e-journal

FAPET UNUD


e-Journal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: peternakantropika@yahoo.com

Submitted Date: November 7, 2019                                      Accepted Date: November 11, 2019

Editor-Reviewer Article;: A.A.Pt. Putra Wibawa & Dsk. PMA Candrawati

Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Telur Itikdi Dataran Tinggi Bedugul

Wayau, S. G.,I. K. A.Wiyana, dan I. W. Wijana

PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail:edykusnaedi12@gmail.com.Telp : 082296440191

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan yang terjadi terhadap kualitas telur itik akibat lama penyimpanan di dataran tinggi Bedugul. Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Bedugul, Kabupaten Tabanan Bali, sedangkan pemecahan telur dan pengambilan data dilakukan di Laboratorium Ternak Unggas Fakultas Peternakan, Universitas Udayana selama 6 minggu. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari 6 perlakuan yaitu telur tanpa disimpan sebagai kontrol (P0), penyimpanan telur 7 hari (P7), penyimpanan telur 14 hari (P14), penyimpanan telur 21 hari (P21), penyimpanan 28 hari (P28), dan penyimpanan 35 hari (P35). Masing-masing perlakuan mengunakan 3 ulangan setiap ulangan menggunakan 5 butir telur itik. Variabel yang diamati adalah berdasarkan kualitas eksternal yaitu indeks bentuk telur dan berat telur. Sedangkan berdasarkan kualitas internal yaitu tebal kerabang telur, warna kuning telur, haugh unit (HU), dan pH telur. Hasil penelitian menunjukkan lama penyimpanan terhadap tebal kerabang telur, warna kuning telur, haugh unit, dan pH telur secara statistik memberikan hasil berbeda nyata (P<0,05). Terhadap indeks bentuk telur dan berat telur penyimpanan 7 hari hingga 35 hari memberikan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa penyimpanan telur itik di dataran tinggi Bedugul dengan suhu 160C - 240C dengan kelembaban 68-90%, tidak menurunkan kualitas eksternal yang meliputi berat telur dan indeks bentuk telur akan tetapi mempengaruhi kualitas internal telur itik. Penurunan haugh unit telur itik mulai terjadi pada penyimpanan 7 hari, sedangkan penyimpanan selama 14, 21, 28, dan 35 hari terjadi penurunan terhadap tebal kerabang telur, warna kuning telur, dan peningkatan pH telur. Hasil penilaian grade telur itik berdasarkan nilai haugh unit diperoleh grade A sehingga kualitas telur itik dapat dikatakan masih baik.

Kata kunci : Telur Itik, Lama Penyimpanan, Kualitas Telur Itik

The Effect of Storage Time on The Quality of Duck Eggs in The

Highlands of Bedugul

ABSTRACT

Research to determine the external and internal quality of duck eggs stored in the highlands of Bedugul for 35 days. This research was conducted in Bedugul area, Tabanan Regency, Bali, while egg-breaking and data collection were carried out at the Poultry Laboratory of the Faculty of Animal Science, Udayana University for 6 weeks. The Completely Randomized Design (CRD) was applied in this research, consisting of 6


treatments namely eggs without being stored as a control (P0), egg storage for 7 days (P7), egg storage for 14 days (P14), egg storage for 21 days (P21), egg storage for 28 days (P28), and egg storage for 35 days (P35). Three replication was given for each treatment and 5 duck eggs were used in each replication. The external quality variables observed were the index of egg shape and egg weight. Whereas the internal quality variables were eggshell thickness, egg yolk color, haugh unit (HU), and egg pH. The experiment results showed that different storage times statistically gave significantly difference (P<0.05) for eggshell thickness, egg yolk color, haugh unit, and egg pH variables. Meanwhile variables of egg shape index and egg storage weight of 7 days to 35 days gave no significant difference (P> 0.05). It was concluded that the storage of duck eggs in the Bedugul highlands with temperatures of 16oC -240C and with 68-90% dampness, did not reduce the external quality which includes egg weight and egg shape index, but did affect the internal quality of duck eggs. Reduction of duck egg haugh units began to occur at 7 days storage, while storage for 14, 21, 28 and 35 days decreased the thickness of eggshell, egg yolk color, and increased egg pH. The result of the assessment of the grade of duck eggs based on the value of the haugh unit obtained grade A so that the quality of duck eggs can be categorized still good.

Keywords: Duck Eggs, Storage Time, Quality Of Duck Eggs

PENDAHULUAN

Telur merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang bergizi tinggi, mudah dicerna, dan harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Sarwono (1997), menyatakan bahwa pentingnya telur sebagai bahan makanan karena banyaknya zat pembangun (protein) yang terdapat di dalamnya. Khususnya di Bali, Peranan telur itik erat kaitannya dengan adat istiadat dan budaya. Telur itik digunakan sebagai bahan upakara dalam pelaksanaan upacara keagamaan umat Hindu (Hassan, 1990).

Menurut Suharno dan Amri (1995), Pada umumnya telur itik memiliki warna kerabang putih sampai hijau kebiruan dengan bobot telur berkisar 60-75 gram. Telur itik memiliki kualitas lebih baik bila dibandingkan dengan telur unggas lainnya karena kaya akan mineral, vitamin B6, asam pantotenat, tiamin, vitamin A, vitamin E, niasin, dan vitamin B12 (USDA, 2007). Disamping memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi ternyata telur itik juga memiliki sifat yang sama dengan telur unggas lainnya yaitu sifat yang mudah rusak,baik yang disebabkan oleh kontaminasi mikroba, kerusakan secara fisik maupun penguapan air dan gasgas seperti karbondioksida, ammonia, nitrogen, dan hidrogen sulfida dari dalam telur yang dapat menurunkan kualitas telur. (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Kualitas telur adalah sesuatu yang dinilai, dilihat dan diamati pada telur untuk perbandingan baik atau tidaknya telur sehingga dapat dipergunakan untuk kebutuhan konsumen. Menurut Umar (2000), ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam penilaian

kualitas telur, yaitu kualitas bagian luar (eksternal) dan bagian dalam (internal) telur. Kualitas eksternal dilihat pada indeks bentuk telur dan berat telur, sedangkan kualitas internal mengacu pada kondisi putih dan kuning telur.

Menurut Sarwono (1997), telur segar memiliki daya simpan yang relatif pendek. Hasil penelitian Purdiyanto dan Riyadi (2017), menunjukkan bahwa telur itik dengan lama penyimpanan sampai 20 hari pada suhu kamar 270C menurunkan nilai indeks kuning telur dan haugh unit telur tetapi masih menghasilkan skor grade B. Semakin tua umur telur maka kuning telur semakin besar sehingga indeks kuning telur semakin kecil. Hal ini terjadi karena perpindahan air dari putih telur secara terus menerus yang akan menyebabkan viskositas kuning telur menurun sehingga kuning telur menjadi pipih kemudian akan pecah (Romanoff dan Romanoff, 1963). Bertambahnya umur simpan telur juga menyebabkan rongga udara semakin membesar akibatnya terjadi penguapan cairan dalm telur dan putih telur kental akan menjadi encer sehingga menurunkan nilai haugh unit. Saraswati (2015), menjelaskan bahwa haugh unit merupakan nilai yang mencerminkan keadaan albumen telur yang berguna untuk menentukkan kualitas telur. Nilai haugh unit ditentukan berdasarkan keadaan putih telur, yakni korelasi antara bobot telur dengan tinggi putih telur.

Pada dasarnya penyimpanan telur dilakukan bila ketersediannya banyak atau bila telur tersebut tidak langsung dikomsumsi. Namun, faktor lama penyimpanan telur merupakan masalah yang berkaitan erat dengan aspek distribusi mulai dari tingkat peternak sampai telur dikonsumsi oleh konsumen (Lestari et al., 2015). Selama penyimpanan bagian internal telur akan mengalami perubahan terus menerus yang mengakibatkan tinggi lapisan kental putih telur menjadi turun. Hal ini terjadi karena perubahan struktur gelnya sehingga permukaan putih telur semakin meluas akibat pengenceran yang terjadi dalam putih telur karena perubahan pH dari asam menjadi basa dan penguapan CO2 (Dini, 1996). Kenaikan pH pada putih telur akibat hilangnya CO2 yang lebih lanjut mengakibatkan serabut-serabut ovomucin berbentuk jala akan rusak dan pecah sehingga bagian cair dari putih telur menjadi encer dan tinggi putih telur menjadi berkurang (Hintono, 1997). Menurut Yuwanta (2010), selain lama waktu penyimpanan telur, penguapan isi telur juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban relatif.

Daerah Bedugul merupakan daerah dataran tinggi yang terletak di ketinggian ± 1240 m diatas permukaan laut yang mempunyai temperatur suhu 160C – 220C dan kelembaban 68% - 90%. Pada suhu dingin telur biasanya lebih awet dan kerusakan pada telur lebih rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Sudaryani (2003), yang menyatakan bahwa suhu optimum

untuk penyimpanan telur adalah 250C dan kelembaban 70-80%, di atas suhu tersebut akan berpengaruh kurang baik terhadap kualitas telur.

Telur itik yang beredar di pasar tradisional, supermarket, hingga toko kecil yang ada di Bali, dipasok dari sistem peternakan intensif maupun semi intensif sehingga ketersediaan telur selalu terjaga. Namun ketersediaan ini seringkali tidak diikuti dengan cara penyimpanan yang baik sehingga menurunkan kualitas telur. Menurunnya kualitas telur ini terjadi hampir disemua bagian telur. Telur yang mengalami penurunan kualitas ditandai dengan penurunan berat telur, rongga udara yang bertambah besar, perubahan pada kuning telur, dan putih telur menjadi encer.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas telur itik didataran tinggi Bedugul.

MATERI DAN METODE

Materi

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di daerah dataran tinggi Bedugul, Kabupaten Tabanan selama 6 minggu mulai tanggal 30 Maret - 10 Mei 2019, sedangkan pemecahan telur dan pengambilan data dilaksanakan di Laboratorium Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Telur

Telur itik yang digunakan diambil dari peternakan intensif UD. Lestari di daerah Kediri, Tabanan, Bali. Pengambilan telur itik dilakukan dengan cara memilih dan menimbang untuk mendapatkan berat telur yang seragam (homogen) dengan berat 67,57 ± 0,22 gram.

Peralatan penelitian

Peralatan penelitian yang digunakan adalah: a) Rak telur yang digunakan untuk menaruh telur, b) Egg Multitester EMT – 7300yang digunakan untuk menentukan berat telur, menentukan skor warna kuning telur, menentukan nilai haugh unit (HU) telur, dan Grade telur. c) Timbangan elektrik yang digunakan untuk menimbang telur, d) Jangka sorong yang digunakan untuk mengukur panjang dan lebar telur, e) Thermometer dan Hygrometer yang digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban ruangan selama penyimpanan telur, f) Mikrometer yang digunakan untuk mengukur ketebalan kulit telur, g) pH 3210 SET2 yang digunakan untuk menentukan pH telur.

Selain peralatan penelitian diatas, alat-alat tambahan lainnya untuk mendukung jalannya penelitian ini adalah alat tulis untuk mencatat data, kertas label untuk memberi kode pada telur, gelas ukur untuk menyimpan telur pada saat pengukuran pH dan tissue untuk membersihkan kulit telur dan alat-alat penelitian, serta kantong plastik untuk menyimpan telur yang sudah diuji.

Metode

Penyimpanan telur

Telur itik yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebanyak 90 butir dan diletakkan dalam 6 tray telur, masing-masing tray berisi 15 butir telur yang diberikan kode perlakuan (lama penyimpanan dan ulangan). Kemudian telur dibawa menuju Bedugul untuk disimpan sesuai dengan perlakuan lama penyimpanan yang sudah ditentukan. Pemecahan telur dan pengambilan data dilakukan setiap satu minggu sekali sesuai perlakuan di Laboratorium Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Rancangan penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Terdiri dari 6 perlakuan dan 3 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 5 butir telur, sehingga jumlah telur yaitu 90 butir. Perlakuan yang diberikan adalah P0: telur yang disimpan selama 0 hari (kontrol), P7: telur yang disimpan selama 7 hari, P14: telur yang disimpan selama 14 hari, P21: telur yang disimpan selama 21 hari, P28: telur yang disimpan selama 28 hari dan P35: telur yang disimpan selama 35 hari. Perlakuan penyimpanan telur itik dilakukan pada suhu kamar di daerah dataran tinggi Bedugul dengan suhu 160C – 240C dengan kelembaban 68-90%.

Variabel yang diamati

Kualitas Eksternal

  • a.    Indeks bentuk telur

Indeks bentuk telur ditentukan dengan membandingkan lebar telur dengan panjang telur kemudian dikalikan 100 (Bell dan Weaver, 2002). Panjang dan lebar telur masing-masing diukur dengan menggunakan alat jangka sorong.

  • b.    Berat telur

Berat telur diperoleh dengan cara menimbang telur sebelum dipecahkan dengan menggunakan Egg Multitester (EMT 7300).

Kualitas Internal

  • a.    Tebal kerabang telur

Kerabang telur merupakan bagian terluar yang membungkus isi telur. Ketebalan kerabang telur diukur dengan menggunakan micrometer yang memiliki kepekaan/ketelitian 0,001 mm. Pengukuran tebal kulit telur dilakukan dengan cara pemecahan telur terlebih dahulu kemudian kulit telur bagian dalam dibersihkan menggunakan tissu agar putih telur yang masih menempel pada kulit telur bagian dalam hilang dan selanjutnya ambil bagian kerabang telur lalu diukur.

  • b.    Warna kuning telur

Warna kuning telur dapat diukur secara otomatis dengan menggunakan mesin Egg Multitester (EMT 7300). Mula-mula telur ditimbang dan dipecahkan dengan hati-hati ke atas platform. Selanjutnya, dengan menekan tombol O/C maka akan keluar hasil warna kuning telur di layar monitor.

  • c.    Haugh Unit (HU)

Untuk menghitung haugh unit, telur ditimbang terlebih dahulu, lalu dipecah secara hati-hati dan diletakkan pada alat yang sudah tersedia di Egg Multitester (EMT 7300). Ketebalan putih telur (mm) diukur dengan micrometer. Bagian putih telur yang diukur dipilih antara pinggir kuning telur dan pinggir putih telur (Sudaryani,2003). Kemudian dihitung haugh unitnya dengan rumus:

  • d.    pH telur

Pengukuran pH dilakukan dengan cara putih dan kuning telur dicampur kedalam gelas ukur kemudian diaduk hingga homogen dan diukur menggunakan alat pH 3210 SET2.

Analisis Data

Data yang didapat kemudian dianalisis dengan sidik ragam (Anova) dan apabila terdapat perbedaan nyata (P<0,05) antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan’s (Sastrosupadi, 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil penyimpanan telur itik pada suhu ruang di daerah dataran tinggi Bedugul yang tersaji pada tabel 1.

Tabel 1 Pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas telur itik di daerah dataran tinggi Bedugul

Variabel

Perlakuan Lama Penyimpanan1)             SEM3)

P0      P7     P14     P21     P28     P35

Eksternal :

Indeks bentuk telur Berat telur (gram)

Internal :

Tebal kerabang (mm) Warna kuning telur Haugh unit (HU) pH telur

73.51a2) 73.28a 73.23a 73.98a 73.86a 73.85a 0,94 67.55a 67.45a 67.40a 67.61a 67.73a 67.67a 0,09

0.43a 0.43ab 0.41b 0.40bc 0.39c 0.38cd 0,01 13.09a 12.79ab 12.62b 11.79c 10.70d 10.13e 0,15 81.99a 79.93b 78.02bc 77.92c 76.56cd 64.30e 0,67 7.21a 7.35ab 7.88b 7.99bc 8.13d 8.25e 0,11

Keterangan:

1) P0      = Telur tanpa disimpan (0 hari /kontrol)

P7      = Telur disimpan selama 7 hari

P14    = Telur disimpan selama 14 hari

P21     = Telur disimpan selama 21 hari

P28    = Telur disimpan selama 28 hari

P35    = Telur disimpan selama 35 hari

2) Superskrip sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

3) SEM = Standard Error of The Treatment Mean

Pengaruh lama penyimpanan terhadap indeks bentuk telur itik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks bentuk telur itik yang tanpa penyimpanan (0 hari/kontrol) adalah 73,51 gram (Tabel 1). Indeks bentuk telur pada penyimpanan 7 hari dan 14 hari memiliki rataan 0,31% dan 0,38% lebih rendah dibandingkan kontrol (tanpa penyimpanan) dan indeks bentuk telur pada penyimpanan 21 hari, 28 hari, dan 35 hari memiliki rataan 0,64%, 0,48%, dan 0,47% lebih tinggi dibandingkan indeks bentuk telur tanpa penyimpanan (0 hari/kontrol), tetapi secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karena telur itik yang digunakan dalam penelitian berasal dari jenis itik, umur induk, pakan, dan manajemen pemeliharaan yang sama sehingga menghasilkan indeks bentuk telur yang sama. Hasil penelitian yang berbeda tidak nyata ini sejalan dengan penelitian Wedana et al., (2017) yang melaporkan bahwa penyimpanan telur selama 0 hari, 7 hari, 14 hari, dan 21 hari pada suhu ruang menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap indeks bentuk telur. Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), faktor yang mempengaruhi indeks bentuk telur antara lain bangsa ternak, genetik, umur unggas saat bertelur, status reproduksi, variasi individu dan kelompok.

Berdasarkan hasil penelitian indeks bentuk telur itik yang diperoleh tanpa penyimpanan (0 hari/kontrol), 7 hari, 14 hari, 21 hari, 28 hari, dan 35 hari memiliki nilai rataan yaitu 73,51; 73,28; 73,23; 73,98; dan 73,85 maka indeks bentuk telur itik dikatagorikan

sebagai indeks bentuk telur yang baik. Menurut Murtidjo (1992), indeks bentuk telur yang baik berkisar antara 70-79. Menurut Sumarni dan Djuarnani (1995), telur yang berbentuk bulat apabila nilai indeks bentuk telurnya ≥ 76, sedangkan telur yang berbentuk lonjong apabila nilai indeks bentuk telurnya antara 72-76. Faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk telur antara lain jenis unggas, umur, perubahan musim sewaktu unggas bertelur, sifat keturunan, umur pembuahan, berat tubuh induk dan pakan yang diberikan (Widyantara, 2016).

Pengaruh lama penyimpanan terhadap berat telur itik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat telur itik yang tanpa penyimpanan (0 hari/kontrol) adalah 67,55 gram (Tabel 1). Berat telur itik pada penyimpanan 7 hari dan 14 hari memiliki rataan 0,15% dan 0,22 % lebih rendah dibandingkan kontrol (tanpa penyimpanan) dan berat telur pada penyimpanan 21 hari, 28 hari, 35 hari memiliki rataan 0,10%, 0,27%, dan 0,18% lebih tinggi dibandingkan berat telur tanpa penyimpanan (kontrol), tetapi secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karena ruang penyimpanan telur mempunyai temperatur suhu yang rendah dan stabil 160C-240C dengan kelembaban 68% - 90%, menyebabkan penguapan CO2 dan H2O lebih lambat, karena kulit telur itik yang tebal mengakibatkan sedikit pelebaran terhadap pori-pori sehingga telur sedikit mengalami penguapan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sudaryani (2003), yang menyatakan bahwa suhu optimum untuk penyimpanan telur adalah 250C dan kelembaban 7080%, di atas suhu tersebut akan berpengaruh kurang baik terhadap kualitas telur.

Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), kehilangan bobot adalah salah satu perubahan yang paling nyata pada telur-telur yang disimpan pada waktu yang lama. Semakin lama waktu penyimpanan semakin besar penurunan berat telur. Penurunan berat telur yang terjadi selama penyimpanan disebabkan oleh penguapan air dan pelepasan gas CO2 dari dalam isi telur melalui pori-pori kerabang. Penguapan dan pelepasan gas ini terjadi secara terus menerus selama penyimpanan sehingga makin lama telur disimpan berat telur akan semakin berkurang. Menurut Sudaryani (2003), penguapan air dan pelepasan gas seperti CO2, NH3, dan sedikit H2S sebagai hasil degradasi bahan-bahan organik telur terjadi sejak telur keluar dari tubuh ayam melalui pori-pori kerabang telur dan berlangsung secara terus menerus sehingga menyebabkan penurunan kualitas putih telur, terbentuknya rongga udara, dan penurunan berat telur.

Menurut Suharno dan Amri (1995), Berat telur itik berkisar antara 60-75 gram dan keadaan kulit telur masih utuh dan halus. Sumarni dan Djuarnani (1995), menyatakan

klasifikasi standar berat telur yaitu jumbo (> 76 g), extra large (70-77 g), large (64-70 g), medium (58-64 g), medium small (52-58 g), small (< 52 g). Telur itik yang digunakan dalam penelitian ini memiliki berat 67,57±0,22 gram, maka telur dalam penelitian digolongkan sebagai telur yang berukuran besar (large).

Pengaruh lama penyimpanan terhadap tebal kerabang telur itik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tebal kerabang telur itik tanpa penyimpanan (0 hari/kontrol) adalah 0,43 (tabel 1). Tebal kerabang telur itik pada penyimpanan 7 hari memiliki nilai rataan yang sama dengan kontrol (tanpa penyimpanan), sedangkan pada penyimpanan 14 hari dan 21 hari memiliki nilai rataan 4,62% dan 7,50% lebih rendah dibandingan penyimpanan 7 hari tetapi secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). Tebal kerabang telur itik pada penyimpanan 28 hari dan 35 hari memiliki nilai rataan 9,41% dan 11,98% lebih rendah dibandingkan penyimpanan 21 hari, secara statistik menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05). Hal ini dikarenakan telur itik yang semakin lama disimpan pada suhu kamar menyebabkan ketebalan kerabang akan berkurang akibat terjadinya porositas kerabang yang terkena udara, sehingga lapisan kutikula yang menutupi kerabang menipis, pori-pori makin melebar dan mempermudah penguapan.

Menurut Sudaryani (2003), telur yang baru dikeluarkan dari induk, memiliki pori-pori yang masih dilapisi kutikula atau lapisan lilin sehingga kerabang menjadi lebih tebal. Hasil penelitian yang berbeda nyata ini sejalan dengan Rasyaf (2001), yang menyatakan bahwa penurunan tebal kerabang dapat dihubungkan dengan semakin menyusutnya lapisan lilin yang menutupi kerabang sehingga memungkinkan semakin banyak pori-pori kerabang yang terpapar udara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Keadaan ini mempermudah penguapan selama masa penyimpanan dan mengakibatkan kantung udara semakin tinggi. Semakin lama waktu simpan maka pori–pori kerabang akan melebar, hal ini juga yang menyebabkan kerabang semakin menipis.

Ketebalan kerabang telur itik yaitu 0,3-0,5 mm. Ukuran pori-pori besar dan kecil pada permukaan kerabang telur itik masing-masing yaitu 0,036 x 0,031 mm dan 0,014 x 0,012 mm. Jumlah pori di seluruh bagian kerabang telur bervariasi antara 7.000-15.000 buah, bagian tumpul dari kerabang memiliki pori lebih banyak serta tebal kerabang yang lebih tipis dibandingkan dengan bagian yang lainnya. Fungsi pori kerabang telur adalah sebagai tempat pertukaran gas-gas dari dalam dan luar kerabang sehingga membantu respirasi embrio di dalam telur (Romannof dan Romannof, 1963).

Pengaruh lama penyimpanan terhadap warna kuning telur itik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna kuning telur itik tanpa penyimpanan (0 hari/kontrol) adalah 13,09 (tabel 1). Warna kuning telur itik pada penyimpanan 7 hari memiliki nilai rataan 2,34% lebih rendah dibandingan dengan kontrol (tanpa penyimpanan), sedangkan pada penyimpanan 14 hari memiliki nilai rataan 3,79% lebih rendah dibandingkan penyimpanan 7 hari tetapi secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). Warna kuning telur itik pada penyimpanan 21 hari, 28 hari, dan 35 hari memiliki nilai rataan 11,04%; 22,42% dan 29,23% lebih rendah dibandingkan penyimpanan 14 hari, tetapi secara statistik menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05). Hal ini dikarenakan lama penyimpanan yang mengakibatkan perembesan air dari putih telur ke kuning telur. Akibatnya, berat kuning telur meningkat dan selanjutnya akan menyebabkan pelemasan membran vitelin hingga pecah, sehingga kuning telur dapat bercampur dengan putih telur (Abbas, 1989). pernyataan ini sejalan dengan Jin et al., (2011) bahwa penyimpanan telur menyebabkan terjadinya perpindahan H2O dari putih telur kekuning telur kemudian menyebabkan protein putih telur masuk ke kuning telur dan mengurangi skala warna kuning telur.

Berdasarkan hasil penelitian, rataan warna kuning telur itik yang diperoleh tanpa penyimpanan (0 hari/kontrol), 7, 14,21,28, dan 35 hari berturut-turut yaitu 13,09; 12,79; 12,62; 11,79; 10,70, dan 10,13. Dari hasil penelitian penyimpanan telur itik hingga 35 hari, masih menghasilkan skor warna kuning telur yang masih baik. Menurut Sudaryani (2003), warna kuning telur yang baik berkisar antara 9-15 dan warna kuning telur pucat berkisar antara 1-9.Ditambahkan oleh Muharlien (2010), bahwa semakin tinggi skor warna kuning telur maka semakin baik kualitas telur.

Pengaruh lama penyimpanan terhadap Haugh unit (HU) telur itik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa haugh unit telur itik yang tanpa penyimpanan (0 hari/kontrol) adalah 81,99 (tabel 1). Haugh unit telur itik pada penyimpanan 7 hari, 14 hari, 21 hari, 28 dan 35 hari memiliki nilai rataan 2,58%, 5,10%, 5,23%, 7,10% dan 27,52% lebih rendah dibandingan kontrol (tanpa penyimpanan), tetapi secara statistik menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05). Hal ini disebabkan karena bertambahnya umur simpan telur yang menyebabkan rongga udara semakin membesar akibatnya terjadi penguapan cairan dalm telur dan putih telur kental akan menjadi encer sehingga menurunkan nilai haugh unit pada telur.Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Menezes et al., (2012), yang meyatakan bahwa temperatur dan waktu penyimpanan berpengaruh terhadap kualitas telur dan menurunkan haugh unit secara signifikan karena kehilangan CO2 secara terus menerus.

Penurunan nilai haugh unit ini berkaitan dengan peningkatan pH putih telur. Stadelman dan Cotteril (1995), menyatakan bahwa Peningkatan pH putih telur menyebabkan putih telur bersifat basa dan pH telur naik yang diikuti kerusakan serabut-serabut ovomucin yang memberikan tekstur kental pada protein putih telur. Selama putih telur kehilangan CO2 dan terjadi perubahan pH, ovomucin kehilangan kemampuan dalam mempertahankan kekentalan sehingga putih telur berubah menjadi encer (Mountney, 1976).

Menurut Stadelman dan Cotteril (1995), kualitas telur yang baik dapat dilihat dari kualitas eksternal dan internal telur. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penilaian yang paling baik adalah berdasarkan haugh unit (HU) yang merupakan indeks dari tinggi putih telur terhadap berat telur. Semakin tinggi nilai HU, semakin baik kualitas putih telur, ini menandakan telur masih segar. Menurut Buckle et al., (1987), telur yang baru ditelurkan mempunyai nilai HU 100, lebih lanjut dijelaskan bahwa untuk telur dengan kualitas yang baik mempunyai nilai HU 75 dan telur yang rusak mempunyai nilai HU dibawah 50. Mountney (1976), menambahkan bahwa nilai HU lebih dari 72 dikatagorikan sebagai telur berkualitas AA, nilai HU 60-72 sebagai telur berkualitas A, nilai HU 31-60 sebagai telur berkualitas B dan nilai HU kurang dari 31 dikatagorikan sebagai telur yang berkualitas C.

Dari hasil penelitian penyimpanan kontrol (tanpa penyimpanan), 7 hari, 14 hari, 21 hari, 28 hari, dan 35 hari didapatkan rataan nilai haugh unit yaitu 81,99; 79,93; 78,02; 77,92; 76,56; dan 64,30. Dimana pada penyimpanan kontrol (0 hari/tanpa penyimpanan),7 hari, 14 hari, 21 hari, dan 28 hari dikategorikandalam grade AA, sedangkan pada penyimpanan 35 hari dikategorikankedalam grade A.

Pengaruh lama penyimpanan terhadap pH telur itik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH telur itik yang tanpa penyimpanan (0 hari/kontrol) adalah 7,21 (Tabel 1). pH telur itik pada penyimpanan 7 hari memiliki nilai rataan 1,90% lebih tinggi dibandingkan kontrol (tanpa penyimpanan), sedangkan pada penyimpanan 14 hari dan 21 hari memiliki nilai rataan 9,27% dan 10,89% lebih tinggi dibandingkan penyimpanan 7 hari, tetapi secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). pH telur itik pada penyimpanan 28 hari dan 35 hari memiliki nilai rataan 12,71% dan 14,38% lebih tinggi dibandingkan penyimpanan 21 hari, tetapi secara statistik menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05). Hal ini dikarenakan selama penyimpanan terjadi pemecahan bikarbonat yang disebabkan oleh hilangnya CO2 melalui pori-pori kerabang telur sehingga pH telur meningkat,. Bikarbonat terdiri dari sodium dan potasium sebagai buffer. Hal

ini sejalan dengan Kurtini et al., (2011), yang menyatakan bahwa Peningkatan pH dapat disebabkan oleh menguapnya CO2 melalui pori-pori kerabang. Hilangnya CO2 melalui pori kerabang telur mengakibatkan konsentrasi ion bikarbonat dalam putih telur menurun dan merusak sistem buffer yang meyebabkan pH telur naik dan putih telur bersifat basa (Jazil, 2012).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyimpanan telur itik di dataran tinggi Bedugul dengan suhu 160C - 240C dengan kelembaban 68% -90%, tidak menurunkan kualitas eksternal yang meliputi berat telur dan indeks bentuk telur akan tetapi mempengaruhi kualitas internal telur itik. Penurunan haugh unit telur itik mulai terjadi pada penyimpanan 7 hari, sedangkan penyimpanan selama 14, 21, 28, dan 35 hari terjadi penurunan terhadap tebal kerabang telur, warna kuning telur, dan peningkatan pH telur. Hasil penilaian grade telur itik berdasarkan nilai haugh unit diperoleh grade A sehingga kualitas telur itik dapat dikatakan masih baik.

SARAN

Penyimpanan telur itik selama 35 hari pada suhu ruang (suhu 160C - 240C dengan kelembaban 68% - 90%) di dataran tinggi Bedugul masihlayak untuk dikomsumsi dengan skor grade A.

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS atas pelayanan administrasi dan fasilitas pendidikan yang diberikan kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, M. H. 1989. Pengelolaan Produksi Unggas. Jilid Pertama. Universitas Andalas, Padang

Bell, D. dan Weaver. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg. Kluwer Academic Publishers, United States of America.

Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., and Wotton, M. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Dini, S. 1996. Pengaruh Pelapisan Parafin Cair terhadap Sifat Fisik dan Kimia Telur Ayam Ras Selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hassan, F. 1990. Renungan Budaya. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta.

Hintono, A. 1997. Kualitas Telur yang disimpan dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi. Jurnal sainteks. Edisi ke-4. Halaman 45-51.

Jazil, N., A. Hintono., S. Mulyani. 2012. Penurunan Kualitas Telur Ayam Ras dengan Intensitas Warna Cokelat Kerabang Berbeda selama Penyimpanan. Jurnal Penelitian. Fakultas Peternakan dan Pertanian. Universitas Diponogoro.Semarang.

Jin YH, Lee KT, Han YK. 2011. Effects of storage temperature and time on the quality of eggs from laying hens at peak production. J Anim Sci. 24(2):279-284.

Kurtini, T., K. Nova, dan D. Septinova. 2011. Produksi Ternak Unggas. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Lestari, D., Riyanti, dan V. Wanniatie. 2015. Pengaruh Lama Penyimpanan dan Warna Kerabang terhadap Kualitas Internal Telur Itik Tegal. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol 3. No.1 Tahun 2015. P:7-14

Menezes, M.R., G. Kumar, S.P. Kunal. 2012. Population genetic structure of skipjack tuna Katsuwonus pelamis from the Indian coast using sequence analysis of the mitochondrial DNA D-loop region. Journal of Fish Biology, 80: 2198 - 2212.

Mountney, G. J. 1976. Poultry Products Technology. 2ndEd. #vi Publishing Company. INC. Westport.

Muharlien. 2010. Meningkatkan Kualitas Telur Melalui Penambahan Teh Hijau dalam Pakan Ayam Petelur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. Vol. 5 (1) P: 32- 37. Diakses tanggal 25 Oktober 2013.

Murtidjo, B. A. 1992. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius. Yogyakarta.

Purdiyanto, J dan S. Riyadi. 2017. Pengaruh Lama Simpan Telur Itik Terhadap Penurunan Berat, Indeks Kuning Telur (Ikt), Dan Haugh Unit (HU). Jurnal Penelitian. Studi Peternakan Fakultas Pertanian. Universitas Madura. Jawa Timur.

Rasyaf, M. 2001. Beternak Ayam Petelur. Penebar Swadaya. Jakarta.

Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Willey and Sons. Inc. New York.

Saraswati, T. R. 2015. Telur. Optimalisasi Fungsi Reproduksi Puyuh dan Biosintesis Kimiawi Bahan Pembentuk Telur.PenerbitLeskonfi. Depok

Sarwono, B. 1997. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Edisi ke-4. Penebar Swadaya. Bandung.

Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Buku. Kanisius. Malang. 267 P.

Stadelman, W. J. and O. J. Cotteril. 1995. Egg Science and Technology. 4th Edition. Food Products Press. An Imprint of the Haworth Press. Inc. New York.

Sudaryani. 2003. Kualitas Telur. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suharno dan Amri, 1995. Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sumarni dan N. Djuarnani. 1995. Diktat Penanganan Pascapanen Unggas. Departemen Pertanian. Balai Latihan Pertanian. Ciawi. Bogor.

Umar, H. 2000. Metodologi Penelitian Aplikasi dalam pemasaran. edisi II, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

United States Departement of Agriculture (USDA). 2007. Nutrient Database for Standard Reference. RI

Wedana, I P. C, I K. A. Wijana, dan M. Wirapartha. 2017. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Fisik Telur Ayam Ras Yang Dipelihara Secara Intensif. Peternakan Tropika. Vol. 5 No. 1 Th. 2017: 1 – 10.

Widyantara, P. R. A., 2016. Pengaruh Penyimpanan Terhadap Kualitas Telur Ayam Kampung dan Ayam Lohman. Fakultas Peternakan. Universitas Udayana.

Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wayau, S. G., et al, Peternakan Tropika Vol. 7 No. 3 Th. 2019: 1334 - 1347

Page 1347