e--journal FAPET UNUD


e-Journal

Universitas Udayana


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: [email protected]

email: [email protected]

Submitted Date: Juny 7 2018 Editor-Reviewer Article;: I M. Mudita

Accepted Date: Juny 25, 2018


PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN KELOR(Moringa oleifera) MELALUI AIR MINUM TERHADAP PRODUKSI TELUR AYAM

LOHMANN BROWN UMUR 22-30 MINGGU

Luki Ananta, I M. D., I M. Suasta, A. A. P. P. Wibawa

PS. Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Jln. P. B. Sudirman, Denpasar Telepon:+628123810178, Email: [email protected]om

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) melalui air minum terhadap produksi telur ayam Lohmann Brown umur 22-30 minggu. Penelitian ini telah dilakukan di Desa Dajan Peken, Tabanan selama tiga bulan, berlangsung pada bulan Januari hingga Maret 2018. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan enam ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) melalui air minum sebanyak 0% sebagai kontrol (K0), 3% (K1), dan 6% (K2). Ayam Lohmann Brown yang digunakan sebanyak 36 ekor dengan kondisi homogen. Variabel yang diamati yaitu konsumsi ransum dan air minum, Feed Convertion Ratio (FCR), jumlah telur, hen day production (HDP), berat telur total, dan rata-rata berat telur.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) melalui air minum sebanyak 3% dan 6% secara statistik nyata (P<0,05) meningkatkan konsumsi ransum, konsumsi air minum, jumlah telur, hen day production (HDP), berat telur total dan berat telur rata-rata dan secara statistik nyata (P<0,05) menurunkan Feed Convertion Ratio (FCR) ayam Lohmann Brown umur 22-30 minggu dibandingkan kontrol (K0).Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) sebanyak 3% dan 6% melalui air minum dapat meningkatkan produksi telur ayam Lohmann Brown umur 22-30 minggu.

Kata Kunci : Ayam Lohman Brown, Daun kelor (Moringa oleifera), Produksi telur

THE EFFECT OF MORINGA (Moringa oleifera) LEAF EXTRACT GIVEN INTO DRINKING WATER ON EGG PRODUCTION OF LOHMANN BROWN CHICKEN AGED 22-30 WEEKS

ABSTRACT

This research was conducted to determine the effect of moringa (Moringa oleifera) leaves extract given into drinking water to egg production of Lohmann Brown chicken aged 22-30 weeks. The research was conducted in Dajan Peken Village, Tabanan for three months, has begun in January to March. The design used was Completely Randomized Design (CRD) with three treatments and six replications. The treatments are 0% of Moringa (Moringa oleifera) leaves extract given into drinking water as control (K0), 3% (K1), and 6% (K2). The research used 36 Lohmann Brown chicken with homogeneous conditioned. Variables obserbed were feed consumption, water consumption, feed coversion ratio (FCR), hen day production (HDP), egg


production, total egg weight, and average egg weight. The results showed that the addition Moringa (Moringa oleifera) leaves extract into drinking water at level 3% and 6% was significant (P<0,05) increase feed and drinking water consumption, egg total, hen day production (HDP), total egg weight and average egg weight but lowering feed conversion ratio (FCR) of Lohmann Brown chicken aged 22-30 weeks. The conclusion of this research is giving moringa (Moringa oleifera) leaves extract at level 3% and 6% into drinking water can increase egg productions of Lohmann Brown chicken aged 22-30 weeks.

Keywords : Lohman Brown chicken, Moringa (Moringa oleifera) leaves, Egg productions

PENDAHULUAN

Upaya meningkatkan sumber daya manusia (SDM) di era globalisasi tidak lepas dari peningkatan gizi masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan gizi masyrakat adalah dengan meningkatkan produksi sumber protein hewani seperti daging dan telur. Telur merupakan salah satu produk peternakan yang memberikan kontribusi terbesar bagi tercapainya kecukupan gizi masyarakat. Sudaryani (2003) menyatakan bahwa satu butir telur mengandung gizi yang cukup sempurna karena di dalam telur mengandung zat gizi yang baik dan mudah dicerna.

Antibiotik sintetik merupakan salah satu jenis feed additive yang digunakan dalam campuran pakan atau air minum yang penggunaannya bertujuan untuk mencegah penyakit sehingga produksi ternak meningkat khususnya produksi telur. Peternak di masyarakat menggunakan antibiotik sintetik karena praktis digunakan dan menunjukkan hasil yang instan. Iyo (2015) menyatakan bahwa peternak cenderung mengutamakan keselamatan ayam dari serangan penyakit dibandingkan pertimbangan residu antibiotik pada ayam petelur. Penggunaan antibiotik sintetik pada ayam dapat menyebabkan resistensi bakteri-bakteri berbahaya yang terdapat dalam tubuh ayam dan residu bahan kimia berbahaya dari produk yang dihasilkan (Dewi, 2014).

Konsumsi pangan asal hewan seperti daging dan telur ayam yang mengandung residu antibiotik sintetik akan menimbulkan gangguan kesehatan. Bahaya residu antibiotik dapat berupa bahaya langsung dalam jangka pendek seperti alergi, gangguan pencernaan, gangguan kulit, anafilaksis dan hipersensitifitas, serta bahaya tidak langsung yang bersifat jangka panjang seperti resistensi mikrobiologi, karsinogenik, mutagenik, teratogenik dan gangguan reproduksi (Ruegg, 2013; Seri, 2013; Singh et al., 2014) dalam Nina et al. (2015). Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan upaya alternatif yang dapat meningkatkan produksi telur, namun bebas dari

antibiotiksintetik, bebas mikroba merugikan, dan bebas dari zat-zat kimia berbahaya lainnya sehingga upaya meningkatkan gizi masyarakat dapat terpenuhi.

Tanaman obat merupakan tanaman yang memilikipotensi untuk dikembangkan karena banyak jenisnya dan belum banyak dimanfaatkan untuk konsumsi ternak. Menurut Soekarman dan Ridwan (1992), studi tentang pemanfaatan khasiat tanaman untuk meningkatkan kualitas produksi ternak sangat penting artinya, karena akan menambah keanekaragaman sumberdaya nabati dan merupakan dasar botani ekonomi maupun botani terapan lainnya. Penggunaan tanaman obat untuk konsumsi ternak merupakan upaya alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti antibiotik sintetik. Salah satu tanaman obat yang dirasa dapat digunakan sebagai alternatif pengganti antibiotik sintetik adalah daun kelor (Moringa oleifera).

Kelor (Moringa oleifera) merupakan salah satu tanaman obat yang mempunyai zat gizi tinggi, sebagai antibakteri, dan mengandung beta karoten sebagai zat aktif warna telur.Bukar et al. (2010) menyatakan bahwasenyawa fitokimia yang terkandung di dalam daun kelor (Moringa oleifera) terdiri dari flavonoid, saponin, tanin, dan beberapa senyawa fenolik lainnya yang memiliki aktivitas antimikroba. Simbolan et al. (2007) menyatakan bahwa pada daun kelor (Moringa oleifera), mengandung berbagai asam amino, antara lain asam aspartat, asam glutamat, alanin, valin, leusin, isoleusin, histidin, lisin, arginin, venilalanin, triftopan, sistein dan metionin. Fuglie (2001) menyatakan bahwa daun kelor (Moringa oleifera) mengandung zat besi, kalsium, potasium, fosfor, zinc, provitamin A dalam bentuk beta karoten, vitamin B dan vitamin C. Daun kelor (Moringa oleifera) di Indonesia ketersediaannya cukup melimpah, mudah didapat sehingga menjadi pertimbangan dalam memanfaatkan daun kelor (Moringa oleifera)sebagai nutrisi yang baik untuk dijadikan bahan konsumsi ternak yang relatif murah dan terjangkau terutama untuk konsumsiternak.

Siti et al. (2017) menyatakan bahwa penambahan ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) pada level 2, 4, dan 6% dari 100 cc air minum dapat meningkatkan berat telur, jumlah produksi telur, efisiensi pakan, dan warna kuning telur tetapi dapat menurunkan lemak dan kolestrol kuning telur pada ayam petelur Lohmann Brown umur30-40 minggu.Kurniawan et al.(2017) menyatakan bahwa pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus) dan ekstrak daun kelor (Moringa aloifera) sebanyak 5% melalui air minum dapat meningkatkan berat potong dan berat karkas ayam pedaging.Bedasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian tentang pemberian

ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) melalui air minum terhadap produksi telur ayam LohmannBrown umur 22-30 minggu.

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan di Desa Dajan Peken, Tabanan, selama 3 bulanberlangsung pada bulan Januari hingga Maret 2018.

Kandang dan Ayam

Kandang yang digunkan pada penelitian adalah kandang batteryberukuran panjang, lebar, dan tinggi masing-masing yaitu 40 cm. Ayam yang digunakan dalam penelitian ini adalah Materi yang digunakan yaitu Ayam Lohmann Browndengan kondisi homogen (bobot badan 1781,5 ± 89,08 g) umur 22-30 minggu sebanyak 36 ekor yang diperoleh dari peternakan daerah Tabanan.

Daun kelor (Moringa oleifera)

Daun kelor (Moringa oleifera) yang gunakan adalah daun kelor (Moringa oleifera) yang tua (hijau tua hingga agak kekuningan). Daun kelor (Moringa oleifera) tersebut dibuat ekstrak dan diberikan dengan persentase 3% dan 6% dalam 1000 cc air minum.

Peralatan penelitian

Alat-alat yang digunakan selama penelitian ini yaitu tempat pakan dan tempat air minum yang dibuat dari pipa paralon; ember untuk menampung pakan yang diberikan selama satu minggu, baskom untuk menampung ekstrak daun kelor (Moringa oleifera); tray telur untuk menampung telur; label untuk menandai perlakuan yang diberikan pada tempat pakan dan minum ayam; timbangan digital untuk menimbang berat telur, berat pakan dan sisa pakan; alas plastik untuk menampung kotoran ayam yang dipasang di bawah kandang; dan alat tulis untuk mencatat hasil yang diperoleh selama penelitian.

Air Minum dan Ransum

Air minum yang diberikan pada penelitian ini diperoleh dari perusahaan air minum (PAM) daerah Tabanan. Sedangkan ransum yang diberikan pada penelitian disusun dengan menggunakan bahan yaitu konsentrat komersial untuk ayam petelur, jagung, dan dedak padi. Komposisi ransum yang diberikan pada setiap perlakuan adalah sama. Pembedanya adalah

perlakuan air minum yang diberikan. Perhitungan zat pakan menggunakan standar perhitungan Scott et al. (1982).

Tabel 1 Komposisi bahan ransum ayam Lohmann Brown umur 22-30 minggu

Bahan Pakan

Persentase (%)

Jagung Kuning

50

Konsentrat1)

35

Dedak Padi

15

Total

100

Keterangan:

1) Konsentrat yang digunakan merupakan (Konsentrat Layer Super 36 (KLS 36)) konsentrat komersial ayam petelur yang diperoduksi oleh PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk

Tabel 2Kandungan nutrisi ransum ayam Lohmann Brown umur 22–30 minggu

Kandungan Nutrisi

K0

Perlakuan1)

K1

K2

Standar2)

Energi Metabolisme (kkal/kg)

Protein Kasar (PK) (%) Lemak Kasar (LK) (%) Serat Kasar (SK) (%) Kalsium (Ca) (%)

Posfor (P) (%)

2979,5

18

5,3

4,9

3,53

0,76

2979,5

18

5,3

4,9

3,53

0,76

2979,5

18

5,3

4,9

3,53

0,76

2900

18,0 5-103) 5-103)

3,4

0,35

Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) (%) dalam air minum

0

3

6

-

Keterangan:

  • 1)    K0: Air minum tanpa ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) sebagai kontrol

K1: Air minum yang diberi 3% ekstrak daun kelor (Moringa oleifera)

K2: Air minum yang diberi 6% ekstrak daun kelor (Moringa oleifera)

  • 2)    Standar NRC (1994)

  • 3)    Standar Marrison (1961)

  • 4)    Perhitungan ransum berdasarkan Tabel zat makanan Scott et al. (1982)

Rancanganpenelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan. Perlakuan tersebut terdiri dari K0: air minum tanpa ekstrak daun kelor(Moringa oleifera) sebagai kontrol, K1: air minum yang diberi 3% ekstrak daun kelor(Moringa oleifera), dan K2: air minum yang diberi 6% ekstrak daun kelor(Moringa oleifera).

Pemberian ransum dan air minum

Pemberian ransum pada ayam dilakukan sebanyak dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari sedangkan air minum diberikan secara ad libitum.

Variabel yang diamati

Variabel yang diamati meliputi:

  • 1.    Konsumsi ransum: diperoleh dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum. Konsumsi ransum dihitung seminggu sekali.

  • 2.    Konsumsi air minum: diperoleh dengan cara mengurangi jumlah air minum yang diberikan dengan sisa air minum. Pengukuran dilakukan setiap satu minggu sekali dengan cara mengurangi jumlah air minum yang diberikan dengan sisa.

  • 3.    Feed Convertion Ratio (FCR): diperoleh dari perbandingan antara jumlah ransum yang di konsumsi dengan berat telur yang dihasilkan.

  • 4.    Jumlah telur: diperoleh dari jumlah telur yang dihasilkan pada setiap perlakuan di hitung 1 minggu sekali.

  • 5.    Hen Day Production (HDP): diperoleh dari jumlah telur yang dihasilkan dibagi (jumlah ayam kali jumlah hari selama penelitian) kemudian dikali 100.

  • 6.    Berat telur total: diperoleh dari menimbang jumlah telur yang di hasilkan secara keseluruhan diukur 1 minggu sekali.

  • 7.    Rata-rata berat telur: diperoleh dari total berat telur tiap perlakuan dibagi jumlah telur.

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel and Torrie, 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan konsumsi ransum pada perlakuan K0 (air minum tanpa ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) sebagai kontrol) sebanyak 7134,66 g/ekor (Tabel 3). Konsumsi ransum pada perlakuan K1 (air minum yang diberi 3% ekstrak daun kelor (Moringa oleifera)) dan K2 (air minum yang diberi 6% ekstrak daun kelor (Moringa oleifera)) masing-masing 3,81% dan 4,67% nyata (P<0,05) lebih lebih tinggi dibanding perlakuan K0.Peningkatan tersebut disebabkan oleh pemberian ekstrak daun kelor yang diberikan melaui air minum dan adanya kandungan flavonoid, tanin dan alkaloid yang memiliki aktivitas antimikroba sehingga menyebabkan nutrisi dalam ransum memiliki peluang untuk diserap lebih optimal akibat berkurangnya persaingan dalam menyerap nutrisi antara usus dan bakteri. Meitzer dan Martin

(2000) menyatakan bahwa daun kelor yang dilarutkan dalam air dapat digunakan untuk antibiotik. Fauziah (2016) menambahkan bahwa antibiotik dapat membersihkan saluran pencernaan, sehingga untuk mendapatkan nutrien, ayam tidak harus bersaing dengan mikroba usus.

Tabel 3 Pengaruh permberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) terhadap produksi telur ayam Lohmann Brown umur 22-30 minggu

Variabel

K0

Perlakuan1) K1

K2

SEM2)

Konsumsi ransum (g/ekor/8 minggu)

7134,66a)

7406,66b)

7468,33b)

43,15

Konsumsi air minum (liter/ekor/8 minggu)

21,70a)

23,50b)

23,68b)

0,38

Feed Conversion Ratio (FCR) (8 minggu)

3,86a)

3,59b)

3,58b)

0,02

Produksi:

1. Jumlah telur (butir/ekor/8 minggu)

35,77a)

37,35b)

37,560b)

0,23

2. Hen day production (HDP) (%/8 minggu)

63,99a)

66,37b)

66,97b)

0,43

3. Berat telur total (g/8 minggu)

1848,73a)

2059,81b)

2083b)

18,72

4. Berat telur rata-rata (g/butir/8 minggu)

51,65a)

55,13b)

55,45b)

0.31

Keterangan:

1) K0 : Air minum tanpa ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) sebagai kontrol

K1   : Air minum yang diberi 3% ekstrak daun kelor (Moringa oleifera)

K2   : Air minum yang diberi 6% ekstrak daun kelor (Moringa oleifera)

2) SEM : Standart error of the treatment means

3) Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Goel (2013) menyatakan bahwa aktivitas antimikroba tanaman disebabkan oleh adanya metabolit sekunder. Siti et al. (2017) menambahkan bahwa tanaman kaya akan berbagai metabolit sekunder, seperti tanin, terpenoid, alkaloid, dan flavonoid yang telah ditemukan secara in vitro memiliki khasiat antimikroba. Senyawa aktif alkaloid, flavonoid, tanin, dan fenolat dalam saluran pencernaan unggas akan dapat membantu penyerapan zat makanan. Naiborhu (2002) juga menambahkan bahwa tanin pada daun kelor berperan pencegah proses pencernaan bakteri, sedangkan flavonoid yaitu senyawa yang mudah larut dalam air untuk kerja antimikroba dan antivirus. Senyawa alkaloid dalam bidang kesehatan memiliki efek berupa pemicu sistem syaraf, menaikan tekanan darah mengurangi rasa sakit, antimikroba, obat penenang, obat penyakit jantung dan lainnya (Robinson, 1995)

Konsumsi air minum yang dihasilkan pada perlakuan K1 dan K2 masing-masing 8,32% dan 9,13% nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan K0. Konsumsi air minum perlakuan K0 yaitu sebanyak 27,70 liter/ekor (Tabel 3). Hal ini disebabkan peningkatan konsumsi ransum. Meningkatnya konsumsi ransum menyebabkan peningkatan air minum sebagai kebutuhan bagi ayam untuk dapat melarutkan dan melancarkan perjalanan zat-zat makanan dalam saluran

pencernaan sehingga mempermudah ayam petelur untuk mencerna dan menyerap nutrisi dari konsumsi ransum. Dewi (2014) menyatakan bahwa meningkatnya konsumsi air minum merupakan konsekuensi logis meningkatnya konsumsi ransum untuk melarutkan ransum didalam saluran pencernaan ayam. Ensminger (1990) dalam Kurniawan et al. (2017) juga menyatakan bahwa ayam mengkonsumsi air minum dua kali lebih besar dari jumlah pakan yang dikonsumsi, karena air minum berfungsi sebagai pelarut dan sebagai alat transportasi zat-zat makanan untuk disebarkan keseluruh tubuh sehingga dibutuhkan lebih banyak air daripada makanannya.

Feed Conversion Ratio (FCR) yang dihasilkan selama delapan minggu pengamatan pada perlakuan K0 sebanyak 3,86 (Tabel 3). FCR yang dihasilkan pada perlakuan K1 dan K2 masing-masing 6,8% dan 7,09% lebih rendah dibandingkan perlakuan K0 dan secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Hal ini disebabkan oleh peningkatan konsumsi ransum, konsumsi air minum dan adanya senyawa fitokimia yang bersifat antimikroba dalam ekstrak daun kelor (Moringa oleifera). Meningkatnya konsumsi ransum dan air minum menyebabkan banyaknya nutrisi yang dikonsumsi. Tingginya konsumsi air minum juga menyebabkan ransum yang di konsumsi menjadi mudah larut dan mudah untuk di serap usus. Menurut Ariyanti et al. (2013), beberapa faktor yang mempengaruhi FCR yaitu bentuk fisik pakan, kandungan nutrisi pakan, lingkungan tempat pemeliharaan, strain, bobot badan dan jenis kelamin.

Adanya senyawa fitokimia dalam ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) menyebabkan penurunan jumlah mikroba patogen pada saluran pencernaan sehingga menyebabkan turunnya berat usus. Hal ini meningkatkan efisiensi penggunaan zat gizi dan penyerapan sari-sari makanan. Daun kelor yang dilarutkan dalam air dapat digunakan untuk antibiotika (Meitzer dan Martin, 2000). Jayne-Williams dan Fuller (1971) menyatakan bahwa pemberian antibiotik (dan juga antibakteri) menyebabkan menipisnya dinding usus, dan meningkatnya jumlah mikroba baik sehingga dapat meningkatkan penyerapan zat-zat gizi, sehingga efisiensi penggunaan zat gizi dapat lebih baik.

Hasil penelitian, menunjukkan bahwa jumlah telur pada perlakuan Jumlah telur pada perlakuan K0 sebanyak 35,773 butir (Tabel 3) sedangkan pada perlakuan K1 dan K2 adalah 4,42% dan 4,99% nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan perlakuan K0.Hen day production (HDP) yang dihasilkan pada perlakuan K1 dan K2 secara statistik berbeda nyata (P<0,05) yaitu masing-masing sebanyak 3,72% dan 4,65% lebih tinggi dibandingkan perlakuan K0. Hen day production (HDP) yang dihasilkan pada perlakuan K0 yaitu sebanyak 63,99% (Tabel 3).

Menurut Setiawatiet al. (2016) HDP yang tinggi diiringi dengan pemberian pakan yang mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Hal ini menunjukan semakin tinggi jumlah telur yang di hasilkan maka HDP yang dihasilkan juga semakin tinggi. Peningkatan jumlah telur disebabkan karena meningkatnya konsumsi ransum dan air minum. Menurut Ketaren (2010), asam amino didalam protein dibutuhkan ternak unggas untuk pembentukan sel, mengganti sel mati, membentuk jaringan tubuh seperti daging, kulit, telur, embrio dan bulu.

Adanya kandungan protein dalam ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) menyebabkan adanya tambahan protein selain dari ransum yang dikonsumsi sehingga kebutuhan protein untuk menghasilkan telur dapat terpenuhi. Simbolan et al. (2007) juga menyatakan bahwa pada daun kelor (Moringa oleifera), mengandung berbagai asam amino, antara lain asam aspartat, asam glutamat, alanin, valin, leusin, isoleusin, histidin, lisin, arginin, venilalanin, triftopan, sistein dan metionin. Tinggi rendahnya konsumsi protein dan energi akan berpengaruh pada jumlah telur yang dihasilkan (Suthama, 2005).

Selama delapan minggu pengamatan, berat telur total yang dihasilkan pada perlakuan K0 yaitu 1848,73 g (Tabel 3). Berat telur total pada perlakuan K1 dan K2 masing-masing sebanyak 11,41% dan 12,67% nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan K0. Perlakuan K0 menghasilkan rata-rata berat telur yaitu sebesar 51,65 g/butir (Tabel 3) sedangkan pada perlakuan K1 dan K2 menghasilkan rata-rata berat telur sebesar 6,75% dan 7,37% lebih tinggi dibandingkan perlakuan K0 dan secara statistik berbeda nyata (P<0,05).peningkatan berat telur tersebut disebabkan oleh meningkatnya konsumsi ransum dan air minum. Peningkatan konsumsi ransum dan air minum menyebabkan peningkatan konsumsi protein yang diperoleh dari rasum dan kandungan ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dalam air minum, sehingga meningkatkan berat telur telur. Menurut Scott et al. (1969), faktor ransum yang mempengaruhi besarnya telur adalah protein (asam amino).Summer (2001), juga menyatakan bahwa protein dan asam amino merupakan zat makanan yang paling berperan dalam mengkontrol ukuran telur di samping genetik dan ukuran tubuh unggas.Bell dan Weaver (2002) menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap berat telur ayam adalah umur ayam, suhu lingkungan, strain dan breed ayam, kandungan nutrisi dalam ransum, berat tubuh ayam, dan waktu telur dihasilkan.

SIMPULAN

Simpulan dari hasil penelitian ini adalah pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) sebanyak 3% dan 6% melalui air minum dapat meningkatkan produksi telur ayam Lohmann Brown umur 22-30 minggu.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr.dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S (K); Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ida BagusGaga Partama, MS yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas yang diberikan pada penulisdi Fakultas Peternakan, Universitas Udayana dan Bapak Prof. Dr. Ir. I Gst. Nym. Gde Bidura, MS., IPM selaku dosen Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dan kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam melaksanakan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanti, F., M. B. Aji, dan N. Budiono. 2013. Pengaruh pemberian air gula merah terhadap performans ayam kampung pedaging. JSV 31(2): 156-165.

Bell, D. dan Weaver, G. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg. Kluwer Academic Publishers, United States of America.

Bukar, A., Uba A., dan Oyeyi T.I. 2010. Antimicrobial Profil of Moringa oleifera Lam. Extracts Against Some Food-Borne Microorganism. Bajero Journalof Pure and Applied Sciences. Vol. 3(1) : 43-48.

Dewi, K. T., I. 2014. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Bawang Putih (Allium Sativum) Melalui Air Minum terhadap Penampilan Ayam Broiler umur 2-6 Minggu. Skripsi Sarjana Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Fauziah, N. 2016. Performa dan Kualitas Telur Ayam Petelur Strain Isa Brown yang Mengandung Jus Silase. Skripsi Sarjana Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Oertanian Bogor.

Fuglie, L. 2001. The Miracle of Tree (The Atribute of Moringa). Senegal: CWS Dakar.

Goel, A. 2013. Anticancerous Potential of Plant Extracts and Phytochemicals. J. Biol. Chem.

Research. Vol. 30, No. 2: 537-558.

Iyo. 2015. Peternak, penyakit bakteri dan antibiotika. Majalah Infovet Online. pada URL: http://www.majalahinfovet.com/2015/10/peternak-penyakit-bakteri-dan.html. Diakses pada tanggal 19 Desember 2017.

Jayne–Williams, D. J. dan R. Fuller. 1971. The Influence of the Intestinal Microflora on Nutrition. In: Physiology and Biochemistry of the Domestic Fowl. D. J. Bell, and B. M. Freeman (Eds.). Vol. 1. Academic Press, London and New York. p. 73-92.

Ketaren, P. P. 2010. Pengaruh Jumlah Ayam Per Induk Buatan Terhadap Performan Ayam Petelur Strain Isa Brown Periode Starter. Sains Peternakan 12(1): 10-14.

Marrison, F. B. 1961. Feed and Feeding. Abridge 9th Ed. The Marrison Publs. Co. Arrangeville, Ontario, Canda.

Meitzer L. S. dan Martin L. P. 2000. Effectivenes of a Moringa Seed Ekstract in Treating a Skin Infection. Amaranth to Zai Holes. ECHO. USA

Naiborhu P. E. 2002. Ekstraksi dan Manfaat Ekstrak Mangrove (Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris) Sebagai Bahan Alami Antibakterial pada Patogen Udang Windu, Vibrio harveyi. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

National Research Council (NRC). 1994. Nutrient Requirement of Poultry. National Academy Press, Washington, D.C.

Nina, Marlina A., E. Zubaidah, dan A. Sutrisno. 2015. Pengaruh pemberian antibiotka saat budidaya terhadap keberadaan residu pada daging dan hati ayam pedaging dari peternakan rakyat. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 25(2): 10–19.

Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan: Koensoemardiyah. IKIP Semarang Press, Semarang.

Scott, M. L., M. C. Nesheim dan R. J. Young. 1969. Nutrition of the Chicken. 2nd Ed. M. L. Scott and Associstes. New York.

Scott, M. L, Nesheim, M, C. and R. J. Young. 1982. Nutrition of the Chickens.3rd Ed. M. L. Scott and Associstes. New York.

Setiawati, T., R. Afnan, N. Ulupi. 2016. Performa produksi dan kualitas telurAyam petelur pada sistem litter dan cage dengan suhu kandang berbeda. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan 4(1): 197-203.

Simbolan J. M., M Simbolan, dan N. Katharina. 2007. Cegah Malnutrisi dengan Kelor. Yogyakarta: Kanisius.

Siti, N. W., I. G. N. G. Bidura, dan I. A. P. Utami. 2017. The effect of water extract of leaves Moringa oleifera on egg production and yolk cholesterol levels in egg laying hens. J. Biol. Chem. Research. 34(2): 657-665.

Soekarman dan Ridwan, S. 1992. Status pengetahuan etnobotani di Indonesia, in prosiding seminar dan lokakarya nasional etnobotani. Bogor: LIPI dan Lembaga Perpustakaan Nasional RI, pp. 1–7.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Principle and Procedure of Statistics. New York. McGraw Hill Book Co. Inc.

Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur. Jakarta: Penebar Swadaya.

Summers, J. D. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Ed. University Books. Guelph, Ontario, Canada.

Suthama, N. 2005. Respon Produksi Ayam Kampung Petelur Terhadap Ransum Memakai Dedak Padi Fermentasi dengan Suplementasi Sumber Mineral. Jurnal Indonesia Tropica Animal Agriculture. Hal: 116 -121.

Tumuova, E. dan Z. Ledvinka. 2009. The effect of time of oviposotion and age on egg weight, egg components weight and egg shell quality. Journal Arch. Geflugelk.73 (2):110-115.

Luki Ananta et al., Peternakan Tropika Vol. 6 No. 2 Th. 2018: 271–282

Page 282