e-journal

FAPET UNUD


e-Journal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: peternakantropika@yahoo.com

Submitted Date: November 7, 2019

Accepted Date: November 11, 2019


Editor-Reviewer Article;: A.A.Pt. Putra Wibawa & I WYN Wirawan

Pengaruh Pemberian Probiotik Terhadap Kecernaan Ransum Pada Ayam Broiler

Supriana, I M., I P A. Astawa dan I G Mahardika

P.S Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali. E-mail: Made.Cupik@gmail.com/Hp. 087860483693

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kecernaan ransum pada ayam broiler yang diberi tambahan probiotik. Dilaksanakan di kandang milik Bapak I Made Arcana yang berlokasi di Desa Candikusuma, Jembrana, selama 2 bulan dan laboratorium Nutrisi Ternak Fakultas Peternakan Universiras Udayana selama 1 minggu. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan, yaitu: perlakuan A (Air minum tanpa tambahan probiotik sebagai kontrol), Perlakuan B (Air minum + probiotik 0,5 ml), Perlakuan C (Air minum + probiotik 1 ml), dan Perlakuan D (Air minum + probiotik 1,5 ml). Masing-masing perlakuan terdiri atas empat ulangan dan setiap ulangan menggunakan 12 ekor DOC strain CP 707 dengan berat badan rata-rata 49,27 g. Variabel yang diamati adalah kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar dan kecernaan serat kasar. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian probiotik melalui air minum sebanyak 0,5 ml ; 1 ml ; 1,5 ml nyata (P<0,05) meningkatkan kecernaan bahan kering, protein kasar, bahan organik dan kecernaan serat kasar. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian probiotik melalui air minum pada level 0,5 ml ; 1 ml ; 1,5 ml dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar dan kecernaan serat kasar pada ayam broiler umur 5 minggu.

Kata kunci: Probiotik, ayam broiler, kecernaan.

The Effect of Probiotic Provision on Ranum Handling in Broiler Chicken

ABSTRACT

This study aims to examine the digestibility of rations in broiler chickens that were given additional probiotics. Held in a cage owned by Mr. I Made Arcana, located in the village of Candikusuma, Jembrana, for 2 months and the Laboratory of Animal Nutrition at the Faculty of Animal Sciences, Udayana University for 1 week. The study was conducted using a Completely Randomized Design (CRD) consisting of four treatments, namely: treatment A (drinking water without the addition of probiotics as a control), treatment B (drinking water + probiotics 0.5 ml), treatment C (drinking water + probiotics 1 ml), and Treatment D (drinking water + 1.5 ml probiotics). Each treatment consisted of four replications and each test used 12 DOC CP 707 strains with an average body weight of 49.27 g. The variables observed were dry matter digestibility, organic matter digestibility, crude protein digestibility and crude fiber digestibility. The results showed that administration of probiotics through drinking water was 0.5 ml; 1 ml; 1.5 ml significantly (P <0.05) increased the digestibility of dry matter, crude protein, organic matter and crude fiber digestibility.


Based on the results of this study concluded that the administration of probiotics through drinking water at the level of 0.5 ml; 1 ml; 1.5 ml can increase the digestibility of dry matter, digestibility of organic matter, digestibility of crude protein and digestibility of crude fiber in broiler chickens aged 5 weeks.

Keywords: Probiotics, broiler chicken, digestibility.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara ekonomi, Indonesia merupakan negara berkembang. Seiring deng an naiknya pendapatan perkapita penduduk, maka kebutuhan akan protein hewani bagi masyarakat juga meningkat. Ayam pedaging (broiler) merupakan salah satu komoditi unggas yang memberikan kontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan protein asal hewani bagi masyarakat Indonesia. Kebutuhan daging ayam setiap tahunnya mengalami peningkatan, karena harganya yang terjangkau oleh semua kalangan masyarakat. Broiler adalah jenis ternak unggas yang memiliki laju pertumbuhan yang sangat cepat, karena dapat dipanen pada umur 5 minggu. Keunggulan broiler didukung oleh sifat genetik dan keadaan lingkungan yang meliputi makanan, temperatur lingkungan, dan pemeliharaan. Penampilan ayam pedaging yang bagus dapat dicapai dengan sistem peternakan intensif modern yang bercirikan pemakaian bibit unggul, pakan berkualitas, serta perkandangan yang memperhatikan aspek kenyamanan dan kesehatan ternak (Nuriyasa, 2003).

Peternakan broiler adalah sektor peternakan yang paling efisien dan paling cepat menyediakan zat-zat makanan bergizi dari sumber hewani. Mengingat pesatnya pertumbuhan penduduk akhir-akhir ini diperlukan suatu upaya ekstra untuk mencukupi kebutuhan protein hewani. Daging ayam merupakan salah satu alternatif penyedian protein hewani. Harga daging ayam jauh lebih murah dan terjangkau oleh daya beli masyarakat bila dibandingkan dengan daging sapi, kerbau ataupun kambing. Melihat angka permintaan daging ayam yang semakin tinggi menunjukkan selera masyarakat yang baik terhadap daging ayam. Biaya pakan dalam peternakan unggas merupakan komponen produksi terbesar sampai mencapai 70%. Hal ini tidak lepas karena sebagian besar bahan pakan yang digunakan para peternak masih harus diimport. Hal ini juga disebabkan pula oleh ketersediaan yang tidak menentu dan tidak adanya jaminan stabilitas kualitas pakan dalam negeri. Diperlukan usaha untuk bisa mengatasi hal tersebut. Salah satu caranya adalah dengan pemanfaatan produk lokal untuk diolah menjadi bahan pakan yang memiliki kualitas tinggi terhadap ayam. Pemberian feed additive bisa menjadi alternative untuk meningkatkan kualitas pakan lokal tersebut. Feed additive ( pakan tambahan ) terdiri atas vitamin, mineral, antibiotic dan faktor lain seperti hormon

pertumbuhan yang pada umumnya digunakan untuk efisinsi pakan dan performa dari ayam broiler (Pluske,1198 ). Namun dalam pemeliharaan broiler, kualitas pakan menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas karkas, kebutuhan zat-zat makanan harus terpenuhi dan tersedia dalam ransum, namun karena rendahnya mutu ransum ternak mengakibatkan produksi hasil peternakan di Indonesia terbatas, salah satu pendekatan untuk memperbaiki kualitas ransum ternak yaitu dengan menambahkan aditif (Suryahadi et al.,2001).

Pemakaian antibiotika pada hewan untuk pengobatan, pemacu pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pakan dimulai pada awal tahun 1950. Sampai saat ini Centers Diseases Control (CDC) memperkirakan sekitar 40% antibiotika di dunia digunakan sebagai imbuhan pakan ternak untuk memacu pertumbuhan (AGP) Sebagai imbuhan pakan, antibiotika dapat memacu pertumbuhan ternak agar dapat tumbuh lebih besar dan lebih cepat serta dapat mencegah terjadinya infeksi bakteri (Mitchell et al., 1998).

Resistensi antibiotika terhadap bakteri patogen pada manusia menjadi masalah di seluruh dunia. Terjadinya resistensi antibiotika ini disebabkan pemakaian antibiotika yang tidak bijaksana untuk pengobatan pada manusia serta pemakaian antibiotika pada hewan sebagai pemacu pertumbuhan (antibiotic growth promotors/ AGP) yang mempunyai kontribusi terjadinya resistensi antibiotika baik pada manusia maupun hewan. Antibiotika banyak digunakan sebagai AGP dalam pakan ternak di seluruh dunia untuk memacu pertumbuhan ternak agar dapat tumbuh lebih besar dan dalam waktu yang lebih cepat serta untuk mencegah terjadinya infeksi (Mitchell et al., 1998). Beberapa antibiotika yang banyak dipakai sebagai AGP antara lain dari golongan tetracyclin, penicillin, macrolida, lincomysin dan virginiamycin (Angulo et al., 2004).

Penggunaan antibiotik sintetis sebagai pemicu pertumbuhan lebih banyak menimbulkan masalah, maka kini mulai berkembang penggunaan pemacu pertumbuhan lain yang dikenal dengan probiotik mampu memberikan keuntungan bagi inang dengan perbaikan keseimbangan komunitas mikroba dalam usus atau berasosiasi dengan inang, memperbaiki nilai nutrisi dan pemanfaatan pakan, meningkatkan respon inang terhadap penyakit, dan memperbaiki kualitas lingkungan (Verschuere et al,. 2000). Pemberian probiotik pada air minum diharapkan bisa meningkatkan kecernaan ayam broiler dan sebagai pengganti AGP pada ransum. Melihat potensi probiotik yang demikian banyak maka perlu dilakukan penelitian mengenai kecernan ayam broiler yang diberi tambahan probiotik pada air minum.

MATERI DAN METODE

Ayam

Penelitian ini menggunakan ayam broiler strain CP 707, berumur 1 hari sebanyak 192 ekor. Produksi PT. Charoen Phokphand Indonesia, Tbk. Broiler yang digunakan dipelihara dari umur 1 hari dan tanpa membedakan jenis kelamin (unsexed).

Ransum dan air minum

Ransum yang diberikan adalah ransum khusus kemitraan dengan kode BR10 (umur 01 minggu) , BR11 (umur 1-3 minggu), dan BR12 (umur 3-6 minggu ) yang diproduksi oleh PT. Charoen Phokphand Indonesia, Tbk.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Pada Ransum Br. 10, Br. 11, Br.12

Kandungan Nutrisi

Jenis

Ransum1)

Br. 10

Br. 11

Br.12

Standar 2)

Energi Metabolis Kkal/Kg

3000 – 3100

3000 – 3100

3000 - 3100

3200

Protein Kasar/CP (%)

23 %

22 %

21 %

23 %

Lemak Kasar/LK (%)

Min 5 %

Min 5 %

Min 5 %

4 %

Serat Kasar/SK (%)

Max 4 %

Max 5 %

Max 5 %

3 - 5%

Kalsium/Ca (%)

Min 0,9 %

Min 0,9 %

Min 0,9 %

1 %

Phosfor/P (%)

Min 0,6 %

Min 0,6 %

Min 0,5 %

0.45 %

Keterangan :

1) Brosur makanan ternak Broiler PT. Charoen Phokphand Indonesia.

2) Standar kandungan nutrisi pakan menurut NRC (1994)

Air minum diberikan adalah air minum bersumber dari PDAM yang sudah di campurkan dengan probiotik sesuai takaran.

Kandang

Dalam penelitian ini kandang yang digunakan adalah kandang (Close House) yang didalamnya terdapat 16 unit perlakuan dengan ukuran kotak 1 m x 1 m serta beralaskan sekam. Satu unit perlakuan terdiri dari 12 ekor ayam. Setiap unit kandang dilengkapi tempat makan, tempat minum.

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

Keterangan:

1 – 16 : Unit percobaan

Probiotik

Probiotik yang digunakan pada penelitian ini adalah EM-4 “the power of nature’’ dengan level 0,5 ml/ 1 liter air, 1 ml/ 1 liter air, dan 1,5 ml/ 1 liter air yang diperoleh dari CV. Timan Agung yang berlokasi di Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan – Tabanan. Pemberian probiotik ini diberikan sesuai dengan perlakuan

Peralatan dan perlengkapan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah ember plastik, timbangan “Ohaus” kapasitas 2610 g dengan kepekaan 10 g, timbangan “Scale Kitchen” kapasitas 5 kg dengan kepekaan 50 g,mika plastik , lampu, tempat pakan, tempat minum, sendok, kalkulator. Alat tulis berupa buku, pulpen, penggaris.

Perlengkapan lain yang digunakan dalam penelitian ini yakni kertas koran sebagai alas, bola lampu 100 watt, terpal/kain untuk menutupi kandang dari angin dan sabun untuk mencuci peralatan kandang. Peralatan analisis cawan porselin, oven, tanur, timbangan analitik, dan desikator.

Tempat dan lama waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Candi Kusuma, Melaya, Jembrana, Bali selama 2 bulan dan analisis dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana selama 1 minggu.

Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari 4 ulangan, terdapat 16 unit percobaan setiap unit menggunakan 12 ekor ayam. Ketiga perlakuan tersebut dilakukan pada air minum : Perlakuan A : Broiler yang tidak diberikan tambahan probiotik.

Perlakuan B : Broiler yang diberikan 0,5 ml probiotik dalam 1 liter air minum.

Perlakuan C : Broiler yang diberikan 1 ml probiotik dalam 1 liter air minum.

Perlakuan D : Broiler yang diberikan 1,5 ml probiotik dalam 1 liter air minum.

Pengacakan Ayam

Sebanyak 192 ekor ayam yang dipilih dari 10.000 ekor ayam yang memiliki berat homogen kemudian 192 ekor ayam dibagi menjadi 16 unit sesuai perlakuan tiap unit kandang diisi 12 ekor ayam.

Pemberian ransum dan air minum

Pemberian ransum pada pagi, siang, dan malam, sedangkan air minum dilakukan pada pagi dan sore hari. Ransum diberikan dibatasi sesuai kebutuhan ternak (Hardjosworo et al, 2000). Ransum diberikan setengah dari tempat pakan agar tidak tercecer.

Air minum yang diberikan adalah air minum bersumber dari PDAM yang sudah dicampurkan dengan probiotik sudah sesuai takaran.

Pencegahan penyakit

Dua minggu sebelum ayam datang, kandang dibersihkan dan didesinfeksi dengan larutan formalin dengan pertandingan 1 : 15 liter air, untuk membunuh kuman, kemudian kandang diistirahatkan selama 1 minggu. DOC yang baru datang diberi 4 % larutan air gula selama 4 jam untuk mengembalikan tenaga yang hilang dan mencegah stress pada ayam. DOC yang diterima sudah divaksin ND La Sota melalui tetes mata di perusahaan.

Konsumsi air minum

Konsumsi air minum dicari dengan cara mengukur konsumsi air minum yang diberikan dikurangi dengan jumlah konsumsi air minum yang tersisa.

Konsumsi air minum = Jumlah air minum yang diberikan – Jumlah sisa air minum.

Variabel yang diamati

Pengukuran nilai kecernaan pada dasarnya adalah suatu usaha untuk menentukan jumlah zat yang dapat diserap oleh saluran pencernaan, dengan mengukur jumlah pakan yang dikonsumsi dan jumlah pakan yang dikeluarkan melalui feses. Diukur dengan metode koleksi total dengan cara menghitung jumlah pakan yang dikonsumsi dengan kotoran yang dihasilkan. Ayam dipelihara selama 5 minggu dan koleksi kotoran dilakukan selama 1 minggu pada minggu ke 5.

Kecernaan bahan kering diukur dengan konsumsi bahan kering dikurangi dengan jumlah bahan kering kotoran dibagi dengan dengan konsumsi bahan kering dikali 100 %. Konsumsi bahan kering dihitung dengan cara mengalikam bahan kering ransum dengan konsumsi ransum.

Koefesien cerna bahan kering (KCBK)

Konsumsi bahan kering—bahan kering( feses)

KCBK =                                    x 100 %

konsumsi bahan kering

Penentuan kandungan bahan kering dengan metode “Assoiation of Official Analytic Chemist” (A.O.A.C.,1990). Penetuan bahan kering (BK) dapat dilakukan dengan menimbang berat sampel setelah pemanasan. Penentuan bahan kering sampel dapat dilakukan sebagai berikut: Cawan dicuci, dibilas, dan dikering anginkan lalu diovenkan selama 3 jam pada suhu 105 0 -100 0C sampai bobot tetap, didinginkan dalam desikator selama 30 menit, timbang sebagai berat konstan cawan. Kedalam cawan masukkan sebanyak 1 – 2,000 gram, timbang sebagai bobot awal lalu tentukan bobot konstan cawan dan sampel dengan jalan oven selama 9 – 12 jam pada suhu 105 0- 110 0 C, dinginkan dalam desikator selama 30 menit dan timbang sebagai bobot akhir untuk meyakinkan bobot konstan. Ovenkan lagi seperti diatas 2 jam pada suhu 135 0 ± 2 0C, kemudian timbang Kadar bahan kering dihitung dengan rumus:

_ berat sampel setelah dioven

kadar bahan kering = -------------------------X 100%

berat sampel

berat sebelum dioven-setelah dioven

kadar air = ------------;-----------;------------* 100%

berat sampel

Kecernaan bahan organik diukur dengan konsumsi bahan organik dikurangi dengan jumlah bahan organik kotoran dibagi dengan dengan konsumsi bahan organik dikali 100 %. Konsumsi bahan organik dihitung dengan cara mengalikam bahan kering ransum dengan kandungan bahan organik ransum.

Koefesien cerna bahan organik ( KCBO)

Konsumsi bahan organik—bahan organik (feses)

KCBO =                                       x 100 %

konsumsi bahan organik

Penentuan kandungan bahan organik dengan metode “Assoiation of Official Analytic Chemist” (A.O.A.C.,1990). Bahan Organik akan teroksidasi secara sempurna menjadi produk gas apabila dibakar pada suhu tinggi. Sisa yang tertinggal adalah abu dengan warna putih keabu-abuan. Sisa pembakaran ditimbang sebagai kadar abu. Warna sisa-sisa pembakaran kadang-kadang biru bila bnyak unsur tembaga, dan hijau bila bnyak unsur besi. Unsur mineral dalam abu adalah dalam organik dalam bentuk oksida : sulfate, chlorida, phospate, silica, dan dapat menempel pada cawan porselin. Penentuan bahan organik (BO) sampel dilakukan

dengan cara: Cuci cawan porcelin lalu bilas dan keringkan. Tentukan berat konstanya dengan cara : masukkan dalam tanur listrik 2-3 jam pada suhu 500 0C, dinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu timbang berat cawan kosong. Masukkan sampel 1-2 gram, bakar dalam tanur 3-6 jam pada suhu 500 0C sampai menjadi abu, dinginkan dalam desikator, timbang brat cawan + abu Perhitungan Bahan Organik sebagai berikut :

berat abu

Kadar abu :            x 100%

berat sampel

Kadar bahan organik dapat ditentukan dengan jalan menghitung pengurangan berat saat pengabuan. Perhitungan dengan rumus :

  • 1  . 1             berat sampel-berat abu

Kadar bahan organik :                     x 100%

berat sampel

Kecernaan protein kasar diukur dengan konsumsi protein kasar dikurangi dengan jumlah protein kasar kotoran dibagi dengan dengan konsumsi protein kasar dikali 100 %. Konsumsi protein kasar dihitung dengan cara mengalikam bahan kering ransum dengan kandungan protein ransum.

Koefesien cerna protein kasar ( KCPK)

konsumsi protein-protein (feses)

KCPK =                         x 100 %

konsumsi protein

Penentuan kandungan protein kasar dengan metode “Assoiation of Official Analytic Chemist” (A.O.A.C.,1990). Ikatan nitrogen suatu bahan pakan akan dipecah dan diikat oleh asam sulfat pekat dalam bentuk amonium sulfat. Dalam suasana basa amonium sulfat akan melepas amonianya dan ditangkap oleh larutan asam. Dengan jalan titrasi kandungan nitrogen dapat diketahui.

Dasar reaksi :

Katalis

Sampel + H2SO4

(NH4)2SO4

(NH4)2SO4 + NaOH

2NH4OH + Na2SO4

NH4OH

NH3 + H2O

3 NH3 + H3BO3

(NH4)3BO3

(NH4)3BO3

3 NH4CL + H2BO3

Kadar protein kasar (PK) ditentikan dengan metode semi mikro “ Kjeldahl” yang terbagi atas tiga fase yaitu:

  • 1.    Pase destruksi : masukkan ke labu kjeldahl 1 gram sampel, tambah 2 butir tablet katalis, masukkan 1 butir butiran gelas labu lalu tambah 15 – 20 ml asam sulfat pekat, destruksi dalam suhu rendah sampai asap hilang dan sampai jernih. Lanjutkan pemanasan 15 menit lagi, bilas dan pindahkan secara kuantitatif ke labu ukur 50 ml.

  • 2.    Pase destilasi : panaskan alat destilasi markham. Pemanasan sudah cukup bila cairan sudah tertampung 25 ml lalu masukkan 5 ml cairan hasil destruksi, tambah 10 ml natrium hiroksida 50%. Tampung dengan 5 ml asam borak 2% yang sudah dicampur dengan indikator ( 1 liter asam borak 2% + 20 ml 0,1%Brom Chresol Green + 4 ml 0,1% Metyl Red), destilasi sampai tertampaung 25 ml lalu bilas ujung kondensor.

  • 3.    Pase titrasi : titrasi hasil destilasi dengan asam khlorida 0,1 N sampai titik akhir titrasi.

0,1 x (totrasi sampel-titrasi blanko) x 14 x 6,25 x 10 mg sampel

x 100 % =.......%


Keterangan :

Normalitas asam titrator                        : 0,1

Mg equivalen nitrogen                        : 14

Faktor protein                                  : 6,25

Pengenceran hasil destruksi 50/5                :10 kali

Ml untuk titrasi sampel                         : .......ml

Ml untuk titrasi blanko                         : .......ml

Kadar protein kasar (%)                       : .......ml

Kecernaan serat kasar diukur dengan konsumsi serat kasar dikurangi dengan jumlah serat kasar kotoran dibagi dengan dengan konsumsi serat kasar dikali 100 %. Konsumsi serat kasar dihitung dengan cara mengalikam bahan kering ransum dengan kandungan serat kasar ransum.

Koefesien cerna serat kasar (KCSK)

Konsumsi serat kasar—serat kasar (feses)

KCSK =                                 x 100 %

konsumsi bahan serat kasar

Penentuan kandungan serat kasar dengan metode “Assoiation of Official Analytic Chemist” (A.O.A.C.,1990). Setiap zat yang dapat larut dalam larutan asam lemah dan basa lemah dalam prosedur ini dapat dihilangkan. Yang tinggal dalam saringan adalah serat kasar dan abu. Serat kasar akan terbakar dalam tanur sehingga serat kasar didapat dari berat sebelum dan sesudah dibakar.Penentuan (SK) sebagai berikut : timbang 1 gram sampel ke dalam gelas piala tinggi 600 ml, tambahnkan 50 ml H2SO4 0,3 N, letakkan di atas pemanas pasir atau hot plane lalu dididihkan selama 30 menit, tambahkan 25 ml NaOH 1,5 N dan terusdidihkan selama 30 menit.Siapkan kertas saring bebas abu yang telah dikeringkan bersama cawan porselin dalam oven 105 – 110 0 C, catat beratnya lalu saring dengan bantuan

pompa vakum, lalu cuci berturut-turut dengan : aquades panas 50 ml, H2SO4 0,3 N 50 ml, Aquades panas 50 ml, Alkohol 25 ml. Pindahkan kertas saring yang berisi residu ke dalam cawan porselin lslu keringkan dalam oven 105 – 110 0C selama 1 – 3 jam, timbang dan catat bobot tetapnya. Lanjutkan dengan pengabuan pada 400 – 600 0C selama 1 – 3 jam, dinginkan dalam desikator dan timbang.

c-d-b

% serat kasar =       x 100 %

Keterangan :  (a) Berat sampel                              : g

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut merupakan hasil peneleitian pengaruh pemberian probiotik terhadap kecernaan ransum pada ayam broiler.

Tabel 2. Pengaruh pemberian probiotik terhadap kecernaan ransum pada ayam broiler.

VARIABEL

PERLAKUAN1)

SEM2)

A

B

C

D

KCBK %

64,65a

72,54b

75,96c

69,80d

0,55

KCBO %

73,55a

74,18b

75,11c

74,27d

0,89

KCBK %

70,29a

71,51b

77,57c

71,86d

0,20

KCSK %

42,36a

42,53b

43,05c

42,78d

0,47

Keterangan :

1) A : Broiler yang tidak diberikan tambahan probiotik.

B : Broiler yang diberikan 0,5 ml probiotik dalam 1 liter air minum.

C : Broiler yang diberikan 1 ml probiotik dalam 1 liter air minum.

D : Broiler yang diberikan 1,5 ml probiotik dalam 1 liter air minum.

SEM : Standart error of the treatment means

2) Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Kecernaan Bahan Kering

Pemberian probiotik dalam air minum pada ayam broiler dapat meningkatkan kecernaan bahan kering ransum (Tabel 2). Kecernaan bahan kering ransum pada ayam broiler yang tidak mendapatkan probiotik (perlakuan A) adalah 64,65%. Sedangkan ayam yang mendapatkan 0,5ml probiotik dalam 1 liter air minum (perlakuan B) adalah 7,89% lebih tinggi dari perlakuan A (P<0,05). Kecernaan bahan kering ransum pada ayam broiler yang mendapatkan perlakuan 1ml probiotik dalam 1 liter air minum dan (perlakuan C) dan ayam yang mendapatkan perlakuan 1,5ml probiotik dalam 1 liter air minum (perlakuan D) adalah berturut-turut 11,31% dan 5,15% lebih tinggi dari perlakuan A (P<0,05).

Kecernaan Bahan Organik

Pemberian probiotik dalam air minum pada ayam broiler dapat meningkatkan kecernaan bahan organik ransum (Tabel 3.1). Kecernaan bahan organik ransum pada ayam broiler yang tidak mendapatkan probiotik (perlakuan A) adalah 73,55%. Sedangkan ayam yang mendapatkan 0,5ml probiotik dalam 1 liter air minum (perlakuan B) adalah 0,63% lebih tinggi dari perlakuan A (P<0,05). Kecernaan bahan organik ransum pada ayam broiler yang mendapatkan perlakuan 1ml probiotik dalam 1 liter air minum dan (perlakuan C) dan ayam yang mendapatkan perlakuan 1,5ml probiotik dalam 1 liter air minum (perlakuan D) adalah berturut-turut 1,56% dan 0,27 % lebih tinggi dari perlakuan A (P<0,05).

Kecernaan Protein Kasar

Pemberian probiotik dalam air minum pada ayam broiler tidak dapat meningkatkan kecernaan protein kasar ransum (Tabel 2). Kecernaan protein kasar ransum pada ayam broiler yang tidak mendapatkan perlakuan probiotik (perlakuan A) adalah 70,29%. Sedangkan ayam yang mendapatkan 0,5ml probiotik dalam 1 liter air minum (perlakuan B) adalah 1,22% lebih tinggi dari perlakuan A (P<0,05). Kecernaan bahan organik ransum pada ayam broiler yang mendapatkan perlakuan 1ml probiotik dalam 1 liter air minum dan (perlakuan C) dan ayam yang mendapatkan perlakuan 1,5ml probiotik dalam 1 liter air minum (perlakuan D) adalah berturut-turut 7,28% dan 1,57% lebih tinggi dari perlakuan A (P<0,05).

Kecernaan Serat Kasar

Pemberian probiotik dalam air minum pada ayam broiler tidak dapat meningkatkan kecernaan serat kasar ransum (Tabel 2). Kecernaan serat kasar ransum pada ayam broiler yang tidak mendapatkan perlakuan probiotik (perlakuan A) adalah 42,36%. Sedangkan ayam yang mendapatkan 0,5ml probiotik dalam 1 liter air minum (perlakuan B) adalah 0,17% lebih tinggi dari perlakuan A (P<0,05). Kecernaan serat kasar ransum pada ayam broiler yang mendapatkan perlakuan 1ml probiotik dalam 1 liter air minum dan (perlakuan C) dan ayam yang mendapatkan perlakuan 1,5ml probiotik dalam 1 liter air minum (perlakuan D) adalah berturut-turut 0,69% dan 0,42% lebih tinggi dari perlakuan A (P<0,05).

Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui jumlah zat makanan yang diserap tubuh yang dilakukan melalui analisis dari jumlah bahan kering, baik dalam ransum maupun dalam feses. Selisih jumlah bahan kering yang dikonsumsi dan jumlah yang diekskresikan adalah kecernaan bahan kering (Ranjhan, 1980). Peningkatan kecernaan pahan kering pada perlakuan ini yaitu di sebabkan oleh pengaruh probiotik yang berfungsi meningkatkan

organisme dan substrat yang mempunyai pengaruh terhadap keseimbangan mikrobiota dalam sistem pencernaan (Parker 1974). Jika mikroorganisme hidup dikonsumsi oleh inang akan memberikan pengaruh yang menguntungkan baginya dengan memperbaiki lingkungan mikrobiota yang ada dalam sistem pencernaan (Fuller, 1989). Semadi (2002) mengatakan bahwa prinsip kerja dari probiotik, yaitu bakteri – bakteri probiotik (Lactobacillus dan Bifidobacterium) bekerja secara anaerob menghasilkan asam laktat mengakibatkan turunya pH saluran pencernaan yang menghalangi perkembangan dan pertumbuhan bakteri – bakteri patogen. Berbeda dengan bakteri patogen (Escherichia coli) yang mendiami daerah dinding pencernaan untuk mengembangkan penyakit, bakteri – bakteri probiotik mendiami mukosa pencernaan yang juga berakibat perubahan komposisi dari bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan.

Nilai kecernaan bahan kering pada penelitian ini berkisar antara 64,65 – 75,96 %. Angka kecernaan bahan kering ini masih berada pada kisaran kecernaan bahan kering ayam broiler sebagaimana rekomendasi Blair et al., (1990), dimana kecernaan bahan kering broiler fase finisher berkisar pada angka 50 – 80%. Kecernaan bahan kering ransum tertinggi dalam penelitian ini pada perlakuan C (perlakuan 1 ml ), yaitu 75,96 %. Lebih tingginya kecernaan bahan kering pada perlakuan C dibanding perlakuan lainnya diduga disebabkan oleh pengaruh probiotik yang berfungsi meningkatkan kecernaan pada ayam broiler . Tillman at al, (1998) mengemukakan bahwa bahan kering yang diekskresikan dalam feses merupakan zat-zat makanan yang tidak diserap tubuh. Peningkatan kualitas pakan menyebabkan tingginya nilai kecernaan, dan berpengaruh terhadap peningkatan nilai energi metabolis (Mc. Donnald, et al., 1978)

Kecernaan bahan organik suatu pakan menunjukkan kualitas dari pakan yang dicerna oleh tubuh. Data Hasil penelitian menunjukkan rataan kecernaan bahan organik ransum yang menggunakan probiotik pada broiler dapat dilihat pada Tabel 3.1 bahwa kecernaan bahan organik tertinggi yang diperoleh dari penelitian A (kontrol penelitian) yaitu 73,55 % dan yang terendah B (perlakuan 0,5 ml) dengan 74,18 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan probiotik sampai dengan level 1,5 ml memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0.05) terhadap kecernaan bahan organik ransum. Pemberian ransum dengan level serat kasar yang tinggi menyebabkan pemanfaatan nutrien ransum menjadi rendah dan terjadi penurunan bobot badan (Hsu et al., 2000). Penggunaan serat kasar dalam ransum pada penelitian ini masih dalam batas normal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartadisastra (1994) bahwa penggunaan maksimum dalam ransum ayam pedaging tidak lebih dari 5%. Jika

persentase serat kasar berlebih dalam ransum maka akan menghambat penyerapan zat-zat makanan dalam tubuh ayam.

Protein merupakan salah satu diantara zat-zat makanan yang mutlak dibutuhkan ternak baik untuk hidup pokok, pertumbuhan dan produksi (Parakkasi, 1999). Pada penelitian ini diperoleh hasil kecernaan protein kasar ransum tertinggi pada perlakuan C sebesar 77,57 % dan terendah pada perlakuan A sebesar 70,29 %. Penelitian ini memperoleh rataan nilai kecernaan protein kasar ransum sebesar 72,80 % nilai kisaran tersebut menunjukkan bahwa ransum yang digunakan dalam penelitian ini berkualitas baik. Selain itu, angka kecernaan protein ini masih berada pada kisaran kecernaan protein broiler di daerah tropis yang berkisar 60 – 85% (Blair et al., 1990). Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein dalam ransum, Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman et al., 1998). Guna mencapai daya cerna protein yang optimal, nilai nutrien dari protein harus disesuaikan dengan kebutuhan ayam itu sendiri. Faktor yang mempengaruhi jumlah kebutuhan protein pada ternak ayam yaitu: tingkat protein, temperatur atau suhu lingkungan, usia ternak ayam, kandungan asam amino, dan daya cerna (Sklan et al., 1980).

Hasil analisis ragam kecernaan serat kasar, menunjukkan bahwa pemberian ransum dengan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan serat kasar ransum. Kandungan dan konsumsi serat kasar dengan ransum perlakuan pada ayam Broiler, menunjukkan hasil kandungan serat kasar ransum A, B, C dan D masing- masing sebesar 42,36%, 42,53%, 43,05% dan 42,78%, Tillman et al. 1998 yang menyatakan bahwa

kecernaan serat kasar tergantung pada kandungan serat kasar dalam ransum dan jumlah serat kasar yang dikonsumsi. Kandungan serat kasar terlalu tinggi dapat mengganggu pencernaan zat lain dan pemberian ransum dengan level serat kasar yang tinggi menyebabkan pemanfaatan nutrien ransum menjadi rendah dan terjadi penurunan bobot badan (Hsu et al., 2000). Daya cerna serat kasar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kadar serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar dan aktifitas mikroorganisme (Maynard et al., 2005).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpukan bahwa pemberian probiotik melalui air minum pada level 0,5 ml, 1 ml, dan 1,5 ml pada ayam broiler umur 5 minggu dapat

meningkatkan kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, protein kasar dan serat kasar.

Saran

Dari hasil penelitian ini disarankan untuk melakuan penelitian lebih lanjut mengunakan dosis atau probiotik yang lain guna memperoleh hasil yang baik, sehingga nantinya dapat dijadikan acuan bagi peternak untuk dapat meningkatkan produksi ternaknya.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K), Dekan Fakultas Peternakan, Universtas Udayana Bapak Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS dan seluruh responden yang telah bekerjasama dengan baik dalam pengumpulan data selama penelitian ini. Terimakasih yang mendalam juga penulis sampaikan pada pihak-pihak yang membantu menyelesaikan peneliyian ini.

DAFTAR PUSTAKA

A.O.A.C.1990. Ofiicial Method Of Analysis 13th Ed. Association of AnalysisChemist, Washington DC.

Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta.

Angulo, F.J., J.A. Nunnery And H.D. Blair. 2004. Antimicrobial resistance in zoonotic enteric pathogens. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 23(2): 485-496. BARTON, M.D. 2000. Antibiotic use in animal feed and its impact on human health. Nutrition Research Reviews. 13 (2): 1-19.

Barrow, P. A. 1992. Probiotic For Chiken In : Probiotic The Scientific Basis. Ed Roy Fuller, 1st Ed. Champman and Hall, London.

Blair, G. J, Ensiminger, M. E, dan W. W. Heineniman. 1990. Poultry Meat Feed and Nutrition. 2nd Ed The Ensminger Publishing Company, California.

Cahyono dan Bambang. 1995. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Pedaging. Penerbit Pustaka Nusantara, Yogyakarta.

Chuzaemi. S. 2002. Arah dan Sasaran Penelitian Nutrien Sapi Potong Di Indonesia. Workshop Sapi Potong. Lolit Sapi Potong Granti. Pasuruan.

Fuller, R., 1984. Microbial activity in the alimentary tract of birds. Proc. Nutr. Soc., 43:55-61.

Hardjosworo, P. S dan Rukmiasih. 2000. Meningkatkan Produksi Daging Unggas. Cetakan I. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Hsu, J.C., L.I. Chen and B. Yu. 2000. Effect of levels of crude fiber on growth performances and intestinal carbohydrase of domestic gosling. AsianAust. J. Anim. Sci. 13 (10) : 1450– 1455.

Hunter, J. 2002. Clinical Dermatology. Massachussets: Blackwell Publishing Company.

Kamal, M., 1995. Nutrisi Ternak Unggas. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kartadisastra, H, R. 1994. Pengelolaan Pakan Ayam. Kanisius.Yogyakarta

Kearl. 1982. Nutien Requirement of Ruminant in Developing Countries International Feedstuffs Institute, Utah Arg, Exp. Sta, Logan..

Maynard , L. A. dan J. K. Loosly. 1969. Animal Nutrition. Edisi ke-6. Mc. Graw Hill Book Company, New Delhi.

Maynard, L.A. Loosil, J.K. Hintz, H.F and Warner, R.G. , 2005. AnimalNutrition. (7th Edition) McGraw-Hill Book Company. New York, USA.

Mc. Donald, R.A., Edwards and J.F.D. Greenhalg, 1978. Animal Nutrition, 2nd.Ed. The English Language Book Society and Longman.

Mitchell, J., M.W. Griffiths, S.A. Mcewen, W.B. Mcnab, And A.J. Yee. 1998. Antimicrobial drug residues in milk and meat: causes, concerns, prevalence, regulations, tests, and test performance. Journal of Food Protection. 61(6):742-56. PURNAMI

NRC. (ed.), 1994. Nutrient reguerments of poultry. 9th. National academy of science.

Yogyakarta.

Nuriyasa, I.M. 2003.Pengaruh Tingkat Kepadatan dan Kecepatan Angin Dalam Kandang Terhadap Indeks Ketidaknyamanan dan Penampilan Ayam Pedaging. Majalah Ilmiah Peternakan, Fakultas Peternakan, Unud. Hal 99-103.

P.A.Astawa, 2017. Penambahan Perasan Kunyit (Curcuma domestika Val) Dalam Ransum Terhadap Produkstivitas babi Bali. Disertasi, Prodi S3 Peternakan UNUD

Parker, R.B., 1974. Probiotics, the other half of antibiotic story. Anim.Nutr.Heath 29 : 4 – 8.

Parrakasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press. Jakarta.

Pluske, J.R. (1998). Defining the future role of enzimes within the asia pacific region. In 11th annual Asia Pacific Lecture Tour. 45-46

Rahardjo MF, Sjafei DS, Affandi R, Sulistiono, Hutabarat J. 2011. Iktiology. Edisi Pertama. Bandung: Lubuk Agung. p. 97-144.

Rambet, V., J.F Umboh., Y. L. R. Tulung., dan Y. H. S. Kowel. 2016. Kecernaan Protein Dan Energi Ransum Broiler Yang Menggunakan Tepung Manggot

(Hermetia Illucens) Sebagai Pengganti Tepung Ikan. Jurnal Zootek Vol. 36 No. 1 : 13-12.

Ranjhan, S.K. 1980. Animal Nutrition In The Tropics. Vikas Publishing Hause P and TLtd., New Delhi.

Semadi. 2002. Probiotik Pengganti Antibiotik dalam Pakan Ternak. Kompas 13 September 2002, Jakarta.

Siregar, B., 1994. Ransum Ternak Ruminansia, Penebar Swadaya, Jakarta.

Sklan, D dan S. Hurtwitz, 1980. Protein Digestion and Absorption In Young Chick and Turkey, J. Nutrition

Soejono, M. 1990. Petunjuk Laboratorium Analisis dan Evaluasi Pakan. Fakultas Peternakan

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Steel RED dan JH Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Diterjemahkanoleh Bambang Sumantri. Gramedia Pustaka. Jakarta. 772 hal.

Sumardi., C.N. Ekowati, dan D. Haryani. 2010. Isolasi Bacillus Penghasil Selulase dari Saluran Pencernaan Ayam Kampung. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Lampung. Jurnal Sains MIPA 2010.Vol 16, No 1, Hal 62-68

Suryahadi, T. Toharmat, K. G. Wiryawan dan A. S. Tjakradidjaja. 2001. Current Research dan Prospect of Animal Nutrition Biotechnology in Indonesia. The Second Indonesia Biotechnology Conference, Yogyakarta 23-24 Oktober.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, S. Lepdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Verschuere L. Rombaut G, Sorgeloos P, Verstraete W. 2000. Probiotic bacteria as biological control agents in aquaculture. Microbial Mol Biol rev 64:655-671.

Wahyu, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Supriana, I M., et al, Peternakan Tropika Vol. 7 No. 3 Th. 2019: 1348 - 1363

Page 1363