External and Internal Quality of Duck Eggs That Are Storage O-14days in The Highlands of Bedugul
on

e-journal
FAPET UNUD
e-Journal

Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: peternakantropika@yahoo.com
Submitted Date: Agust 16, 2019
Accepted Date:Agust 21, 2019
Editor-Reviewer Article;: A. A. P. Putra Wibawa & I W. Wirawani
Kualitas Eksternal dan Internal Telur Itik yang Disimpan Selama 0-14 Hari di Dataran Tinggi Bedugul
Rika R, I W. Wijana dan G. A. M. K. Dewi
PS. Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail: rikarahim1006@gmail.com HP. 087846005311
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan telur itik yang disimpan pada suhu kamar di dataran tinggi selama 0-14 hari terhadap kualitas eksternal dan internal. Penelitian ini dilakukan di daerah Bedugul dan dianalisis di Laboratorium Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Udayana selama tiga minggu. Rancangan Penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari tiga perlakuan yaitu telur yang tanpa penyimpanan sebagai kontrol (R0), telur penyimpanan 7 hari (R7), dan telur penyimpanan 14 hari (R14) yang masing-masing perlakuan menggunakan 5 ulangan dan setiap ulangan menggunakan 5 butir telir itik. Variabel yang diamati yaitu kualitas eksternal meliputi berat telur dan indeks bentuk telur, dan kualitas internal meliputi tebal kerabang telur, berat kerabang telur, warna kuning telur, haugh unit (HU), dan pH telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat telur, indeks bentuk telur, tebal kerabang telur, berat kerabang telur, warna kuning telur, dan pH telur menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata (P>0,05) dan hasil penelitian haugh unit (HU) telur menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyimpanan telur itik selama 7 hari dan 14 hari pada suhu kamar di daerah dataran tinggi Bedugul tidak menurunkan berat telur, indeks bentuk telur, tebal kerabang telur, berat kerabang telur, warna kuning telur dan pH telur, akan tetapi penyimpanan telur itik selama 14 hari menurunkan nilai haugh unit (HU), namun masih layak untuk dikonsumsi dengan grade telur AA.
Kata kunci: telur itik, lama waktu penyimpanan, kualitas eksternal dan internal
External and Internal Quality of Duck Eggs That Are Storage O-14days in The Highlands of Bedugul
ABSTRACT
This study aims to determine the effect of long storage time of the duck eggs which stored at room temperature in the highlands during 0-14 days regarding to external and internal quality. This research was conducted in the area of Bedugul and analyzed in the laboratory of the Faculty of Animal Husbandry Poultry of Udayana University for three weeks. Research design used was completely randomized design (CRD), which consists of three treatments, eggs without storage as control (R0), storage of 7 days (R7), and storage of 14 days (R14) that each treatment was using 5 replicates and each repetition uses 5 eggs. Variables observed that external quality include the egg weight and egg shape index, and internal quality include the thick cover of egg shell, egg shell weight, yolk color, haugh units (HU), and the pH of the egg. The results showed that egg weight, egg shape index, egg shell

thickness, egg shell weight, yolk color, and pH eggs showed no significant results (P> 0.05) and the results of haugh unit (HU) eggs show results were significantly different (P <0.05). Based on the results of this study concluded that the storage of the duck eggs for 7 days and 14 days in the highlands area Bedugul not losing of eggs weight, the index of egg shape, thick egg shell, the weight of eggs shell, color egg yolk and pH, but storage duck eggs for 14 days was losing the value of haugh units (HU), but it is still good for consumption by grade AA eggs.
Keywords: duck eggs, long storage time, internal and external quality
PENDAHULUAN
Sumber daya manusia yang berkualitas dapat dicapai apabila asupan makanan yang dikonsumsi cukup dan bergizi. Menurut Sarwono (1995) telur sangat penting sebagai bahan makanan karena banyaknya mengandung zat pembangun (protein) yang terdapat di dalamnya dan telur juga merupakan bahan makanan yang paling mudah dicerna. Menurut Mulyadi (2007), telur merupakan bahan pangan hasil ternak yang memiliki nilai gizi yang cukup lengkap. Kandungan gizi yang cukup lengkap menjadikan telur banyak dikonsumsi dan diolah menjadi produk olahan lain. Telur yang biasa dimanfaatkan adalah telur ayam dan telur itik.
Telur itik adalah salah satu pilihan sumber protein hewani yang memiliki rasa yang lezat, mudah dicerna, bergizi tinggi, dan harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Telur itik memiliki kualitas lebih baik bila dibandingkan dengan telur ayam karena mengandung protein, kalori dan lemak lebih tinggi (Sultoni, 2004). Di Bali telur itik dimanfaatkan untuk upacara agama hindu yaitu sebagai sarana upakara (daksina). Di Bali telur itik perlu disimpan sebelum digunakan saat upacara agama sampai setelah upacara agama, sehingga telur itik dapat tersimpan sampai 1 bulan, namun ada juga yang mengganti daksina selama 15 hari (jarak antara tilem dan purnama).
Namun, telur tergolong komoditas yang mudah mengalami penurunan kualitas sehingga tidak tahan simpan dan pada umumnya telur akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari 14 hari di ruang terbuka (Hardini, 2000). Faktor lama penyimpanan telur merupakan masalah yang berkaitan erat dengan aspek distribusi mulai dari tingkat peternak sampai telur dikonsumsi konsumen. Untuk mendapatkan jumlah telur konsumsi sesuai dengan jumlah kebutuhan, peternak itik umumnya menyimpan hasil produksi telur dalam jumlah besar selama 2-3 hari di ruang terbuka sebelum dipasarkan pada distributor dan konsumen. Telur ditingkat distributor umumnya tersimpan selama 3-5 hari pada suhu ruang, sehingga tidak sedikit ditemukan telur yang telah mengalami perubahan kondisi isi telur berupa menurunnya putih telur dan kekentalan kuning, meningkatkan pH dan membesarnya rongga udara pada telur. Hal ini terjadi karena banyak penguapan cairan dan gas dari dalam telur
sehingga menyebabkan banyak kualitas eksternal dan internal telur yang telah menurun ketika akan dikonsumsi oleh masyarakat. Semakin lama waktu penyimpanan akan semakin besar terjadinya penguapan cairan dan gas dalam telur sehingga akan menyebabkan rongga udara makin besar yang menyebabkan putih telur kental menjadi encer (Sudaryani, 2003). Selain lama penyimpanan, intensitas warna kerabang menjadi faktor pembatas di tingkat konsumen. Umumnya konsumen lebih suka memilih warna kerabang yang terang hanya karena faktor kebiasaan.
Kualitas telur adalah istilah umum mengacu pada beberapa standar yang menentukan baik dalam kualitas internal maupun eksternal. Kualitas eksternal difokuskan pada kebersihan kerabang, bentuk warna kerabang dan tekstur permukaan. Kualitas internal mengacu pada kondisi putih telur dan kondisi kuning telur. Penurunan kualitas internal dapat dilihat pada saat pemecahan telur untuk memeriksa kondisi kuning telur, kekentalan putih telur, warna kuning telur, posisi kuning telur dan ada tidak ada noda-noda bintik darah.
Minimnya pengetahuan tentang lama simpan telur pada suhu ruang menyebabkan masyarakat cenderung belum memperhatikan jangka waktu lama penyimpanan telur yang baik. Hal ini diduga karena masyarakat belum mengetahui perubahan-perubahan akibat penyimpanan telur seperti penurunan kualitas telur selama penyimpanan serta lama simpan telur terbaik pada suhu ruang.
Daerah Bedugul merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki suhu mencapai 18-210C dan kelembaban 70-88 %. Pada suhu yang dingin telur biasanya lebih awet dan kerusakan pada telur lebih kecil, Bedugul adalah sebuah daerah pegunungan yang mempunyai udara yang sejuk dengan pemandangan yang indah terletak di kabupaten Tabanan, Bali. Bedugul terletak di ketinggian ± 1240 mdpl. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kualitas telur itik jika tempat penyimpanannya dilakukan di tempat yang memiliki temperatur rendah dan kelembaban yang tinggi dengan rata-rata suhu 180C yaitu di dataran tinggi di daerah Bedugul dengan lama penyimpanan yang dilakukan adalah 0-14 hari terhadap penurunan kualitas telur.
MATERI DAN METODE
Tempat dan lama penelitian
Penelitian penyimpanan telur itik ini dilakukan di dataran tinggi yaitu Bedugul, Kabupaten Tabanan dengan ketinggian kurang lebih 1240 mdpl dengan temperatur kurang lebih 180 C pada malam hari dan pada siang hari kurang lebih 240 C dan pengujian dilakukan
di Laboratorium Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal pada 10 Maret- 31 Maret 2019.
Telur itik
Materi penelitian ini menggunakan telur itik yang didapatkan di pengepul telur yang ada di Kediri Tabanan, Bali dengan berat 65-70kg.
Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan saat penelitian adalah tray telur, timbangan elektrik, jangka sorong, thermometer dan hygrometer, mikrometer, mesin egg multitester EMT 7300 dan egg yolk colour fan, pH meter, gelas plastik, tissu, nampan, plastik dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah telur itik yang didapat di pengepul yang ada di Kediri Tabanan, Bali. Penyimpanan
Telur disimpan di tray pada suhu ruang di dataran tinggi Bedugul, Kabupaten Tabanan, kemudian diambil sesuai dengan waktu penyimpanan yang sudah ditentukan untuk diuji kualitas telurnya menggunakan alat yang sudah disediakan di Laboratorium Ternak Unggas Fakultas Peternakan universitas Udayana Denpasar.
Pengambilan data
Pengambilan data dilakukan dengan cara pengujian sebagai berikut : a) Telur diambil dari lokasi penyimpanan di daerah Bedugul kemudian dibawa ke Laboratorium Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Udayana, b) Telur yang akan diuji diukur lebar dan panjangnya untuk mencari indeks telur, c) Sebelum diuji masing-masih telur ditimbang berat telurnya, d) Uji kualitas telur menggunakan mesin egg multitester EMT 7300, alat ini dapat menguji kualitas telur (warna kuning telur, tinggi kuning telur, tinggi putih telur, haugh unit, grade, e) Setelah nilai pengujian maka telur itik dituangkan ke dalam gelas plastik, diaduk agar homogen setelah itu dicari pHnya dengan menggunakan pH meter.
Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan dan setiap ulangan menggunakan 5 butir telur itik sehingga telur itik yang digunakan adalah 75 butir. Perlakuan yang diberikan adalah sebagai berikut: Perlakuan R0 (kontrol) telur 0 hari yang belum disimpan di dataran tinggi Bedugul, perlakuan R1 telur yang disimpan selama 7 hari di dataran tinggi Bedugul, perlakuan R2 telur yang disimpan selama 14 hari di dataran tinggi Bedugul.
Variabel yang diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
-
A. Kualitas eksternal
-
a. Berat telur
Telur itik sebelum diuji kualitasnya ditimbang terlebih dahulu menggunakan timbangan elektrik untuk mencari beratnya yang dinyatakan dalam gram.
Lebar Telur
-
b. Indeks telur dapat diperoleh dari =PanjangTeIu/ IOO
Lebar telur diukur pada bagian yang paling lebar dengan menggunakan jangka sorong dan panjang telur diukur panjangnya dari ujung runcing sampai ujung tumpul menggunakan jangka sorong.
-
B. Kualitas Internal
-
a. Tebal kerabang telur
Ketebalan kerabang telur diukur dengan menggunakan micrometer yang memiliki ketelitian 0,001 mm. Pengukuran tebal kulit telur dilakukan dengan cara pemecahan telur terlebih dahulu dan membersihkan bagian dalam kulit telur dan selanjutnya ambil bagian kerabang telur lalu diukur.
-
b. Berat kerabang telur
Telur yang sudah dipecah kemudian kerabang ditimbang dengan timbangan elektrik.
-
c. Warna kuning telur
Warna kuning telur didapatkan dengan menggunakan mesin Egg Multitaster EMT 7300. Kalau secara manual diukur menggunakan Egg Yolk Colour Fan.
-
d. Haugh Unit (HU)
Haugh Unit didapatkan setelah telur ditimbang terlebih dahulu. Setelah itu dipecah dan diletakkan pada alat yang sudah tersedia di Egg Multitaster EMT 7300 dengan hati-hati. Ketinggian putih telur (mm) diukur dengan micrometer. Bagian putih telur yang diukur dipilih antara pinggir kuning telur dan pinggir putih telur (Surdaryani, 2003). Kemudian dihitung Haugh Unitnya dengan rumus:
HU= 100log (H+7,57-1,70,37)
Keterangan:
HU= Haugh Unit
H= tinggi putih telur
W= berat telur
Menurut Sudaryani (2003), semakin tinggi HU menunjukkan semakin baik kualitas telur: Tingkat AA memiliki skor > 72 HU, tingkat A memili skor – 72 HU, tingkat B memili skor < 60 HU.
-
e. pH
pH di dapat setelah telur itik dipecah dan diaduk sampai homogen dengan pH meter.
Analisis data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan dianalisis dengan sidik ragam (Anova). Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan di dataran tinggi Bedugul, berat telur, indeks bentuk telur, tebal kerabang telur, berat kerabang telur, warna kerabang telur, haugh unit (HU) telur, dan pH telur dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas eksternal dan interna; telur itik yang di simpan selama 0-14 hari di dataran
tingg Bedugul
Variabel |
Perlakuan (1) |
SEM (3) | ||
R0 |
R7 |
R14 | ||
Kualitas Eksternal: | ||||
Berat telur |
66.49a(2) |
66.46a |
66.44a |
0.047 |
Indeks bentuk telur |
75.24a |
74.31a |
76.07a |
0.584 |
Kualitas Internal: | ||||
Tebal kerabang telur |
0.43a |
0.422a |
0.41a |
0.006 |
Berat kerabang telur |
8.66a |
8.41a |
8.53a |
0.13 |
Warna kuning telur |
12.26a |
12.16a |
11.96a |
0.083 |
Haught Unit (HU) telur |
82.87a |
79.02ab |
73.87b |
0.73 |
pH telur |
7.65a |
7.85a |
7.97a |
0.088 |
Keterangan:
1) Telur tanpa penyimpanan sebagai kontrol (R0), penyimpanan telur 7 hari (R7), penyimpanan telur 14 hari (R14)
2) Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05), dan nilai berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
3) SEM = Standard Error of The Treatment Mean
Berdasarkan Hasil penelitian menunjukkan pengaruh lama penyimpanan telur itik terhadap berat telur tanpa penyimpanan (R0), penyimpanan 7 hari (R7), penyimpanan 14 hari (R14) di dataran tinggi Bedugul secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ruang tempat penyimpanan telur itik suhunya stabil
dengan rata-rata 180C pada malam hari dan 210C pada siang hari, sehingga penyimpanan 7 hari dan 14 hari telur itik di dataran tinggi Bedugul tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan berat telur.
Kehilangan berat sebagian besar disebabkan oleh penguapan air terutama pada bagian albumen, dan sebagian kecil penguapan gas-gas seperti CO2, NH2, N2, dan sedikit H2S akibat degradasi komponen protein telur (Kurtini et al., 2011). Semakin lama waktu penyimpanan semakin besar penurunan berat telur. Penurunan berat telur yang terjadi selama penyimpanan disebabkan oleh penguapan air dan pelepasan gas CO2 dari dalam isi telur melalui pori-pori kerabang. Penguapan dan pelepadan gas ini terjadi secara terus menerus selama penyimpanan sehingga makin lama telur disimpan berat telur akan semakin berkurang. Menurut Sudaryani (2003), penguapan air dan pelepasan gas seperti CO2, NH3, dan sedikit H2S sebagai hasil degradasi bahan-bahan organik telur terjadi sejak telur keluar dari tubuh ayam melalui pori-pori kerabang telur dan berlangsung secara terus menerus sehingga menyebabkan penurunan kualitas putih telur, terbentuknya rongga udara, dan penurunan berat telur.
Menurut Yuwanta (2010) telur yang disimpan pada suhu 250C dengan kelembaban relatif 70% akan menyebabkan telur kehilangan berat 0.8 g/minggu/butir, dan pada suhu 300C telur akan kehilangan berat sebesar 2 g/minggu/butir. Menurut Sumarni dan Djuarnani (1995), klasifikasi berat telur yang berukuran besar adalah 64-70 gram/butir. Berat telur itik yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai rataan 66,46 gram, maka telur dapat digolongkan sebagai telur yang berukuran besar.
Berdasarkan dari hasil penelitian rataan nilai perlakuan penyimpanan 14 hari menunjukkan angka tertinggi (76,07), sedangkan nilai rataan tanpa penyimpanan dan penyimpanan 7 hari menunjukkan angka 75,24 dan 74,31 lebih rendah namun secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karna telur itik yang digunakan untuk penelitian berasal dari induk yang sama, tempat, jenis, umur, pakan, dan manejemen pemeliharaan yang sama sehingga menghasilkan indeks bentuk telur yang sama. Bentuk telur unggas bermacam-macam, umumnya berbentuk hampir bulat sampai lonjong. Perbedaan bentuk ini terjadi karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain sifat genetik, umur unggas saat bertelur, serta sifat-sifat fisiologis yang terdapat dalam tubuh induk. Biasanya bentuk telur dinyatakan dalam indeks perbandingan antara lebar dan panjang dikalikan 100. Telur dari unggas yang berbeda menghasilkan ukuran yang berbeda pula. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain jenis unggas, umur, perubahan musim sewaktu unggas bertelur, sifat keturunan, umur pembuahan, berat tubuh induk dan pakan yang diberikan
Berdasarkan hasil penelitian tebal kerabang telur secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). Hasil penelitian yang didapat dari tebal kerabang telur yaitu, tanpa penyimpanan (kontrol), penyimpanan 7 hari (R7), penyimpanan 14 hari (R14) yaitu 0,43; 0,42; 0,41 mm. Hal ini disebabkan karena tebal kerabang telur berkolerasi dengan berat kerabang telur. Semakin besar berat kerabang telur, maka telur akan mempunyai kerabang yang lebih tebal dan terjadinya penguapan H2O yang rendah selama penyimpanan sehingga ketebalan kerabang telur menurun.
Kualitas kerabang telur dipengaruhi oleh kecukupan gizi ternak, kesehatan ternak, manajemen pemeliharaan, serta kondisi lingkungan peternakan. Kerabang telur mengandung sekitar 95% kalsium dalam bentuk kalsium karbonat dan sisanya seperti magnesium, fosfor, natrium, kalium, seng, besi, mangan, dan tembaga (Gary et al., 2009). Hasil penelitian yang diperoleh berada diantara hasil penelitian (Stadelman dan Cotteril, 1995) yaitu 0,33mm. Secara umum kebutuhan kalsium untuk pembentukan kerabang telur sudah terpenuhi. Peningkatan kualitas kerabang telur dapat dicapai dengan menstablikan aliran kalsium ke pembuluh darah, hal ini dikarenakan sumber utama CaCO2 berasal dari ion bikarbonat dalam darah. Ion bikarbonat terbentuk dari reaksi antara CO2 dan H2O dalam darah dengan batuan enzim karbonik anhydrase (Blakely dan Bade, 1998).
Hargitai et al., (2011) menyatakan tebal tipisnya kerabang telur dipengaruhi oleh strain ayam, umur induk, pakan, stres dan penyakit pada induk. Salah satu yang mempengaruhi kualitas kerabang telur adalah umur ayam, semakin meningkat umur ayam kualitas kerabang semakin menurun, kerabang telur semakin tipis, warna kerabang semakin memudar, dan berat telur semakin besar (Yuwanta, 2010). Kerabang telur pada bagian tumpul memiliki jumlah pori-pori per satuan luas lebih banyak dibandingkan dengan pori-pori bagian yang lain (Kurtini et al., 2011).
Hasil penelitian berat kerabang telur secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). Berdasarkan hasil penelitain di dataran tinggi Bedugul diperoleh nilai rataan berat kerabang telur yaitu, tanpa penyimpanan (kontrol), penyimpanan 7 hari (R7), penyimpanan 14 hari (R14) adalah 8,66; 8,41; 8,53gram. Hal ini disebabkan karna pori-pori kerabang telur sudah mulai melebar dan banyak, sehingga luas permukaan telur akan semakin kecil yang dapat menyebabkan penurunan berat kerabang telur secara nyata. Semakin luas pori-pori dan luas permukaan yang semakin kecil pada kerabang telur, maka dapat mengurangi berat kerabang telur sehingga dapat menyebabkan penguapan CO2 dan H2O melalui pori-pori selama penyimpanan, berakibat penurunan kualitas internal telur semakin cepat (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Kerabang telur merupakan bagian terluar yang membungkus isi telur dan berfungsi mengurangi kerusakan fisik maupun biologis, serta dilengkapi dengan pori-pori kerabang yang berguna untuk pertukaran gas dari dalam dan luar kerabang telur (Sumarni dan Djuarnani, 1995). Komposisi kerabang telur terdiri atas 98,2% kalsium, 0,9% magnesium dan 0,9% fosfor (Stadelman dan Cotteril, 1995).
Pada bagian kerabang telur ditemukan dua selaput (membran), yaitu membran kerabang telur (outer shell membrane) dan membran albumen (inner shell membrane) yang berfungsi melindungi isi telur dari infiltrasi bakteri dari luar (Kurtini et al., 2011). Berat kerabang dipengaruhi oleh kandungan nutrien ransum, kesehatan, manajemen pemeliharaan dan kondisi lingkungan. Cangkang telur mengandung sekitar 95% kalsium dalam bentuk kalsium karbonat dan sisanya magnesium, fosfor, natrium, kalium, seng, besi, mangan, dan tembaga (Gary et al., 2009).
Berdasarkan Hasil penelitian menunjukkan pengaruh lama penyimpanan telur itik terhadap warna kuning telur tanpa penyimpanan (R0), penyimpanan 7 hari (R7), penyimpanan 14 hari (R14) di dataran tinggi Bedugul secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karena pakan yang diberikan sama dan lama penyimpanan semakin lama penyimpanan maka akan berpengaruh terhadap kualitas warna kuning telur. Peningkatan nilai warna kuning telur selama penyimpanan disebabkan oleh kemampuan metabolisme yang ada di dalam kuning telur mempengaruhi nilai kuning telur. Selama proses penyimpanan telur mengalami pengenceran dari putih telur ke kuning telur yang mengakibatkan perenggangan membran veteline, sehingga volume kuning telur menjadi lebih besar yang mengakibatkan warna kuning telur menjadi pucat (Yamamoto et al., 2007).
Warna kuning telur secara linier dipengaruhi oleh tingkat pigmen karotenoid dalam ransum. Menurut Balnave dan Bird (1996), karakteristik warna kuning telur merupakan akumulasi dari pigmen karotenoid. Semakin banyak karotenoid yang dideposit pada kuning telur menyebabkan warna kuning telur semakin kuning. Sebagaimana pendapat Saha (1999), derajat pewarnaan pada kuning telur disebabkan oleh peningkatan persentase pemberian karetenoid.
Warna kuning telur juga dipengaruhi oleh xantophill dalam ransum yang dikonsumsi itik saat dipelihara, sebagai mana dikatakan oleh Sudaryani (2003), warna kuning telur yang baik berkisar 9-12. Argo dan Mangisah (2013) bahwa warna kuning telur salah satunya dipengaruhi oleh kandungan xanthopyl, betacaroten, klorofil dan cytosan dari ransum. Adanya perbedaan warna kuning telur ini diduga disebabkan oleh perbedaan kemampuan metabolisme dalam mencerna ransum dan perbedaan dalam menyerap pigmen xantophyl
dalam ransum. Selain itu, telur mengalami perembesan air dari putih telur ke kuning telur yang mengakibatkan perenggangan membran vitelin, sehingga volume kuning telur menjadi lebih besar yang mengakibatkan warna kuning telur menjadi pucat. Warna kuning telur diakibatkan oleh kemampuan setiap unggas dalam mendeposisikan xanthophill kedalam kuning telur (Solomon, 1997).
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh lama penyimpanan telur itik terhadap Haugh Unit (HU) telur tanpa penyimpanan (R0) memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan penyimpanan 7 hari (R7) dan penyimpanan 14 hari (R14) di dataran tinggi Bedugul. Secara statistik menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05). Hal ini disebabkan karna semakin lama penyimpanan nilai haugh unit akan semakin menurun ini terjadi akibat adanya penguapan gas CO2 yang menyebabkan putih telur kental menjadi encer. Hal ini dikarenakan semakin lama waktu penyimpanan maka nilai Haugh Unit (HU) juga semakin menurun, sehingga pada penyimpanan 14 hari (R14) telur itik memiliki nilai Haugh Unit paling rendah bila dibandingkan dengan tanpa penyimpanan (kontrol) dan penyimpanan 7 hari. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), tinggi putih telur semakin lama disimpan akan semakin turun, demikian juga dengan bobot telur, semakin lama disimpan bobotnya akan semakin menurun.
Hasil penelitian nilai HU telur itik selama penyimpanan 0 hari sebesar 82,87, penyimpanan selama 7 hari sebesar 79,02, penyimpanan selama 14 hari sebesar 73,87. Dari hasil penelitian dijelaskan bahwa telur itik yang tanpa penyimpanan di dataran tinggi Bedugul R0 (kontrol) masih dalam kualitas AA, dan telur dengan lama penyimpanan sampai 14 hari termasuk dalam kualitas AA. Derajat kesegaran telur dibedakan menjadi tingkat AA memiliki skor >72 HU, tingkat A memiliki skor 62-72 HU, tingkat B memiliki skor < 60 HU (Haugh, 2004). Normalnya, telur yang masih baru, pori-porinya masih dilapisi oleh lapisan tipis kutikula yang terdiri dari 90% protein dan sedikit lemak. Fungsi kutikula untuk mencengah penetrasi mikroba melalui kerabang telur dan mengurangi penguapan air yang terlalu cepat (Sirait, 1986). Semakin lamanya waktu penyimpanan, semakin tingginya penguapan CO2 dan H2O sehingga putih telur semakin menurun kekentalannya. Pengenceran putih telur terjadi karena perubahan struktur gelnya, akibat kerusakan fisik - kimia serabut ovomucin yang menyebabkan keluarnya air dari jala-jala yang telah dibentuknya. Telah diketahui bahwa ovomucin adalah glikoprotein berbentuk serabut dan dapat mengikat air membentuk struktur gel (Sirait, 1986).
Berdasarkan Hasil penelitian menunjukkan pengaruh lama penyimpanan telur itik terhadap pH telur pada penyimpanan kontrol (R0), penyimpanan 7 hari (R7), penyimpanan 14 hari (R14) di dataran tinggi bedugul secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata
(P>0,05). Hasil penelitian yang didapat dari pH telur yaitu, tanpa penyimpanan (kontrol), penyimpanan 7 hari (R7), penyimpanan 14 hari (R14) yang yaitu 7,65; 7,85; 7,97 gram. Hal ini disebabkan karena lama penyimpanan semakin lama waktu penyimpanan 14 hari pada suhu kamar tidak memberikan peluang terhadap mikroba untuk merombak protein maupun lemak pada telur itik. Berbeda dengan kelembaban, semakin tinggi suhu maka CO2 yang hilang lebih banyak, sehingga menyebabkan pH albumen meningkat dan kondisi kental albumen menurun (Indratiningsih, 1984). Penyimpanan dapat meningkatkan nilai pH telur. Meningkatnya nilai pH telur terjadi karena penguraian senyawa NaHCO2 menjadi NaOH dan CO2. NaOH yang dibentuk akan diurai menjadi Na+ dan OH sedangkan CO2 yang dibentuk akan menguap, sehingga meningkatkan pH albumen. Peningkatan pH tersebut akan membentuk ikatan kompleks ovomucin-lysozyme yang menyebabkan kondisi albumen menjadi encer (Budiman dan Rukmiasih, 2007). Suhu pada penyimpanan telur dapat mempengaruhi pH. Menurut Agustina, et al., (2013), suhu dapat mempengaruhi pH putih dan kuning telur. Semakin tinggi suhu maka CO2 yang hilang lebih banyak sehingga menyebabkan pH putih dan kuning telur meningkat.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyimpanan telur itik selama 7 hari dan 14 hari di dataran tinggi Bedugul tidak menurunkan berat telur, indeks bentuk telur, tebal kerabang telur, berat kerabang telur, warna kuning telur dan pH telur, akan tetapi penyimpanan telur itik selama 14 hari menurunkan nilai Haugh Unit (HU), namun masih layak untuk dikonsumsi dengan grade telur AA dan kualitas telur masih tetap baik.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K), Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir Ida Bagus Gaga Partama, MS dan seluruh responden yang telah bekerja sama dengan baik dalam pengumpulan data selama peneitian ini. Terimakasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang membantu menyelesaikan penlitian ini.
DAFTAR PUASTAKA
Agustina, N, Imam, T Dan Djalal, R. 2013. Evaluasi sifat putih telur ayam pasteurisasi ditinjau dari pH, kadar air, sifat emulasi, dan daya kembang angel cake. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 23 (2): 6-13.
Argo. L. B. dan Mangisah. 2013. Kualitas Fisik Telur Ayam Arab Petelur Fase I Dengan
Berbagai Level Azolla Microphylla. Animal Agricultural Journal. Vol. 2 No 1: 445-457
Balnave, D. and J. N. Bird. 1996. Relative efficiencies of yellow carotenoids of egg yolk pigmentation. Asian Australian Journalis of Animal Science. Australia.
Blakely, J., dan Bade, D. H. 1998. Ilmu Peternakan Edisi ke Empat. Penerjemah: Srigandono, B. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal: 351-352.
Budiman dan Rukmiasih. 2007. Karakteristik Putih Telur Itik Tegal. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gary D, Butcher DVM, dan Richard Miles. 2009. Ilmu Unggas, Jasa Ekstensi Koperasi, Lembaga Ilmu Pangan dan Pertanian Universitas Florida. Gainesville.
Hardini, S. Y. P. K. 2000. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Telur Konsumsi dan Telur Biologis terhadap Kualitas Interior Telur Ayam Kampung. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Terbuka. Jakarta.
Hargitai, R., R. Mateo, J. Torok. 2011. Shell thickness and pore density in relation to shell colouration female characterstic, and enviroental factors in the collared flyctcher Ficedula (albicollis. J. Ornithol. 152: 579W588.
Haugh, R. R. 2004. The Haugh Unit for Measuring Egg Quality. U.S Egg Poultry Magazine. No.43, Pages 552-555 and 557-573. (1973).
Indratiningsih. 1984. Pengaruh Flesh Head pada Telur Ayam Konsumsi selama Penyimpanan. Laporan Penelitian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Kurtini, T., K. Nova, dan D. Septinova. 2011. Produksi Ternak Unggas. Universitas.
Mulyadi, D. 2007. Hubungan Antara Tinggi Putih Telur Dengan Daya Dan Kestabilan Buih Telur Itik Lokal Pada Kualitas Yang Sama. Skripsi. PS. Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Willey and Sons. Inc. New York.
Saha, P. K., S. D. Chowdhury, S. C. Das., and S. K. Saha. 1999. Replacement value of two bangladeshi varieties of yellow corn for wheat in diet of laying chicken. Asian Australian Journal of Animal Science. Australia.
Sarwono, B. 1997. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Solomon, E.S. 1997. Egg and Eggshell Quality. Iowa state University. The United State of America.
Stadelman, W. J. and O. J. Cotteril. 1995. Egg Science and Technology. 4th Edition. Food Products Press. An Imprint of the Haworth Press, Inc. New York.
Sudaryani. 2003. Kualitas Telur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sultoni, A. 2004. Pengaruh konsentrasi larutan asam asetat dan lama perendaman terhadap beberapa karakteristik telur asin dari telur itik Jawa Anas javanicus). [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
Sumarni dan N. Djuarnani. 1995. Diktat Penanganan Pascapanen Unggas. Departemen Pertanian. Balai Latihan Pertanian. Ciawi. Bogor.
Yuwanta. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Yamamoto, T., L.R. Juneja, H. Hatta, and M. Kim. 2007. Hen Eggs: Basic and Applied Science. University of Alberta, Canada.
Rika, R.,. et al, Peternakan Tropika Vol. 7 No. 1 Th. 2019: 851 - 863
Page 863
Discussion and feedback