PHYSICAL QUALITY OF BALI CATTLE SUB PRIMAL CARCASS AT DIFFERENT MUSCLE LOCATIONS
on
ISSN 2722-7286

Jurnal
FAPET UNUD
Jurnal

Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
Submitted Date: July 12, 2022
Accepted Date: May 3, 2023
Editor-Reviewer Article : Eny Puspani & I Made Mudita
KUALITAS FISIK SUB PRIMAL KARKAS SAPI BALI PADA LOKASI OTOT YANG BERBEDA
Sastra, A. A., N. L. P. Sriyani, dan I G. A. A. Putra
PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail: [email protected] Telp: 085739561012
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas fisik daging pada lokasi otot yang bergerak pasif diwakili oleh sub primal karkas tender loin, semi aktif pada sub primal karkas round, dan sangat aktif pada sub primal karkas hind shank. Penelitian berlangsung di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Pengambilan sampel dilakukan di RPH Mambal. Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Mei-Juli 2021 mulai dari persiapan sampai analisis data. Rancangan yang digunakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan lokasi otot yang berbeda. Masing – masing perlakuan terdiri dari tujuh ulangan. Perlakuan sebagai berikut: P1: otot pasif diwakili oleh sub primal karkas tender loin, P2: otot semi aktif diwakili oleh sub primal karkas round, P3:otot aktif diwakili oleh bagian sub primal karkas shank. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas fisik sub primal karkas sapi bali pada lokasi otot yang berbeda berpengaruhnyata (P<0,05) terhadap pH, warna, daya ikat air, susut mentah dan tidak berpengaruhnyata (P>0,05) terhadap susut masak. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil analisis nilai pH, warna, daya ikat air, dan susut mentah daging sapi bali berbeda nyata sedangkan susut masak daging sapi bali tidak berberdanyata.
Kata kunci : kualitas fisik, daging sapi bali, perbedaan lokasi otot
PHYSICAL QUALITY OF BALI CATTLE SUB PRIMAL CARCASS AT DIFFERENT MUSCLE LOCATIONS
ABSTRACT
This study aims to determine the physical quality of meat at the location of muscles that move passively represented by tender loin, semi-active in the sub primal carcass round, and very active hind shank. The research took place at the Laboratory of Animal Products technology and Microbiology, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University. The sampling was carried out at Mambal slaughter house. The research was carried out for three months starting from May – July 2021 from preparation to data analysis. A Completely Randomized Design with three treatments for different muscle locations. Each Treatment Consisted of seven replications, the treatments were as follows: P1: passive muscle was represented by sub primal carcass tender loin, P2: semi-active muscle was represented by sub

primal carcass round, P3: active muscle was represented by sub primal carcass hind shank. The results showed that the physical quality of the sub primal carcass of bali cattle at different muscle locations had a significant effect (P<0,05) on pH, colour, water holding capacity, raw sharinkage and had no significant effect (P>0,05) on sharinkage cook. The conclusion of this study is that the results of the analysis of pH values, colour, water holding capacity, and raw losses of Balinese beef were significant different white the cooking losses of Balinese beef were not significantly different.
Keywords: physical quality, bali beef, differences in muscle locations
PENDAHULUAN
Daging mempunyai nilai gizi tinggi yang diperlukan oleh tubuh, bercita rasa kuat dan dapat dilakukan beragam variasi pengolahan. Daging kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak serta zat yang lain yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Usaha untuk meningkatkan konsumsi protein hewani sangatlah penting karena protein hewani mudah dicerna dan nilai gizinya lebih baik dibandingkan dengan protein nabati. Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Selain itu citarasanya yang lezat sumber protein hewani memiliki peran penting dalam pemenuhan gizi masyarakat. Pemenuhan gizi yang baik dapat meningkatkan produktivitas penduduk. Oleh karena itu pemerintah mengusahakan pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.Produksidaging sapi di Indonesia mengalami fluktuasi tahun 2017 dan 2018 secara berturut-turut Indonesia memproduksi 486.319,7 ton dan 497.971,7 ton. Tahun lalu, berada di titik terendah dengan produksi 490.420,8 ton. Angka tersebut turun 1,5% dari tahun 2018.Menurut kajian Badan Pusat Statistik (BPS), total kebutuhan daging pada 2019 mencapai 686.270 ton. Sedangkan kebutuhan daging sapi sebanyak 2,56 kilogram per kapita per tahun. Peningkatan konsumsi daging sapi tersebut memerlukan peningkatan populasi sapi yang tidak harus membebani devisa negara. Hal itu dapat dicapai melalui peningkatan produksi sapi lokal, di antaranya sapi Bali.Sapi Bali 2 merupakan sapi hasil domestikasi dari banteng asli Indonesia yang mempunyai keunggulan dalam daya reproduksi, daya adaptasi dan persentase karkas yang tinggi. Sapi Bali mempunyai cari khas yang tidak dimiliki oleh sapi dari bangsa lainnnya dan merupakan sumber daya genetik asli Indonesia yang perlu dijaga dan dipelihara kelestariannya sehingga dapat memberikan manfaat dalam peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi
potong yang penting dan berperan dalam pengembangan industri ternak di Indonesia (Talib, 2002). Santosa dan Harmadji (2004) menyatakan bahwa dalam rangka penyebaran dan perbaikan mutu genetik sapi lokal, sapi bali menjadi prioritas karena sifatnya yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang baru (tidak selektif terhadap sembilan pakan) dan tingkat kelahiran yang tinggi. Pemotongan pada sapi Bali terhadap sapi-sapi yang berumur minimal 3 tahun, maksimal pada umur 7 tahun. Hasil pemotongan sapi yang berupa karkas dapat dipisahkan menjadi beberapa potongan primal karkas yang berbeda nilai jualnya. Perbedaan nilai jual tersebut disebabkan oleh perbedaan kualitas serabut otot, keempukan, dan komponen bahan kimianya. Bagian potongan primal karkas yang nilai jualnya cukup tingga adalah karkas loin, karkas round, dan karkas shank.Sifat fisik daging merupakan suatu faktor yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan kualitas dari suatu daging. Parameter dalam pengukuran sifat fisik daging antara lain pH, susut masak, daya mengikat air (DMA), warna daging, dan 3 susut mentah (Soeparno 2015). Kurangnya informasi mengenai karakteristik karkas dan sifat fisik daging sapi Bali, yang merupakan preferensi dalam menentukan kualitas daging menunjukkan perlunya dilakukan pengkajian lebih dalam mengenai karakteristik karkas dan sifat fisik bangsa sapi tersebut dengan tingkatan umur berbeda. Sampai saat ini belum pernah dilaporkan kualitas fisik daging sapi Bali pada potongan primal karkas loin, round, dan shank. Kualitas fisik daging dapat diukur berdasarkan besarnya nilai pH, daya ikat air (DIA), susut masak, warna, dan susut mentah. Berdasarkan uraian tersebut dilakukan penelitian tentang kualitas fisik dan kualitas potongan primal karkas sapi Bali pada bagian karkas loin, karkas round, dan karkas shank.
MATERI DAN METODE
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian laboratorium dilaksanakan Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Pengambilan sampel dilakukan di RPH Mambal.Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari persiapan sampai analisis data.
Daging sapi
Materi penelitian ini menggunakan daging sapi bali jantan pada sub primal karkas pada lokasi otot yang berbeda yang diwakili oleh sub primal karkas tender loin, semi aktif
pada sub primal karkas round dan sangat aktif pada sub primal karkas hindshank. Daging sapi yang digunakan sebanyak 10,5 kg, pasif pada sub primal karkas tender loinsemi aktif pada sub primal karkas round sebanyak 3,5 kg dan sangat aktif pada sub primal karkas hind shank sebanyak 3,5kg.
Bahan kimia dan alat
Alat yang digunakan adalah, pisau, talenan, baskom, timbangan analitik, gelas ukur, pH meter, waterbath, plastik bersegel, kertas tissu, aqua gelas, sentrifugasi, tali, chart warna daging, alat tulis, dan kamer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquadest, larutan buffer, air dan daging sapi bali.
Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan tiga perlakuan lokasi otot pada sub primal karkas yang berbeda. Masing – masing perlakuan terdiri dari tujuh ulangan. Perlakuan tersebut adalah adalah sebagaiberikut: P1: Otot pasif diwakili oleh tender loin. P2: Otot semi aktif diwakili karkas round. P3: Otot aktif diwakili oleh hind shank.
Cara kerja
Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan daging sapi di RPH Mambal, kemudian sampel diambil sebanyak 3,5 kg di setiap bagian dagingnya dan dibawa ke Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Percobaan dilakukan dengan pengukuran pH, warna, daya ikat air, susut masak, dan susut mentah dimana setiap ulangan percobaan menggunakan daging sapi sebanyak 0,5 kg di setiap bagian dagingnya.
Variabel yang diamati
Perubah yang diamati yaitu nilai pH, warna, daya ikat air DIA), susut masak dan susut mentah.
Pengukuran nilai pH
Pengujian pH daging berdasarkan Soeparno (2009), yaitu sampel daging seberat 10 g dihaluskan kemudian dicampur dengan 10 ml aquadest kemudian diaduk hingga homogen. Alat pH meter dibersihkan dengan aquadest dan dikalibrasi ke larutan buffer pH 7untuk disesuaikan pH-nya. Setiap larutan diukur pH-nya sebanyak tiga kali dan hasilnya dirata-ratakan sebagai nilai pH daging. 3.3.2 Pengukuran daya ikat air (DIA) Nilai DIA dapat ditentukan dengan metode Hamm (2010). Pengukuran daya ikat air dilaksanakan dengan
menggunakan alat sentrifugasi Clement 2000. 1,5 kg – 2,5 kg daging dilumatkan, kemudian ditimbang, sebagai berat awal. Selanjutnya daging dibungkus dengan kertas saring whatman 41, bungkusan daging selanjutnya dimasukkan ke dalam alat sentrifugasi dan dilakukan pemusingan dengan kecepatan tinggi yaitu 36.000 rpm selama 60menit.Sampel yang sudah dipusingkan, kemudian ditimbang tanpa kertas saring sehingga diperoleh berat akhir. Persentase daya ikat air (DIA) dihitung dengan rumus:
, , Berat awal — Berat akliir
DIA (%)
X 100%
Berat awal
Pengukuran susut masak
Perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau susut masak adalah menurut Soeparno (2009). Sampel daging ditimbang 0,30 kg dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Kantong plastik dilipat dan diklip. Selanjutnya dimasukkan ke dalam penangas air pada temperatur 800oC selama 60 menit. Sampel dicelupkan ke dalam air dingin dan pendinginan dilanjutkan pada suhu kamar selama 30 menit. Sampel harus tercelup seluruhnya selama pendinginan dengan air.Sampel selanjutnya diambil dan dilap dengan tisu tanpa menekannya.Sampel kemudian ditimbang sebagai beratakhir. Susut masak dihitung dengan
rumus:
Berat sebelum dimasak — Berat setelah dimasak
Susut masa =-------—7------7--x 100%
Berat sebelum dimasak
Warna
Pengukuran warna dilakukan dengan memakai chart warna daging dari tujuh foto berwarna yang dibuat oleh Fapple dan Bond (Western Australian Department of Agriculture, unpublish). Terlebih dahulu otot dipotong melintang pada tiga tempat, berjarak sama dan ±30 menit kemudian, penilaian skor warna dilakukan dengan cara membandingkan warna otot di ketiga permukaan potongan melintang otot tersebut dibawah penyinaran alam dengan dengan enam skala warna yaitu : warna 1= pucat pink, 2 = pink, 3 = merah muda, 4 = merah cerah 5 = merah, 6 = merah tua (Soekarto,1985)
Susut mentah
Susut mentah daging ditentukan dengan menimbang sampel daging dengan ketebalan 2,0 cm tanpa lemak dan jaringan ikat. Selanjutnya daging diikat tali dan digantung dalam keadaan terbungkus menggunakan plastik dengan rapat. Daging tidak boleh menyentuh kantong plastik. Gantung daging dalam suhu kamar selama 24 jam. Sebelum ditimbang daging dilap kering dan selanjutnya ditimbang. Weep loss dihitung sebagai kehilangan berat
daging dengan rumus:
Berat awal - Berat akhir
Weep loss =------;--- x 100%
Berat awal
Analisis statistik
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara perlakuan maka analisis diajukan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torrie,1980). Analisis statistic disajikan dalam lampiran 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kualitas fisik (nilai pH, warna, daya ikat air, susut masak dan susut mentah) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis kualitas fisik sub primal karkas sapi bali pada lokasi yang
berbeda
Parameter |
Perlakuan1) |
SEM3) |
Standar 4) | ||
P1 |
P2 |
P3 | |||
Nilai pH |
5,72a2) |
5,73a |
5,88b |
0,04 |
5,5 – 5,8 |
Warna |
5,28a |
5,71a |
6,57b |
0,16 |
6 – 7 |
Daya Ikat air (%) |
25,57b |
21,69b |
19,71a |
0,95 |
20-60% |
Susut masak (%) |
38,78a |
39,79a |
40,14a |
0,50 |
15 -40% |
Susut mentah (%) |
6,03a |
7,02b |
7,35b |
0,19 |
Keterangan:
-
1) P1: Otot pasif diwakili oleh sub primal karkas tender loin
-
P2: Otot semi aktif diwakili oleh bagian sub primal karkas round
-
P3: Otot aktif diwakili oleh bagian sub primal karkas hind shank
-
2) Rataan yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)
-
3) SEM: Standard Error of The TreatmentsMeans
-
4) Standar Nilai Parameter
Nilai pH
Hasil penelitian menunjukkan pH daging sapi bali pada perlakuan P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 5,72. Nilai pH daging pada perlakuan P1 dan P2 masing - masing 2,72% dan 2,55% nyata lebih rendah P3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH daging sapi bali mendapatkan hasil sebesar 5,72-5,88%, namun secara statistik berbeda nyata. Nilai pH daging akan ditentukan oleh jumlah laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses
glikolis anaerob dan hal ini akan terbatas bila glikogen terdeplesi karena lelah, kelaparan atau takut pada hewan sebelum dipotong (Buckle et al., 2007). Menurut Lukman (2010), nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai dibawah 5,3. Hal ini disebabkan oleh enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif bekerja. Menurut Lawrie (2003), penurunan pH daging pada ternak disebabkan oleh beberapa faktor yakni temperatur lingkungan, perlakuan adanya bahan tambahan sebelum di potong dan ternak mengalami stress sebelum pemotongan. Perbedaan nilai pH juga disebabkan oleh kandungan glikogen dari setiap jenis daging sehingga kecepatan glikolisisnya berbeda. Pada penelitian ini di dapatkan hasil bahwa pH hind shank lebih tinggi hal tersebut disebabkan oleh aktifnya ternak dalam bergerak yang menyebabkan banyak aktivitas otot sehingga mampu mempengaruhi pH daging ketika dipotong. Otot yang lebih banyak bergerak kemungkinan persediaan energi otot lebih kecil daripada otot yang pasif sehingga produksi asam laktat berkurang sehingga memberikan dampak nilai pH yang lebih tinggi.
Warna
Hasil penelitian menunjukkan warna daging sapi bali pada perlakuan P1, P2, dan P3 berturut turut adalah 5,28 (Tabel 1). Nilai warna pada perlakuan P1 dan P2 masing – masing 19,63% dan 13,09% nyata lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya ikatan myoglobin dengan oksigen menjadi oksimyoglobin yang memberikan dampak pada warna daging yang lebih gelap. Perubahan pH menyebabkan terdenaturasi dan perubahan muatan protein sehingga mengubah jarak antar serat-serat daging sehingga mempengaruhi warna daging secara visual. Menurut Sriyani et al. (2014) nilai pH yang rendah mengakibatkan lebih banyak sinar yang dipantulkan daripada diserap oleh permukaan daging, hal ini yang menyebabkan warna daging terlihat lebih pucat. Perbedaan hasil warna yang dihasilkan dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kadar pigmen myoglobin daging dan terbentuknya myoglobin yang lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas urat daging (Lawrie, 2003). Otot pasif pada punggungmerupakan otot yang memiliki akitivitas glikogen yang lebih sedikit dan memiliki tipe serabut dengan kerapatan rendah dan banyak memiliki kandungan oksigen yang menyebabkan terjadinya oksimioglobin atau proses oksigen dalam hemoglobin dalam darah yang terikat dalam otot yang menyebabkan warna daging merah cerah, sehingga jika dibandingkan dengan daging otot semi aktif yang berwarna merah agak gelap dan kaki belakang yang memang sangat aktif berperan dalam aktivitas motorik sehingga sedikitnya kandungan oksigen yang didapatkan dari air yang ada di dalam karkas. Menurut (Soeparno,
2015) kandungan air pada otot punggung cenderung lebih banyak dibandingkan dengan otot paha ataupun otot lainnya sehingga warna daging cenderung lebih cerah dibandingkan dengan daging yang memiliki kandungan air lebih sedikit.
Daya ikat air
Hasil penelitian menunjukkan daya ikat air daging sapi bali pada perlakuan P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 25,57% (Tabel 1.). Nilai daya ikat air pada perlakuan P3 dan P2 masing – masing 22,91% dan 15,17% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan P1. Hal ini sejalan dengan pernyataan Soeparno (2015) yang menyatakan bahwa, peningkatan daya ikat air selama pelayuan disebabkan oleh adanya perubahan hubungan antara protein dan air, yaitu peningkatan muatan melalui absorpsi ion K+ dan pembebasan Ca++, atau karena melemahnya ikatan myofibril (aktin dan myosin). Menurut Lawrie (2003) bahwa kandungan protein daging yang baik menyebabkan meningkatnya kemampuan menahan air daging dan begitu pula sebaliknya semakin tinggi jumlah air yang keluar, maka daya mengikat airnya semakin rendah. Daya ikat air juga dipengaruhi oleh pH daging (Alvarado dan McKee, 2007) air yang tertahan di dalam otot meningkat sejalan dengan naiknya pH, walaupun kenaikannya kecil. Selain itu, menurut Sriyani et al. (2015) nilai daya ikat air yang bervariasi disebabkan oleh perlakuan maturasi, pemasakan, biologis (jenis otot, jenis ternak, kelamin, dan umur ternak). Soeparno (2005) menambahkan faktor yang dapat mempengaruhi daya ikat air daging selain protein dan yaitu, stress, bangsa, pembentukan akto-myosin (rigormortis), temperatur dan kelembaban, pelayuan karkas dan daging, tipe otot dan lokasi otot, dan lemak intramuskuler. Disamping itu, setiap otot mempunyai protein daging yang berbeda. Keberadaan lemak intramuskular (lemak marbling) menyebabkan longgarnya ikatan mikrostruktur serabut otot daging sehingga banyak tersedia ruangan bagi protein daging untuk mengikat air (Riyanto, 2001).
Susut masak
Hasil penelitian menunjukan susut masak Pada perlakuan P1, P2 dan P3 berturut- turut 38,78% (Tabel 1.) Nilai susut masak P1 39,79% dan P3 yakni 40,14% nyata lebih besar (P>0,05) Hasil tersebut terlihat bahwa P3 memiliki nilai persentase susut masak lebih besar 3,38% dan 0,87% pada P1 dan P2. Susut masak merupakan salah satu indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan diantara serabut otot. Menurut Sriyani et al. (2015) susut masak yang rendah memiliki kualitas lebih baik karena saat pemasakan kehilangan nutrisi yang lebih sedikit yang
disebabkan oleh peranan otot yang memiliki lemak intramuskuler sehingga mampu menahan air. Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengestimasikan jumlah jus dalam daging masak, jika susut masak rendah maka mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dari pada susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan (Sunarlim, 2005). Lawrie (2003) menyatakan bahwa akumulasi asam laktat akan merusak protein miofibril yang diikuti oleh kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air, sehingga berpengaruh pada susut masak daging. Daya ikat air dapat mempengaruhi jumlah bobot yang hilang selama pemasakan, semakin rendah daya ikat air maka semakin tinggi susut masak dari daging tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Shen dan Swartz (2010) yang menyatakan bahwa setelah ternak mati dan daging mengalami rigormortis, ikatan struktur miofibril dilonggarkan oleh enzim proteolitik, rusaknya komponen protein dari miofibril akan menurunkan daya ikat air daging dan hal ini berdampak pada meningkatnya susut masak. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang melintang pada daging (Soeparno, 2015). Susut masak dapat digunakan untuk meramalkan jumlah kandungan cairan dalam daging masak. Daging yang mempunyai susut masak yang rendah mempunyai kualitas fisik yang relatif lebih baik dari pada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan lebih sedikit (Lawrie, 2003).
Susut Mentah
Hasil penelitian menunjukkan pH daging sapi bali pada perlakuan P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 6,03% (Tabel 1.). Nilai pH daging pada perlakuan P1 dan P2 masing -masing 17,96% dan 4,49%% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan P3. Menurut Soeparno (2015) susut mentah dipengaruhi oleh daya ikat air, daya ikat air yang tinggi menyebabkan susut mentah yang rendah, sedangkan daya ikat air rendah menyebabkan susut mentah tinggi. Susut mentah berbanding lurus dengan susut masak, apabila susut masak meningkat maka susut mentah meningkat dan jika susut masak menurun maka susut mentah menurun juga. Susut mentah daging atau weep loss dapat diartikan sebagai hilangnya beberapa komponen nutrient daging yang ikut bersama keluarnya cairan daging Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai daya ikat air sangat berpengaruh terhadap susut mentah daging.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini potongan sub primal karkas tender loin pada sapi bali memiliki kualitas yang paling baik, dilihat dari variabel nilai pH, warna, daya ikat air, dan susut mentah. Untuk variabel susut masak pada tiga potongan sub primal karkas sapi bali tender loin, round, dan hind shank memiliki nilai yang tidak berbeda nyata.
Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan untuk memilih potongan sub primal karkas tender loin dari yang mempunyai kualitas fisik terbaik.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., IPU., Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS., IPU. dan Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ni Luh Putu Sriyani, S.Pt, MP., IPM., ASEAN Eng. atas fasilitas pendidikan dan pelayanan administrasi kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, D.E., J.C. Forrest, DE Gerrard and E.W. Mills. 2001. Principles of Meat Science. Fourth Edition. W. H. Freeman and Company. San Fransisco, United States of America.
Adryani R. 2012. Keragaman silak tanduk sapi bali jantan dan betina. Buletin Veteriner Udayana. 4(2): 87-93.
Allen & Pereira. (1998). Crop Evapotranpiration – Gguidelines for Computing Crop Water Requirements- FAO Irriganization and drainage paper 56. Rome: Food And Agricalture Organization Of TheUnited Station.
Alvarado, C. dan S. McKee. 2007. Marination to improve functional properties and safety of poultry meat. Journal Appl Poultry Res. 16:113-120.
Ainur, R dan Hartati. 2007. Petunjuk Teknis Perkandangan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Lokal Penelitian Sapi Potong Grati Pasuruan.
Anonymous. 2008.Tip dari Organisasi Makanan Masyarakat Eropa. http://members.tripod.com/pagihp/artikel6.htm. Dikutip pada 5 Desember 2014.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 2007. Ilmu Pangan. Terjemahan: Hari Purnomo Adiono. UI Press. Jakarta
Grau, R., Hamm, R. and Baumann, A. (1960) Über das Wasserbindungsvermögen des toten Säugetiermuskels. I. Biochemical Journal.
Hartono, E. 1997. Beternak Ayam Pedaging Super. Penerbit TB Agency
Hamm. 2010. Metode Influencing Cooking Losses from Meat. J .Food Scl. 2: 5.
Komariah, I. I. Arief, dan Y. Wiguna. 2004. Kualitas fisik dan mikroba daging sapi yang ditambah jahe (Zingiber officinale roscoe) pada konsentrasi dan lama penyimpanan yang berbeda. Jurnal Ilmu Produksi Ternak. 27(2): 46-54
Lawrie. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia Press. Jakarta
Lukman D. W. 2010. Nilai pH Daging.Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor cit Haq AN, Septinova D, dan Santosa PE. 2015.3(3): 98-103.
Riyanto, J. 2001. Karakteristik kualitas fisik dan nutrisi daging sapi PO pada berbagai macam otot. Buletin Peternakan. Edisi Tambahan. 5(5): 232–240.
Samariyanto. 2004. Alternatif kebijakan perbibitan sapi potong dalam era otonomi daerah. Lokakarya Nasional Sapi Potong.
Santosa, K.A. dan Harmadji. 2004. Peranan Gaduhan, PUTP dan PIR dalam Pengembangan Peternakan Sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Bali
Septinova, D., Riyanti, dan V. Wanniatie. 2016. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Universitas Lampung. Bandar Lampung
Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 53-54
Soeparno. 2015. Ilmu dan teknologi daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sriyani, N. L. P., Tirta A. N., Puger, A. W., dan Siti, N.W. 2014. Pengaruh Pakan Daun Pepaya (Carica papaya L) Terhadap Kualitas Fisik Daging Kambing Bligon. Majalah Ilmiah Peternakan. Vol. 17 (3): 91-94.
Sriyani, N.L.P., Artiningsih Rasna N. M., Lindawati S. A., dan Oka A.A. Studi Perbandingan Kualitas Fisik Daging Babi Bali dengan Babi Landrace Persilangan yang Dipotong di Rumah Potong Hewan Tradisional. Majalah Ilmiah Peternakan. Vol 18(1): 26 – 29.
Sriyani, N.L.P., Tirta A., I, N., Lindawati, S.A., dan Miwada, I N.S. 2015. Kajian Kualitas Fisik Daging Kambing yang Dipotong di RPH Tradisional Kota Denpasar. Majalah Ilmiah Peternakan. Vol 18(2): 48-51.
Steel, Robert G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics.McGraw Hill Book Company.
Sunarlim, R. & Widaningrum. 2005. Cara Pemanasan, Suhu, dan Lama Penyimpanan Terhadap Masa Simpan Susu Kambing. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
Talib, C. 2002. Sapi Bali di Daerah Sumber Bibit dan Peluang Pengembangannya. Wartazoa. 12 (3):100-107
Sastra, A. A., J. Peternakan Tropika Vol. 11 No. 2 Th. 2023 : 374 – 385
Page 385
Discussion and feedback