EVALUATION OF FERMENTED FOOD DIGESTION OF LIGNOCELLULOLYTIC PROBIOTIC BACTERIA IN THE END-STAGE FERMENTATION MACHINE
on
ISSN 2722-7286
Jurnal
FAPET UNUD
Jurnal
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
Submitted Date: April 4, 2022
Accepted Date: May 16, 2022
Editor-Reviewer Article : Eny Puspani & A.A. Pt. Putra Wibawa
EVALUASI KECERNAAN RANSUM TERFERMENTASI BAKTERI PROBIOTIK LIGNOSELULOLITIK PADA BROILER FASE FINISHER
Khoiron, I. I., I. M. Mudita., dan D. P. M. A. Candrawati
PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail : [email protected] Telp. +62 858-0831-0701
ABSTRAK
Penelitian ransum terfermentasi ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh ransum yang difermentasikan menggunakan bakteri probiotik lignoselulolitik terhadap kecernaan ayam broiler. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April-Juni 2021 di Teaching Farm Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Bali. Penelitian ini menggunakan 60 ekor ayam broiler. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan. Setiap ulangan terdiri 3 ekor ayam broiler. Perlakuan yang diberikan ransum terfermentasi tanpa diberi probiotik (BRF0) sebagai kontrol, ransum terfermentasi menggunakan bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1), Bacillus sp. BT3CL (BRF2), Bacillus sp. BT8XY (BRF3) dan ransum komersil (BRK) sebagai kontrol dengan menggunakan probiotik lignoselulitik sebanyak 5% dari jumlah bahan pakan. Variabel yang diamati adalah kecernaan bahan kering, bahan organik, serat kasar, protein kasar, lemak kasar dan metabolisme energi semu. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam, apabila terdapat perbedaan (P<0,05) maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ransum dengan perlakuan BRF3 memiliki kualitas terbaik diantara perlakuan lain diikuti BRF0, BRF1 dan BRF2. Kecernaan bahan organik, serat kasar dan lemak kasar pada perlakuan yang diberi bakteri probiotik lignoselulolitik lebih tinggi dibandingkan tanpa diberi bakteri probiotik lignoselulitik. Kecernaan protein kasar yang mendapatkan perlakuan BRF2 dan BRF3 lebih tinggi dari BRF0 dan BRF1. Energi metabolisme semu BRF1 dan BRF3 lebih tinggi dari BRF2 dan BRF0.
Kata kunci : Ransum, kecernaan, probiotik, broiler
EVALUATION OF FERMENTED FOOD DIGESTION OF LIGNOCELLULOLYTIC PROBIOTIC BACTERIA IN THE END-STAGE FERMENTATION MACHINE
ABSTRACT
This study was conducted to determine the effect of fermented rations using fermental probiotic bacteria on the digestibility of broiler chickens. This research was conducted from April to June 2021 at the teaching farm of the College of Animal Husbandry, Udayana
University, Bali. This study used 60 broiler chickens. The research design used was a completely randomized design (CRD) consisting of 5 coefficients and 4 replicates. Each repetition consists of 3 broiler hens. The treatment was given fermented rations without probiotic (BRF0) as a control, and rations fermented with Bacillus subtilis BR4LG (BRF1), Bacillus sp. BT3CL (BRF2), Bacillus sp. BT8XY (BRF3) and commercial rations (BRK) were used as a control using cell lysate probiotics up to 5% of the total feed ingredients. The variables observed were dry matter digestibility, organic matter, crude fibre, crude protein, crude fat, and apparent energy metabolism. Obtained data were analyzed using variance, if there was a difference (P < 0.05), analysis was continued with Duncan's multiple-distance test. The results showed that the batch containing BRF3 treatment had the best quality among the other treatments followed by BRF0, BRF1 and BRF2. The digestibility of organic matter, crude fiber and crude fat was higher in the treatment with fertolytic probiotics than without the fetoprobiotics. The digestibility of the crude protein treated with BRF2 and BRF3 was higher than that of BRF0 and BRF1. The apparent metabolic energy of BRF1 and BRF3 is higher than that of BRF2 and BRF0.
Keywords: Ration, digestible, probiotic,broiler
PENDAHULUAN
Broiler merupakan salah satu komoditas peternakan sebagai sumber protein. Broiler dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Broiler merupakan salah satu alternatif dalam memenuhi kebutuhan protein (Rasyaf, 2006). Berdasarkan data BPS 2009-2019 Indonesia mengalami peningkatan produksi daging broiler. Pada tahun 2009-2015 produksi ayam broiler mengalami peningkatan sekitar 100.000 ton, 2016 meningkat sekitar 300.000 ton, 2017-2019 meningkat sekitar 1.500.000 ton. Keunggulan broiler adalah memiliki waktu panen yang cepat dalam pertumbuhan dan konversi pakan menjadi daging selain itu tidak membutuhkan banyak tempat untuk pemeliharaan (Ensminger et al., 2004). Seiring dengan bertambahnya penduduk di Indonesia tentunya kebutuhan protein ikut meningkat, untuk memenuhi hal tersebut dibutuhkan pengembangan lebih lanjut mengenai kualitas broiler.
Pengembangan kualitas ternak dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah pakan. Pakan komersial merupakan pakan yang sering diberikan pada ayam broiler, padahal biaya pakan ini bisa mencapai 60%-70% dari seluruh biaya produksi (Sudrajat, 2000). Alternatif untuk menekan biaya pakan biasanya peternak membuat ransum sendiri dengan menambahkan hijauan seperti daun kelor. Daun kelor memiliki banyak kandungan nutrisi
yang baik untuk ternak. Daun kelor (Moringa olifera) memiliki kandungan protein sebesar 22,75% namun memiliki kandungan serat sebesar 7,92% (Melo, 2013). Permasalahan akibat menambahkan daun kelor pada pakan adalah kandungan serat kasar pada daun kelor yang dapat menghambat kecernaan dari pakan itu sendiri. Kecernaan suatu bahan pakan merupakan indikator dari tinggi rendahnya nilai manfaat dari bahan pakan tersebut. Apabila kecernaannya rendah maka nilai manfaatnya rendah pula sebaliknya apabila kecernaannya tinggi maka nilai manfaatnya tinggi pula.
Solusi agar kecernaan pakan dapat ditingkatkan dengan melakukan dengan fermentasi ransum dengan bakteri probiotik. Berdasarkan penelitian Mudita (2019) menunjukkan bahwa terdapat bakteri probiotik lignoselulolitik yang sudah berhasil diisolasi dari rayap dan juga cairan rumen sapi bali yaitu, Bacillus sp. BT3CL, Bacillus sp. BT8XY dan Bacillus subtilis BR4LG. Bakteri lignoselulolitik tersebut memiliki manfaat dalam melakukan degradasi kandungan lignoselulosa seperti lignin, selulosa, dan hemiselulosa (Xylan) pada pakan ternak (Mudita, 2019; Mudita et al., 2019). Lebih lanjut dilaporkan bahwa setiap jenis bakteri probiotik lignoselulolitik mempunyai kharakteristik tertentu terkait pertumbuhan maupun aktivitas enzim yang dihasilkan. Perbedaan spesies dan/atau formula konsorsium menghasilkan laju pertumbuhan, aktivitas enzim serta efektivitas yang berbeda pula (Mudita et al., 2019; Mudita et al., 2020). Putra et al. (2020) menunjukkan bahwa pemanfaatan bakteri Bacillus substilis BR4LG mampu menghasilkan silase jerami padi dengan tingkat kecernaan bahan kering maupun bahan organik secara in-vitro yang lebih tinggi daripada penggunaan bakteri probiotik lignoselulolitik lainnya. Penelitian Taqwa et al. (2020) menunjukkan bahwa fermentasi daun mengkudu menggunakan bakteri Bacillus sp. strain BT3CL mampu menghasilkan silase mengkudu dengan tingkat kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in-vitro yang lebih tinggi daripada silase mengkudu yang difermentasi Bacillus subtilis strain BR2CL. Rohman et al. (2021) menunjukkan bahwa pemanfaatan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BS5) mampu menghasilkan biosuplemen berprobiotik berbasis limbah agroindustri dengan daya larut air tertinggi (75,27% Vs 69,43 – 74,85%) serta kecernaan bahan organik secara in-vitro sebesar 71,30% yang lebih tinggi daripada biosuplemen terfermentasi tanpa bakteri lignoselulolitik (68,26%), terfermentasi Bacillus substilis BR4LG (71,03%), Bacillus
substilis BR2CL (71,25%), Bacillus sp. BT3CL (71,22%), namun berbeda tidak nyata dengan biosuplemen terfermentasi Aneurinibacillus sp. BT4LS(71,35%).
Pemanfaatan bakteri probiotik lignoselulolitik pada broiler juga telah menunjukkan bahwa pemberian probiotik bakteri lignoselulolitik melalui air minum mampu meningkatkan produktivitas broiler (Sintadewi et al., 2019; Kertiyasa et al., 2019; Mudita et al., 2020). Sintadewi et al. (2020) menyatakan bahwa pemberian sebanyak 50 ml inokulan Bacillus subtilis strain BR2CL atau Bacillus sp. strain BT3CL ke dalam 1 liter air minum dapat meningkatkan penampilan ayam broiler umur 14–35 hari. Penelitian Kertiyasa et al. (2020) menunjukkan bahwa pemberian probiotik tersebut mampu meningkatkan berat potong, berat karkas, serta meningkatkan komposisi karkas seperti berat dada, berat paha atas, berat paha bawah dan berat sayap dan dengan persentase lemak abdominal menurun pada broiler umur 35 hari. Hasil penelitian Mudita et al. (2020) menunjukkan pemberian kombinasi kelima bakteri probiotik lignoselulolitik (Bacillus subtilis strain BR4LG, Bacillus subtilis strain BR2CL, Aneurinibacillus sp strain BT4LS, Bacillus sp strain BT3CL, dan Bacillus sp. strain BT8XY) sebesar 0,02% dari bobot badan sasaran (Rekomendasi PT. Charoen Phokphand Tbk) mampu meningkatkan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, dan Feed Conversion Ratio (FCR) broiler yang dihasilkan. Hasil evaluasi pada beberapa orang peternak broiler di daerah Bangli juga menunjukkan pemberian probiotik bakteri lignoselulolitik “Probio-BaliTani” (konsorsium lima bakteri probiotik lignoselulolitik) mampu meningkatkan produktivitas usaha baik FCR maupun IP (Indeks Performance) dari broiler yang dipelihara.
Peningkatan kualitas broiler yang tinggi dengan pemberian probiotik bakteri lignoselulolitik melalui air minum sudah menunjukkan efektivitas probiotik lignoselulolitik dalam mendukung meningkatkan daging pada broiler. Namun sampai saat ini informasi terkait pemanfaatan inokulan bakteri probiotik lignoselulolitik dalam produksi ransum untuk meningkatkan kualitas broiler belum diperoleh. Sehingga kegiatan penelitian untuk mengevaluasi tingkat kecernaan nutrien ransum yang diproduksi memanfaatkan bakteri probiotik lignoselulolitik pada broiler penting untuk dilaksanakan.
MATERI DAN METODE
Materi
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di stasiun penelitian Fakultas Peternakan Universitas Udayana Sesetan dan Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Penelitian dilaksanakan selama ± 2 bulan. Masa pemeliharaan dimulai dari 25 Mei – 29 Juni 2021, sedangkan waktu untuk analisa kandungan feses dilaksanakan pada tanggal 12 Juli -17 Juli 2021.
Ayam broiler
Penelitian menggunakan ayam broiler sebanyak 60 ekor yang diperoleh dari PT. Charoen Phokphand Indonesia, Tbk. Ayam yang dipelihara mulai DOC, namun untuk pengambilan data penelitian dilakukan pada masa koleksi total selama 1 minggu yang dilaksanakan pada fase finisher saat broiler dimulai dari umur 22 hari hingga 35 hari. Saat broiler umur 35 dilakukan pemanenan dengan dipuasakan sehari sebelumnya. Broiler yang dipelihara tanpa membedakan jenis kelaminnya (unsexing).
Ransum dan air minum
Ransum yang diberikan adalah 2 jenis yaitu ransum komersial (S12 untuk fase finisher, umur 22 – 35 hari) dan ransum terfermentasi dengan formula ransum yang disusun secara mandiri menggunakan standar SNI dengan komposisi dan estimasi kandungan nutrien disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Sedangkan kandungan nutrien ransum komersial disajikan pada Tabel 3. Air minum diberikan secara adlibitum.
Tabel 1. Komposisi bahan penyusun ransum broiler fase finisher
Bahan Pakan |
Komposisi (%) |
Jagung Kuning |
52 |
Dedak Padi |
20 |
Tepung Kedelai |
13 |
Tepung Ikan |
8 |
Tepung Daun Kelor |
5 |
Premix |
1,50 |
Garam Dapur |
0,50 |
Jumlah |
100% |
Tabel 2. Kandungan nutrisi ransum ayam broiler fase finisher
Kandungan Nutrisi |
Jumlah(1) |
Standar SNI(2) |
Energi Metabolisme (kkal/kg) |
3058,51 |
Min. 2900 |
Protein Kasar (%) |
18,13 |
Min. 18 |
Lemak Kasar (%) |
8,04 |
Maks. 8 |
Serat Kasar (%) |
4,64 |
Maks. 6 |
Kalsium (% |
0,87 |
0,90 - 1,20 |
Fosfor (%) |
0,65 |
0,60 – 1,00 |
Lisin (%) |
0,91 |
Min. 0,90 |
Metionin (%) |
0,35 |
Min. 0,30 |
Keterangan: 1. Berdasarkan hasil perhitungan
2. Badan Standarisasi Nasional (2006)
Tabel 3. Kandungan nutrien ransum finisher ayam broiler setelah difermentasi
Kandungan nutrien (%)
Perlakuan
BRK |
BRF0 |
BRF1 |
BRF2 |
BRF3 | |
Bahan kering |
87,31 |
96,87 |
97,70 |
97,31 |
97,63 |
Bahan organik |
93,99 |
90,08 |
90,01 |
90,15 |
89,46 |
Abu |
6,89 |
10,24 |
10,23 |
10,13 |
10,80 |
Protein Kasar |
26,31 |
19,85 |
21,70 |
19,92 |
20,75 |
Serat Kasar |
2,34 |
4,19 |
3,01 |
2,92 |
3,47 |
Lemak Kasar |
7,07 |
9,86 |
7,92 |
8,81 |
9,02 |
Energi bruto |
4,82 |
4,00 |
3,76 |
4,01 |
3,95 |
Keterangan: Ayam yang diberi ransumkomersial (BRK), ayam yang diberi ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik (BRF0), ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1), ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2), dan ayam yang diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT8XY(BRF3).
Sumber: Gabrella (unpublished)
Tabel 4. Kandungan nutrien ransum komersial ayam broiler BR11
Nutrien |
Kandungan nutrien BR11 |
Standar SNI |
Energi Metabolisme (kkal/kg) |
3.056,81 |
Min 2900 |
Protein Kasar (%) |
18,23 |
Min 18 |
Lemak Kasar (%) |
7,54 |
Maks 8,0 |
Serat Kasar (%) |
4,33 |
Maks 6,0 |
Kalsium (Ca) (%) |
0,96 |
0,90 |
Fosfor (P) (%) |
0,66 |
0,40 |
Sumber: Brosur makanan ternak broiler PT. Charoen Pokphand Indonesia
Standar nutrien menurut SNI (2006)
Bakteri probiotik lignoselulolitik
Bakteri probiotik lignoselulolitik yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri hasil isolasi Mudita (2019) yaitu bakteri Bacillus subtilis BR4LG, Bacillus sp. BT3CL dan Bacillus sp. BT8XY. Sebelum digunakan untuk memproduksi produk probiotik, isolat bakteri terlebih dahulu diremajakan pada optical density (OD) 0,5 λ 550 nm menggunakan medium Nutrient broth/NB.
Kandang
Kandang yang digunakan adalah kandang jenis baterai. Kandang dibagi menjadi 20 petak sesuai dengan banyaknya perlakuan dengan luasan P x L x T yaitu 80 cm x 60 cm x 75 cm. Disetiap petak berisi ayam berjumlah 3 ekor.
Peralatan dan perlengkapan
Peralatan dan perlengkapan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan yang digunakan untuk menimbang feses (ekskreta) ayam dan pakan yang akan diberikan serta pakan yang sisa. Peralatan pokok seperti tempat pakan, tempat air minum, litter, chick guard, termometer, ember, koran bekas, alat tulis, dan lampu.
Metode
Rancangan penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) terdiri dari 5 perlakuan dengan 4 ulangan dan disetiap ulangan menggunakan 3 ekor ayam broiler, sehingga secara keseluruhan menggunakan 60 ekor broiler. Metode RAL digunakan karena menggunakan DOC dengan berat badan dan umur yang relatif seragam.
Perlakuan yang diberikan, yaitu:
-
1. BRK = Broiler yang diberi ransum komersial S12.
-
2. BRF0= Broiler diberi ransum terfermentasi tanpa bakteri probiotik lignoselulolitik.
-
3. BRF1= Broiler diberi ransum terferementasi bakteri Bacillus subtilis BR4LG sebanyak 5% dari total ransum.
-
4. BRF2= Broiler diberi ransum terferementasi bakteri Bacillus sp. BT3CL sebanyak 5% dari total ransum.
-
5. BRF3= Broiler diberi ransum terferementasi bakteri Bacillus sp. BT8XY sebanyak 5% dari total ransum.
Pengacakan ayam
Pengacakan ayam bertujuan untuk mendapatkan bobot badan yang homogen. 100 ekor ayam yang akan digunakan ditimbang kemudian mencari rata-rata bobot badan ayam tersebut. Bobot badan tersebut kemudian digunakan untuk menentukan range bobot badan atau standar deviasinya. Ayam yang akan digunakan adalah ayam yang memiliki bobot berkisar diantara kisaran bobot badan rataan yaitu sebanyak 60 ekor. Selanjutnya ayam yang masuk dalam kisaran bobot badan rataan disebar secara acak pada petak kandang yang berjumlah 20 petak kandang dengan jumlah ayam pada setiap petak sebanyak 3 ekor.
Pembuatan inokulum bakteri lignoselulolitik
Peremajaan isolat bakteri (sumber inokulum)
Peremajaan isolat bakteri yang akan digunakan dalam pembuatan ransum ayam broiler ini menggunakan bakteri probiotik lignoselulolitik yang merupakan hasil isolasi dari cairan rumen sapi bali dan rayap (Mudita, 2019) antara lain Bacillus subtilis BR4LG, Bacillus sp. BT3CL, Bacillus sp. BT8XY. Peremajaan isolat bakteri dilakukan dengan cara menginokulasikan 10% isolat bakteri dengan absorbansi 0,5 pada panjang gelombang (λ) 550 nm pada medium pertumbuhan cair (Nutrient Broth/NB) dan selanjutnya diinkubasi selama 3 hari pada temperatur 37,5oC (Mudita, 2019).
Medium inokulum
Medium inokulum yang akan dibuat pada penelitian ini mengikuti formula inokulum bakteri probiotik lignoselulolitik Mudita et al. (2020). Medium inokulum dibuat dengan cara dikultur pada medium pertumbuhan cair (Nutrient Bort) dengan cara menginokulasikan 5% isolat bakteri dengan absorbansi 0,5 pada panjang gelombang (λ) 610 nm kemudian diinkubasi dengan suhu 39oC selama 3 hari. Medium yang digunakan dalam pembuatan inokulum adalah molasses 10%, Nutrient Bort (NB) 5%, urea 0,5%, CMC 0,05%, pignox 0,15%, asam tanat 0,05%, garam dapur 0,25% ZA 0,5% dan air sebagai pelengkap. Proses yang dilakukan dalam produksi inokulum adalah dengan cara mencampurkan 5% kultur
bakteri (sesuai dengan perlakuan) pada 95% medium inokulum dalam keadaan anaerob dengan tetap dialiri gas CO2, setelah itu diinkubasi pada suhu 37,5oC dengan waktu 5-7 hari.
Pembuatan ransum
Pembuatan ransum dimulai dengan penimbangan bahan pakan yang disesuaikan dengan komposisi yang sudah ditetapkan sesuai dengan fase ayam. Tahap kedua adalah dilakukan pencampuran dengan menggunakan teknik silang hingga homogen dan setelah itu ditambahkan inokulum bakteri probiotik lignoselulolitik sebanyak 1% dari total ransum yang diproduksi. Fermentasi dilakukan setelah proses pencampuran dengan kondisi anaerob selama 7 hari yang akan dilanjutkan dengan proses pelleting dan pengeringan bertingkat dengan suhu 40oC selama 1 hari, 45oC selama 2 hari dan terakhir 50oC selama 2 hari.
Pemeliharaan
Sebelum kedatangan DOC dilakukan sanitasi kandang serta peralatan kandang. DOC dilakukan penimbangan terlebih dahulu untuk mengetahui bobot awal DOC, kemudian diberikan larutan air gula pada tempat minum selanjutnya dapat diganti menggunakan air biasa setelah 4 jam hal ini bertujuan untuk memulihkan tenaga saat perjalanan dan stress. Pakan kemudian campuran ransum sesuai dengan perlakuan di tempat pakan yang telah ditentukan. Pada dua minggu pertama pada setiap kandang dihidupkan lampu berdaya 40 W selama 24 jam, sedangkan setelah dua minggu, lampu hanya dihidupkan pada malam hari saja. Pengontrolan pemeliharaan pakan, air minum, dan bobot badan dilakukan setiap hari.
Pengukuran kecernaan
Kecernaan nutrien yang akan dievaluasi pada penelitian ini kecernaan bahan kering, bahan organik, serat kasar, protein kasar, lemak kasar dan metabolisme energi semu. Metode yang digunakan dalam pengukuran kecernaan adalah metode koleksi total. Pengambilan sampel dilakukan selama satu minggu pada minggu terakhir pemeliharaan broiler (umur 28– 35 hari). Sebelum pengambilan sampel, ayam broiler terlebih dahulu dipuasakan selama 12 jam (tetap diberi air minum). Pengukuran sampel baik sampel konsumsi ransum, maupun produksi ekskreta akan dilakukan selama 24 jam dari pukul 08.00 wita sampai 08.00 wita keesokan harinya, broiler diberikan ransum perlakuan secara adlibitum diikuti dengan penampungan ekskreta setiap harinya selama 1 minggu. Pada kegiatan penampungan
ekskreta, untuk mengurangi (mencegah) terjadinya penguapan nitrogen yang beresiko akan mempengaruhi perhitungan kecernaan protein, ekskreta akan disemprot dengan HCl 0,2 N secara berkala setiap 2 jam selama penampungan. Setelah fase koleksi total, sampel ransum dan ekskreta dianalisis kandungan nutriennya di laboratorium.
Variabel pengamatan
Kecernaan bahan kering (KcBK)
Kecernaan bahan kering adalah kecernaan yang dihitung berdasarkan jumlah bahan kering ransum yang dikonsumsi ayam broiler dikurangi jumlah bahan kering ekskreta, sehingga hasilnya adalah selisih dari jumlah bahan kering yang dikonsumsi dengan jumlah yang dieksresikan (Ranjhan, 1980). Kecernaan bahan kering diukur dengan konsumsi bahan kering dikurangi dengan jumlah bahan kering eksreta dibagi dengan konsumsi bahan kering dikali 100%.
KcBK =
konsumsi bahan kering — bahan kering (Ekskreta) konsumsi bahan kering
x 100%
Kecernaan bahan organik (KcBO)
Kecernaan bahan organik adalah kecernaan pakan yang mengandung Karbohidrat, protein dan lemak. Meningkatnya kecernaan bahan kering turut meningkatkan kecernaan bahan organik. Sehingga faktor kecernaan yang dialami oleh bahan kering sama dengan bahan organik. Menurut Tilman et al. (1998) faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan zat nutrisi pada ransum. Kecernaan bahan organik diukur dengan konsumsi bahan organik dikurangi dengan jumlah bahan organik eksreta dibagi dengan konsumsi bahan organik dikali 100%.
Konsumsi bahan organik — Bahan organik (Ekskreta) KCBO =---------------—------η--------- x 100 %
Konsumsi bahan organik
Kecernaan serat kasar
Serat kasar (crude fiber) adalah kandungan lignoselulosa pada suatu bahan pakan yang terdapat di dalam sel penyusunnya yang terdiri dari hemiselulosa, selulosa, lignin. Istilah serat kasar ini digunakan dalam analisa proksimat (Hermaningsih, 2010). Unggas memiliki kecernaan yang buruk terhadap serat kasar hal ini dikarenakan rendahnya enzim selulase yang dimilikinya untuk mencerna serat kasar (Hafsah, 2003). Kecernaan serat kasar diukur dengan konsumsi serat kasar dikurangi dengan jumlah serat kasar eksreta dibagi dengan konsumsi serat kasar dikali 100%.
konsumsi serat kasar — serat kasar (Ekskreta) KcSK = ■---------v----;------- x 100% konsumsi serat kasar
Kecernaan protein kasar
Protein adalah zat senyawa nitrogen yang disusun oleh asam-asam amino esensial dan non-esensial. Protein berfungsi sebagai bahan pembangun dan pengganti jaringan tubuh yang rusak, sebagai penyusun enzim, hormon, antibodi tubuh dan mengatur metabolisme sel (Rustan, 2018). Tingginya serat kasar di dalam usus menyebabkan keceraan protein tidak efektif (Anggorodi, 2003). Protein kasar merupakan semua zat yang mengandung unsur nitrogen, untuk mengetahui kecernaan protein pada unggas dilakukan dengan cara uji analisa khjedhal (Rustan., 2018). Kecernaan protein kasar diukur dengan konsumsi protein kasar dikurangi dengan jumlah eksreta protein kasar dibagi dengan konsumsi protein kasar dikali 100%.
konsumsi protein kasar — protein kasar (Ekskreta)
KcPK = ---------------------:---------------x 100%
konsumsi protein kasar
Kecernaan lemak kasar
Lemak kasar adalah bahan atau zat organik yang terlarut dalam eter walaupun terdapat bahan non-lemak yang ikut terlarut. Lemak memiliki fungsi sebagai cadangan energi pada bahan pakan. Lemak memiliki fungsi untuk melarutkan vitamin dalam lemak yaitu A,D,E dan K, serta membantu dalam penyerapan mineral tertentu seperti kalsium. Faktor yang mempengaruhi kecernaan lemak adalah jumlah lemak yang terdapat dalam suatu bahan pakan. Kecernaan lemak kasar diukur dengan konsumsi lemak kasar dikurangi dengan jumlah lemak kasar eksreta dibagi dengan konsumsi lemak kasar dikali 100%.
konsumsi lemak kasar — Iemakkasar (Ekskreta)
KcPK =--7--r--—------x 100%
konsumsi lemak kasar
Energi metabolisme semu
Energi metabolisme semu adalah energi dari bahan pakan yang dicerna oleh ternak tidak semuanya digunakan oleh ternak namun sebagian terbuang melalui feses dan urine, namun pada broiler bersatu membentuk ekskreta, sehingga energi tercerna “metabolisme energi semu” adalah selisih antara energi bruto (gross energy) dengan energi ekskreta dimana energi yang diserap tubuh hilang dalam bentuk gas metan, CO2 dan panas (Ensminger, 1991). Energi Metabolisme semu diukur dengan konsumsi energi bruto ransum dikali dengan konsumsi ransum dikurangi dengan jumlah energi bruto eksreta dikali dengan berat ekskreta dibagi dengan konsumsi ransum dikali 100%.
(EBRxKR)- (EBexBE) Energi metabolisme semu ---------—---------x 1000
EBR = Energi bruto ransum (kkal/kg)
EBe = Energi bruto ekskreta (kkal/kg)
KR = Konsumsi ransum (gram)
BE = Berat ekskreta (gram)
Analisis statistik
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05), maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada
taraf 5% (Steel dan Torrie, 1993). Data yang telah diperoleh dianalisa dengan menggunakan statistical product and service solutions (SPSS) versi 25.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil evaluasi kecernaan ransum terfermentasi oleh bakteri probiotik lignoselulitik pada ayam broiler terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Evaluasi kecernaan ransum terfermentasi bakteri probiotik lignoselulolitik pada Broiler
Variabel (%) |
Perlakuan1) |
SEM2) | ||||
BRK |
BRF0 |
BRF1 |
BRF2 |
BRF3 | ||
KCBK |
69,17b3) |
66,73a |
66,74a |
67,72ab |
68,95b |
0,652 |
KCBO |
64,60b |
56,08a |
64,21b |
64,60b |
65,72b |
1,054 |
KCSK |
61,07ab |
59,03a |
62,57b |
62,22bc |
63,69c |
0,784 |
KCPK |
61,14b |
52,84a |
55,49a |
63,09b |
64,51b |
1,117 |
KCLK |
66,72c |
58,60a |
63,33b |
64,40bc |
66,22bc |
0,989 |
Metabolisme Energi semu |
64,39c |
58.96a |
63.45bc |
60,10ab |
63,99c |
1,202 |
Ket : Keterangan:
1) Broiler dengan ransum komersil sebagai kontrol (BRK), Ransum fermentasi tanpa menggunakan probiotik sebagai kontrol (BRF0), Broiler diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1), Broiler diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) dan Broiler diberi ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3)
2) SEM: “Standard error of the treatment means”
3) Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0,05). Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)
Kecernaan bahan kering (KCBK)
Kecernaan bahan kering broiler yang diberi ransum komersial S12 (Perlakuan BRK) adalah 69,17% (Tabel 3. 1). Rataan kecernaan bahan kering broiler pada perlakuan ransum terfermentasi tanpa tambahan probiotik (BRF0), ransum terfermentasi dengan Bacillus subtilis BR4LG (BRF1), Bacillus sp. BT3CL (BRF2) dan Bacillus sp. BT8XY (BRF3) masing-masing 3,53%, 3,51%, 2,09% dan 0,31% lebih rendah dibandingkan dengan broiler yang mendapat perlakuan ransum komersial (perlakuan BRK). Broiler yang mendapatkan perlakuan perlakuan bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1) dan Bacillus sp. BT3CL (BRF2) 0,01% dan 1,48% lebih tinggi dibandingkan broiler yang mendapat perlakuan ransum
terfermentasi tanpa diberi probiotik (BRF0), namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Broiler yang mendapat perlakuan Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 3,33% nyata lebih tinggi (P<0,05). Broiler yang mendapat perlakuan Bacillus sp. BT3CL (BRF2) 1,47% tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan broiler yang mendapat perlakuan bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1), sedangkan broiler yang mendapat perlakuan Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 3,3% nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan broiler yang mendapat perlakuan bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1). Broiler yang mendapat perlakuan Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 1,81% lebih tinggi tidak nyata (P>0,05) dibandingkan broiler yang mendapat perlakuan Bacillus sp. BT3CL (BRF2)
Bahan kering (BK) adalah berat konstan bahan pakan setelah dihilangkan kandungan airnya dengan pemanasan 105oC, sedangkan kecernaan bahan kering adalah selisih jumlah bahan kering yang dikonsumsi dengan jumlah bahan kering yang diekskresikan. Hasil penelitian menunjukan broiler yang mendapatkan perlakuan perlakuan bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1) dan Bacillus sp. BT3CL (BRF2) 0,01% dan 1,48% lebih tinggi dibandingkan broiler yang mendapat perlakuan ransum terfermentasi tanpa diberi probiotik (BRF0), namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) sedangkan broiler yang mendapat perlakuan Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 3,33% nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan ransum terfermentasi tanpa diberi probiotik lignoselulitik (BRF0). Hal ini disebabkan pada perlakuan BRF3 ransum terfermentasi bakteri Bacillus sp. BT8XY yang merupakan bakteri lignoselulolitik yang mempunyai kemampuan dalam merombak senyawa komplek menjadi senyawa sedehana sehingga kecernaan bahan keringnya menjadi meningkat. Hal ini di dukung oleh Mudita (2019) Isolat bakteri dengan kode BT8XY mampu menghasilkan aktivitas spesifik xylanase tertinggi dan dengan konsentrasi protein ekstrak enzim tertinggi pula, sehingga kemampuan degradasi substrat yang dihasilkan tertinggi dibandingkan dengan isolat bakteri xylanolitik lainnya. Ransum pada perlakuan BRF2 dan BRF3 secara statistik tidak berbeda nyata lebih rendah dibandingkan ayam yang mendapat perlakuan BRK, sedangkan ayam yang mendapat perlakuan ransum terfermentasi bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1) nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan broiler yang mendapat ransum komersial (BRK). Hal ini disebabkan oleh tingkat feed convertion ratio (FCR) yang tinggi pada ayam broiler yang mendapat perlakuan BRF2 dan BRF3 masing-Khoiron, I. I., J. Peternakan Tropika Vol. 10 No. 2 Th. 2022 : 478 – 501 Page 491
masing 1,92 dan 1,98 dibandingkan dengan BRK sebesar 1,37 (Mario, 2022 Unpublished). Perbedaan nilai FCR pada setiap perlakuan diduga karena rendahnya tingkat palatabilitas yang mempengaruhi konsumsi pakan dan tingkat kecernaan. Wahyu (2004) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi adalah palatabilitas. Palatabilitas dipengaruhi oleh bau, rasa, tekstur dan warna pakan yang diberikan, ransum diduga memiliki tingkat keasaman (pH) yang tinggi sehingga palatabilitas menjadi rendah karena mempengaruhi bau dan rasa. Kecernaan bahan kering menjadi indikator dari kualitas ransum hal ini dikarenakan semakin banyak ransum yang tercerna semakin banyak pula zat nutrisi yang terserap (Afriyanti, 2008).
Kecernaan bahan organik (KCBO)
Kecernaan bahan organik ransum pada broiler yang diberi perlakuan ransum komersial BR11 (Perlakuan BRK) adalah 64,60% (Tabel 3.1). Rataan kecernaan bahan organik broiler yang diberi perlakuan ransum terfermentasi tanpa menggunakan probiotik (perlakuan BRF0) lebih rendah 13,19% dari broiler yang diberi ransum komersil (Perlakuan BRK) secara statistik berbeda nyata (P<0,05), sedangkan kecernaan ayam broiler diberi ransum terferementasi bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1) 0,60% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan broiler dengan ransum komersil (Perlakuan BRK). Kecernaan bahan organik ayam broiler diberi ransum terferementasi bakteri Bacillus sp. BT3CL (Perlakuan BRF2) sama dengan broiler diberi ransum komersil (Perlakuan BRK). Kecernaan bahan organik ayam broiler pada perlakuan bakteri bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 1,73% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan broiler dengan ransum komersil (Perlakuan BRK). Kecernaan bahan organik ayam broiler pada perlakuan bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1), bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) dan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) masing-masing 14,50%, 15,19% dan 17,19% nyata (P>0,05) lebih tinggi dari ayam yang mendapat perlakuan fermentasi tanpa probiotik (BRF0). Kecernaan bahan organik ayam yang mendapat perlakuan bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) dan bakteri Bacillus sp. (BRF3) masing-masing 0,60% dan 2,35% tidak berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dari ayam yang mendapat perlakuan bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1), sedangkan kecernaan bahan organik ayam yang mendapat perlakuan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 1,73% tidak
berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dari perlakuan ransum terferementasi bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2).
Kecernaan bahan organik adalah kecernaan yang terdiri atas kecernaan karbohidrat, protein, lemak dan vitamin. Kecernaan bahan organik BRF1,BRF2 dan BRF3 nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan ayam yang mendapat BRF0, hal ini disebabkan adanya bakteri yang bersifat lignoselulolitik pada perlakuan BRF1,BRF2 dan BRF3 menyebabkan bahan organik yang tersedia meningkat akibatnya kecernaan bahan organiknya pun meningkat. Hal ini sesuai dengan (Hidanah et al., 2013) faktor yang mempengaruhi kecernaan serat kasar adalah konsumsi pakan, kadar serat dalam pakan, komposisi penyusunan serat kasar dan aktivitas mikroorganisme. Sutardi (1980) peningkatan kecernaan bahan organik beriringan dengan meningkatnya kecernaan bahan kering, hal ini dikarenakan sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga tinggi rendahnya kecernaan bahan kering akan berpengaruh juga terhadap tinggi rendahnya bahan organik. Kecernaan bahan organik ayam broiler yang mendapat perlakuan BRF1, BRF2 dan BRF3 Tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan ayam yang mendapat perlakuan BRK. Hal ini disebabkan adanyanya bakteri yang mempunyai enzim dalam memecah lignoselulosa menyebabkan bahan organik akan tersedia sehingga kecernaan bahan organiknya meningkat tidak berbeda nyata dengan yang diberi ransum komersial. Perez et al. (2002) menyebutkan kompleks enzim lignoselulase yang terdiri dari enzim lignase, selulase dan hemiselulase akan merombak senyawa lignoselulosa yang terdiri dari lignin, selulosa dan hemiselulosa menjadi asam-asam organik, methan/CH4, karbondioksida/CO2, dan air/H2O pada kondisi anaerob. Tingkat perombakan lignoselulosa dipengaruhi oleh keseimbangan konsentrasi dan aktivitas kompleks enzim yang bekerja, tingkat kekompakan (kristalisasi) komponen lignoselulosa serta ada atau tidaknya penghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba.
Kecernaan serat kasar (KCSK)
Kecernaan serat kasar ransum pada broiler yang diberi perlakuan ransum komersial S12 (Perlakuan BRK) adalah 61,07% (Tabel 3.1). Rataan kecernaan serat kasar broiler pada perlakuan ransum terfermentasi tanpa menggunakan probiotik (BRF0) 3,34%, tidak nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan ransum komersial (perlakuan BRK). Perlakuan diberi ransum terferementasi bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1) dan ransum Khoiron, I. I., J. Peternakan Tropika Vol. 10 No. 2 Th. 2022 : 478 – 501 Page 493
terferementasi bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) masing-masing 2,46% dan 1,88% secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ransum komersial (BRK). Pada perlakuan ransum difermentasi bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 4,29% berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan broiler diberi ransum komersil (BRK). Rataan kecernaan serat kasar broiler pada perlakuan ransum terferementasi bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1), bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) dan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) masing-masing 6%, 5,4% dan 7,89% berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian probiotik (BRF0). Rataan kecernaan serat kasar broiler pada perlakuan bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) 0,55% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan perlakuan bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1). Perlakuan ransum diberi bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 1,79% berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1). Rataan kecernaan serat kasar broiler diberi perlakuan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 2,36% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2).
Kecernaan Serat kasar ayam yang mendapat perlakuan BRF1, BRF2 dan BRF3 nyata lebih tinggi dari ayam yang mendapat perlakuan BRF0, hal ini disebabkan adanya bakteri selulolitik menyebabkan kecernaan serat kasar meningkat, sedangkan pada BRF0 tidak ada bakteri lignoselulolitik yang menghasilkan enzim endo glukanase/CMCase, ekso glukanase dan glukosidase yang berperan dalam degradasi selulosa menjadi senyawa sederhana (Partama et al., 2013). Kecernaan serat kasar broiler yang mendapat perlakuan BRF1 dan BRF2 lebih tinggi dari perlakuan BRK namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan pada perlakuan BRF3 nyata lebih tinggi dibandingkan BRK hal ini disebabkan pada ayam yang mendapat perlakuan BRF3 mengandung bakteri Bacillus sp. BT8XY yang mempunyai kemampuan dalam mencerna serat kasar yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini didukung oleh Sobari (2018) yang menyatakan kecernaan serat kasar terfermentasi dengan bakteri lignoselulolitik meningkat dibandingkan tidak menggunakan bakteri lignoselulolitik.
Kecernaan protein kasar (KCPK)
Kecernaan protein kasar broiler yang diberi ransum komersial S12 (Perlakuan BRK) adalah 61,14% (Tabel 3. 1). Rataan kecernaan protein kasar broiler pada perlakuan tanpa diberi probiotik (BRF0) dan perlakuan bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1) masing-masing 3,34% dan 9,24% berbeda nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan ransum komersial (perlakuan BRK). Rataan kecernaan protein kasar broiler pada perlakuan bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) dan perlakuan diberi bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) masing-masing 3,19% dan 5,51% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ransum komersial (perlakuan BRK). Broiler yang mendapat perlakuan bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1) 5,86% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa diberi probiotik (BRF0), sedangkan perlakuan bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) dan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) masing-masing 19,40% dan 22,09% berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi terhadap perlakuan tanpa diberi probiotik (BRF0). Rataan kecernaan serat kasar ada perlakuan bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) dan perlakuan diberi bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) masing-masing 13,7% dan 16,26% berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan broiler yang mendapat perlakuan bakteri Bacillus subtilis BR4LG (BRF1). Rataan kecernaan protein kasar broiler pada perlakuan diberi bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 2,25% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2).
Kecernaan protein kasar BRF1 tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan BRF0, sedangkan BRF2 dan BRF3 nyata lebih tinggi dari BRF0 hal ini disebabkan tingginya aktivitas bakteri probiotik lignoselulolitik menyebabkan kecernaan protein meningkat. Menurut Jouany (1991) kecepatan degradasi oleh mikroba dalam saluran pencernaan tergantung pada jenis selulosa, sehingga semakin banyak jumlah bakteri akan meningkatkan kandungan protein dalam ransum. Kecernaan protein kasar broiler yang mendapat perlakuan BRF2 dan BRF3 tidak nyata lebih tinggi dibandingkan BRK, sedangkan BRF1 nyata lebih rendah hal ini disebabkan kecernaan serat kasar yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan populasi bakteri probiotik yang meningkat dimana bakteri itu sendiri mengandung protein, meningkatnya populasi bakteri disebabkan oleh aktifitas bakteri seperti aktivitas enzim. Lynd et al. (2002) mengungkapkan beberapa mikroorganisme mampu menghasilkan multifunction glukanase yang terdiri dari
beberapa enzim selulase dan hemiselulase, sehingga konsep 1 (satu) enzim satu aktivitas tidak berlaku pada semua kasus. Ditambahkannya bahwa multifunction protein adalah suatu protein enzim yang terdiri dari satu tife (tife tunggal) dari suatu rantai polipeptida tetapi mempunyai berbagai aktivitas katalitik (aktivitas enzimatis).
Kecernaan lemak kasar (KCLK)
Kecernaan lemak kasar broiler yang diberi ransum komersial S12 (Perlakuan BRK) adalah 66,72% (Tabel 3.1). Rataan kecernaan lemak kasar broiler pada perlakuan tanpa pemberian probiotik (BRF0) dan perlakuan yang diberi bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF1) masing-masing 12,17% dan 5,08%, berbeda nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan ransum komersial (perlakuan BRK). Rataan kecernaan lemak kasar broiler pada perlakuan bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) dan perlakuan yang diberi bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) masing-masing 3,48% dan 0,75% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ransum komersial (perlakuan BRK). perlakuan yang diberi bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF1), bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) dan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) masing-masing 8,07%, 9,90% dan 13% berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi terhadap BRF0. Pada perlakuan bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) dan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) masing-masing 1,7% dan 4,56% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi terhadap perlakuan yang diberi bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF1). Rataan kecernaan lemak kasar broiler pada perlakuan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 2,82% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2).
Kecernaan lemak kasar pada brroiler yang mendapat perlakuan BRF1, BRF2 dan BRF3 nyata (P<0,05) lebih tinggi dari BRF0 hal ini disebabkan kecernaan lemak yang tinggi diduga dipengaruhi oleh hasil mendegradasi serat kasar menjadi hemiselulosa sederhana yang mudah diserap oleh broiler dalam saluran pencernaan. Didukung oleh Djulardi et al. (2006), pencernaan lemak memerlukan garam-garam empedu yang berfungsi untuk mengemulsikan lemak dalam lekukan duodenum. Peningkatan kecernaan lemak pada ransum yang diberikan perlakuan probiotik sesuai dengan Soeparno (1998) menyatakan penggunaan feed additive antibiotik (bahan pakan tambahan) mempunyai daya cerna lemak yang tinggi disebabkan karena lemak digunakan sebagai sumber energi utama. Kecernaan lemak kasar broiler yang Khoiron, I. I., J. Peternakan Tropika Vol. 10 No. 2 Th. 2022 : 478 – 501 Page 496
mendapat perlakuan BRF2 dan BRF3 tidak berbeda nyata dengan BRK, sedangkan BRF1 nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan BRK hal ini disebabkan oleh pengaruh dari serat kasar yang menyebabkan laju kecernaan yang cepat mengakibatkan kurangnya waktu dalam mencerna lemak hal ini di dukung oleh (Moningkey, 2019) kandungan serat kasar yang tinggi dalam pakan menyebabkan laju digesta meningkat dan serat kasar yang tidak tercerna akan membawa lemak yang tercerna keluar bersama ekskreta sehingga kecernaan menjadi turun.
Metabolisme Energi Semu
Metabolisme energi semu pada ransum broiler diberi ransum komersial S12 (Perlakuan BRK) adalah 64,39% (Tabel 3.1). Rataan metabolisme broiler pada perlakuan tanpa diberi probiotik (BRF0) dan diberi perlakuan bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) masing-masing 8,43% dan 0,62% berbeda nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan ransum komersial (perlakuan BRK). Perlakuan diberi yang diberi bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF1) dan perlakuan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) masing-masing 1,46% dan 0,62% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan perlakuan ransum komersial (BRK). Perlakuan diberi bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF1) dan perlakuan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) masing-masing 7,62%, dan 8,53% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi terhadap perlakuan tanpa diberi probiotik (BRF0). Perlakuan diberi bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) 1,93% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan perlakuan tanpa diberi probiotik (BRF0). Perlakuan diberi bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2) tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah 5,27% terhadap BRF1, sedangkan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 0,85% lebih tinggi tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan broiler yang mendapat perlakuan (BRF1). Rataan metabolisme energi broiler pada perlakuan bakteri Bacillus sp. BT8XY (BRF3) 6,47% berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan diberi bakteri Bacillus sp. BT3CL (BRF2).
Metabolisme energi semu pada ransum terfermentasi oleh probiotik lignoselulolitik pada perlakuan BRF0 dan BRF2 lebih rendah dan berpengaruh nyata (P<0,05) jika dibandingkan dengan BRK sedangkan perlakuan BRF1 dan BRF3 berbeda nyata (P>0,05) terhadap BRF0. Perbedaan metabolisme energi dipengaruhi oleh segala aktifitas fisik broiler itu sendiri dalam pertumbuhannya. Menurut McDonald et al. (1981) Energi metabolis adalah energi yang siap dimanfaatkan hewan untuk aktivitas fisik, metabolisme, reproduksi,
produksi, dan pembentukan jaringan. Metabolisme energi juga dipengaruhi oleh retensi nitrogen pada broiler. Menurut Wahyu (1997) menyatakan meningkatnya konsumsi nitrogen akan menimbulkan peningkatan retensi nitrogen, sehingga memberikan pengaruh terhadap nilai energi metabolisme. Tinggi rendahnya tingkat energi metabolisme dalam ransum secara keseluruhan tidak semuanya digunakan oleh broiler namun ada yang terbuang melalui urine. Menurut Scott et al (1982) energi bruto dari ransum digunakan oleh tubuh, tetapi sebagian hilang melalui urine.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian ransum yang terfermentasi oleh probiotik lignoselulitik terhadap kecernaan broiler dapat disimpulkan ransum dengan perlakuan BRF3 memiliki kualitas terbaik diantara perlakuan lain diikuti BRF0, BRF1 dan BRF2. Kecernaan bahan organik (KCBO), kecernaan serat kasar (KCSK) dan kecernaan lemak kasar (KCLK) pada perlakuan ransum yang diberi bakteri probiotik lignoselulolitik lebih tinggi dibandingkan ransum tanpa diberi bakteri probiotik lignoselulolitik. Kecernaan protein kasar (KCPK) ransum yang mendapatkan perlakuan BRF2 dan BRF3 lebih tinggi dari BRF0 dan BRF1. Energi metabolisme semu pada perlakuan BRF1 dan BRF3 lebih tinggi dibandingkan dengan ransum dengan perlakuan BRF2 dan BRF0.
Saran
Berdasarkan penelitian ini ransum terfermentasi oleh bakteri probiotik lignoselulitik Bacillus sp. BT8XY (BRF3) yang berasal dari rayap dapat menjadi rekomendasi bagi peternak hal ini dikarenakan memiliki hasil kecernaan yang paling baik di antara semua perlakuan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Perkenankan penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., IPU., Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS., IPU., dan Koordinator Program Studi Sarjana
Peternakan Dr. Ni Luh Putu Sriyani, S.Pt., MP., IPM, ASEAN Eng atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Afriyanti, M. 2008. Fermentabilitas dan Kecernaan In-vitro Ransum yang diberi Kursin Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada Ternak Sapi dan Kerbau. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Andre F. Moningkey. 2019. Kecernaan Bahan Organik, Serat Kasar Dan Lemak Kasar Pakan Ayam Pedaging Yang Diberi Tepung Limbah Labu Kuning (Cucurbita Moschata). Zootec. 257-265.
AOAC (1990) Official methods of analysis of the Association of Official Analytical Chemists.2 vols. 15th ed. Washington, DC.
Dewi, R. A. S., I. G. Mahardika., dan I. M. Mudita. 2020. Pengaruh pemberian probiotik bakteri Bacillus subtilis strain BR2CL atau Bacillus sp. strain BT3CL terhadap penampilan ayam broiler. Jurnal Peternakan Tropika. 8(1):74-88. https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/60467/35000
Djulardi, A., H. Muis dan S. A. Latif. 2006. Nutrisi Aneka Ternak dan Satwa Harapan. Cetakan Pertama. Padang: Andalas University Press.
Ensminger, M. E., C. G. Scanes., and G. Brant. 2004. Poultry Scince. 4th Edition. New Jersey. Pearson Prentice Hall.
Halili, A. 2014. Kandungan Selulosa, Hemiselulosa Dan Lignin Pakan Lengkap Jerbahan Jerami Padi, Daun Gamal Dan Urea Mineral Molases Liquid. Skripsi, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Hidanah, S., E. M. Tamrin, D. S. Nazar dan E. Safitri. 2013. Limbah tempe dan limbah tempe fermentasi sebagai substitusi jagung terhadap daya cerna serat kasar dan bahan organik pada itik petelur. Jurnal Agroveteriner. 2 (1) : 71-79.
Jouany, J. P. 1991. Defaunation of the rumen. In: J.P Jouany (Ed.). Rumen microbial metabolism and ruminant digestion. Paris: INRA.
Kertiyasa, I K.Y., I G. Mahardika dan I M. Mudita. 2020. Pengaruh pemberian probiotik bacillus sp. strain BT3CL atau bacillus subtilis strain BR2CL terhadap produksi dan komposisi karkas ayam broiler. Jurnal Peternakan Tropika. 8(2): 346-367.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/61705/35522
Lynd, L. R., P. J. Weimer, W. H. V. Zyl, and I. S. Pretorius. 2002. Microbial Cellulose Utilization: Fundamentals and Biotechnology. Microbiology and Moleculer Biology Reviews: 506-577. American Society for Microbiology.
Melo, N. V. 2013. Moringa oleifera L. – An underutilized tree with macronutrients for human health. Journal Food Agriculture. 785-789.
McDonald, P., R. A. Edwards., and J. F. D. Green-halgh. 1981. Animal Nutrition. 3rd Ed. London: Longman Inc.
Mudita, I. M. 2019. Penapisan dan Pemanfaatan Bakteri Lignoselulolitik Cairan Rumen Sapi Bali dan Rayap Sebagai Inokulan dalam Optimalisasi Limbah Pertanian Sebagai Pakan Sapi Bali. Disertasi. Program Studi Doktor Ilmu Peternakan Fakultas Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar.
Mudita, I. M., I. W. Sukanata., I. B. G. Partama., dan I. N. Sutarpa. 2020. Produksi probiotik bakteri lignoselulolitik "Probio Balitani" sebagai pengganti AGP usaha peternakan broiler. Penelitian CPPU. Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
Murtidjo, B. A. 1990. Sapi potong. Yogyakarta: Kanisius.
Perez, J., J. Munoz-Dorado, T. De la Rubia, and J. Martinez. 2002. Biodegradation and Biological Treatment of Cellulose, Hemicellulose and Lignin; an overview. Int. Microbial, 5: 53-56.
Putra, I. M. D. Y., I. M. Mudita., dan I. N. S. Sutama. 2020. Sifat fisik, kecernaan, dan produk fermentasi rumen secara in-vitro silase jerami padi menggunakan biokatalis bakteri lignoselulolitik. Jurnal Peternakan Tropika. 8(3): 587-605.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/65625/36938
Pratama, R. 2013. Isolasi dan Kloning Gen Selulase dari Bakteri Rumen Sapi. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rasyaf, M. 2006. Beternak Ayam pedaging. Jakarta : Penebar Swadaya.
Ranjhan, S. 1980. Animal Nutrition In The Tropics. New Delhi. : Vikas Publishing Hause Pand TLtd.
Rohman, M. F., I. B. G. Partama., dan I. M. Mudita. 2021. Sifat fisik, kecernaan dan produk metabolit secara in-vitro dari biosuplemen menggunakan biokatalis. Bakteri lignoselulolitik. Jurnal Peternakan Tropika. 9(1): 84-100.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/69692/381 63
Scott , M. L., M. C. Neisheim, and R. J. Young. 1982. Nutrition of The Chicken. 3nd. Ed. Pub. M.L. Scott and Assosiates. Ithaca. New York.
Sobari, M., I M. Mudita., I G. L. O. Cakra. 2018. Kecernaan nutrien pada sapi bali yang diberi ransum terfermentasi inokulan bakteri lignoselulolitik kolon sapi dan sampah organik. Jurnal Peternakan Tropika.(6):2 318 – 334.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/40491/24591
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid 1. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Taqwa, R. M., N. P. Mariani., dan I. M. Mudita. 2020. Sifat fisik, produk fermentasi rumen dan kecernaan in-vitro silase daun mengkudu (morinda citrifolia) menggunakan inokulum berbeda. Jurnal Peternakan Tropika. 8(3): 462-473.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/63693/36308
Tillman, A. D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawirokusumo., dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wahyu, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wahyu, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke lima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Khoiron, I. I., J. Peternakan Tropika Vol. 10 No. 2 Th. 2022 : 478 – 501
Page 501
Discussion and feedback