ISSN 2722-7286

Jurnal

FAPET UNUD


Jurnal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: jurnaltropika@unud.ac.id

Submitted Date: December 13, 2021

Accepted Date: January 13, 2022


Editor-Reviewer Article :  Eny Puspani & A.A. Pt. Putra Wibawa

PENGARUH LAMA PERENDAMAN DAGING SAPI BALI DENGAN LARUTAN FERMENTASI SELADA (Lactuca sativa) TERHADAP KUALITAS FISIK DAN TOTAL BAKTERI ASAM LAKTAT

Panjaitan, K. S. S., S. A. Lindawati, dan I N. S. Miwada

PS. Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali e-mail: stevanipanjaitan@student.unud.ac.id , Telp +6282359354436

ABSTRAK

Daging merupakan bahan pangan asal hewani yang mudah mengalami kerusakan oleh karena aktivitas mikroorganisme perusak pangan. Larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) merupakan salah satu alternatif pengawet alami karena terdapat bakteri asam laktat didalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama perendaman daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) berpengaruh terhadap kualitas fisik dan total bakteri asam laktat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni 2021 di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat ulangan. Keempat perlakuan tersebut yaitu: tanpa perendaman dengan larutan fermentasi selada (P0), perendaman dengan larutan fermentasi selada selama 30 menit (P1), perendaman dengan larutan fermentasi selada selama 60 menit (P2), dan perendaman dengan larutan fermentasi selada selama 90 menit (P3). Variabel yang diamati adalah kualitas fisik berupa pH, daya ikat air, susut masak, susut mentah, warna serta total bakteri asam laktat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama perendaman daging sapi dengan larutan fermentasi selada diperoleh nilai pH 5,95-5,97; daya ikat air 25,11% - 26,15%; susut masak 42,06% - 40,74%; susut mentah 9,29% - 8,12%; warna 4,25% - 5,25%; bakteri asam laktat 3,8 x 105 – 2,7 x 105 CFU/g. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lama perendaman 30, 60, dan 90 menit daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) tidak mempengaruhi nilai pH, daya ikat air, susut masak, susut mentah, warna dan total bakteri asam laktat, tetapi berpengaruh terhadap susut mentah daging dan lama perendaman 60 menit daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) memiliki kualitas fisik yang baik.

Kata kunci : Daging sapi, fermentasi selada, kualitas fisik, total bakteri asam laktat

THE EFFECT OF LONG SOAKING BALI BEEF WITH LETTUCE FERMENTED SOLUTION (Lactuca sativa) ON PHYSICAL QUALITY AND TOTAL LACTIC ACID BACTERIA

ABSTRACT

Meat is a food of animal origin that is easily damaged due to the activity of fooddestroying microorganisms. Lettuce solution (Lactuca sativa) is an alternative natural preservative because there are lactic acid bacteria in it. This study aims to determine that the duration of soaking Bali beef with lettuce fermented solution (Lactuca sativa) effects the physical quality and total lactic acid bacteria. This research was conducted in April to June 2021 at the Laboratory of Animal Products Technology and Microbiology, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University. The study was conducted using a completely randomized design (CRD) with four treatments and four replications. The four treatments were: without soaking with lettuce fementation solution (P0), soaking with lettuce fermentation solution for 30 minutes (P1), soaking with lettuce fermentation solution for 60 minutes (P2), soaking with lettuce fermentation solution for 90 minutes (P3). The variables observed were the physical quality of the meat which included pH, color, water holding capacity, cooking and raw shrinkage and total Lactic Acid Bacteria (LAB). The results showed that soaked beef using lettuce fermentation solution obtained pH 5.95-5.97; water holding capacity 25.11% -26.15%; cooking loss 42.06% - 40.74%; raw shrinkage 9.29% - 8.12%; color 4.25% - 5.25%'; lactic acid bacteria 3.8 x 105 – 2.7 x 105 CFU/g. Based on the results of the study, it can be concluded that the soaking time of 30, 60 and 90 minutes of Balinese beef with lettuce fermentation solution (Lactuca sativa) did not affect the pH value, water holding capacity, cooking loss, raw shrinkage, color and total lactic acid bacteria, but it affects the shrinkage of raw meat and the soaking time of 60 minutes of Balinese beef with lettuce fermented solution had good physical quality.

Keywords: Beef, lettuce fermentation, physical quality, total lactic acid bacteria

PENDAHULUAN

Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan yang sangat digemari oleh masyarakat. Kandungan nutrisinya sangat lengkap dan baik untuk memenuhi kebutuhan manusia akan nutrisi setiap harinya. Akan tetapi dibalik itu ternyata daging juga merupakan salah satu bahan pangan yang sangat mudah rusak oleh aktivitas bakteri dikarenakan nutrien yang terkandung didalam daging merupakan media yang sangat baik untuk tumbuhnya mikroba. Purwani et al., (2008) melaporkan bahwa pada daging sapi segar terdapat Acinetobacter calcoaciticus, E. coli, Salmonella, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus alvei, Bacillus cereus dan Staphylococcus sp. Bakteri tersebut selain berbahaya bagi kesehatan juga

dapat mempengaruhi kualitas fisik daging sehingga membuat daging menjadi tidak layak untuk dikonsumsi.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghambat laju pertumbuhan mikroba sehingga daging menjadi lebih awet yakni perendaman daging dalam bahan pengawet. Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu melindungi bahan pangan dari proses pembusukan dan bentuk kerusakan lainnya (Margono, 2000). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa terdapat beberapa bahan tambahan pangan yang berbahaya bagi kesehatan. Untuk menghindari bahaya tersebut maka digunakanlah bahan alami yaitu larutan fermentasi selada romaine (Lactuca sativa) yang difermentasi menggunakan garam.

Larutan fermentasi selada romaine dapat menjadi alternatif pengawet dikarenakan adanya aktivitas bakteri asam laktat didalamnya. Metabolisme bakteri asam laktat (BAL) dapat menghasilkan asam organik (asam laktat dan asam asetat), hidrogen peroksida, diasetil, dan bakteriosin (Ross et al., 2002; Diop et al., 2007; Galves, 2007). Usmiati (2010) melaporkan bahwa bakteriosin dapat menjadi solusi agar pengawet kimia yang berbahaya tidak digunakan lagi. Bakteriosin hasil aktivitas bakteri asam laktat (BAL) aman dikonsumsi dan dapat digunakan sebagai pengawet makanan (Galvez et al., 2007). Selada romaine digunakan sebagai isolat fermentasi karena selada mudah diperoleh dan mampu menghasilkan asam laktat yang lebih tinggi dibanding sayur lain seperti kubis dan sawi (Misgiyarta dan Sri, 2005). Selada mengandung nutrisi seperti karbohidrat, lemak, protein, air beberapa mineral dan kalsium yang dapat memacu pertumbuhan berbagai jenis bakteri asam laktat dalam proses fermentasi (Almatsier, 2005 dan Pratama, 2008). Suprihatin (2010) melaporkan bahwa Streptococcus, Leuconostoc, dan Lactobacillus berperan penting dalam proses fermentasi sayuran.

Pada proses fermentasi selada dilakukan penambahan garam untuk menyeleksi mikroorganisme yang dapat tumbuh (Wiander dan Palva, 2011). Ali (2014) melaporkan bahwa penambahan garam dalam proses fermentasi dapat berfungsi untuk mengurangi kelarutan oksigen dalam air dan untuk menghambat aktivitas bakteri proteolitik yang mengganggu proses fermentasi. Garam dalam larutan fermentasi dapat menarik keluar glukosa yang ada pada selada. Glukosa ini yang diperlukan kelompok bakteri asam laktat sebagai nutrisi. Selanjutnya glukosa diuraikan menjadi asam laktat. Fathonah (2009) melaporkan pada pembuatan pikel sawi, penggunaan 3% garam mampu menghasilkan bakteri asam laktat paling optimal. Berdasarkan hasil penelitian (Nauni S, 2008) pada

fermentasi asam laktat menyebutkan bahwa pikel lobak yang memiliki konsentrasi asam laktat sebanyak 1,80% pada konsentrasi garam 2,5%. Nerawati (2014) juga melaporkan hasil penelitiannya bahwa pada perendaman ikan bandeng menggunakan larutan fermentasi selada dengan lama perendaman selama 60 menit secara organoleptik mendapatkan kriteria disukai oleh panelis.

Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh lama perendaman 30, 60, 90 menit dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) terhadap kualitas fisik dan total bakteri asam laktat pada daging sapi bali.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana selama tiga bulan, dari bulan April sampai Juni 2021.

Obyek penelitian

Obyek dalam penelitian ini yaitu pengaruh lama perendaman daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa).

Bahan dan alat penelitian

Bahan-bahan yang digunakan sebagai obyek penelitian ini yaitu daging sapi bali bagian tenderloin sebanyak 4 kg yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan Pesanggaran, selada 800 gram, garam 30 gram/ liter, air 8 liter. Bahan-bahan kimia yang digunakan yaitu Media deMan Rogosa Sharpe (MRS), Bacteriological Pepton Water (BPW) 0,1%, aquadest dan larutan buffer 4 dan 7.

Alat yang digunakan dalam pembuatan larutan fermentasi toples, pisau, talenan, gelas ukur, aluminium foil, lakban, oven, kantong plastik (hitam), timbangan analitik, timbangan digital, batang pengaduk. Alat yang digunakan untuk uji kualitas fiisik dan total bakteri asam laktat meat colour fan, cawan petri, kertas saring, tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas beker, pemanas bunsen, oven, erlenmeyer, pipet otomatis, timbangan analitik, otoklaf, inkubator, waterbath, sentrifuge, botol media, pH meter, plastik bening, tali raffia, tissue, cawan porselin, desikator, kapas, tabung sentrifuge, pipet ukur, kertas label, dan pulpen.

Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan pada penelitian ini Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas dengan empat perlakuan dan empat ulangan.

Persiapan bahan dan alat

Pada penelitian ini selada dan garam diperoleh dari pasar tradisional Badung. Selada (Lactuca sativa) dicuci dengan air bersih. Bahan kimia untuk analisis total bakteri asam laktat menggunakan media MRSA dipersiapkan dengan cara ditimbang 68 gram dan dimasukkan kedalam erlenmeyer yang steril lalu ditambahkan satu liter aquadest kemudian dihomogenkan dengan magnetic stirrer. Bahan yang digunakan untuk tingkat pengenceran yaitu Bacteriological Pepton Water (BPW) 0,1% dibuat dengan cara mencampur satu gram BPW dengan aquadest sebanyak satu liter, dihomogenkan diatas magnetic stirrer. Kemudian media MRSA dan BPW 0,1% disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121̊C ±15 menit.

Alat yang digunakan untuk pembuatan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) antara lain pisau, talenan, talenan, toples, gelas ukur, batang pengaduk, alat saring disterilisasi menggunakan air panas lalu ditiriskan dan dikeringkan dengan menggunakan oven. Alat yang digunakan untuk uji kualitas fisik dan total bakteri asam laktat antara lain cawan petri, gelas beker, tabung reaksi, erlenmeyer, cawan porselin, tabung sentrifuge, pipet ukur disterilisasi menggunakan oven dengan suhu 160̊C selama 2 jam sedangkan tabung reaksi dan pipet disterilisasi menggunakan otoklaf dengan suhu 121̊C selama 30 menit. Sebelum memulai penelitian, maka dilakukan sterilisasi tangan, meja kerja, dan inkubator menggunakan alkohol 70%.

Prosedur penelitian

Proses pembuatan larutan fermentasi selada

Pembuatan larutan fermentasi selada mengikuti metode Narwati (2018) yang dimodifikasi, dengan cara mencuci selada dengan air bersih, kemudian selada dipotong-potong dengan panjang ±2 cm. Selada yang sudah diiris kemudian dimasukkan ke dalam toples sebanyak 100 gram untuk 1 liter air dan 3% garam, kemudian diaduk sehingga homogen dan ditutup dengan rapat. Langkah selanjutnya toples diinkubasi selama 6 hari pada suhu ruang (±25̊C) sehingga terjadi proses fermentasi.

Pembuatan sampel penelitian

Daging sapi bali bagian tenderloin yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan Pesanggaran, kemudian dibawa ke laboratorium dengan cara daging dimasukkan ke termos yang sudah berisi es. Kemudian daging dipotong masing-masing 250 gram sesuai dengan banyaknya perlakuan dan ulangan. Selanjutnya daging dimasukkan kedalam wadah dan perendaman dilakukan dengan larutan fermentasi selada sebanyak 500 ml. Selanjutnya daging ditutup untuk menghindari kontaminasi daging oleh udara dan lingkungan sekitar. Kemudian daging dengan lama perendaman 0, 30, 60, dan 90 menit (Nerawati, 2014). Langkah selanjutnya daging ditiriskan dan diletakkan pada nampan yang sudah dialasi plastik dan disimpan pada suhu ruang selama 6 jam. Selanjutnya daging yang telah disimpan selama 6 jam diuji berdasarkan variabel yang telah ditentukan.

Variabel yang diamati

Nilai Ph

Analisis pH daging dapat ditentukan dengan menggunakan pH meter (Suwetja, 2007), dengan cara pH meter dikalibrasi dalam larutan buffer pH 4 dan 7. Sampel daging yang sudah direndam dengan larutan fermentasi selada dan sudah diberi kode, ditimbang 10 gram, kemudian dihancurkan dan dituang ke dalam gelas beker lalu tambahkan aquades 10 ml. Kemudian pH meter dicelupkan pada sampel hingga angka pada pH meter konstan.

Daya ikat air

Daya ikat air dihitung dengan menggunakan modifikasi metode sentrifugasi Akyord pada kecepatan tinggi menurut Bouton et al. (1971) dalam Soeparno, 2015, dengan cara menimbang sampel 10 gram, kemudian dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan kedalam plastik klip yang telah diberikan kode. Selanjutnya sampel dimasukkan kedalam sentrifuge dan diputar selama 10.000 x 3.600 rpm selama 60 menit. Setelah disentrifuge, daging diambil dan dikeringkan permukaannya dengan tissue tanpa tekanan. Kemudian sampel ditimbang sebagai berat akhir. Daya ikat air dapat dihitung dengan rumus:

Daya ikat air (%) = IOO —


berat residu daging berat sampel

× 100%


Susut masak

Pengujian susut masak dapat dilakukan dengan mengikuti Soeparno (2015). Sampel daging yang sudah diberi kode ditimbang dengan berat 10 gram dan dibungkus dengan plastik klip kemudian dimasukkan kedalam waterbath pada temperatur 80̊C selama 60 menit. Setelah perebusan selesai sampel dikeluarkan dan dicelupkan kedalam air dingin. Selanjutnya sampel diambil kemudian dilap menggunakan tissue tanpa penekanan. Daging yang telah kering kemudian ditimbang sebagai berat akhir. Berikut rumus penghitungan susut masak:

, _ (berat awal — berat akhir)

Susut masak (%) =-------:--------:------- X 100%

berat awal

Susut mentah

Pengujian susut mentah dapat dilakukan dengan metode Kristiawan et al. (2019). Sampel daging dipotong dan diberi kode, kemudian ditimbang sebanyak 20 gram. Sampel yang sudah ditimbang kemudian diikat dengan tali raffia dan dimasukkan kedalam plastik dan tidak boleh menyentuh plastik, kemudian plastik diikat dan digantung. Langkah selanjutnya sampel digantung selama 24 jam dan setelah 24 jam sampel dikeluarkan dan di lap hingga kering. Selanjutnya sampel ditimbang kembali sebagai berat akhir. Berikut rumus perhitungan susut mentah:

berat awal — berat akhir

Susut mentah (%) =------7---7----- X 100%

berat awal

Warna

Pengukuran warna daging menggunakan alat meat colour fan yang dibuat oleh Fapple dan Bond (Western Australian Departemnt of Agriculture, unpublished) dalam Sriyani et al. (2015). Penilaian warna daging dilakukan dengan cara melihat warna permukaan otot kemudian mencocokkannya pada alat meat colour fan dibawah penyinaran alam. Nilai skor warna ditentukan berdasarkan enam skala warna yaitu : warna 1 = pucat, 2 = pucat pink, 3 = merah, 4 = merah 5 = merah, 6 = merah kegelapan.

Total bakteri asam laktat

Analisis total bakteri asam laktat dapat ditentukan dengan metode tuang (Fardiaz, 1992), dengan cara menimbang 5 gram sampel daging dan dimasukkan kedalam erlenmeyer yang berisi 45 ml larutan BPW 0,1% sehingga diperoleh pengenceran 10-1. Selanjutnya dari

tingkat pengenceran 10-1 dihomogenkan, kemudian dipipet 1 ml dan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan pengencer BPW 0,1%, sehingga diperoleh tingkat pengenceran 10-2. Demikian seterusnya dilakukan dengan cara yang sama sampai diperoleh tingkat pengenceran 10-3. Selanjutnya dilakukan pemupukan dengan metode tuang, dengan cara dipipet 1 ml dari tingkat pengenceran 102 – 10-3 dan dimasukkan masing-masing kedalam cawan petri yang sudah berisi label kemudian dituangi media MRSA sebanyak 20 ml dan cawan petri ditutup kembali. Kemudian cawan petri dihomogenkan dengan cara membentuk angka 8 dan dibiarkan hingga media memadat. Selanjutnya cawan petri diinkubasi dalam inkubator dengan posisi terbalik pada suhu 37̊C ± 24 jam. Perhitungan koloni yang tumbuh dihitung mengunakan colony counter. Total bakteri asam laktat dapat dihitung dengan rumus:

1

Total bakteri asam laktat (CFU/g) = ∑ Koloni x

faktor pengenceran

Analisis statistik

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan sidik ragam. Apabila pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Data mikroba yang diperoleh sebelum dianalisis ditransformasi terlebih dahulu ke dalam bentuk log x.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis statistik kualitas fisik dan total bakteri asam laktat daging sapi bali yang direndam dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) selama 30-90 menit dapat dilihat pada Tabel 1.

Nilai pH

Nilai pH merupakan salah satu kriteria dalam penentuan kualitas daging. Nilai pH perlu diperhatikan karena pH dapat menunjukkan kualitas daging yang berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan (Lukman et al., 2007). Hasil analisis statistik nilai pH daging sapi bali yang direndam dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) pada semua perlakuan (P3, P2, P1, dan P0) tidak berbeda nyata (P>0,05). Ini berarti semakin lama perendaman daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) menunjukkan nilai pH pada semua perlakuan relatif sama. Nilai pH erat hubungannya dengan total asam, apabila nilai pH mengalami penurunan maka terjadi kenaikan total asam (Prasetyo, 2013). Peningkatan asam dapat terjadi karena penguraian

glukosa menjadi asam (Tjahyadi, 2008). Nilai pH daging sapi yang direndam dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) relatif sama dengan perlakuan P0 (kontrol). Hal ini berkaitan dengan total bakteri asam laktat (BAL). Total BAL yang diperoleh pada penelitian ini cenderung menurun dengan semakin lama perendaman daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa), sehingga mengakibatkan pH yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar 5,97-5,99. Sartini (2005) menyatakan bahwa pembentukan asam laktat menghasilkan pH optimum dengan interval pH 3,5–6. Disamping itu, disebabkan juga oleh hasil pengujian nilai pH pada larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) dalam penelitian ini diperolesh 6,41. Hal ini didukung oleh Afrianti et al. (2013) yang melaporkan hasil penelitiannya bahwa nilai pH pada daging ayam broiler dipengaruhi oleh bahan yang digunakan sebagai perendam. pH larutan fermentasi selada yang tinggi inilah yang mempengaruhi nilai pH pada daging sehingga menunjukkan nilai pH dengan kisaran 5,955,99. Hal ini berbeda dengan pendapat Soeparno (2015) yang menyatakan bahwa pH ultimat daging postmortem yaitu 5,4-5,8. Nilai pH pada penelitian ini masih berada dalam batas normal. Hal ini didukung oleh Dina et al. (2017) yang melaporkan hasil penelitiannya bahwa perendaman daging sapi dengan ekstrak kecombrang 40 ml menghasilkan nilai pH daging sapi yang lebih baik sampai masa simpan 30 jam (5,25-6,08).

Tabel 1 Lama perendaman 30-90 menit daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) terhadap kualitas fisik dan total bakteri asam laktat.

Variabel

P0

Perlakuan (1)

P3

SEM (2)

P1

P2

Nilai pH

5,95a

5,98a

5,99a

5,97a

0,027

Daya ikat air (%)

25,11a

23,59a

22,03a

26,15a

2,492

Susut masak (%)

42,06a

41,87a

40,62a

40,74a

0,521

Susut mentah (%)

9,29b (3)

8,23b

6,10a

8,12b

0,598

Warna

(4)4,25a

4,5a

5,5a

5,25a

0,444

Total BAL (CFU/g)

3,8 x 105 a

2,8 x 105 a

4,9 x 105 a

2,7 x 105 a

0,282

Keterangan:

1. P0 : Tanpa perendaman dengan larutan fermentasi selada (kontrol).

P1 : Perendaman dengan larutan fermentasi selada selama 30 menit.

P2 : Perendaman dengan larutan fermentasi selada selama 60 menit.

P3 : Perendaman dengan larutan fermentasi selada selama 90 menit..

2. SEM adalah “Standard Error of the Treatment Means

3. Notasi dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata (P<0,05).

4. Warna 1 = pucat, 2 = pucat pink, 3 = merah muda, 4 = merah, 5 = merah terang , 6 = merah kegelapan.

Daya ikat air

Daya ikat air merupakan kemampuan daging dalam mempertahankan kandungan air yang terdapat didalam daging akibat adanya pengaruh seperti pemotongan, tekanan dan pemasakan (Soeparno, 2009). Kemampuan daging untuk menahan air merupakan suatu sifat penting karena dengan daya ikat air yang tinggi, maka daging mempunyai kualitas yang baik.

Berdasarkan hasil analisis statistik, daya ikat air pada semua perlakuan (P3, P2, P1, dan P0) tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini diduga karena nilai pH daging yang diperoleh pada penelitian ini tidak berbeda nyata (P>0,05). Daya ikat air pada daging berpengaruh terhadap nilai pH pada daging (Komarudin et al., 2019). Hal ini didukung oleh Pratiwi et al. (2021) yang melaporkan hasil penelitiannya bahwa daya ikat air pada daging sapi bali antara perlakuan kontrol dan dimarinasi menggunakan 20% larutan ekstrak belimbing wuluh relatif sama, hal ini diduga karena nilai pH daging sapi relatif sama sehingga daya ikat air tidak berbeda nyata. Menurut Soeparno (2015) apabila pH lebih tinggi dari titik isoelektrik akan menyebabkan daging mengalami peningkatan daya ikat air. Namun apabila terjadi penurunan pH yang signifikan maka akan terjadi denaturasi protein atau rusaknya struktur myofibril daging yang mengakibatkan daya ikat air menjadi turun. Sesuai dengan pernyataan Lawrie (2003), bahwa penurunan pH menyebabkan terjadinya denaturasi protein daging yang menyebabkan kelarutan protein menurun sehingga daya ikat air berkurang. Domiszweski et al. (2011) juga menyatakan bahwa penurunan daya ikat air disebabkan karena terjadinya proses denaturasi, depolimerisasi dan peningkatan solubilitas protein karena adanya tekanan dan lama perebusan yang mengakibatkan terjadinya perubahan struktur protein otot terutama pada aktin dan miosin. Inilah yang menyebabkan penurunan kemampuan protein otot untuk mengikat air. Berdasarkan pernyataan diatas, pada penelitian ini terjadi penurunan daya ikat air, namun daya ikat air yang didapat masih berada dalam batas normal. Hal ini didukung oleh Soeparno (2005) menyatakan bahwa kisaran normal daya ikat air antara 20-60%.

Susut masak

Susut masak atau cooking loss adalah berat yang hilang selama proses pemanasan atau pemasakan pada daging. Nilai susut masak dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan kualitas dari suatu daging. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa susut masak pada semua perlakuan (P3, P2, P1, dan P0) tidak berbeda nyata (P>0,05). Ini berarti semakin lama perendaman daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) susut masak relatif sama. Hal ini disebabkan karena daya ikat air pada daging yang juga menunjukkan

hasil tidak berbeda nyata, karena susut masak dapat dipengaruhi oleh daya ikat air daging. Tambunan (2009) menyatakan bahwa nilai susut masak berkaitan erat dengan daya ikat air. Suradi (2006) juga melaporkan hasil penelitiannya bahwa susut masak dipengaruhi oleh nilai pH daging yang diikuti dengan kemampuan daging dalam mengikat air. Nilai pH dan daya ikat air daging sapi yang relatif sama pada semua perlakuan perendaman dengan larutan fermentasi selada mengakibatkan nilai susut masak yang relatif sama pula. Hal ini disebabkan oleh protein daging yang dapat mengikat air, sehingga semakin banyak air yang ditahan oleh protein daging maka air yang terlepas semakin sedikit dan akan menghasilkan susut masak yang lebih rendah (Lilik et al., 2018). Daging yang memiliki susut masak rendah memiliki kualitas yang baik dibandingkan daging yang memiliki susut masak tinggi, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Sriyani et al., 2015). Menurut Soeparno (2015) kisaran susut masak daging bervariasi antara 1,5-54,5% dengan kisaran 1540%. Berdasarkan pendapat tersebut, susut masak daging sapi pada penelitian yang dilakukan semuanya berada dalam batas normal. Hal ini didukung oleh Priskayani et al. (2020) yang melaporkan hasil penelitiannya bahwa perlakuan terbaik daging ayam petelur afkir yang dimarinasi dengan 5% blend kencur (Kaempferis galangal L) memiliki susut masak 40,10%. Penelitian Dina et al. 2017 melaporkan hasil penelitiannya bahwa perendaman daging sapi dengan ekstrak kecombrang 40 ml menghasilkan susut masak yang lebih baik sampai masa simpan 30 jam (33,70-46,54%). Namun walaupun demikian, menurut Soeparno (2015) daging yang memiliki susut masak rendah memiliki kualitas yang lebih baik dibanding daging yang susut masaknya tinggi.

Susut masak atau cooking loss adalah berat yang hilang selama proses pemanasan atau pemasakan pada daging. Nilai susut masak dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan kualitas dari suatu daging. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa susut masak pada semua perlakuan (P3, P2, P1, dan P0) tidak berbeda nyata (P>0,05). Ini berarti semakin lama perendaman daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) susut masak relatif sama. Hal ini disebabkan karena daya ikat air pada daging yang juga menunjukkan hasil tidak berbeda nyata, karena susut masak dapat dipengaruhi oleh daya ikat air daging. Tambunan (2009) menyatakan bahwa nilai susut masak berkaitan erat dengan daya ikat air. Suradi (2006) juga melaporkan hasil penelitiannya bahwa susut masak dipengaruhi oleh nilai pH daging yang diikuti dengan kemampuan daging dalam mengikat air. Nilai pH dan daya ikat air daging sapi yang relatif sama pada semua perlakuan perendaman dengan larutan fermentasi selada mengakibatkan nilai susut masak yang relatif sama pula. Hal ini disebabkan

oleh protein daging yang dapat mengikat air, sehingga semakin banyak air yang ditahan oleh protein daging maka air yang terlepas semakin sedikit dan akan menghasilkan susut masak yang lebih rendah (Lilik et al., 2018). Daging yang memiliki susut masak rendah memiliki kualitas yang baik dibandingkan daging yang memiliki susut masak tinggi, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Sriyani et al., 2015). Menurut Soeparno (2015) kisaran susut masak daging bervariasi antara 1,5-54,5% dengan kisaran 1540%. Berdasarkan pendapat tersebut, susut masak daging sapi pada penelitian yang dilakukan semuanya berada dalam batas normal. Hal ini didukung oleh Priskayani et al. (2020) yang melaporkan hasil penelitiannya bahwa perlakuan terbaik daging ayam petelur afkir yang dimarinasi dengan 5% blend kencur (Kaempferis galangal L) memiliki susut masak 40,10%. Penelitian Dina et al. 2017 melaporkan hasil penelitiannya bahwa perendaman daging sapi dengan ekstrak kecombrang 40 ml menghasilkan susut masak yang lebih baik sampai masa simpan 30 jam (33,70-46,54%). Namun walaupun demikian, menurut Soeparno (2015) daging yang memiliki susut masak rendah memiliki kualitas yang lebih baik dibanding daging yang susut masaknya tinggi.

Susut mentah

Susut mentah daging atau drip loss dapat diartikan sebagai hilangnya beberapa komponen nutrient daging yang ikut bersama keluarnya cairan daging. Berdasarkan hasil analisis statistik, susut mentah daging sapi bali pada penelitian ini menunjukkan perlakuan lama perendaman 60 menit dengan larutan fermentasi selada (P2) nyata lebih rendah (P<0,05). Susut mentah berbanding lurus dengan susut masak, apabila susut masak meningkat maka susut mentah meningkat dan jika susut masak menurun maka susut mentah menurun juga. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kristiawan et al. (2019) yang melaporkan bahwa nilai susut mentah daging babi landrace berbanding lurus dengan susut masak daging tersebut. Susut mentah erat kaitannya dengan daya ikat air dan susut masak. Menurut Soeparno (2015) daya ikat air yang tinggi menyebabkan susut mentah yang rendah, sedangkan daya ikat air rendah menyebabkan susut mentah tinggi.

Warna

Warna daging merupakan parameter spesifik dalam menentukan kualtias daging. Menurut Soeparno (2015) faktor yang mempengaruhi warna daging antara lain pakan, spesies, umur, jenis kelamin. Hasil analisis statistik lama perendaman daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) menunjukkan bahwa warna pada semua perlakuan (P3, P2, P1, dan P0) tidak berbeda nyata (P>0,05). Ini berarti semakin lama perendaman daging sapi

bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) warna pada semua perlakuan relatif sama. Hal ini disebabkan karena adanya H2O2 yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Senyawa H2O2 ini yang menyebabkan oksidasi myoglobin menjadi metmioglobin yang berwarna cokelat (Varnam dan Sutherland, 1995). Selain itu, faktor yang mempengaruhi warna daging adalah ketika daging berhubungan terlalu lama dengan udara luar atau disebut oksidasi maka warna daging tersebut akan berubah menjadi merah kecokelatan. Hal ini sesuai dengan teori menurut Nurani (2010), tentang faktor penyebab perubahan warna pada daging yang menyatakan jika perubahan warna merah cerah menjadi cokelat atau pink akan terjadi apabila daging berhubungan dengan udara terlalu lama. Disamping itu, nilai pH juga mempengaruhi warna daging. Jika nilai pH semakin rendah maka warna pada daging akan semakin turun. Hal ini didukung oleh Rini et al. (2019) yang menyatakan bahwa nilai pH daging yang tinggi akan menghasilkan warna daging yang gelap dan nilai pH daging yang rendah akan mengahasilkan warna yang pucat. Pada penelitian ini, warna daging yang diperoleh masih dalam batas normal. Hal ini didukung oleh Hafid et al. (2017) yang melaporkan hasil penelitiannya bahwa pengukuran warna daging paling baik berkisar 4,205,40.

Total bakteri asam laktat

Berdasarkan hasil analisis statistik lama perendaman daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) menunjukkan bahwa total bakteri asam laktat mendapatkan hasil dengan rata-rata P3 (2,7 x 105 CFU/g), P2(4,9x 105 CFU/g), P1 (2,8 x 105 CFU/g), P0 (3,8 X 105 CFU/g) tidak berbeda nyata (P>0,05). Ini berarti total bakteri asam laktat pada semua perlakuan P3, P2, P1 dan P0 relatif sama. Total BAL yang diperoleh pada penelitian ini cenderung menurun dengan semakin lama perendaman daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa). Hal ini diduga karena setelah daging direndam dengan larutan fermentasi selada, daging didiamkan selama 6 jam sehingga terjadi proses biodegrasi daging. Disamping itu, disebabkan adanya pengaruh pH dari larutan fermentasi selada (6,41) pada saat digunakan untuk perlakuan. Pada saat proses fermentasi selada sebelum 6 hari, terjadi proses biodegradasi yang kemudian mengakibatkan pH meningkat karena nutrisi yang terkandung dalam selada sudah habis. Hidayat et al. (2013) melaporkan bahwa sel-sel bakteri dapat tumbuh hingga jumlah maksimum didalam media yang dipengaruhi ketersediaan nutrisinya. Sehingga pada saat proses fermentasi selada selama 6 hari menggunakan garam dan dengan kondisi pH seperti ini menyebabkan bakteri asam laktat memasuki fase stasioner (Stationary Phase). Fase stasioner terjadi saat laju pertumbuhan

bakteri sama dengan laju kematian, sehingga jumlah keseluruhan bakteri akan tetap. Hal ini disebabkan karena nutrisi yang kurang sehingga mengganggu pembelahan sel (Riadi, 2016). Pada fase ini umumnya bakteri asam laktat berada dalam fase kritis. Dalam fase kritis inilah bakteri asam laktat akan memproduksi bakteriosin. Bakteriosin inilah yang dapat berfungsi secara langsung untuk mengawetkan daging (Sartini, 2005).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lama perendaman 30, 60, dan 90 menit daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) tidak mempengaruhi nilai pH, daya ikat air, susut masak, warna, dan total bakteri asam laktat, tetapi berpengaruh terhadap susut mentah daging. Lama perendaman 60 menit daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada (Lactuca sativa) memiliki kualitas fisik yang baik dengan nilai pH 5,99, daya ikat air 22,03%, susut masak 40,62%, susut mentah 6,10%, warna merah terang, dan total bakteri asam laktat 4,9 x 105 CFU/g.

Saran

Dari hasil penelitian ini disarankan bahwa, larutan fermentasi selada dapat digunakan sebagai bahan pengawet alami dan sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai lama perendaman daging sapi bali dengan larutan fermentasi selada dengan waktu yang berbeda untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya dalam meningkatkan kualitas fisik dan total bakteri asam laktat.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng,. IPU, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS. Dan Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ni Wayan Siti, M.Si. atas fasilitas pendidikan dan pelayanan administrasi kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bouton, P. E., P. V. Harris, W. R. Shorthose. 1971. Effect of ultimate pH upon the water holding capacity and tenderness of mutton. J. Food Sci. 36:435-439.

Dina, D., E. Soetrisno dan Warnoto. Pengaruh Perendaman Daging Sapi dengan Ekstrak Bunga Kecombrang. 2017. Jurnal Sain Peternakan Indonesia.

Diop, M. B,. Dubois-Dauphin, A. Tine, J. Ngom, Destain, and P. Thonart. 2007. Bacteriocin producers from traditional food products. Biotechnol Agron Soc Environ. 11: 275–281.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. PAU – IPB, Bogor.

Fathonah, S. 2009. Pengaruh Konsentrasi Garam dan Penambahan Sumber Karbohidrat Terhadap Mutu Organoleptik Produk Sawi Asin. Skripsi S1, Bogor : Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.

Galvez, A., H. Abriouel, R. L. Lopez, and N. B. Omar. 2007. Bacteriocin-based strategies for food bi, preservation. Int J Food Microbio. 120: 51–70.

Hidayat, I. R., Kusrahayu, dan S. Mulyani. 2013. Total bakteri asam laktat, nilai ph dan sifat organoleptik drink yogurt dari susu sapi yang diperkaya dengan ekstrak buah mangga. Animal Agriculture Journal.   Vol. 2 (1): 160 - 167.

Komarudin, M., I. N. S. Miwada dan S. A. Lindawati. 2019. Evaluasi Kemampuan Ekstrak Daun Bidara (Zizipus Mauritiana Lam) Sebagai Pengawet Alami pada Daging Ayam Broiler.        Peternakan Tropika. Vol. 7(2)    :    899-910.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/52460/30972

Kristiawan, I. M., N. L. P. Sriyani., dan I. N. T. Ariana. 2019. Kualitas fisik daging babi landrace persilangan yang dilayukan secara tradisional. Peternakan Tropika Vol. 7 No.              2       Th.              2019:       711       –       722.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/50729/30056

Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Lilik, R. K., B. S. Hertanto., I. Santoso, dan A. M. P. Nuhriawangsa. 2018. Kualitas Fisik Daging Ayam Broiler yang Diberi Pakan Berbasis Jagung dan Kedelai Dengan Suplementasi Tepung Purslane (Portulaca Oleracea). Jurnal Teknologi Pangan. Vol. 12(2) : 64-71.

Lukman, D. W, Sanjaya A. W, Sudarwanto M, Soejoedono R. R, Purnawarman T, Latif H. 2007. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Margono. 2000. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.

Misgiyarta dan Sri Widowati. 2005. Seleksi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat (BAL) Indigenus. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.

Narwati. 2018. Monograf Larutan Fermentasi Selada (Lactuca sativa) Sebagai Biopreservatif Alami.Edisi pertama. Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia, Jawa Timur.

Nerawati, D. Narwati. 2014. Pemanfaatan Larutan Fermentasi Selada Sebagai Biopreservasi Pada Ikan Bandeng.

Pratama, Hurry Zamhoor. 2008. Fermentasi Spontan pada Produk Sayuran.Edited by Foxit Reader Copyright by Foxit Software Company, 2005- 2007.

Pratiwi, N. K. E. T., N. L. P. Sriyani dan A. A. P. P. Wibawa. 2021. Populasi TPC dan kualitas fisik daging sapi bali dengan marinasi menggunakan ekstrak buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L). Jurnal Peternakan Tropika Vol. 9 No. 2 Th. 2021: 337351. https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/download/74762/40089/

Purwani, E., E. Retnaningtyas., D. Widowati. 2008. Pengembangan Model Pengawet Alami dari Ekstrak Lengkuas (Languas galangal), Kunyit (Curcuma domestica), dan Jahe (Zinger officinale) pada Daging dan Ikan Segar. Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621, Vol. 4, No..1, Hal: 80-91.

Riadi, Muchlisin. 2016. Pertumbuhan Bakteri. https://www.kajianpustaka.com. Diakses 14 Agustus 2018.

Ross, R. P, S. Morgan, C. Hill. 2002. Preservation and fermentation : past, present and future. Int J Food Microbiol. 79:3-16.

Soeparno. 2015. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sriyani, N. L. P., N. M. A. Rasna., S. A. Lindawati., dan A. A. Oka. 2015. Studi perbandingan kualitas fisik daging babi bali dengan babi landrace persilangan yang dipotong di rumah potong hewan tradisional. Majalah Ilmiah Peternakan. Volume 18 Nomor 1: 26-29. https://ojs.unud.ac.id/index.php/mip/article/view/17948/11705

Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah: Sumantri, B. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.

Suwetja, I. K. 2007. Biokimia Hasil Perikanan. Jilid III. Rigormortis, TMAO, dan ATP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Sam Ratulangi Manado.

Suradi, K. 2006. Perubahan sifat fisik daging ayam broiler post mortem selama penyimpanan temperatur ruang (change of physical characteristics of broiler chicken meat post mortem during room temperature storage). Jurnal Ilmu Ternak 6 (1) : 23--27.

Tambunan, R. D. 2009. Keempukan Daging dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Lampung.

Wiander, B. and A. Palva. 2011. Saurkraut and Saurkraut Juice Fermented Spontaneuously Using Mineral Salt, Garlic and Algae. Agricultural and Food Science. Vol. 20: 169175.

Panjaitan, K. S. S., J. Peternakan Tropika Vol. 10 No. 1 Th. 2022 :242-257

Page 257