

Orientasi dan ekspektasi terhadap kebijakan Poros Maritim Dunia merupakan pertimbangan yang matang mengingat potensi laut Indonesia yang besar dan kaya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan terletak diantara Benua Asia dan Australia dengan wilayah didominasi perairan sekitar 70%. Kawasan perairan Indonesia juga sangat strategis dimana berada diantara dua perairan besar yaitu Samudra Pasifik dan Hindia, menempati posisi silang antara laut dan selat penting dunia diantaranya Selat Malaka, Selat Makassar, Selat Sunda dan Selat Lombok sebagai choke point dunia, Selat Sunda, Laut Tiongkok Selatan dan lainnya–memperkukuh positivitas realisasi gagasan Poros Maritim Dunia untuk menjadi pusat jalur penghubung transportasi laut dunia efisien yang dapat mendongkrak perekonomian negeri. Dengan demikian, pedoman yang diterapkan mengacu pada realita geopolitik, geoekonomi dan geostrategis Indonesia dimana terdapat lima pilar dalam kebijakan Poros Maritim Dunia. Di antaranya revitalisasi budaya maritim, membangun ekonomi maritim melalui komitmen untuk pengelolaan sumber daya laut dengan fokus pada kedaulatan pangan dan menempatkan nelayan sebagai pilar penting, mewujudkan konektivitas maritim melalui pembangunan infrastruktur laut, menguatkan ketahanan dan pertahanan maritim, serta diplomasi maritim untuk mengajak mitra Indonesia bekerja sama di bidang kelautan.

Pembangunan tol laut, pemberantasan illegal fishing, penekanan angka overfishing, rehabilitasi kerusakan laut dan pesisir merupakan salah di antara wujud nyata implementasi kebijakan Poros Maritim Dunia berlandaskan pada ke-5 pilar yang telah dijabarkan sebelumnya. Komitmen pemerintah Indonesia dalam upaya pemberantasan pencurian ikan masif oleh pihak asing melalui penerbitan Perpres 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing) menunjukan integritas dalam menjaga kedaulatan Indonesia yang mana hal tersebut lebih lanjut ditindak secara konkret melalui penenggelaman kapal-kapal asing pencuri ikan pada selang periode 2014-2018 dan telah mencapai 488 unit. Kapal-kapal tersebut diantaranya milik negara tetangga Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam hingga Tiongkok. Kebijakan tersebut berjalan sebagaimana proses hukum yang tepat dimana pembakaran dan penenggelaman adalah kapal-kapal yang disita oleh pengadilan dengan kasus inkracht (terbukti melakukan illegal fishing). Tindakan yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan di bawah ibu Susi Pudjiastuti yang saat menjabat posisi menteri menunjukan

keseriusan penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum perairan Indonesia– mengingat kerugian besar yang ditimbulkan akibat praktik illegal unreported and unregulated fishing pernah mencapai 240 triliun rupiah. Upaya tersebut merupakan cerminan positif di samping realita aktivitas pencurian ikan masih terus terjadi namun dampak negatif yang dirasakan telah berhasil ditekan. Dengan begitu, masyarakat pesisir negeri yang hidupnya bergantung pada sumber daya laut, melalui pengelolaan berkelanjutan dan optimal berarti mendukung kehidupan mereka dan menyokong sirkulasi aktivitas ekonomi di daerah pesisir yang manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.

Selain persoalan illegal fishing, akses laut Indonesia juga menjadi sorotan mengingat disparitas harga yang tinggi terkait distribusi barang dan jasa di kawasan barat dan timur Indonesia akibat persoalan inefisiensi transportasi, keterbatasan sarana telah menyebabkan melonjaknya biaya logistik tinggi dalam prosesnya sementara aktivitas perniagaan utama dilakukan melalui jalur laut yang berimbas pada penyedia logistik, perusahaan manufaktur atau penyedia bahan baku hingga konsumen. Dengan demikian, konsep tol laut dimaksudkan terhadap upaya kinerja transportasi laut Indonesia untuk dapat meningkat secara kualitas dan kuantitas dalam jaringan pelayaran domestik dan internasional melalui penurunan dwelling time sebagai penghambat kinerja pelabuhan nasional dan signifikansi peranan lainnya. Karena itu, aplikasi pilar konektivitas maritim melalui pembangunan tol laut sehingga meningkatkan efektivitas pelabuhan di konsiderasi menjadi kebijakan cerdas dalam menangani permasalahan transportasi laut negeri, mengatasi disparitas harga barang antar wilayah Indonesia hingga menunjukan kancah Indonesia di dunia internasional dalam hal ini kekuatan laut nya.

Dalam pengembangan konektivitas maritim ditetapkan dalam skema jangka pendek dan panjang yang mengacu pada total pelabuhan utama Indonesia sebanyak 33 unit, 217 pelabuhan pengumpul dan 990 pelabuhan pengumpan. Tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim dalam jangka pendek dilakukan dengan cara meningkatkan kapasitas empat pelabuhan utama, yaitu Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar sementara keseluruhan pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpan akan menjadi tulang punggung bagi jaringan pelayaran domestik dan bagian dari jaringan pelayaran internasional untuk distribusi barang. Dengan begitu, konektivitas maritim Indonesia dapat terwujud secara efektif dan efisien melalui penjadwalan rutin pelayaran dan pengangkutan logistik secara terstruktur dimana kekosongan angkutan dari wilayah timur ke barat Indonesia dapat ditekan sehingga mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi negeri secara inklusif. Lebih lanjut, ekonomi kelautan Indonesia diharapkan dapat memenuhi target kenaikan status kelas Indonesia dari negara menengah bawah (lower middle income) pada dewasa ini, dengan penghasilan per kapita penduduknya US$ 3.592, ke negara dengan tingkat penghasilan menengah atas (upper middle income), dengan pendapatan per kapita penduduknya mencapai US$ 10.000, pada tahun 2045 (Nainggolan;2015).

Meninjau penjabaran implementasi gagasan Poros Maritim Dunia, penulis memahami adanya keselarasan kebijakan domestik dalam pengewanjatahan politik

luar negeri Indonesia sebagaimana orientasi tindak penegakkan hukum atas kedaulatan wilayah perairan Indonesia, pembangunan transportasi laut dan lainnya pada skema diplomasi ekonomi. Salah satu pilar dari PMD yakni diplomasi maritim secara nyata menunjukan intensi pemerintah untuk memperluas jaringan kerjasama dengan aktor negara maupun non-negara guna mengoptimalkan potensi laut negeri sejalan dengan hukum nasional juga internasional. Melalui skema PMD, agenda mendongkrak perekonomian negara realita dijalankan bukan hanya dalam sirkulasi domestik melainkan juga internasional.

Sebagai bagian dari diplomasi maritim Indonesia, Rashid (2005) menjelaskan bahwa diplomasi ekonomi sebagai suatu proses formulasi dan negosiasi dari kebijakan yang identik dengan adanya kegiatan produksi serta pertukaran barang, jasa, tenaga kerja, dan investasi di negara lain. Melihat dinamika hubungan internasional yang pergerakkan nya secara cepat didorong oleh sektor perekonomian tentu menempatkan negara-negara dalam upaya mengamankan dan memperkuat posisi maupun peranan penting ekonomi nya secara global dan mendorong pengoptimalan ekonomi sebagai instrumen penting tersebut untuk semakin mensejahterakan masyarakat yang juga dipenuhi melalui pencapaian tujuan politik luar negeri. Karena itu, konsepsi Poros Maritim Dunia dapat termaktub dalam hubungan internasional Indonesia selaku negara yang menerapkan sasaran tersebut.

Kebijakan luar negeri sendiri harus relevan dengan karakter suatu negara secara geografis, atau sesuai dengan latar belakang sejarah dan didukung oleh perspektif geopolitik dan geostrateginya. Dengan begitu, hal ini semakin menguatkan posisi kebijakan Poros Maritim Dunia yang terkait dengan sejumlah hukum internasional yang diratifikasi Indonesia termasuk Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 dan UNCLOS 1982. Pengaplikasian Poros Maritim Dunia sebagaimana penjelasan sebelumnya mengantarkan masyarakat untuk mengembalikan jati diri maritim yang selama ini telah terkikis dan menunjukan kontribusi pesisir negeri dalam konstelasi pelayaran internasional.

Relevansi Indonesia dalam memposisikan dirinya sebagai penghubung efisien transportasi dunia yang dapat dipromosikan dalam skema diplomasi ekonomi juga terefleksi pada penyediaan pelabuhan internasional Kuala Tanjung dan Bitung. Mendeskripsikan strategi dari pembangunan tol laut sebagaimana penjelasan sebelumnya, maka eksistensi kedua pelabuhan internasional tersebut menempatkan Indonesia sebagai tempat singgah kapal-kapal dagang asing sehingga dapat terkontrol dengan mudah, meminimalisir pergerakan dan penetrasi produk asing ke dalam negeri. Hal ini mendorong industri kargo dan logistik lokal untuk mengakses perairan lebih jauh jangkauannya dan berpartisipasi aktif dalam perdagangan internasional termasuk soal distribusi, ekspor dan impor di samping pemerintah Indonesia membangun pelabuhan utama lainnya sekaligus persiapan pengoperasian yang efektif. Nilai inilah yang kemudian dibawa dan diperkenalkan dalam diplomasi Indonesia dimana kebijakan Poros Maritim Dunia mampu mendorong maupun mengakselerasi pertumbuhan ekonomi negeri bukan hanya dalam operasi domestik melainkan menjaring internasional melalui

operasionalisasi tol laut. Dengan demikian, prinsip pemanfaatan alat maupun instrumen ekonomi dalam politik luar negeri untuk mendapat output ekonomi lebih dapat terwujud disertai penegakkan hukum kedaulatan wilayah perairan yang tegas untuk kelangsungan kehidupan masyarakat Indonesia terutama masyarakat pesisir dengan tetap mengedepankan aspek pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan.

Potensi Diplomasi Ekonomi Indonesia dalam Cetak Biru ASEAN Blue Economy

Blue Economy telah muncul sebagai salah satu isu penting, terutama bagi negara-negara Asia Tenggara, karena dipandang sebagai suatu bidang yang memiliki potensi untuk menjadi penggerak bagi inovasi dan pertumbuhan ekonomi dalam ekonomi global dewasa ini. Meskipun istilah tersebut telah memperoleh daya tarik tersendiri bagi berbagai pemangku kepentingan yang berada di sektor negara dan non-negara, konsep tersebut masih dalam perjalanan untuk mencapai suatu definisi yang dapat diterima dan digunakan secara regional maupun global. Blue economy merupakan integrasi dari perkembangan ekonomi maritim dengan melibatkan praktik keterlibatan sosial, keberlanjutan lingkungan, serta model bisnis yang inovatif dan dinamis yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia secara holistik.

Pada sektor keluatan, kawasan Asia Tenggara merupakan rumah bagi hampir 30% terumbu karang dunia, 35% hutan bakau, dan setidaknya 18% padang lamun di dunia, Asia Tenggara juga menjadi kawasan yang berbatasan dengan beberapa wilayah laut yang paling kaya secara ekonomi dan ekologis di dunia (wri: 2022). Bagi beberapa negara dalam kawasan tersebut, ekonomi maritim menjadi salah satu sektor penyumbang produk domestik bruto (PDB) nasional, seperti Vietnam dengan angka 22% dan Indonesia dengan angka 15%. Potensi sumber daya alam yang dimiliki dari kawasan tersebut bagi blue economy pun bervariasi, mulai dari tenaga ombak di Indonesia, sumber gas alam di Kepulauan Natuna, energi arus pasang surut di Lombok Timur, dan konversi energi panas laut dari Bali. Menilik dari hal tersebut, pemerintah negara-negara Asia Tenggara telah menyadari pentingnya eksploitasi yang berkelanjutan atas laut dan sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai kepentingan nasional yang berjangka panjang. Di sisi lain, kawasan tersebut juga telah menunjukkan adanya overfishing atau kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan area pantai dalam kawasan ini sebagai salah satu area yang rentan terkena dampak dari perubahan iklim. Studi Lingkup Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Ekonomi Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati (ASEAN TEEB) yang dilaksanakan pada tahun 2016 melaporkan bahwa Asia Tenggara diperkirakan akan kehilangan sepertiga hutan bakaunya dari tahun 2000 hingga 2015, pada tingkat perkiraan biaya sebesar US$2 miliar (nilai tahunan pada tahun 2050). Biaya hilangnya perikanan terkait terumbu karang di wilayah tersebut diperkirakan sebesar US$5,6 miliar (nilai tahunan pada tahun 2050), dengan kerugian tertinggi di Indonesia dan Filipina. Sementara itu, biaya lingkungan keseluruhan dari penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, pembangunan pesisir, polusi, dan dampak perubahan iklim di Filipina mencapai US$129,5 juta, dan sekitar US$2,62 miliar di Thailand (teriin, 2021).

Keseimbangan atas memanfaatkan peluang ekonomi dan kekhawatiran atas keberlanjutan lingkungan tersebut menjadi dasar dari mengapa konsep blue economy telah diperjuangkan dalam cakupan yang lebih luas, yakni kawasan Asia Timur, di mana negara-negara yang berada di garis depan dari perluasan konsep tersebut merupakan sejumlah negara Asia Tenggara sendiri. Lebih jauh lagi, Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA), yang beranggotakan Indonesia, Filipina, Vietnam, Singapura, Cambodia, Laos, dan Timor Timur telah meluncurkan East Asian Seas Sustainable Business Network (EAS-SBN) yang melibatkan perusahaan dan investor untuk berinvestasi terhadap lebih dari 300 potensi peluang investasi dalam pengelolaan pesisir. Selain itu, forum Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) juga telah menobatkan proyek-proyek dalam bidang blue economy sebagai peringkat satu dalam proyek yang memperoleh pendanaan APEC dan dipimpin oleh APEC Oceans and Fisheries Group. Sebagai kontribusi terhadap hal ini, pada tahun 2014 Indonesia juga telah mengadopsi Hukum Laut yang menggambarkan penggunaan sumber daya lautnya, konservasi dan perlindungannya, dan menetapkan perencanaan tata ruang laut sebagai alat untuk mengelola penggunaan pesisir dan lautannya (Pyc, 2019).

Upaya terbaru untuk mewujudkan hal ini dapat terlihat dari adanya ASEAN Leaders’ Declaration on Blue Economy yang dibuat pada ASEAN Summit ke-38 pada tahun 2021 dan menghasilkan ASEAN Blue Economy Framework. Kerangka kerja ini menjadi jawaban dari pendekatan strategis yang dikembangkan untuk mencapai tujuan dan prioritas ASEAN Blue Economy dengan memanfaatkan potensi ekonomi maritim ASEAN yang berkesinambungan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDG). Kerangka tersebut juga merupakan salah satu hasil ekonomi prioritas di bawah Keketuaan ASEAN 2023 Indonesia dan akan dikembangkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (BAPPENAS) dan didukung oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).

Jika melihat dari Indonesia sebagai salah satu “juara regional” dari blue economy ASEAN, lautan Indonesia menjadi sektor vital yang menyumbang sekitar US$1.2 triliun pada pendapatan nasional per tahun (Pujayanti, 2020). Hal ini tentunya menjadi penyebab dari adanya ketertarikan besar yang ditunjukkan Indonesia terhadap blue economy, terlebih melalui kebijakan Poros Maritim Dunia (PMD) milik Jokowi. Namun, isu yang lebih pragmatis di balik upaya tersebut yaitu biaya ekonomi dari eksploitasi sumber daya laut yang tidak berkelanjutan. Misalnya, penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU) telah menyebabkan kerugian ekonomi tahunan hingga US$20 miliar di Indonesia, dengan beberapa daerah penangkapan ikan sudah sangat terkuras. Selain itu, praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan semakin menjadi risiko bisnis – contohnya adalah Uni Eropa (UE) yang memberikan peringkat perikanan kartu kuning kepada Filipina pada tahun 2014, mengakibatkan hilangnya akses pasar yang signifikan yang sebelumnya mencapai US$200 juta per tahun. Hal ini sama relevannya dengan Indonesia, yang ekspor ikannya ke UE berjumlah sekitar

US$530 juta per tahun, dan semakin tunduk pada standar keberlanjutan UE (Lingga, 2014).

Dalam keterkaitannya dengan diplomasi dalam bidang ekonomi yang dimiliki Indonesia, profil ekonomi dan politik Indonesia yang berkembang memungkinkan adanya penegasan kendali kepemimpinan regional pada blue economy tanpa harus membatasi diri pada sarana dan mekanisme ASEAN. Di masa lalu, Indonesia biasanya mengadopsi praktik “memimpin dari belakang” dalam ASEAN dalam isu-isu regional,. Namun, di bawah pemerintahan Jokowi saat ini, indikasi tampaknya lebih kuat bahwa Indonesia “berpaling” dari ASEAN menunjukkan peran kepemimpinan yang lebih mandiri di kawasan dan orientasi global yang meningkat. ASEAN yang dulunya merupakan landasan kebijakan luar negeri Indonesia, kini menjadi salah satu dari sekian banyak landasan. Pergeseran dalam kebijakan luar negeri Indonesia sebagian besar mengalami ketidakpuasannya dengan proses pengambilan keputusan di ASEAN.

Hal ini juga mencerminkan berbagai tingkat keterlibatan Indonesia di tingkat regional di berbagai bidang isu. Preferensi dan kepentingan kebijakan utamanya ASEAN pada umumnya, dan integrasi regional pada khususnya, secara historis terletak pada bidang keamanan dan pertahanan, yang tetap berlaku sampai hari ini. Alasan di balik ini ada tiga: saling ketergantungan ekonomi yang terbatas antara Indonesia dan tetangganya; perspektif Indonesia yang melihat lebih dari sekadar wilayah untuk mencari peluang ekonomi; dan perbedaan kepentingan negara-negara anggota dalam kaitannya dengan ciri-ciri utama integrasi regional. Hal ini menjelaskan mengapa dalam isu blue economy, yang pada hakekatnya merupakan usaha ekonomi, Indonesia lebih memilih untuk menegaskan kepemimpinan daerah secara mandiri, setidaknya untuk saat ini. Namun, hal ini tidak menunjukkan kurangnya apresiasi terhadap perlunya kerja sama multilateral dalam menangani isu-isu maritim, karena strategi maritimnya yang baru secara eksplisit membawa semangat keinginan yang kuat untuk membangun kerja sama dan dialog antar negara untuk memajukan kepentingan bersama dalam meningkatkan keberlanjutan. pengembangan kepedulian maritim.

Dari sikap Indonesia dalam mengarahkan diplomasi ekonominya tersebut, dapat dilihat bahwa diplomasi ekonomi Indonesia serta berbagai kebijakan dalam bidang maritim seperti kebijakan PMD menjadi potensi terhadap cetak biru ASEAN Blue Economy yang masih memiliki jalan panjang untuk dikembangkan. Potensi tersebut tentunya juga menjadi sumbangsih dari keperluan kawasan tersebut untuk lebih mempertimbangkan kepentingan yang berbeda dari setiap negara anggota dalam blue economy. Dari 11 negara anggota Asia Tenggara, hanya lima yang dapat dianggap sebagai bagian dari “maritim Asia Tenggara”, yaitu Indonesia, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Maka dari itu, tidak semua negara Asia Tenggara dapat menjadikan blue economy sebagai prioritas utama dari kepentingan nasionalnya. Selain itu, di antara negara-negara maritim tersebut, kepentingan utama dari setiap negara bahkan saling berbeda, seperti wisata pesisir dan laut untuk Filipina, Malaysia dan Indonesia; sektor perkapalan dan infrastruktur maritim untuk Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam dan Filipina; dan

pengelolaan perikanan dan ekspor makanan laut untuk Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Oleh karena itu, penting untuk dapat mengintegrasikan dan mengkoordinasikan keragaman kepentingan maritim nasional di bawah kerangka blue economy tingkat regional, dan akan membutuhkan kepemimpinan politik oleh satu atau lebih negara yang dilengkapi dengan langkah-langkah sikap kerja sama, dan kompromi. Namun, hal yang dapat dititikberatkan juga terletak di potensi Indonesia untuk menjadi motor dari perkembangan ASEAN Blue Economy.

SIMPULAN

Sektor maritim memiliki peran penting dalam mengembangkan kerjasama ekonomi antar negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Tenggara ini dapat dilihat melalui Poros Maritim Dunia merujuk pada strategi yang melibatkan pemanfaatan potensi maritim untuk memperkuat kemitraan ekonomi dan diplomasi antarnegara. Dalam konteks ini, ASEAN Blue Economy menjadi komponen penting dalam upaya diplomasi ekonomi Indonesia. Dalam pembahasan sebelumnya, sektor kelautan memiliki potensi besar sebagai sumber daya ekonomi yang belum sepenuhnya dimanfaatkan meski ASEAN Blue Economy merupakan kerangka kerja yang digunakan oleh negara-negara anggota ASEAN untuk mengembangkan potensi ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan. Sejatinya Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki peran kunci dalam menjalankan ASEAN Blue Economy ini.

Melalui diplomasi ekonomi, Indonesia berusaha menjalin kerjasama dengan negara-negara di kawasan dan poros maritim dunia secara luas. Kerjasama yang telah kami proyeksikan ini meliputi berbagai bidang seperti perdagangan, investasi, pariwisata, pengelolaan sumber daya kelautan, dan perlindungan lingkungan maritim melalui strategi Poros Maritim Dunia (PMD). Ini merupakan konsep penting dalam diplomasi ekonomi Indonesia. Dalam rentang waktu 2015-2019, kebijakan Maritime Axis dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo untuk memperkuat sektor kelautan dan membangun infrastruktur tol laut, industri perkapalan, pariwisata maritim, dan diplomasi maritim. PMD bertujuan untuk meningkatkan stabilitas keamanan dan ekonomi regional dan global. Dengan memanfaatkan potensi laut Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan ribuan pulau dan posisi strategis di antara Samudra Pasifik dan Hindia, PMD dapat menjadi pusat jalur penghubung transportasi laut dunia yang efisien.

Diplomasi maritim juga menjadi fokus untuk memperluas kerjasama dengan negara-negara lain dalam memanfaatkan potensi laut Indonesia secara optimal. Dalam konteks ASEAN Blue Economy, Indonesia memiliki potensi besar untuk berperan dalam mempromosikan ekonomi biru di kawasan. Dengan membangun pelabuhan internasional dan mengoptimalkan tol laut, Indonesia dapat menjadi penghubung efisien dalam transportasi laut global. Keberhasilan PMD dan diplomasi ekonomi Indonesia tidak hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi domestik, tetapi juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam konteks hubungan internasional dan perdagangan internasional. Dalam politik luar negeri,

penerapan PMD mengintegrasikan kebijakan nasional dan internasional yang didukung oleh hukum internasional yang relevan. Melalui PMD, Indonesia dapat mengembalikan identitas maritimnya dan memainkan peran penting dalam konstelasi pelayaran internasional ASEAN Blue Economy melalui implementasi PMD dan skema diplomasi ekonomi Indonesia memiliki dampak positif dalam meningkatkan perekonomian negara, mempertahankan kedaulatan wilayah perairan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif.

Indonesia juga memiliki potensi dalam mencetak ASEAN Blue Economy. Blue Economy merupakan konsep yang mengacu pada pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan banyak pulau dan perairan strategis, memiliki peran penting dalam pengembangan ekonomi biru ASEAN. Melalui implementasi PMD dan skema diplomasi ekonomi, Indonesia dapat mempromosikan dirinya sebagai penghubung efisien transportasi laut dunia dan berpartisipasi aktif dalam perdagangan internasional. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai langkah seperti pembangunan pelabuhan internasional, peningkatan kapasitas pelabuhan, dan operasionalisasi tol laut. Semua ini bertujuan untuk meningkatkan konektivitas maritim, mengurangi disparitas harga antar wilayah, dan memperkuat posisi ekonomi Indonesia secara global.

REFERENSI

Anwar, D. F. (2020). Indonesia and the ASEAN outlook on the Indo-Pacific. International Affairs, 96(1), 111-129.

Ampun, A. C. R. A., & Purba, A. O. (2021). Strategi Pertahanan Maritim Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(3), 321-325. http://dx.doi.org/10.31604/jips.v8i3.2021.321-325

ASEAN LEADERS’ DECLARATION ON THE BLUE ECONOMY. https://asean.org/wp-content/uploads/2021/10/4.-ASEAN-Leaders-Declaration-on-the-Blue-Economy-Final.pdf

Astuti, W. R. D., & Fathun, L. M. (2020). Indonesian Economic Diplomacy in the G20 Economic Regime during the Administration of Joko Widodo. Intermestic: Journal Of International Studies, 5(1), 47-68. http://dx.doi.org/10.24198/intermestic.v5n1.4

Bayne, N., & Woolcock, S. (2003). The new economic diplomacy. Decision-making and negotiation in international economic relations, 2.

Chohan,    U.    W.     (2021).     Economic    Diplomacy:     A    Review.

https://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3762042

Creswell, J. W. (2009). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches           (3th           ed.).           SAGE           Publications.

https://www.researchgate.net/profile/Daliborka-

Luketic/publication/320521456_Book_Review_Nacrt_istrazivanja_kvalitativni_kvantit ativni_i_mjesoviti_pristupi/links/5a8ad103aca272017e62aa7a/Book-Review-Nacrt-istrazivanja-kvalitativni-kvantitativni-i-mjesoviti

Delanova, M. (2016). Diplomasi Ekonomi Indonesia dan Negara-negara Berkembang dalam G-33 untuk Mempromosikan Proposal Special Products dan Special Safeguard

Mechanism. Dinamika Global: Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, 1(01), 14-31. https://ejournal.fisip.unjani.ac.id/index.php/jurnal-dinamika-global/article/view/12/3

Djelantik, S. (2008). Diplomasi antara teori dan praktik. Graha Ilmu.

Gamage, R. N. (2016). Blue economy in Southeast Asia: Oceans as the new frontier of economic development. Maritime Affairs: Journal of the National Maritime Foundation of India, 12(2), 1-15.

Gindarsah, I., & Priamarizki, A. (2015). Indonesia's maritime doctrine and security concerns.

S. Rajaratnam School of International Studies.

Ilma, A. F. N. (2014). Blue economy: kesimbangan perspektif ekonomi dan lingkungan. Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan, 14(1). https://doi.org/10.20961/jiep.v14i1.2112

Jusuf, G. (2012). Ekonomi Biru Menjadi Arah Kebijakan Pembangunan Perikanan. Siaran Pers Tanggal, 6.

Killian, P. M. E. (2021). Economic Diplomacy as a Subject and Research Agenda: Practical, Conceptual and Methodological Issues. Global Strategies,  15, 51-78. https://e-

journal.unair.ac.id/JGS/article/view/22769/13573

Lamont, C. (2015). Research Methods in International Relations. SAGE Publications.

Lee, D., & Hocking, B. (2010). Economic diplomacy. In Oxford research encyclopedia of international studies.

Lingga, V. (2014). Indonesia showcases its blue economy projects in fisheries at FAO. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/news/2014/06/10/indonesia-showcases-its-blue-economy-projects-fisheries-fao.html

Malik, M. (Ed.). (2014). Maritime Security in the Indo-Pacific: Perspectives from China, India, and the United States. Rowman & Littlefield.

Mas’oed, M. (2008). Ekonomi Politik Internasional Pembangunan. Pustaka Belajar.

Misuari, M. N., Bambang, A. N., & Purwanto, P. (2015). Penerapan Blue Economy untuk Perikanan Berkelanjutan di Sekolah Usaha Perikanan Menengah Tegal. Jurnal Perikanan Universitas Gadjah Mada, 17(1), 35-47. https://doi.org/10.22146/jfs.9940

Octavian, A. (2019). Indonesian Navy, Global Maritime Fulcrum and Asean. Seskoal Press.

Odell, J. S. (2000). Negotiating the world economy. Cornell University Press.

Pace, L. A., Saritas, O., & Deidun, A. (2023). Exploring future research and innovation directions for a sustainable blue economy. Marine Policy,  148,  105433.

https://doi.org/10.1016/j.marpol.2022.105433

Pauli, G. A. (2010). The blue economy: 10 years, 100 innovations, 100 million jobs. Paradigm publications.

Pujayanti, D.A. (2020). Halal Industry as a Paradigm For Sustainable Development Goals in the Era of the Industrial Revolution 4.0. Youth Islamic Economic, 3(1): 20-33. https://jurnalhamfara.ac.id/index.php/yie/article/view/48/38.

Prayuda, R. (2019). Strategi Indonesia dalam implementasi konsep blue economy terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir di era masyarakat ekonomi Asean. Indonesian Journal of International Relations, 3(2), 46-64.

Pyc, D. (2019). The Role of the Law of the Sea in Marine Spatial Planning: Past, Present, Future. Marine Spatial Planning, 375-395, DOI: 10.1007/978-3-319-98696-8_16. https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-98696-8_16

Radjendra, P, et al. (2022). Indonesia’s Vision As Global Maritime Fulcrum: A Geopolitical Strategy To Address Geopolitical Shifts In Indo-Pacific. Journal of Positive School Psychology 2022, Vol. 6, No. 5, 8621-8634

Rajni Nayanthara Gamage (2016) Blue economy in Southeast Asia: Oceans as the new frontier of economic development, Maritime Affairs: Journal of the National Maritime Foundation of India, 12:2, 1-15, DOI: 10.1080/09733159.2016.1244361

Rashid, H. U. (2005). Economic Diplomacy in South Asia. Address to the Indian Economy & Business Update, 18.

Razladova, O., & Nyoko, A. E. (2022). BLUE ECONOMY DEVELOPMENT IN

INDONESIA. Journal of Management Small and Medium Enterprises (SMEs), 15(1), 89-105. https://doi.org/10.35508/jom.v15i1.6516

Sutardjo, C. s. (2021, December 10). Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Retrieved March 20,    2023, from

https://kkp.go.id/artikel/36747-kkp-ajak-generasi-muda-kembangkan-ekonomi-biru

Teriin. (2021). Contextualising Blue economy in Asia-Pacific    Region.

https://www.teriin.org/sites/default/files/2021-03/blue-economy.pdf

Wri. (2022). Biodiversity of Southeast Asian Coral Reefs. http://pdf.wri.org/rrseasia_chap2.pdf

Yani, Y,M & Montratama, I. (2018). INDONESIA SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA: SUATU                 TINJAUAN                 GEOPOLITIK.

https://www.researchgate.net/publication/330664453_INDONESIA_SEBAGAI_POR

OS_MARITIM_DUNIA_SUATU_TINJAUAN_GEOPOLITIK

Zulham, M., & Saragih, H. M. (2021). Strategi Indonesia dalam Mewujudkan Poros Maritim Dunia di Tengah Kebijakan Jalur Sutra Maritim China. Populis: Jurnal Sosial dan Humaniora, 4(1), 49-61. http://dx.doi.org/10.47313/pjsh.v4i1.593

E-ISSN 2685-4570

148

VOL. 5 NO. 2, DESEMBER 2023