ISSN 2722-7286

Jurnal

FAPET UNUD


Jurnal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: [email protected]

Submitted Date: July 12, 2022

Accepted Date: May 3, 2023


Editor-Reviewer Article : Eny Puspani & I Made Mudita

KUALITAS FISIK DAGING SAPI BALI SEGAR, DINGIN, DAN BEKU

Moniaga, C.A., N. L. P. Sriyani., dan N. L. G. Sumardani

PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar, Bali e-mail: [email protected], Tlp : 081337403408

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas fisik daging sapi bali segar, dingin, dan beku yang ditinjau dari uji objektif meliputi; warna, pH daging, daya ikat air (DIA), susut masak dan susut mentah. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah 3x7 yaitu dengan 3 perlakuan daging sapi bali yaitu: (1) daging dengan penyimpanan pada suhu ruang (27°C sampai 35°C) kurang dari 1 hari (daging segar), (2) daging dengan penyimpanan pada suhu 0°C sampai 4°C dengan lama penyimpanan 2 hari (daging dingin), (3) daging dengan penyimpanan pada suhu - 20°C sampai - 47°C dengan lama penyimpanan 2 hari (daging beku). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas fisik daging sapi bali segar lebih baik dibandingkan dengan kualitas fisik daging sapi bali dingin dan beku pada variabel pH daging, daya ikat air (DIA), susut masak dan susut mentah. Pada variabel warna, warna daging segar tidak berbeda nyata dibandingkan dengan warna daging dingin namun berbeda nyata dengan daging beku. Pada variabel daya ikat air, kualitas fisik daging dingin tidak berbeda nyata den gan daging beku. Selain kedua variabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa kualitas fisik daging sapi bali mengalami penurunan secara signifikan dengan urutan yang paling baik adalah daging sapi bali dalam kondisi segar, kemudian daging sapi bali dalam kondisi dingin, dan daging sapi bali dalam kondisi beku.

Kata kunci: Kualitas fisik, daging sapi bali, daging segar, daging dingin, daging beku

PHYSICAL QUALITY OF FRESH, CHILLED, AND FROZEN BALI BEEF

ABSTRACT

This study aims to understand the physical quality of fresh, chilled, and frozen bali beef which was reviewed from the objective test including; color, meat pH, water holding capacity (WHC), cooking loss, and drip loss. This study used a completely randomized design (CRD) in a unidirectional pattern of 3x7 with 3 treatments of bali beef, namely: (1) meat stored at room temperature (27°C to 35°C) for less than 1 day (fresh meat), (2) meat stored at 0°C to 4°C with a storage period of 2 days (chilled meat), (3) meat with storage at - 20°C to -47°C with a storage time of 2 days (frozen meat). The results showed that the physical quality of fresh bali beef was better than the physical quality of chilled and frozen bali beef on the


variables of meat pH, water holding capacity (WHC), cooking loss and drip loss. For the color variable, the color of fresh meat was not significantly different from the chilled meat but significantly different from the frozen meat. For the water holding capacity variable, the physical quality of cold meat was not significantly different from that of frozen meat. In addition to these two variables, it can be concluded that the physical quality of Bali beef has decreased significantly with the best order being Bali beef in fresh condition, then Bali beef in chilled condition, and Bali beef in frozen condition.

Keywords: Physical quality, bali beef, fresh meat, chilled meat, frozen meat

PENDAHULUAN

Daging merupakan salah satu komoditas peternakan yang bernilai gizi tinggi karena selain merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi, daging juga sebagai sumber zat besi, vitamin B kompleks, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh. Daging merupakan bahan pangan yang bersifat mudah rusak atau disebut juga dengan perishable food, hal ini disebabkan karena daging mengandung zat gizi yang cukup baik dan memiliki pH yang menguntungkan bagi pertumbuhan mikroba (Suardana dan Swacita, 2009), sehingga digunakannya teknologi yang umum dalam pengawetan daging seperti pendinginan dan pembekuan.

Pada masa sekarang ini banyaknya konsumen yang menganggap kurangnya kualitas daging beku (frozen meat) dibandingkan dengan kualitas daging segar (fresh meat) dan daging dingin (chilled meat) membuat pasar dari penjualan daging beku (frozen meat) masih kurang. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Aritonang (2015), yang mengemukakan bahwa sebanyak 70% konsumen rumah tangga di Padang yang memilih daging segar dengan alasan kualitas daging segar lebih terjamin dan lebih baru jadi tidak melewati proses penyimpanan yang lama. Kemudian, konsumen ragu dengan higienitas daging beku, minimnya informasi tentang kualitas fisik daging sapi segar, dingin, dan beku juga mempengaruhi selera konsumen secara umum yang tidak terbiasa dengan daging sapi beku. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ernawati et al. (2018), yang menggunakan daging segar, dingin, dan beku pada swalayan dan pasar tradisional menunjukkan bahwa kandungan gizi tidak berbeda antara daging segar, dingin, dan beku.

Kualitas fisik daging antara lain pH, daya ikat air, susut masak dan warna dipengaruhi oleh proses sebelum pemotongan dan setelah pemotongan (Sriyani et al., 2015). Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah pH daging, metode penyimpanan, macam otot dan lokasi otot (Soeparno, 2015). Oleh karena metode Moniaga, C.A., J. Peternakan Tropika Vol. 11 No. 2 Th. 2023 : 386 – 396 Page 387

penyimpanan daging sapi pada setiap RPH berbeda dan untuk meninjau lebih lanjut kualitas daging sapi dengan berbagai kondisi (segar, dingin, dan beku), maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas fisik daging sapi bali yang dipotong pada suatu RPH sehingga diperoleh gambaran terhadap kualitas fisik daging sapi bali segar, dingin, dan beku.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana Jalan P.B Sudirman Denpasar, selama 1 bulan pada bulan Maret 2022.

Bahan dan alat

Bahan penelitian adalah sampel daging sapi bali bagian loin (pada otot Longissimus dorsi (LD)) yang berasal dari sapi bali afkir dengan bobot potong ±250 kg yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Mambal Abiansemal Badung, Bali. Sampel yang digunakan adalah daging sapi yang terdiri dari 3 jenis, yaitu: daging sapi bali dalam kondisi segar, dingin, beku dengan berat masing-masing jenis sampel 700g.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • -    Pada pengukuran variabel warna daging menggunakan standar pembanding “Photographic Colour Standard for Muscle and Fat Colour”, Department of Agricultural, Western Australia.

  • -    Pada pengukuran variabel pH daging: pH meter digital, beaker glass, aquadest, larutan buffer 4 dan 7 sebagai standarisasi pH meter.

  • -    Pada pengukuran variabel daya ikat air (DIA): alat sentrifugasi clement 2000, pisau, kertas saring, plastik polietilen, timbangan digital, tissue.

  • -    Pada pengukuran variabel susut masak: plastik polietilen, tissue, pisau, timbangan digital dan waterbath.

  • -    Pada pengukuran variabel susut mentah: tali, timbangan digital, kantong plastik.

Rancangan percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah 3x7 yaitu dengan 3 perlakuan daging sapi bali yaitu: (1) daging dengan penyimpanan pada suhu ruang (27°C -35°C) kurang dari 1 hari (daging segar), (2) daging dengan penyimpanan pada suhu

0°C - 4°C dengan lama penyimpanan 1-2 hari (daging dingin), (3) daging dengan

penyimpanan pada suhu - 47°C dengan lama penyimpanan 1 – 7 hari (daging beku).

Prosedur penelitian

Penyimpanan sampel daging

Sampel daging sapi bali betina yang digunakan ada 3 jenis yaitu daging segar, dingin, dan beku. Pada sampel daging segar dilakukan penyimpanan pada suhu ruang (27°C sampai 35°C) dengan lama penyimpanan kurang dari 1 hari. Pada sampel daging dingin disimpan pada suhu 0°C sampai 4°C selama 2 hari. Kemudian pada sampel daging beku dilakukan penyimpanan pada suhu beku - 20°C sampai - 47°C selama 2 hari.

Proses thawing

Metode thawing yang digunakan pada daging beku adalah dengan meletakkan sampel daging beku pada suhu ruang (27°C - 35°C) selama 6 – 8 jam sebelum dilakukan pengujian.

Variabel penelitian

Warna daging

Warna daging diamati dengan membandingkan warna sampel daging dengan standar warna daging. Standar warna pembanding yang digunakan adalah “Photographic Colour Standard for Muscle and Fat Colour”, Department of Agricultural, Western Australia dengan skor warna sebagai berikut: cokelat muda (1), pucat pink (2), pink (3), merah muda (4), merah cerah (5), merah tua (6).

Derajat keasaman (pH)

Pengukuran pH daging menggunakan alat pH meter yang diawali dengan standarisasi alat pH meter dengan larutan buffer pH 4 dan pH 7. Kemudian, sampel daging ±10 g dihancurkan lalu dimasukkan pada beaker glass dan ditambahkan dengan aquadest dengan perbandingan sampel daging: aquades (1:1). Sampel tersebut diaduk kemudian didiamkan selama 1 menit. Setelah itu alat pH meter dicelupkan pada larutan sampel.

Daya ikat air (water holding capacity)

Pengukuran daya ikat air (water holding capacity) menggunakan alat sentrifugasi Clement 2000. Sebanyak ± 10g sampel daging dilumatkan, kemudian ditimbang dan dicatat sebagai berat awal. Selanjutnya daging dibungkus dengan kertas saring Whatman 41, dimasukkan ke dalam alat sentrifugasi dengan kecepatan tinggi 36.000 rpm selama 60 menit. Kemudian ditimbang sampel tanpa kertas saring sehingga diperoleh berat akhir. Adapun persentase (DIA) dihitung dengan rumus:

∙ι ∙ zλz∖ «zxzx ,(BeratResidudaging) „

Daya ikat air (%) = IOO — ( ------ X 100)

j          ' '                 Berat Sampel            '

Susut masak daging (cooking loss)

Pengukuran susut masak daging diawali dengan menyiapkan sampel daging sebanyak ±10g, kemudian sampel dimasukkan dalam kantong plastik. Kantong plastik dilipat dan diklip, setelah itu direbus pada temperatur 80°C selama 60 menit. Sampel kemudian diambil dan dilap dengan tissue tanpa menekannya dan ditimbang sebagai berat akhir. Persentase susut masak dihitung dengan rumus:

„    ,       , z„,x (berat sebelum dimasak—berat setelah dimasak)

Susut masak (%) = -------------—----------------x 100 berat sebelum dimasak

Susut mentah (drip loss)

Pengukuran susut mentah daging diawali dengan menyiapkan sampel daging dengan ketebalan 2,0 cm tanpa lemak dan jaringan ikat kemudian dicatat sebagai berat awal sampel sekitar ± 20g. Selanjutnya daging diikat dengan tali dan digantung dalam keadaan terbungkus rapat dan daging tidak boleh menyentuh kantong plastik. Daging digantung dalam suhu kamar selama 24 jam. Sebelum ditimbang daging dilap kering. Kemudian daging ditimbang. Susut mentah (drip loss) dihitung sebagai kehilangan berat daging dengan rumus:

(berat awal — berat akhir)

Susutmentah (%) =•---7--------r---x 100 berat awal

Analisis data

Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis varian atau analisis sidik ragam. Apabila ditemukan data yang signifikan atau berbeda nyata (P<0,05), maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel and Torie 1993) dengan menggunakan program SPSS versi 25.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis statistik pengujian kualitas fisik (warna, pH, daya ikat air, susut masak dan susut mentah) daging sapi bali segar, dingin, dan beku dapat dilihat pada Tabel 1.

Variabel                                                                      SEM(2)

P1

P2

P3

Warna

3,71a(3)

4,14a

5,14b

0,238

pH daging

5,80c

5,68b

5,51a

0,014

Daya Ikat Air (%)

28,63b

19,81a

16,36a

1,784

Susut Masak (%)

36,01a

39,77b

43,58c

0,639

Susut Mentah (%)

5,30a

8,41b

11,54c

0,586

Keterangan:

1. P1 : Daging sapi bali dalam kondisi segar

P2 : Daging sapi bali dalam kondisi dingin

P3 : Daging sapi bali dalam kondisi beku

2. SEM adalah “Standart Error of Treatment”

3. Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,05).

Tabel 1. Hasil Kualitas Fisik Daging Sapi Bali Segar, Dingin, dan Beku

Perlakuan(1)


Berdasarkan hasil analisis statistik warna daging sapi bali segar dan dingin (P1 dan P2) non signifikan (P>0,05), sedangkan warna daging sapi bali beku (P3) signifikan (P<0,05) dengan warna daging sapi bali segar dan dingin (P1 dan P2). Rata-rata dari variabel warna daging sapi bali segar, dingin, dan beku (P1, P2, dan P3) berada pada angka 3-5 yang adalah warna pink, merah muda, dan merah cerah. Pada penelitian ini terjadi peningkatan nilai warna dari P1 ke P3 disebabkan oleh proses terbentuknya warna merah cerah pada daging yang disebut blooming, yaitu daging telah dieksposekan terhadap udara (Soeparno, 2015), kemudian terjadi ikatan myoglobin dengan oksigen menjadi oksimyoglobin yang memberikan warna yang lebih cerah. Kontributor terpenting pada warna daging adalah pada pigmen-pigmen (hemoglobin dan myoglobin) yang menyerap panjang gelombang cahaya tertentu dan memantulkannya. Kerapatan tinggi antar serat-serat daging menyerap cahaya yang menyebabkan warna cerah

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nilai pH daging sapi bali segar, dingin, dan beku (P1, P2, dan P3) signifikan (P<0,05). Nilai pH daging sapi pada penelitian ini termasuk normal yang dikuatkan oleh pernyataan Yanti et al. (2008) bahwa pH daging sapi pada kondisi normal berkisar 5,46 – 6,29. Nilai pH daging masing-masing perlakuan termasuk dalam nilai pH ultimat daging yaitu 5,4 – 5,8 (Forrest et al., 1975) dimana pH ultimat daging tergantung pada besarnya cadangan glikogen otot pada saat sapi dipotong, semakin banyak glikogen pada saat sapi dipotong maka pH ultimat yang dicapai akan semakin rendah. Dapat

disimpulkan bahwa pada sampel yang digunakan berasal dari ternak sapi dengan kadar glikogen yang rendah karena pH daging segar pada kisaran pH ultimat tinggi. Penurunan pH daging disebabkan oleh percepatan glikolisis, terjadinya penguraian glikogen otot oleh enzim glikolisis secara anaerob menjadi asam laktat (Soeparno, 2005). Hasil analisis statistik nilai pH daging segar (P1) yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging dingin (P2) dan daging beku (P3) sesuai dengan pernyataan Kim et al. (2011) yang melaporkan bahwa pH daging segar lebih tinggi daripada pH daging thawed. Demikian pula sesuai dengan pernyataan Muela et al. (2015) yang mengemukakan bahwa pH daging segar (otot Longissimus thoracic) adalah yang tertinggi dibandingkan dengan daging thawed. Pada daging beku (P3) terjadi eksudasi cairan pada saat thawing dimana hal ini juga dapat memproduksi denaturasi proteinprotein buffer serta kehilangan cairan dari daging, yang bisa menyebabkan peningkatan konsentrasi larutan, dan keduanya dapat menyebabkan penurunan pH daging thawed (Leygonie et al., 2012). Penyebab perubahan pH ini juga yang akan mengubah jarak antar serat-serat daging sehingga mempengaruhi penampakan (warna) daging secara visual (Lawrie, 2003).

Berdasarkan hasil analisis statistik, persentase daya ikat air (DIA) daging sapi bali segar (P1) signifikan atau berbeda nyata (P<0,05) dengan persentase daya ikat air daging sapi bali dingin dan beku (P2 dan P3), sedangkan persentase daya ikat air daging sapi bali dingin (P2) non signifikan atau tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan nilai persentase daya ikat air daging sapi bali beku (P3). Daya ikat air yang menurun disebabkan karena hilangnya drip pada saat thawing daging. Air yang keluar dari dalam sel-sel otot selama proses pembekuan muncul sebagai drip sehingga daya ikat air daging beku paling rendah. Prosedur penyimpanan daging dingin dan daging beku pada RPH Mambal adalah pendinginan secara cepat dan pembekuan cepat menggunakan blast freezer sehingga terjadinya cold shortening atau pengkerutan daging yang terjadi akibat daging yang belum mengalami rigor mortis. Nilai daya ikat air sangat dipengaruhi oleh pH yaitu bahwa penurunan pH akibat cold shortening menyebabkan denaturasi protein daging sehingga akan terjadi penurunan kelarutan protein yang menyebabkan daya ikat air berkurang (Lawrie, 1995) dan pada saat penyegaran kembali (thawing) daging beku terjadi kegagalan serabut otot menyerap kembali semua air yang mengalami translokasi atau keluar pada saat penyimpanan beku (Bratzler et al., 1977; Lawrie., 1979). Hal ini yang menyebabkan persentase daya ikat air daging dingin dan daging beku dibawah kisaran normal yaitu dibawah 20%, sedangkan Soeparno (2005) menyatakan

bahwa kisaran normal daya ikat air antara 20% sampai 60%. Sebagian besar nilai gizi daging dipertahankan selama pembekuan, kehilangan nilai nutrisi dapat terjadi ketika nutrisi tersebut larut dalam air pada saat thawing, namun nilai nutrisi yang hilang dan daya ikat air daging bervariasi tergantung pada proses pembekuan dan kondisi thawing yang dilakukan. Daya ikat air berpengaruh terhadap susut masak dimana daya ikat air yang tinggi menyebabkan susut masak yang rendah, begitupun sebaliknya (Soeparno, 2015).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa persentase susut masak daging sapi bali segar, dingin, dan beku (P1, P2, dan P3) signifikan atau berbeda nyata (P<0,05). Hal ini disebabkan karena selama penyimpanan beku terjadi perubahan protein otot, yang menyebabkan berkurangnya daya ikat air oleh protein daging dan meningkatnya jumlah cairan yang keluar (drip) dari daging akibat proses pembekuan dan penyimpanan beku daging (Anon dan Calvelo, 1980). Pada saat pengukuran variabel ini, bobot yang hilang selama daging dimasak diikuti dengan pelepasan air yang terikat dalam daging sehingga terjadi penurunan pengikat ion hidrogen dan terjadi pula pelepasan sari rasa (juiciness) dari dalam daging (Schmidt, 1988). Menurut Soeparno (2015), susut masak dipengaruhi oleh daya ikat air, daya ikat air yang tinggi menyebabkan susut masak yang rendah, begitupun sebaliknya. Hal tersebut sudah sesuai dengan hasil penelitian ini yaitu penurunan nilai daya ikat air dari P1 sampai P3 menyebabkan peningkatan nilai susut masak dari P1 sampai P3. Soeparno (2015) menyatakan bahwa nilai susut masak daging bervariasi antara 1,5- 54,5% dengan kisaran 15-40% dan daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging yang memiliki nilai susut masak yang lebih besar karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Berdasarkan pendapat tersebut diketahui bahwa daging sapi pada penelitian ini masih dalam batas normal dan dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini daging yang memiliki kualitas yang lebih baik adalah daging segar (P1) yang memiliki nilai susut masak lebih rendah dibandingkan dengan daging dingin dan daging beku (P2 dan P3).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa persentase susut mentah daging sapi bali segar, dingin, dan beku (P1, P2, dan P3) berbeda nyata (P<0,05) dimana nilai susut mentah terendah adalah daging segar (P1) dengan nilai 5,30. Kemudian nilai susut mentah daging dingin (P2) adalah 8,41 dan nilai susut mentah daging beku (P3) adalah 11,54. Nilai susut mentah berbanding lurus dengan nilai susut masak, apabila nilai susut masak meningkat maka nilai susut mentah meningkat dan dan sebaliknya. Hal ini sudah sesuai dengan hasil pada

penelitian ini yaitu nilai susut mentah yang meningkat seiring dengan peningkatan nilai susut masak. Nilai drip atau kehilangan berat pada daging segar nyata lebih kecil daripada daging dingin dan daging beku disebabkan karena secara kuantitatif daya ikat air daging segar lebih besar daripada daging dingin dan daging beku. Menurut Soeparno (2015), susut mentah dipengaruhi oleh daya ikat air, daya ikat air yang tinggi menyebabkan susut mentah yang rendah, sedangkan daya ikat air rendah menyebabkan susut mentah tinggi. Pernyataan tersebut sudah sesuai dengan hasil penelitian dimana penurunan nilai daya ikat air berbanding terbalik dengan nilai susut mentah, susut mentah paling tinggi yaitu pada perlakuan P3 dan perlakuan P3 memiliki daya ikat air paling rendah, susut mentah paling rendah yaitu pada perlakuan P1 dan perlakuan P1 memiliki daya ikat air paling tinggi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kualitas fisik daging segar, dingin, dan beku pada variabel pH daging, susut masak dan susut mentah. Pada variabel warna, warna daging segar tidak berbeda nyata dibandingkan dengan warna daging dingin namun berbeda nyata dengan daging beku. Untuk variabel daya ikat air, daging dingin tidak berbeda nyata dengan daging beku namun berbeda nyata terhadap daging segar. Selain kedua variabel tersebut, kualitas fisik daging sapi bali mengalami penurunan secara signifikan dengan urutan yang paling baik adalah daging sapi bali dalam kondisi segar, kemudian daging sapi bali dalam kondisi dingin, dan daging sapi bali dalam kondisi beku. Namun setiap variabel pengamatan menunjukkan kisaran data yang normal sehingga ketiga jenis daging tersebut layak untuk dikonsumsi.

Saran

Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini :

  •    Kualitas daging segar, daging dingin, dan daging beku dapat terjaga dengan penanganan yang tepat sehingga layak untuk dikonsumsi.

  •    Diperlukan penelitian lebih lanjut terkait treatment daging pada suatu RPH untuk mengetahui kualitas dari daging segar, dingin dan beku sehingga diperoleh gambaran lengkap kualitas daging dari berbagai RPH.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., IPU., Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS, IPU., dan Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ni Luh Putu Sriyani, S.Pt, MP., IPM., ASEAN Eng. atas fasilitas pendidikan dan pelayanan administrasi kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Añón, M. C., and A. Calvelo. 1980. Freezing rate effects on the drip loss of frozen beef. Meat Science. 4:1-14.

Aritonang, S. 2015. Perilaku konsumen rumah tangga dalam memilih daging sapi di kota Padang. Jurnal Ilmu Ternak. 15:2.

Arka, I. B. 1990. Kualitas Daging Sapi Bali. Bali 20 - 22 September. Prosiding Sapi Bali; Bali. hal A – 108.

Biesalski, H. K. 2005. Meat Science. 70:509.

Bratzler, L.J., Gaddis, A.M dan Silzbacer, W.L. 1977. Fundamental of Food Freezing. Editor: N.W. Desroiser dan D.K. Tressler. Avi Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. 215-239.

Bugiwati, S. R. A. 2007. Body dimension growth of calf bull in Bone and Baru district, South Sulawesi. Jurnal Sains and Tekno 7: 103-108.

Ernawati, F., Nelis I., Nunung N., Ema S., Dian S., Aya Y.A., dan Mutiara P. 2018. Nilai pH dan kualitas zat gizi makro daging beku, dingin dan segar pada pasar tradisional dan pasar swalayan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, Indonesia.

Forrest, J.C., E. D. Aberle., H. B. Hendrick., M. D. Judge, dan R. A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science, W.H. Freeman and Company, San Fransisco.

Gunawan L. 2013. Analisa Perbandingan Kualitas Fisik Daging Sapi Impor dan Daging Sapi Lokal. Jurnal Hospitality dan Manajemen Jasa 1(1) :146-166.

Hafid, H., dan H. Rugayah. 2009. Persentase karkas sapi bali pada berbagai berat badan dan lama pemuasaan sebelum pemotongan. In: Proiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 77-85.

Higgs, J.D. 2000. Trends Food Sci. Technol. 11:85.

Kim, Y. H. B., Frandsen, M. dan Rosenvold, K. 2011. Meat Sci. 88,332.

Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. 3rd ed. Pergamon Press.

Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Edisi 5. Penerjemahan Aminuddin Parakkasi, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Lawrie. R. A. 2003. Ilmu Daging Edisi Kelima Penerjemah Prof Dr. Aminuddin Parakkasi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Leygonie, C., T. J. Britz., dan Hoffman, L. C. 2012. Impact of freezing and thawing on the quality of meat: Review. Meat Science. 91:93-98.

Muela, E., Monge, P., Sanudo, C., Campo, M. M. dan Beltran, J. A. 2015. Meat Sci. 84,662.

Purbowati E., C. I. Sutrisno., E. Baliarti., S. P. S. Budhi., dan W. Lestariana. 2006. Karakteristik fisik otot Longissimus dorsi dan Biceps femoris domba lokal jantan yang dipelihara di pedesaan pada bobot potong yang berbeda. J Protein 33 (2): 147-153.

Sampurna I.P., dan I. K. Suatha. 2010. Pertumbuhan alometri dimensi panjang dan lingkar tubuh sapi bali jantan. Jurnal Veteriner. 11(1): 46-51.

Schmidt, G.R. 1988. Processing. In: H.R. Cross and A.J. Overby (eds.) Meat Science, Milk Science, and Technology. Elsevier Science Publ., Amsterdam.

Soeparno, 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke V. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Soeparno. 2015. Ilmu dan Teknologi Daging Edisi Kedua. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sriyani, N. L. P., Tirta A, I.N., Lindawati, S.A., dan Miwada I N. S. Kajian Kualitas Fisik Daging Kambing yang Dipotong Di RPH Tradisional Kota Denpasar. Majalah Ilmiah Peternakan. Volume 18 Nomor 2. Diakses melalui https://ojs.unud.ac.id.

Suardana, I.W., dan I. B. N. Swacita. 2009. Higiene Makanan. Kajian Teori dan Prinsip Dasar. Denpasar. Udayana University Press.

Moniaga, C.A., J. Peternakan Tropika Vol. 11 No. 2 Th. 2023 : 386 – 396

Page 396