SLAUGHTER WEIGHT AND FAT BROILER CHICKEN FED FERMENTED RATIONS WITH LIGNOCELLULOLYTICS PROBIOTIC BACTERIA
on
ISSN 2722-7286
Jurnal
FAPET UNUD
Jurnal
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
Submitted Date: April 21, 2022
Accepted Date: September 3, 2022
Editor-Reviewer Article : Eny Puspani & A.A. Pt. Putra Wibawa
BOBOT POTONG DAN PERLEMAKAN AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM TERFERMENTASI BAKTERI PROBIOTIK LIGNOSELULOLITIK
Suarningsih, N. K. A. A., I M. Mudita, dan N. M. S. Sukmawati
PS. Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail: [email protected], Telp +6283114338896
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ransum terfermentasi bakteri probiotik lignoselulolitik terhadap bobot potong, persentase lemak abdominal dan lemak subkutan ayam broiler. Penelitian dilaksanakan di Farm Sesetan Fakultas Peternakan Universitas Udayana pada bulan Mei sampai Juni 2020. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Tiap unit percobaan diisi 3 ekor ayam. Kelima perlakuan tersebut adalah ayam yang diberi ransum komersial (RK), ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik (RF0), ransum terfermentasi bakteri Bacillus subtilis BR4LG sebanyak 5% (RF1), ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT3CL sebanyak 5% (RF2), dan ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT8XY sebanyak 5% (RF3). Variabel yang diamati yaitu bobot potong, persentase lemak bantalan, lemak mesenterium, lemak ventrikulus dan lemak subkutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan RF1, RF2 dan RF3 menghasilkan bobot potong dan persentase lemak subkutan yang nyata (P<0,05) lebih tinggi dibanding RF0, tetapi secara umum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase lemak abdominal kecuali lemak bantalan. Perlakuan RF0, RF1, RF2 dan RF3 menghasilkan bobot potong, persentase lemak abdominal dan lemak subkutan yang nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan RK. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum terfermentasi bakteri probiotik lignoselulolitik sebanyak 5% mendapatkan bobot potong, persentase lemak abdominal dan lemak subkutan lebih rendah dari perlakuan ransum komersial, namun lebih tinggi dari pemberian ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik.
Kata Kunci: Broiler, Lemak Abdominal, Subkutan, Lignoselulolitik
SLAUGHTER WEIGHT AND FAT BROILER CHICKEN FED FERMENTED RATIONS WITH LIGNOCELLULOLYTICS PROBIOTIC BACTERIA
ABSTRACT
This research aims to determine the effects of fermented rations with lignocellulolytics probiotic bacteria on slaughter weight, percentage of abdominal fat and subcutaneous fat of broiler chickens. The research was conducted at Sesetan Farm, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University in May to June 2020. The design used Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatments and 4 replications. Each experimental unit was filled with 3 chickens. The five treatments are chickens given commercial rations (RK), fermented rations without lignocellulolytics probiotic bacteria (RF0), fermented ration with 5% Bacillus subtilis BR4LG bacteria (RF1), fermented ration with 5% Bacillus sp. BT3CL bacteria (RF2), and fermented ration with 5% Bacillus sp. BT8XY bacteria (RF3). The observed variables were slaughter weight, percentage of pads fat, mesentery fat, ventricular fat and subcutaneous fat. The results showed that the treatment of RF1, RF2 and RF3 resulted in slaughter weight and the subcutaneous fat percentage which was significantly (P<0.05) higher than RF0, but in general it had no significant effect (P>0.05) on percentage of abdominal except the pads fat. The RF1, RF2 and RF3 treatments resulted was significantly (P<0.05) lower slaughter weight, abdominal fat and subcutaneous fat percentages compared to the RK treatment. Based on the results of the study, concluded that the fermented ration of lignocellulolytics probiotic bacteria as much as 5% got the slaughter weight, the percentage of abdominal fat and subcutaneous fat was lower than the commercial ration treatment, but higher than the fermented ration without lignocellulolytics probiotic bacteria.
Keywords: Broiler, Abdominal Fat, Subcutaneous, Lignocellulolytics
PENDAHULUAN
Kebutuhan daging ayam broiler di Indonesia terus meningkat. Pada Tahun 2020, populasi ayam mencapai 2,970 miliar ekor (BPS, 2021). Ayam broiler memiliki kelebihan yaitu pertumbuhannya yang cepat, efisien dalam memanfaatkan pakan dan harga produk yang relatif terjangkau (Bidura, 2007). Menurut Salam et al. (2013), ayam broiler saat ini memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi dalam karkas yaitu mencapai 18% dari bobot hidup yang apabila dikonsumsi secara berlebihan diketahui menjadi sumber terjadinya obesitas tubuh dan penyakit jantung koroner. Kelebihan lemak pada ayam ditandai dengan tingginya jumlah lemak abdominal dan lemak subkutan di dalam tubuh ayam. Semakin meningkat persentase lemak abdominal dan lemak subkutan ayam broiler maka dapat menurunkan kuantitas dan kualitas daging yang dikonsumsi dan dianggap terjadi penghamburan energi pakan ayam broiler (Massolo, 2016).
Penimbunan lemak cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya umur dan bobot potong. Pemberian pakan berserat yang bersumber pada hijauan dapat dianjurkan untuk menurunkan kadar lemak dalam tubuh ayam broiler. Menurut Ariyansah (2018), penambahan 5% tepung daun kelor dalam pakan dapat menurunkan lemak ayam broiler sebesar 0,91%. Namun, penggunaan hijauan yang memiliki kandungan lignoselulosa selain mampu menurunkan lemak dapat berisiko menurunkan produktivitas ayam broiler karena tingginya kandungan serat lignoselulosa yang tidak mampu dicerna oleh ternak non-ruminansia. Oleh karena itu, untuk optimalisasi penurunan lemak pada ayam broiler perlu adanya penambahan feed additive dalam ransum (Jumiati et al., 2017).
Salah satu feed additive yang dapat digunakan adalah bakteri probiotik lignoselulolitik. Probiotik tidak meninggalkan residu dan tidak mengakibatkan resistensi, sehingga aman jika dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan penelitian Mudita (2019), bakteri probiotik lignoselulolitik yaitu Bacillus subtilis BR4LG yang berasal dari cairan rumen sapi bali, Bacillus sp. BT3CL dan Bacillus sp. BT8XY yang berasal dari rayap. Bakteri ini mempunyai peran sebagai agen probiotik. yang mampu hidup pada suhu 30-60°C, pH 3,0-6,5, serta mempunyai kemampuan pendegradasi senyawa lignoselulosa diantaranya lignin, selulosa dan hemiselulosa (Mudita, 2019).
Pada penelitian Kertiyasa et al. (2020) didapatkan bahwa pemberian bakteri probiotik Bacillus sp. BT3CL sebanyak 5% dalam air minum mampu meningkatkan bobot hidup dan menurunkan persentase lemak abdominal ayam broiler. Berdasarkan hasil penelitian Kertiyasa et al. (2020), maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian bakteri probiotik lignoselulolitik sebanyak 5% pada ransum fermentasi dengan inokulum yang lebih bervariasi diantaranya Bacillus subtilis BR4LG, Bacillus sp. BT3CL, dan Bacillus sp. BT8XY sebanyak 5%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ransum terfermentasi bakteri probiotik lignoselulolitik sebanyak 5% terhadap bobot potong, persentase lemak abdominal dan lemak subkutan ayam broiler.
MATERI DAN METODE
Materi
Waktu dan tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni tahun 2021 di Farm Sesetan Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang berlokasi di Jalan Raya Sesetan, Gang Markisa, Denpasar, Bali.
Ayam broiler
Penelitian ini menggunakan 60 ekor ayam broiler strain CP 707 yang diproduksi oleh PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk umur satu hari dengan kisaran bobot badan 43,96 g ± 3,02 tanpa dilakukan pemisahan antara jantan dan betina (unsexing).
Ransum dan air minum
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum yang diproduksi sendiri kemudian difermentasi menggunakan bakteri probiotik lignoselulolitik dan ransum komersial jenis 511 Bravo untuk umur 1-20 hari serta S12 G untuk umur 21-35 hari yang tanpa dilakukan fermentasi. Air minum yang diberikan selama penelitian bersumber dari air sumur bor yang diberikan secara ad libitum. Ransum diberikan secara ad libitum pada fase starter dan fase finisher. Komposisi bahan penyusun ransum fermentasi dapat dilihat pada Tabel 1, kandungan nutrien ransum dapat dilihat pada Tabel 2 untuk fase starter dan pada Tabel 3 untuk fase finisher.
Kandang dan peralatan
Kandang ayam yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang baterai koloni sebanyak 20 unit. Masing-masing unit kandang memiliki ukuran panjang 80 cm, lebar 60 cm dan tinggi 75 cm. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu tempat pakan, tempat air minum, lampu, koran, mesin pellet, sekam, timbangan kapasitas 10 kg, timbangan digital dengan kepekaan 100 g, lampu 40 Watt, kantong plastik, gloves, baskom, label, tali raffia, isolasi, terpal, ember, gelas takar air, pisau, panci, blender, talenan, sapu, nampan, thermometer, dan alat tulis untuk mencatat data yang diperoleh.
Tabel 1. Komposisi bahan penyusun ransum fermentasi
Bahan Pakan |
Komposisi (%) Starter Finisher |
Jagung kuning |
57 |
55 |
Dedak padi |
14 |
18 |
Tepung kedelai |
10 |
10 |
Tepung daun kelor |
5 |
5 |
Tepung ikan |
12,5 |
10 |
Premix |
1 |
1,5 |
Garam dapur |
0,5 |
0,5 |
Total |
100 |
100 |
Sumber: Disusun berdasarkan Standarisasi Nasional Indonesia (2006)
Tabel 2. Kandungan nutrien ransum fase starter
Nutrien |
Perlakuan 1) RK RF0 RF1 RF2 RF3 |
Bahan kering (%) Bahan organik (%) Abu (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Energi bruto (Kkal/g) |
90,47 97,63 97,71 97,78 98,18 92,24 89,46 89,40 89,40 88,76 7,76 10,54 10,60 10,60 11,24 26,77 19,96 20,37 21,16 20,31 3,42 4,06 2,60 2,48 2,76 8,75 10,81 11,52 10,37 10,43 4,58 3,79 3,91 3,92 3,89 |
Keterangan:
1) RK: Ayam yang diberi ransum komersial
RF0: Ayam yang diberi ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik
RF1: Ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus subtilis BR4LG sebanyak 5%
RF2: Ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT3CL sebanyak 5%
RF3: Ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT8XY sebanyak 5% Sumber: Lisandy (Unpublished)
Tabel 3. Kandungan nutrien ransum fase finisher
Nutrien |
Perlakuan 1) RK RF0 RF1 RF2 RF3 |
Bahan kering (%) Bahan organik (%) Abu (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Energi bruto (Kkal/g) |
87,31 96,87 97,70 97,31 97,63 93,99 90,08 90,01 90,15 89,46 6,89 10,24 10,23 10,13 10,80 26,31 19,85 21,70 19,92 20,75 2,34 4,19 3,01 2,92 3,47 7,07 9,86 7,92 8,81 9,02 4,82 4,00 3,76 4,01 3,95 |
Keterangan:
1) RK: Ayam yang diberi ransum komersial
RF0: Ayam yang diberi ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik
RF1: Ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus subtilis BR4LG sebanyak 5%
RF2: Ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT3CL sebanyak 5%
RF3: Ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT8XY sebanyak 5% Sumber: Gabrella (Unpublished)
Metode
Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Tiap unit percobaan diisi 3 ekor ayam sehingga total ayam yang digunakan adalah 60 ekor. Perlakuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
-
1. RK: Ayam yang diberi ransum komersial.
-
2. RF0: Ayam yang diberi ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik.
-
3. RF1: Ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus subtilis BR4LG sebanyak 5%.
-
4. RF2: Ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT3CL sebanyak 5%.
-
5. RF3: Ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT8XY sebanyak 5%. Pembuatan inokulum bakteri probiotik lignoselulolitik
Isolat yang digunakan dalam penelitian pembuatan ransum ayam broiler ini adalah bakteri probiotik lignoselulolitik unggul yang berasal dari cairan rumen sapi bali dan rayap hasil isolasi Mudita (2019) antara lain Bacillus subtilis BR4LG, Bacillus sp. BT3CL, Bacillus sp. BT8XY. Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu dikultur pada medium pertumbuhan cair (Nutrient Broth) dengan cara menginokulasikan 10% isolat bakteri dengan absorbansi 0,5 pada panjang gelombang (λ) 610 nm kemudian diinkubasi dengan suhu 39°C selama 3 hari. Medium, yang digunakan dalam, pembuatan inokulum. adalah molasses 10%, Nutrient Broth (NB) 1%, urea 0,5%, CMC 0,01%, pignox 0,15%, asam tanat 0,01%, garam dapur 0,25%, ZA 0,5% dan air sebagai pelengkap. Proses yang dilakukan dalam produksi inokulum adalah dengan cara mencampurkan 10% kultur bakteri (sesuai dengan perlakuan) pada 90% medium inokulum dalam keadaan anaerob dengan tetap dialiri gas CO2, setelah itu diinkubasi pada suhu 37,5°C selama 7 hari (Mudita, 2019).
Pembuatan ransum terfermentasi
Metode pembuatan ransum terfermentasi yaitu dengan cara mengumpulkan alat dan bahan-bahan pakan yang digunakan. Pencampuran ransum dilakukan dengan cara menimbang terlebih dahulu bahan-bahan penyusun ransum sesuai jumlah yang ditetapkan. Bahan ransum yang sudah ditimbang kemudian dicampur dan diaduk sampai homogen. Ransum yang telah homogen ditambahkan inokulum bakteri probiotik lignoselulolitik dalam bentuk cair sebanyak 5% dari total ransum yang diproduksi, kemudian ransum yang sudah ditambahkan bakteri dimasukkan kedalam kantong plastik dan diberikan kode sesuai perlakuan yang selanjutnya difermentasi dalam keadaan anaerob selama 7 hari. Ransum yang sudah difermentasi, dilanjutkan dengan proses pelleting dan pengeringan bertingkat pada suhu 40°C selama satu hari, 45°C selama 2 hari dan 50°C selama 2 hari. Setelah itu, dilakukan evaluasi terhadap kualitas ransum yang diproduksi. Ransum terfermentasi yang telah dievaluasi siap diberikan pada ayam broiler sesuai dengan perlakuan.
Pengacakan ayam
Pengacakan dilakukan sebelum penelitian dimulai, untuk mendapatkan bobot badan ayam yang homogen, maka semua ayam sebanyak 100 ekor ditimbang untuk mencari bobot badan rata-rata (X) dan standar deviasinya, ayam yang digunakan adalah yang memiliki Suarningsih, N. K. A. A., J. Peternakan Tropika Vol. 10 No. 3 Th. 2022 : 531 – 549 Page 536
kisaran bobot badan rata-rata 43,96 g ± 3,02. Ayam tersebut kemudian dimasukan ke dalam 20 unit kandang secara acak dan masing masing unit diisi 3 ekor, sehingga ayam yang digunakan sebanyak 60 ekor. Kemudian dilakukan pengacakan kandang untuk penentuan pemberian perlakuan. Pengacakan kandang dilakukan dengan menggunakan pengambilan gulungan kertas yang sudah berisi kode perlakuan.
Pemeliharaan
Persiapan kandang dimulai dari pencucian kandang dan peralatan menggunakan desinfektan untuk membunuh penyakit, pemberian sekam, pemasangan tempat pakan dan minum. DOC yang baru datang, ditimbang kemudian diberikan larutan air gula selama 4 jam untuk mengembalikan tenaga yang hilang dan mencegah stres perjalanan pada ayam. Sebanyak 20 unit lampu berdaya 40W digunakan sebagai penerangan selama 24 jam pada dua minggu pertama. Setelah dua minggu, lampu penerangan hanya digunakan pada malam hari. Ransum dan air minum diberikan ad libitum mulai ayam berumur 1 hari sampai umur 35 hari dengan pengontrolan ayam serta kandang dilakukan setiap hari.
Pemotongan ayam
Pemotongan ayam dilakukan pada saat ayam berumur lima minggu (35 hari). Sebelum dilakukan pemotongan, ayam terlebih dahulu dipuasakan selama 12 jam agar saluran pencernaan kosong, mempermudah penanganan dan pengamatan serta meminimalkan kontaminasi mikroba. Ayam hanya diberi air minum untuk menghilangkan dehidrasi. Ayam broiler ditimbang untuk mengetahui bobot akhir kemudian dipotong dengan posisi kepala di bagian bawah. Setelah dipastikan mati, ayam dicelupkan ke dalam air panas dengan suhu 50-55oC selama 30 detik untuk mempermudah pencabutan bulu. Ayam lalu dibelah dan diambil organ dalamnya untuk mendapatkan lemak bantalan di bagian perut, lemak ventrikulus di bagian empedal/ventrikulus, lemak mesenterium di bagian usus dan lemak subkutan di bagian bawah kulit termasuk kulit yang kemudian dicari persentase bobot masing-masing lemak tersebut.
Variabel yang diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
-
1. Bobot potong: merupakan bobot yang didapat dengan cara menimbang bobot ayam setelah dipuasakan selama 12 jam.
-
2. Lemak bantalan: merupakan lemak yang menempel pada perut ayam broiler yang dicari dengan memisahkan organ-organ jeroan dan subkutan perut lalu ditimbang.
-
3. Lemak ventrikulus: merupakan lemak yang terdapat di bagian ventrikulus.
4.
5.
Lemak mesenterium: merupakan lemak yang terdapat pada usus lalu ditimbang.
Lemak subkutan: merupakan lemak yang menempel pada bagian bawah kulit termasuk kulit ayam.
Persentase dari masing-masing lemak, dihitung berdasarkan rumus: bobot lemak (g') .
% lemak = Io o Io o t x 100%. (Kubena et al., 1974)
Analisis statistik
Data yang telah diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan sidik ragam, dan apabila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4. Bobot potong, lemak abdominal dan lemak subkutan ayam broiler yang diberi ransum terfermentasi bakteri probiotik lignoselulolitik | ||||||
Variabel |
Perlakuan 1) |
SEM 2) | ||||
RK |
RF0 |
RF1 |
RF2 |
RF3 | ||
Bobot potong (g/ekor) |
1710,00a 3) |
509,50d |
869,50b |
758,25c |
825,00bc |
33,63 |
Lemak bantalan (%) |
0,76a |
0,33b |
0,54ab |
0,59a |
0,34b |
0,07 |
Lemak ventrikulus (%) |
0,37a |
0,11b |
0,13b |
0,23ab |
0,24ab |
0,05 |
Lemak mesenterium (%) |
0,32a |
0,12b |
0,23ab |
0,10b |
0,20ab |
0,04 |
Lemak subkutan (%) |
7,40a |
5,11c |
6,36b |
6,76ab |
5,82bc |
0,33 |
Keterangan:
RF0: Ayam yang diberi ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik RF1: Ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus subtilis BR4LG sebanyak 5% RF2: Ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT3CL sebanyak 5% RF3: Ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT8XY sebanyak 5%
|
Bobot potong
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot potong ayam broiler pada perlakuan RF1, RF2, dan RF3 nyata lebih tinggi (P<0,05) masing-masing sebesar 70,66%, 48,82% dan 61,92% daripada perlakuan RF0 yang menghasilkan bobot potong sebesar 509,50 gr/ekor (Tabel 4). Pada perlakuan pemanfaatan bakteri, perlakuan RF1 menghasilkan rataan bobot Suarningsih, N. K. A. A., J. Peternakan Tropika Vol. 10 No. 3 Th. 2022 : 531 – 549 Page 538
potong paling tinggi sebesar 869,50 g/ekor yang nyata (P<0,05) lebih tinggi sebesar 12,79% dari perlakuan RF2 dan berbeda tidak nyata (P>0,05) sebesar 5,12% dari perlakuan RF3. Pada perlakuan RF2 menghasilkan rataan bobot potong sebesar 758,25 g/ekor yang berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih rendah 8,80% dari perlakuan RF3. Namun, jika dibandingkan dengan perlakuan RK yang mempunyai rataan bobot potong sebesar 1710,00 gr/ekor, perlakuan RF0, RF1, RF2 dan RF3 nyata lebih rendah (P<0,05) masing-masing 70,20%, 49,15%, 55,66% dan 51,75%.
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ransum terfermentasi bakteri probiotik lignoselulolitik pada ayam broiler (RF1, RF2, RF3) menghasilkan rataan bobot potong yang nyata lebih tinggi (P<0,05) dari ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik (RF0) (Tabel 4.1). Hal ini disebabkan karena adanya populasi bakteri yang tinggi. Menurut penelitian Prabowo et al. (2021) menyatakan bahwa populasi bakteri probiotik Bacillus BR4LG, Bacillus sp. BT3CL dan Bacillus sp. BT8XY masing-masing sebesar 5,77x108 CFU, 6,57x108 CFU dan 6,13x108 CFU. Dewi et al. (2015) menyatakan bahwa tingginya populasi bakteri pada inokulum disebabkan karena pasokan nutrien yang berasal dari medium inokulum cukup tinggi sehingga mendukung pertumbuhan bakteri yang akan membantu proses pencernaan pakan menjadi lebih cepat dan produktivitas ternak yang ditunjukkan dengan dihasilkan bobot potong yang meningkat. Bobot badan yang tinggi mengindikasikan pertumbuhan yang baik karena nutrien ransum mampu digunakan tubuh untuk mencapai pertumbuhan maksimal baik pertumbuhan tulang, daging maupun lemak.
Pada pemanfaatan bakteri probiotik lignoselulolitik, ayam broiler yang diberikan ransum terfermentasi bakteri probiotik Bacillus subtilis BR4LG (RF1) menghasilkan rataan bobot potong paling tinggi yaitu 869,50 kg/ekor. Hal ini diduga karena bakteri probiotik Bacillus subtilis BR4LG mempunyai aktivitas enzim ligninase yang tinggi. Penelitian Prabowo et al. (2021) menyatakan bahwa aktivitas enzim ligninase bakteri probiotik Bacillus subtilis BR4LG pada inkubasi 30 menit yaitu sebesar 0,788 U. Tingginya aktivitas enzim igninase disebabkan karena bakteri probiotik Bacillus subtilis BR4LG merupakan isolat unggul dengan kemampuan merombak senyawa lignin tinggi, sehingga mampu menghasilkan aktivitas enzim ligninase yang tinggi juga (Mudita, 2019). Adanya aktivitas enzim ligninase yang tinggi akan membantu proses pencernaan pakan menjadi lebih cepat mengakibatkan
tembolok lebih cepat kosong sehingga akan merangsang hipotalamus untuk mengonsumsi pakan kembali dan akan meningkatkan pasokan serta ketersediaan nutrien bagi ternak.
Bila dibandingkan dengan ransum komersial (RK), ayam broiler yang diberi ransum terfermentasi (RF0, RF1, RF2, dan RF3) menghasilkan bobot potong yang nyata lebih rendah (P<0,05). Hal ini disebabkan karena ransum terfermentasi yang diproduksi memiliki kandungan protein yang rendah yaitu sebesar 19-21% sedangkan pada ransum komersial memiliki kandungan protein sebesar 26% (Lisandy, Unpublished; Gabrella, Unpublished). Nilai ini menunjukkan bahwa formula ransum terfermentasi yang diproduksi memiliki kandungan nutrien yang lebih rendah daripada ransum komersial sehingga kualitas yang dihasilkanpun menjadi lebih rendah. Kandungan protein yang rendah pada ransum terfermentasi mengakibatkan pertumbuhan ayam menjadi lebih lambat sehingga bobot potongnya lebih rendah. Huda et al. (2019) menyatakan bahwa rendahnya kadar protein dalam ransum menyebabkan kekurangan asupan protein dalam tubuh ayam broiler, sehingga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ayam broiler yang kurang maksimal dan berakibat pada pertambahan bobot badan yang kurang optimal atau lebih lambat.
Selain kandungan protein ransum, bobot potong pada perlakuan RF0, RF1, RF2 dan RF3 juga dipengaruhi oleh tingkat konsumsi ransum. Konsumsi ransum per ekor per hari pada pada pemberian RK 65,92 g, RF0 35,84 g, RF1 45,29 g, RF2 38,41 g dan RF3 42,32 g (Mario, Unpublished). Rendahnya konsumsi ransum menyebabkan nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan ayam menjadi kurang sehingga bobot potongnya menjadi rendah. Hal ini didukung oleh Blakely dan Blade (1994) yang menyatakan bahwa tingkat konsumsi ransum akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan bobot akhir karena pembentukan bobot, bentuk, dan komposisi tubuh adalah hasil pakan yang dikonsumsi ke dalam tubuh ternak.
Persentase lemak bantalan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase lemak bantalan ayam broiler pada perlakuan RF1 dan RF3 tidak berbeda nyata lebih tinggi (P>0,05) 63,64% dan 3,03% dari RF0 sedangkan perlakuan RF2 nyata lebih tinggi (P<0,05) 78,79% daripada perlakuan RF0 yang menghasilkan persentase lemak bantalan sebesar 0,33% (Tabel 4). Pada perlakuan pemanfaatan bakteri, bakteri RF3 menghasilkan persentase paling rendah yaitu sebesar 0,34% yang nyata (P<0,05) lebih rendah sebesar 73,53% dari perlakuan RF2 dan berbeda tidak nyata (P>0,05) sebesar 58,82% dari perlakuan RF1. Pada perlakuan RF2 menunjukkan 9,26% berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih tinggi dari perlakuan RF1. Namun, jika dibandingkan
dengan RK yang memiliki persentase lemak bantalan sebesar 0,76%, perlakuan RF0 dan RF3 nyata lebih rendah (P<0,05) 56,58% dan 55,26% dari perlakuan RK. Sedangkan pada perlakuan RF1 dan RF2 berbeda tidak nyata lebih rendah (P>0,05) 28,95% dan 22,37% dari perlakuan RK.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai persentase lemak bantalan ayam broiler berkisar antara 0,33%-0,76% (Tabel 4.). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ransum terfermentasi bakteri probiotik lignoselulolitik pada ayam broiler (RF1, RF2, RF3) menghasilkan persentase lemak bantalan yang nyata (P<0,05) lebih tinggi dari ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik (RF0). Hal ini diduga karena adanya konsumsi energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik sebagai respon dari peningkatan jumlah konsumsi ransum dan peningkatan kecernaan serta penyerapan ransum akibat peningkatan populasi bakteri probiotik dalam saluran cerna ayam broiler. Hal ini sependapat dengan Setiawan dan Sujana (2009) yang menyatakan bahwa pembentukan lemak tubuh pada ayam terjadi karena adanya kelebihan energi yang dikonsumsi. Penambahan probiotik dalam ransum dapat meningkatkan pertumbuhan dari mikroba probiotik, karena ransum yang digunakan sebagai media tumbuh memiliki kandungan gizi yang dapat dimanfaatkan mikroba untuk tumbuh dan akan ikut terbawa sampai ke saluran cerna ternak sehingga dapat membantu proses pencernaan dan penyerapan nutrien dari ayam broiler.
Pada pemanfaatan bakteri probiotik lignoselulolitik, ayam broiler yang diberikan ransum terfermentasi bakteri probiotik Bacillus sp. BT8XY (RF3) menghasilkan persentase lemak bantalan paling rendah yaitu sebesar 0,34%. Hal ini diduga karena bakteri Bacillus sp. BT8XY memiliki aktivitas enzim xylanase yang tinggi. Menurut penelitian Mudita (2019) menyatakan bahwa bakteri Bacillus sp. BT8XY mempunyai aktivitas spesifik enzim xylanase tertinggi sebesar 749,306 U; 374,653 U; 172,919 U; dan 96,738 U setelah inkubasi dalam substrat xylan masing-masing selama 30 menit, 1 jam, 3 jam, 6 jam, sehingga dapat dikategorikan menjadi pendegradasi xylan. Aktivitas enzim probiotik ini dapat menghambat proses deposisinya lemak, karena ada aktivitas enzim di dalam tubuh yang membuat probiotik ini bekerja untuk pertumbuhan sel dan daging. Apabila persentase lemak abdominal yang dihasilkan rendah maka persentase karkas yang dihasilkan akan tinggi.
Bila dibandingkan dengan ransum komersial (RK), ayam broiler yang diberi ransum terfermentasi (RF0, RF1, RF2, dan RF3) menghasilkan persentase lemak bantalan yang nyata
lebih rendah (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri probiotik mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan ransum sehingga nutrien ransum lebih banyak termanfaatkan untuk memproduksi daging dibandingkan dengan deposisi lemak. Data yang dihasilkan ini juga berkaitan dengan rendahnya bobot potong yang dihasilkan. Semakin rendah bobot potong maka semakin rendah juga lemak yang dihasilkan. Novandy et al. (2018) yang menyatakan bahwa adanya penurunan bobot potong pada ayam broiler maka produksi lemak yang dihasilkan akan rendah pula. Rataan persentase lemak bantalan yang diperoleh dari hasil penelitian yaitu sebesar 0,33%, 0,33%, 0,54% dan 0,59% lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata lemak bantalan yang dilaporkan oleh Andi (2020), yang menghasilkan persentase lemak bantalan berkisar antara 1,05-1,28% dari bobot hidup.
Persentase lemak ventrikulus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase lemak ventrikulus ayam broiler pada perlakuan RF1, RF2, dan RF3 berbeda tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) masing-masing sebesar 18,18%, 52,17% dan 54,17% dari perlakuan RF0 yang menghasilkan persentase lemak ventrikulus sebesar 0,11% (Tabel 4). Pada perlakuan pemanfaatan bakteri, perlakuan RF1 menghasilkan persentase lemak ventrikulus paling rendah yaitu sebesar 0,13% yang berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih rendah sebesar 76,92% dan 84,62% dari perlakuan RF2 dan RF3. Pada perlakuan RF2 menunjukkan 4,35% berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih rendah dari perlakuan RF3. Namun, jika dibandingkan dengan RK yang memiliki persentase lemak ventrikulus sebesar 0,37%, perlakuan RF0 dan RF1 nyata (P<0,05) lebih rendah 70,27% dan 64,86% sedangkan pada perlakuan RF2 dan RF3 tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah 37,84% dan 35,14% dari perlakuan RK.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai persentase lemak ventrikulus ayam broiler berkisar antara 0,11%-0,37% (Tabel 4). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ransum terfermentasi bakteri probiotik lignoselulolitik pada ayam broiler (RF1, RF2, RF3) menghasilkan persentase lemak ventrikulus yang tidak nyata (P>0,05) lebih tinggi dari ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik (RF0). Hal ini disebabkan karena probiotik merupakan kumpulan mikroorganisme yang dapat menyeimbangkan mikroflora dalam saluran pencernaan ternak unggas, sehingga mampu meningkatkan efisiensi penggunaan nutrien dalam ransum yang akan dimanfaatkan dalam pertumbuhan bobot badan. Hasil penelitian Mudita et al. (Unpublished) menunjukkan bahwa ransum yang diproduksi dengan memanfaatkan inokulum dari isolat unggul bakteri ransum
dan rayap mempunyai kualitas yang bervariasi dan nyata lebih baik dari pada ransum basal. Dewi et al. (2015) juga menyatakan jumlah bakteri ransum yang diproduksi dengan inokulum unggul dari level cairan rumen dan rayap yang berbeda mempunyai kualitas yang lebih tinggi, dibandingkan nutrien dan populasi mikroba pendegradasi serat.
Pada pemanfaatan bakteri probiotik lignoselulolitik, ayam broiler yang diberikan ransum terfermentasi bakteri probiotik Bacillus subtilis BR4LG (RF1) menghasilkan persentase lemak ventrikulus paling rendah yaitu 0,13%. Hal ini diduga karena bakteri lignolitik unggul terpilih asal cairan rumen sapi bali Bacillus subtilis BR4LG merupakan bakteri pendegradasi lignin serta bersifat probiotik (Mudita, 2019). Bakteri ini mampu meningkatkan terjadinya proses lipolisis sehingga meningkatkan proses penguraian lemak di dalam tubuh ayam broiler. Bacillus subtilis BR4LG memiliki diameter zona bening yang tinggi yaitu masing-masing sebesar 0,237 cm; 0,660 cm; dan 0,343 cm tiap 15μl kultur isolat bakteri pada substrat asam tanat, dedak padi dan jerami padi (Mudita, 2019).
Bila dibandingkan dengan ransum komersial (RK), ayam broiler yang diberi ransum terfermentasi (RF0, RF1, RF2, dan RF3) menghasilkan persentase lemak ventrikulus yang nyata lebih rendah (P<0,05). Hal ini diduga karena pemberian ransum terfermentasi dapat menghambat sintesis lipida di dalam hati yang disebabkan oleh adanya perubahan senyawa-senyawa organik melalui kerja enzim yang dihasilkan oleh mikroba. Tanaka et al. (1992) menyatakan bahwa penggunaan bahan pakan produk fermentasi dapat menekan aktivitas enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA reduktase yang berfungsi untuk sintesis kolestrerol di dalam hati. Menurut Andi (2020) menyatakan bahwa pemberian produk terfermentasi pada ayam pedaging dapat menurunkan kadar lemak abdominal.
Persentase lemak mesenterium
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase lemak mesenterium ayam broiler pada perlakuan RF1 dan RF3 tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi 91,67% dan 66,67% daripada perlakuan RF0 sedangkan perlakuan RF2 tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah 16,67% dari RF0 yang menghasilkan persentase lemak mesenterium sebesar 0,12% (Tabel 4). Pada perlakuan pemanfaatan bakteri, perlakuan RF2 menghasilkan persentase lemak mesenterium paling rendah yaitu sebesar 0,10% yang yang berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih rendah sebesar 56,52% dan 50,00% dari perlakuan RF1 dan RF3. Pada perlakuan RF1 menunjukkan 15,00% berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih tinggi dari perlakuan RF3. Namun, jika dibandingkan dengan RK yang memiliki persentase lemak mesenterium sebesar 0,32%,
perlakuan RF0 dan RF2 nyata (P<0,05) lebih rendah 62,50% dan 68,75% sedangkan pada perlakuan RF1 dan RF3 berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih rendah 28,13% dan 37,50% dari perlakuan RK.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai persentase lemak mesenterium ayam broiler berkisar antara 0,10%-0,32% (Tabel 4). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ransum terfermentasi bakteri probiotik lignoselulolitik pada ayam broiler (RF1, RF2, RF3) menghasilkan persentase lemak mesenterium yang tidak nyata (P>0,05) lebih tinggi dari ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik (RF0). Hal ini disebabkan karena pemberian bakteri probiotik dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi ransum sehingga kandungan gizi yang terserap ke dalam tubuh ayam menjadi tinggi dan berakibat pada peningkatan jumlah lemak. Soeharsono (2002) menyatakan bahwa efek dari pemberian probiotik pada ransum ayam broiler dapat meningkatkan daya tahan tubuh, rata-rata pertambahan bobot badan meningkat dan efisiensi pemanfaatan ransum meningkat.
Pada pemanfaatan bakteri probiotik lignoselulolitik, ayam broiler yang diberikan ransum terfermentasi bakteri probiotik Bacillus sp. BT3CL (RF2) memiliki persentase lemak mesenterium paling rendah yaitu 0,10%. Hal ini disebabkan karena bakteri jenis Bacillus sp. memiliki sifat aerob fakultatif yang mampu hidup dan berkembang dalam usus ternak, menghasilkan enzim pencernaan diantaranya protease dan amilase yang dapat membantu pencernaan serta memproduksi asam-asam lemak rantai pendek yang mempunyai sifat antimikroba (Kompiang, 2009). Bakteri selulolitik asal rayap dengan kode BT3CL merupakan isolat unggul yang mempunyai kemampuan mendegradasi substrat sumber selulosa yang tinggi. Hal ini dilihat dari hasil penelitian Mudita (2019) yang menyatakan bahwa isolat BT3CL menghasilkan diameter zone bening yang tinggi yaitu masing-masing sebesar 0,697 cm; 0,643 cm; 0,821 cm; dan 0,616 cm tiap 15μl kultur isolat bakteri pada substrat CMC, avicel, dedak padi dan jerami padi.
Bila dibandingkan dengan ransum komersial (RK), ayam broiler yang diberi ransum terfermentasi (RF0, RF1, RF2, dan RF3) menghasilkan persentase lemak mesenterium yang nyata lebih rendah (P<0,05). Hal ini diakibatkan oleh terhambatnya proses lipogenesis karena penggunaan zat-zat makanan yang terlebih dahulu digunakan untuk mencukupi pertumbuhan jaringan yang tumbuh lebih dini, yaitu saraf, daging, tulang dan otot. Peranan lemak mesenterium sebagai penggantung usus menyebabkan tidak banyak terjadinya penimbunan lemak. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1989) yang menyatakan bahwa tempat
terbesar dari penimbunan lemak pada ayam pedaging adalah di dalam rongga perut dan tempat ini biasanya digunakan untuk memperkirakan besarnya penimbunan lemak dalam tubuh.
Persentase lemak subkutan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase lemak subkutan termasuk kulit ayam broiler pada perlakuan RF1 dan RF2 nyata lebih tinggi (P<0,05) sebesar 24,46% dan 32,29% dari perlakuan RF0 sedangkan perlakuan RF3 tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi 32,29% dari RF0 yang menghasilkan persentase lemak subkutan sebesar 5,11% (Tabel 4). Pada perlakuan pemanfaatan bakteri, perlakuan RF3 menghasilkan lemak subkutan paling rendah yaitu sebesar 5,82% yang berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih rendah 9,28% dan 16,15% dari perlakuan RF1 dan RF2. Pada perlakuan RF1 menunjukkan 5,92% berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih rendah dari perlakuan RF2. Namun, jika dibandingkan dengan RK yang memiliki persentase lemak subkutan sebesar 7,40%, perlakuan RF0, RF1 dan RF3 nyata (P<0,05) lebih rendah 30,95%, 14,05% dan 21,35% sedangkan pada perlakuan RF2 berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih rendah 5,92% dari perlakuan RK.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai persentase lemak subkutan termasuk kulit ayam broiler berkisar antara 5,11%-7,40% (Tabel 4). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ransum terfermentasi bakteri probiotik lignoselulolitik pada ayam broiler (RF1, RF2, RF3) menghasilkan persentase lemak subkutan yang nyata (P<0,05) lebih tinggi dari ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik (RF0). Hal ini disebabkan karena pemanfaatan probiotik lignoselulolitik pada ransum ternak ayam dapat meningkatkan pertumbuhan bobot badan yang mengakibatkan terjadinya peningkatan lemak subkutan termasuk kulit. Hasil penelitian Sintadewi et al. (2020) dan Kertiyasa et al. (2020) juga menunjukkan pemberian bakteri probiotik lignoselulolitik mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas pertumbuhan ternak yang juga meningkatkan deposisi lemak tubuh termasuk lemak subkutan. Keuntungan lain penggunaan probiotik adalah dapat mengurangi tekanan negatif yang diakibatkan adanya hambatan pakan (berupa anti nutrisi) pada pakan, karena probiotik mampu menstimulasi peningkatan ketersediaan zat gizi bagi induk semang melalui kemampuan aktivitas enzim yang dihasilkannya dalam menguraikan berbagai senyawa anti nutrisi (Kertiyasa et al., 2020).
Pada pemanfaatan bakteri probiotik lignoselulolitik, ayam broiler yang diberikan ransum terfermentasi bakteri probiotik Bacillus sp. BT8XY (RF3) menghasilkan persentase
lemak subkutan paling rendah yaitu 5,82%. Hal ini disebabkan karena bakteri probiotik Bacillus sp. BT8XY memiliki kandungan hemiselulosa yang tinggi dilihat dari tingginya aktivitas spesifik xylanase dari isolat bakteri xylanolitik asal rayap yang berhasil diisolasi mempunyai kualitas yang baik sebagai pendegradasi senyawa xylanosa (hemiselulosa). Menurut penelitian Mudita (2019) menyatakan bahwa aktivitas spesifik enzim xylanase dari isolat bakteri xylanolitik asal rayap setelah diinkubasi dalam substrat xylan masing-masing selama 30 menit, 1 jam, 3 jam, 6 jam yaitu sebesar 749,306 U; 374,653 U; 172,919 U; dan 96,738 U. Tingginya aktivitas spesifik xylanase akan meningkatkan kemampuan perombalan substrat xylanosa lainnya menjadi senyawa lebih sederhana. Suplementasi probiotik dalam ransum ternyata dapat menurunkan jumlah lemak subkutan termasuk kulit karkas ayam broiler (Ramia, 2000).
Bila dibandingkan dengan ransum komersial (RK), ayam broiler yang diberi ransum terfermentasi (RF0, RF1, RF2, dan RF3) menghasilkan persentase lemak subkutan yang nyata lebih rendah (P<0,05). Hal ini menunjukkan efektivitasnya kerja bakteri probiotik lignoselulolitik yang mampu menurunkan deposisi lemak dalam tubuh. Hal ini juga dipengaruhi oleh rendahnya bobot potong dan konsumsi ransum yang dihasilkan. Rendahnya bobot potong dan konsumsi ransum menyebabkan nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan ayam menjadi kurang sehingga ransum yang diproduksi belum menghasilkan energi berlebih pada pembentukan jaringan kulit. Hal ini sejalan dengan pendapat Wahyono et al. (2002) menyatakan bahwa lemak merupakan deposisi dari kelebihan metabolisme lemak yang merupakan cadangan energi bagi ayam. Pada penelitian Juliani et al. (2017) menyatakan bahwa persentase lemak subkutan termasuk kulit adalah sebesar 16,52%-20,01%.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum terfermentasi bakteri probiotik lignoselulolitik sebanyak 5% mendapatkan bobot potong, persentase lemak abdominal dan lemak subkutan lebih rendah dari perlakuan ransum komersial, namun lebih tinggi dari pemberian ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai formulasi ransum yang digunakan, karena ransum yang diproduksi belum mampu mengimbangi ransum komersial dan memiliki palatabilitas yang rendah sehingga berpengaruh terhadap rendahnya bobot potong yang dihasilkan. Disarankan pula, untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap penggunaan dosis inokulum bakteri probiotik lignoselulolitik yang berbeda untuk mengetahui standar optimal penggunaan probiotik sehingga dapat meningkatkan bobot potong dan menurunkan persentase perlemakan pada ayam broiler.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., IPU. selaku Rektor Universitas Udayana, Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, M.S., IPU. selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Dr. Ir. Ni Luh Putu Sriyani, S.Pt, M.P, IPM., ASEAN Eng. selaku Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Andi, I M. 2020. Pengaruh Pemberian Minyak Kalsium dalam Ransum Komersial terhadap Berat Potong dan Lemak Abdomen Broiler. Skripsi. Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.
Ariyansah, M. 2018. Pengaruh Pemberian Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) Terhadap Persentase Lemak Abdominal dan Kadar Lemak Daging Ayam Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Mataram, Mataram.
Badan Pusat Statistik. 2021. Data Sensus Jumlah Populasi Ayam Ras Pedaging di Indonesia pada Tahun 2021. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Bidura, I G. N. G. 2007. Aplikasi Produk Bioteknologi Pakan Ternak. Buku Ajar. UPT Penerbit Universitas Udayana, Denpasar.
Blakely, J., dan D. H. Blade. 1994. Ilmu Peternakan. Cetakan ke-3. Diterjemahkan oleh B. Srigandono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Dewi, M. P. L., N. N. Suryani, dan I M. Mudita. 2015. Populasi mikroba inokulum yang diproduksi dari cairan rumen sapi bali dan rayap. Jurnal Peternakan Tropika. 3(1): 13-28. https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/18504/11999
Huda, S., L. D. Mahfudz, dan S. Kismiati. 2019. Pengaruh stepdown protein dan penambahan acidifier pada pakan terhadap performans ayam broiler. Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 14(4): 404-410.
Juliani, G. A. P., I G. N. G. Bidura, dan I. A. P. Utami. 2017. Pengaruh penggunaan 20 % ampas tahu terfermentasi oleh khamir Saccharomyces spp dalam ransum terhadap karkas dan komposisi fisik karkas broiler. Jurnal Peternakan Tropika. 5(2): 374-384. https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/33778/20402
Jumiati, S., Nuraini, dan R. Aka. 2017. Bobot potong, karkas, giblet dan lemak abdominal ayam broiler yang temulawak (Curcumaxanthorrhiza, Roxb) dalam pakan. Jurnal Peternakan Tropika. 4(3): 11-19.
Kertiyasa, I K. Y., I G. Mahardika, dan I M. Mudita. 2020. Pengaruh pemberian probiotik Bacillus sp. strain BT3CL atau Bacillus subtilis strain BR2CL terhadap produksi dan komposisi karkas ayam broiler. Jurnal Peternakan Tropika. 8(2): 346-367.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/61705/35522
Kompiang, I P. 2009. Pemanfaatan mikroorganisme sebagai probiotik untuk meningkatkan produksi ternak unggas di Indonesia. Pengembangan Inovasi Peternakan. 2(3): 177191.
Kubena, I. F., J. W. Deaton, T. C. Chen, and F. N. Reece. 1974. Factor influencing the quality of abdominal fat in broiler. Poultry Science. 53:211.
Massolo, R. 2016. Persentase Karkas dan Lemak Abdominal Broiler yang Diberi Prebiotik Inulin Umbi Bunga Dahlia. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Mudita, I M. 2019. Penapisan dan Pemanfaatan Bakteri Lignoselulolitik Cairan Rumen Sapi Bali dan Rayap sebagai Inokulum dalam Optimalisasi Limbah Pertanian sebagai Pakan Sapi Bali. Disertasi. Program Studi Doktor Ilmu Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.
Novandy, S. S., I N. T. Ariana, dan I W. Wijana. 2018. Edible offal ayam broiler yang diberi ransum komersial dengan tambahan probiotik starbio. Jurnal Peternakan Tropika. 6(2): 350-359. https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/40582/24619
Prabowo, F. D., I G. L. O. Cakra, dan I M. Mudita. 2021. Populasi bakteri dan aktivitas enzim dari biokatalis bakteri lignoselulolitik. Jurnal Peternakan Tropika. 9(1): 211-226. https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/71772/39022
Ramia, I. K., 2000. Suplementasi probiotik dalam ransum berprotein rendah terhadap penampilan itik bali. Majalah Ilmiah Peternakan. Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar: 45-54.
Salam, S., A. Fatahilah, D. Sunarti, dan Isroli. 2013. Berat karkas dan lemak abdominal ayam broiler yang diberi tepung jintan hitam (Nigella sativa) dalam ransum selama musim panas. Sains Peternakan. 11(2): 84-90.
Santoso, U. 1989. Limbah Bahan Ransum Unggas yang Rasional. PT. Bhratara, Jakarta.
Setiawan, I. dan E. Sujana. 2009. Bobot akhir, persentase karkas dan lemak abdominal ayam broiler yang dipanen pada umur yang berbeda. Seminar Nasional Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran “Pengembangan Sistem Produksi dan Pemanfaatan Sumberdaya Lokal untuk Kemandirian Panga Asal Ternak.
Sintadewi, R. A., I G. Mahardika, dan I M. Mudita. 2020. Pengaruh pemberian probiotik bakteri Bacillus subtilis strain BR2CL atau Bacillus sp. strain BT3CL terhadap penampilan ayam broiler. Jurnal Peternakan Tropika. 8(1): 74-88.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/60467/35000
Soeharsono, H. 2002. Probiotik: Alternatif Pengganti Antibiotika dalam Bidang Peternakan. Laboratorium Fisiologi dan Biokimia. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran, Bandung.
Standar Nasional Indonesia. 2006. Kumpulan SNI Bidang Pakan Direktorat Budidaya Ternak Non-Ruminansia. Direktorat Jendral Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1993. Principle and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. Second Edition McGraw-Hill International Book Company, London. 633.
Tanaka K., K. Okazaki, N. Okazaki, T. Ueda, A. Sugiyama, H. Nojima, dan H. Okayama. 1992 A new cdc gene required for S phase entry of Schizosaccharomyces pombe encodes a protein similar to the cdc 10+ and SWI4 gene products. Journal of European Molecular Biology Organization. 11(13):4923-32.
Wahyono, R., Masnilawati, dan Kartadisastra. 2002. Penyediaan dan Pengolahan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius, Yogyakarta.
Suarningsih, N. K. A. A., J. Peternakan Tropika Vol. 10 No. 3 Th. 2022 : 531 – 549 Page 549
Discussion and feedback