ORGANOLEPTIC QUALITIES OF FRESH, CHILLED, AND FROZEN BEEF
on
ISSN 2722-7286

Jurnal
FAPET UNUD
Jurnal

Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
Submitted Date: July 12, 2022
Accepted Date: May 3, 2023
Editor-Reviewer Article : Eny Puspani & I Made Mudita
KUALITAS ORGANOLEPTIK DAGING SAPI BALI SEGAR, DINGIN DAN BEKU
Lebang, B.B., N.L.P. Sriyani, dan N.L.G. Sumardani
PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar, Bali e-mail: [email protected], Tlp: +6281338955458
ABSTRAK
Daging merupakan salah salah satu sumber protein hewani yang mudah rusak sehingga perlu dilakukan pengawetan agar daging tidak mudah rusak, salah satunya adalah pengawetan pada suhu rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas organoleptik daging sapi bali segar, dingin dan beku. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2022, di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Proses pendinginan dan pembekuan sampel dilaksanakan di rumah potong hewan (RPH) Mambal, Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali. Rancangan yang diigunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 7 ulangan. Perlakuan terdiri atas P1: daging segar, yatu daging yang disimpan kurang dari satu hari pada suhu ruang (27 – 300C); P2: daging dingin, yaitu daging yang disimpan selama dua hari pada suhu refrigerator (0 – 50C); dan P3: daging beku, yaitu daging yang disimpan selama dua hari pada suhu freezer (-20 – -300C). Variabel yang diamati yakni uji organoleptik yang meliputi warna, aroma, tekstur, rasa, keempukan dan penerimaan keseluruhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi daging sapi bali berpengaruh terhadap warna, aroma, rasa, keempukan dan penerimaan keseluruhan, namun tidak berpengaruh terhadap tekstur. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa daging sapi bali segar, dingin dan beku memiliki perbedaan kualitas organoleptik.
Kata kunci: Daging, sapi bali, kualitas organoleptic
ORGANOLEPTIC QUALITIES OF FRESH, CHILLED, AND FROZEN BEEF
ABSTRACT
Beef is one of the sources of animal protein that is easily damaged. Therefore, preservation is needed to ensure that beef is not easily damaged. One of which is preservation at low temperatures. The objective of this study was to determine organoleptic qualities of fresh, chilled, and frozen bali beef. The research was conducted in March 2022, at the Laboratory of Livestock Product Technology and Microbiology, Faculty of Animal Husbandry Udayana University. Chilling and freezing processes were carried out at the

abattoir in Mambal, Abiansemal, Badung Regency, Bali. The design used was Completely Randomized Design (CRD) with 3 treatments and 7 replications. The treatments consisted of P1: fresh beef, beef stored for less than one day at room temperature (27 – 300C); P2: chilled beef, beef stored for two days at refrigerator temperature (0 – 50C); and P3: frozen beef, beef stored for two days at freezer temperature (-20 – -300C). The variables observed in this study were organoleptic qualities which included color, aroma, texture, flavour, tenderness, and overall acceptance. The result showed that the condition of bali beef had effects on color, aroma, flavour, tenderness, and overall acceptance, but had no effect on texture. Based on the results of this study, it can be concluded that fresh, chilled, and frozen bali beef have different organoleptic qualities.
Keywords: Beef, bali cattle, organoleptic quality
PENDAHULUAN
Komponen hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai sumber protein hewani adalah daging. Daging merupakan bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena mengandung zat gizi yang cukup lengkap, baik itu zat gizi mikro maupun makro seperti protein, lemak, mineral serta vitamin yang sangat dibutuhkan oleh tubuh (Ernawati et al., 2018). Daging sapi menjadi pilihan banyak konsumen dalam memenuhi kebutuhan konsumsi protein hewani di Indonesia. Konsumsi daging sapi dan kerbau pada tahun 2019 mencapai sekitar 782,40 ribu ton atau sekitar 2,93 kg per kapita per tahun, dan dalam kurun waktu 2 tahun konsumsi daging sapi mengalami peningkatan sebesar 11 persen jika dibandingkan dengan kajian bahan pokok tahun 2017 (Badan Pusat Statistik, 2021). Konsumsi daging sapi terus mengalami peningkatan, hingga pada tahun 2021 total jumlah sapi yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) di Indonesia tercatat sebanyak 913.885 ekor (Badan Pusat Statistik, 2022). Peningkatan konsumsi daging sapi di Indonesia terjadi karena selain memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi, daging sapi juga terbilang lebih mudah didapatkan dan lebih murah jika dibandingkan dengan hewan ruminansia lainnya seperti daging kambing maupun kerbau. Kebutuhan terhadap daging sapi terus mengalami peningkatan dikarenakan meningkatnya permintaan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan yang bergizi. Daging sapi bali merupakan salah satu yang cukup diminati oleh masyarakat karena dagingnya memiliki cita rasa yang lebih tinggi, lebih gurih dan lezat (tasty beef) (Sriyani, 2016).
Daging adalah salah satu bahan pangan yang mudah mengalami kebusukan jika tidak segera mendapatkan penanganan yang baik setelah proses pemotongan, karena kandungan gizi yang tinggi pada daging menjadi media yang baik bagi aktivitas enzimatis dan pertumbuhan mikroorganisme (Sarassati dan Agustina, 2015). Kerusakan pada daging sapi terjadi karena daging sapi yang disimpan pada ruang terbuka dapat membuat daging tersebut terkontaminasi oleh bakteri dengan mudah (Sangadji, 2013). Salah satu cara pengawetan bahan pangan yang telah lama digunakan adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah, karena dapat menghambat kerusakan dan tetap mempertahankan cita rasa bahan pangan tersebut (Andini dan Swacita, 2014). Penyimpanan berpengaruh terhadap kualitas daging, sesuai dengan hasil penelitian Surardi (2012) yang menyatakan bahwa daging yang disimpan pada suhu kamar selama 12 jam sudah mendekati kebusukan dan selama 18 jam daging telah dinyatakan busuk, sehingga daging yang disimpan pada suhu ruang selama minimal 18 jam sudah tidak layak untuk dikonsumsi.
Daging segar merupakan daging yang belum diolah dan atau tidak ditambahkan dengan bahan apapun, sedangkan daging dingin adalah daging yang mengalami proses pendinginan setelah penyembelihan sehingga temperatur bagian dalam daging antara 00C sampai 40C. Daging beku pada prinsipnya merupakan daging segar yang sudah mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan temperatur internal minimum -180C (Badan Standarisasi Nasional, 2008). Mayoritas masyarakat Indonesia lebih memilih daging segar dibandingkan dengan daging yang telah melalui proses penyimpanan baik itu didinginkan maupun dibekukan, karena masyarakat beranggapan bahwa kualitas daging dingin maupun beku jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan daging segar. Hal ini berkaitan dengan hasil penelitian Aritonang (2015) yang menyatakan bahwa seluruh responden lebih memilih daging segar dengan alasan kualitas daging segar lebih terjamin dan lebih baru serta rasanya lebih enak karena lebih menyerap bumbu ketika dimasak, dan tidak memilih daging dingin maupun beku karena sudah lama disimpan setelah proses pemotongan sehingga kualitasnya berkurang. Menurut Pramono (2001), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi sikap konsumen dalam memilih daging di pasaran, dan salah satu yang berpengaruh adalah kondisi daging tersebut baik dalam keadaan segar, dingin maupun beku.
Berdasarkan pandangan masyarakat mengenai perbedaan kualitas antara daging segar, dingin dan beku tersebut, maka dilakukan penelitian untuk melihat kualitas organoleptik daging sapi bali segar, dingin dan beku. Berdasarkan pada hasil penelitian Ernawati et al.
(2018) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kandungan gizi antara daging segar, dingin, dan beku, baik di pasar tradisional maupun swalayan, kecuali kadar protein, ditambah lagi dengan perilaku konsumen yang biasanya memilih daging dengan menggunakan indera penglihatan, penciuman dan indera peraba, sehingga diharapkan dengan penelitian ini dapat memberikan pedoman bagi masyarakat mengenai kualitas daging sapi, khususnya kualitas organoleptik daging sapi bali segar, dingin maupun beku.
MATERI DAN METODE
Waktu dan tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan, pada bulan Maret 2022 di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jalan P.B Sudirman, Denpasar. Pendinginan dan pembekuan sampel dilaksanakan di rumah potong hewan (RPH) Mambal, Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali.
Objek penelitian
Objek penelitian menggunakan daging sapi bali segar, dingin dan beku. Daging sapi bali yang digunakan diperoleh dari rumah potong hewan (RPH) Mambal, Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali.
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi bali dengan bobot potong sekitar 300 kg, pada potongan sub primal karkas sirloin (otot Longissimus dorsi) dalam kondisi segar, dingin, dan beku, masing-masing sebanyak ± 700 g, dan minyak goreng.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah baskom, pisau, talenan, nampan, plastik klip, box kontainer plastik, piring plastik, kompor gas, gas LPG, wajan, tisu, tusuk gigi, timbangan digital, kertas label, kertas kuisioner dan alat tulis.
Rancangan percobaan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 7 ulangan. Ketiga perlakuan tersebut adalah sebagai berikut:
P1: Daging segar, yaitu daging yang disimpan kurang dari satu hari pada suhu ruang (270C sampai 300C)
P2: Daging dingin, yaitu daging yang disimpan selama dua hari pada suhu refrigerator (00C sampai 50C)
P3: Daging beku, yaitu daging yang disimpan selama dua hari pada suhu freezer (-200C sampai -300C)
Prosedur penelitian
Tahapan penelitian dimulai dengan persiapan daging sapi untuk sampel dingin dan beku di RPH Mambal. Bagian daging yang diambil sebagai sampel penelitian adalah potongan sub primal karkas sirloin, dan pada saat pengambilan sampel dilakukan pula wawancara untuk mendapatkan informasi lama penyimpanan daging dan asal ternak. Sampel daging beku selanjutnya di thawing di Laboratorium 8 jam sebelum pelaksanaan uji organoleptik. Tahapan selanjutnya adalah pengambilan sampel daging sapi segar dan dingin dari RPH Mambal. Daging yang telah diperoleh selanjutnya dipotong untuk masing-masing perlakuan, dan diletakkan di dalam wadah yang sebelumnya telah disterilkan terlebih dahulu. Setelah itu, dilanjutkan dengan uji organoleptik oleh para panelis. Daging yang digunakan untuk uji variabel rasa dan keempukan digoreng terlebih dahulu dengan potongan daging 2 x 2 cm, sedangkan untuk uji variabel warna, aroma, dan tekstur menggunakan daging mentah.
-
1. Daging segar
Daging segar yang digunakan adalah daging dari ternak yang dipotong pada hari yang sama pada saat melakukan penelitian. Daging diambil dari RPH 8 jam setelah pemotongan, dan dibungkus dengan plastik klip untuk menghindari kontaminasi dengan lingkungan luar, dalam hal ini mikroba. Sampel juga diberi label yang berisi keterangan daging tersebut.
-
2. Daging dingin
Daging didinginkan dua hari sebelum penelitian, dengan prosedur daging segar dari sapi yang baru dipotong dibungkus menggunakan plastik klip agar permukaan daging tidak kering karena temperatur yang rendah. Daging yang sudah dibungkus tersebut kemudian dimasukkan kedalam lemari pendingin (refrigerator atau chiller) dengan suhu antara 00C sampai 50C selama dua hari. Sebelum dimasukkan ke dalam lemari pendingin, sampel daging diberi label yang berisi keterangan daging tersebut.
-
3. Daging beku
Proses pembekuan daging segar dilakukan dua hari sebelum penelitian, dengan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah proses pembekuan, di mana daging segar dibungkus menggunakan plastik klip untuk menghindari dehidrasi atau kekeringan (freezer burn). Daging kemudian diberi label yang berisi keterangan mengenai sampel daging tersebut, dan
selanjutnya dimasukkan ke dalam blast freezer dengan suhu antara -300C sampai -500C selama 24 jam. Tahap kedua yaitu proses penyimpanan beku yang dilakukan setelah proses pembekuan, yaitu daging dipindahkan ke freezer dengan suhu sekitar -200C dan disimpan selama satu hari.
-
4. Thawing
Proses thawing dilakukan dengan teknik mengeluarkan sampel daging beku dari freezer kemudian diletakkan di dalam ruangan dengan temperatur ruang antara 270C sampai 300C selama sekitar 6 sampai 8 jam sebelum dilakukan pengujian terhadap sampel tersebut. Pada saat proses thawing, daging tidak perlu dikeluarkan dari plastik klip agar tetap aman dari kontaminasi lingkungan luar.
Variabel pengamatan
Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi uji mutu hedonik yakni warna, aroma, tekstur, rasa, dan keempukan, serta uji hedonik yaitu penerimaan keseluruhan. Pengujian tingkat kesukaan konsumen, dilakukan uji hedonik (uji kesukaan) dengan 25 orang panelis semi terlatih dari mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Udayana, dengan kondisi perut dalam keadaan kosong atau belum makan siang pada saat melakukan uji organoleptik. Panelis memberikan penilaian produk berdasarkan analisis sensori dan mengemukakan responnya terhadap sifat bahan yang diuji. Panelis mengisi format dengan memberikan tanda (√) pada jawaban yang sesuai menurut panelis. Format penilaian uji mutu hedonik, yaitu warna, aroma, tekstur, rasa, dan keempukan, sedangkan pada uji hedonik adalah penerimaan keseluruhan. Teknik yang digunakan adalah teknik scoring, dimana skor yang digunakan dalam uji hedonik berkisar antara 1 sampai 5 yang menunjukkan tingkat kesukaan dari sangat tidak suka sampai sangat suka.
Analisis statistika
Data organoleptik yang diperoleh, selanjutnya dianalisis menggunakan analisis non-parametrik (Kruskal-Wallis), dan apabila terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney (Siegel, 1997).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis uji kualitas organoleptik daging sapi bali segar, dingin dan beku dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas Organoleptik Daging Sapi Bali Segar, Dingin dan Beku
Variabel |
Perlakuan1) |
SEM2) | ||
P1 |
P2 |
P3 | ||
Warna |
3,84b |
3,52b |
2,04a 3) |
0,129 |
Aroma |
3,96b |
3,56b |
2,96a |
0,110 |
Tekstur |
2,88a |
3,04a |
3,20a |
0,099 |
Rasa |
3,32ab |
3,64b |
2,92a |
0,107 |
Keempukan |
3,24b |
4,28c |
2,56a |
0,140 |
Penerimaan Keseluruhan |
3,52a |
4,04b |
3,36a |
0,102 |
Keterangan:
P2 : Daging sapi bali dingin P3 : Daging sapi bali beku
|
sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,05) |
Hasil uji statistik pada parameter warna menunjukkan bahwa warna daging sapi bali tidak berbeda nyata (P>0,05) pada P1 terhadap P2, namun warna daging sapi bali nyata lebih rendah (P<0,05) pada P3 terhadap P1 dan P2. Rata-rata penilaian panelis terhadap warna daging sapi bali pada P1 yaitu 3,84 (cerah), P2 yaitu 3,52 (cenderung cerah) dan P3 yaitu 2,04 (cenderung gelap). Daging yang baik adalah daging yang berwarna merah cerah dari darah segar (Pertiwi dan Soenarno, 2020). Warna daging sapi bali yang tidak berbeda nyata antara daging segar dan daging dingin dapat dipengaruhi oleh lama penyimpanan. Kecerahan daging akan berkurang seiring dengan semakin lama penyimpanan daging dalam refrigerator, karena terjadinya perubahan oksimioglobin yang terdapat pada daging dan berperan dalam pembentukan kecerahan warna daging (Silaban et al., 2021). Penurunan warna pada daging beku dapat terjadi akibat adanya denaturasi protein myoglobin terutama saat proses thawing. Pembekuan dapat berpengaruh terhadap warna daging yang merupakan salah satu parameter kualitas daging, karena berkaitan dengan denaturasi protein myoglobin. Selama proses pembekuan terjadi denaturasi protein terutama protein myoglobin sehingga menyebabkan hilangnya stabilitas warna (Ernawati et al., 2018). Denaturasi bagian globin dari molekul myoglobin terjadi pada beberapa tahap selama pembekuan, penyimpanan beku dan pencairan (Calvelo, 1981 dalam Akhtar et al., 2013). Proses thawing pada daging beku berpengaruh
terhadap warna daging karena dapat mempercepat penurunan warna daging (Jeong et al., 2011). Hal ini dikarenakan pada saat melakukan proses thawing pada daging yang sudah dibekukan, myoglobin yang merupakan pigmen warna merah pada daging menjadi berkurang karena ikut keluar bersamaan dengan air dalam driploss (Diana dan Kardaya, 2018).
Hasil penelitian pada parameter aroma menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) pada P1 terhadap P2, namun aroma daging sapi bali nyata lebih rendah (P<0,05) pada P3 terhadap P1 dan P2. Rata-rata penilaian panelis terhadap aroma daging sapi bali pada P1 yaitu 3,96 (segar), P2 yaitu 3,56 (segar) dan P3 yaitu 2,96 (cukup segar). Persepsi flavour yang berperan besar adalah bau (odor) dan aroma yang dideteksi oleh hidung (Soeparno, 2015). Menurut Pertiwi dan Soenarno (2020), daging yang baik dari segi aroma adalah daging yang tidak anyir dan tidak mengeluarkan bau busuk. Aroma daging dapat dipengaruhi oleh masa penyimpanan daging tersebut karena adanya proses oksidasi, akibat kontraksi dengan udara yang menyebabkan penguapan sehingga aromanya berkurang, bahkan akan menimbulkan aroma busuk jika semakin lama (Firahmi et al., 2015). Berry (1990) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa penyimpanan yang semakin lama akan menurunkan kualitas daging secara bertahap, terutama pada warna, aroma dan rasa daging tersebut. Huang et al. (2013) menambahkan bahwa senyawa volatil dan aroma segar pada daging yang dibekukan akan menurun seiring waktu penyimpanan, sementara senyawa dan aroma yang menyengat akan secara bertahap mengalami peningkatan. Senyawa-senyawa berbau busuk yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme seperti amonia, H2S, indolm dan amin (Luthana 2009 dalam Jaelani et al., 2014). Reaksi kimia yang terjadi selama proses pembekuan dapat menginisiasi oksidasi primer pada lipid, dan berlanjut pada oksidasi radikal sekunder selama proses thawing sehingga dapat berpengaruh terhadap perubahan warna, aroma dan rasa pada daging (Akhtar et al., 2013). Sifat kuantitatif maupun organoleptik daging seperti warna, flavour dan kadar jus daging tidak dipengaruhi secara spesifik oleh proses pembekuan, namun proses penyimpanan beku dapat mengakibatkan penurunan daya terima bau dan flavour (Soeparno, 2015).
Hasil uji statistik pada parameter tekstur menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) pada tekstur daging sapi bali baik P1, P2 maupun P3. Rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur daging sapi bali pada P1 yaitu 2,88, P2 yaitu 3,04 dan P3 yaitu 3,20. Pengujian mutu hedonik terhadap variabel tekstur pada daging sapi bali pada P1, P2 dan P3 menunjukkan skala cukup kasar. Kondisi daging sapi bali, baik daging segar, dingin maupun
beku tidak berpengaruh terhadap tekstur daging tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi tekstur daging adalah faktor antemortem seperti genetik, bangsa ternak, spesies, jenis kelamin dan manajemen pemeliharaan (Amertaningtyas, 2012). Sifat kasar dari tekstur pada umumnya akan lebih besar pada ternak jantan daripada ternak betina (Merthayasa et al., 2015), serta dapat juga dipengaruhi oleh bangsa ternak (Gunawan, 2013). Miller et al. (2001) menambahkan bahwa tekstur daging bisa bervariasi di antara potongan karkas, dan di antara otot. Berdasarkan pada pendapat terdahulu, tekstur daging sapi bali baik dalam kondisi segar, dingin maupun beku tidak berbeda nyata (P>0,05) karena sampel yang digunakan dalam penelitian relatif homogen.
Hasil uji statistik pada parameter rasa menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) pada P1 terhadap P2, serta P1 terhadap P3, namun rasa daging sapi bali nyata lebih tinggi (P<0,05) pada P2 terhadap P3. Rata-rata penilaian panelis terhadap rasa daging sapi bali pada P1 yaitu 3,32 (cukup gurih), P2 yaitu 3,64 (gurih) dan P3 yaitu 2,92 (cukup gurih). Penerimaan konsumen terhadap organoleptik suatu produk yang menempati peringkat teratas adalah rasa dari produk tersebut (Kayana dan Suarta, 2020). Rasa pada daging dingin yang lebih gurih jika dibandingkan dengan daging segar dan daging beku dapat dipengaruhi oleh proses pelayuan atau aging yang terjadi pada daging dingin. Pelayuan pada ruang tertutup dilakukan setelah proses pemotongan dengan melayukan daging pada suhu 00C sampai 50C setelah daging melewati fase rigormortis (Zahro et al., 2021). Pelayuan daging akan berpengaruh terhadap keempukan, flavour dan daya ikat air pada daging tersebut (Kayana dan Suarta, 2020). Terjadi peningkatan flavour daging selama pelayuan yang berhubungan dengan pemecahan nukleotida (Soeparno, 2015). Pelayuan juga dapat meningkatkan asam-asam amino bebas dan peptid di dalam daging yang berpengaruh dalam perbaikan rasa pada daging (Nashimura, 2003). Proses pendinginan daging selama pelayuan (aging) menjaga senyawa volatil berupa fenol dan hidrokarbon (Huang et al., 2013). Hasil penelitian Jahidin (2015) menunjukan bahwa volatil fenol merupakan komponen yang memberikan pengaruh utama terhadap flavor daging sapi.
Hasil uji statistik pada parameter keempukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0,05) pada keempukan daging sapi bali baik P1, P2 maupun P3. Keempukan daging sapi bali dingin nyata lebih tinggi terhadap daging segar maupun beku. Rata-rata penilaian panelis terhadap keempukan daging sapi bali pada P1 yaitu 3,24 (cukup alot), P2 yaitu 4,28 (empuk) dan P3 yaitu 2,56 (alot). Nilai keempukan pada daging segar menunjukkan bahwa
daging tersebut cukup alot, yang dapat disebabkan oleh daging segar yang masih memiliki kondisi rigormortis yang belum sempurna, sehingga menyebabkan jaringan otot pada daging menjadi keras, kaku, dan alot setelah pemotongan (Sanjaya 2020). Nilai keempukan tertinggi pada daging dingin dapat disebabkan terjadinya peningkatan keempukan daging selama pelayuan yang merupakan akibat dari kerja enzim-enzim proteolitik pada otot terhadap protein fibrus otot yang mampu mendegradasi protein-protein otot (Soeparno, 2015). Menurut Apriantini et al. (2021), keempukan daging lebih dipengaruhi oleh proses aging pada daging tersebut dan kondisi ternak sebelum disembelih. Peningkatan keempukan daging dikarenakan terjadinya denaturasi protein pada saat pelayuan (Lawrie, 1979). Enzim yang terdapat pada daging pada prinsipnya akan memutus myofibril (protein daging) dan jaringan ikat selama proses pelayuan sehingga menyebabkan daging menjadi lebih empuk (Zahro et al., 2021). Sanjaya (2020) menambahkan bahwa proses pelayuan daging yang sudah melalui fase pasca-rigor menjadikan daging empuk kembali karena terjadinya proses pemecahan glikogen yang membuat enzim katepsin menjadi aktif sehingga struktur molekul protein serat otot (aktin dan miosin) menjadi longgar dan menyebabkan daya ikat air oleh otot kembali meningkat.
Kondisi daging beku yang memiliki tingkat keempukan paling rendah dapat terjadi akibat prosedur pembekuan yang dilaksanakan kurang tepat, karena proses pembekuan di RPH Mambal dilakukan dengan memasukkan daging segar secara langsung ke dalam blast freezer tanpa melalui proses chilling terlebih dahulu. Menurut Miwada (2015), kualitas daging beku dapat ditentukan dari penanganan daging sebelum dibekukan, yang berkaitan dengan faktor-faktor yang perlu dilakukan sebelum pembekuan seperti pelayuan daging dan pengemasan. Widiati (2012) menambahkan bahwa faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk mampu menghasilkan daging beku dengan kualitas yang baik adalah lama pelayuan daging sebelum dibekukan, temperatur pembekuan dan bahan pengemas yang digunakan. Lama proses pelayuan pada daging berkaitan dengan selesainya proses rigormortis atau proses kekakuan daging, karena apabila daging terlanjur dibekukan sebelum proses rigormortis selesai, maka akan menurunkan kualitas daging karena mengalami proses pemendekan serabut otot atau cold-shortening (pengkerutan dingin), ataupun thaw rigor (kekakuan akibat pencairan daging ketika thawing) sehingga menghasilkan daging yang tidak empuk atau alot (Buckle et al., 1978).
Hasil uji statistik pada parameter penerimaan keseluruhan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) pada P1 terhadap P3, namun penerimaan keseluruhan daging sapi bali nyata lebih tinggi (P<0,05) pada P2 terhadap P1 maupun P3. Rata-rata penilaian panelis terhadap penerimaan keseluruhan daging sapi bali pada P1 yaitu 3,52 (cenderung suka), P2 yaitu 4,04 (suka) dan P3 yaitu 3,36 (netral). Daging sapi bali yang paling disukai oleh panelis adalah daging dingin, yang merupakan hasil penilaian kumulatif para panelis dari lima variabel sebelumnya yakni warna, aroma, tekstur, rasa dan keempukan. Peningkatan nilai organoleptik daging yang memiliki mutu atau kualitas yang baik ditentukan oleh aroma, warna, tekstur, dan citarasa yang baik pula (Winarno, 2004).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kualitas organoleptik pada daging sapi bali segar, dingin dan beku. Daging sapi bali dengan kualitas organoleptik terbaik adalah pada daging dingin, berdasarkan penilaian panelis terhadap pengujian organoleptik daging.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disarankan untuk pemilihan daging sapi bali dingin, yaitu daging yang didinginkan selama minimal dua hari setelah melalui proses pemotongan untuk mendapatkan kualitas organoleptik daging yang baik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., IPU., Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS, IPU., dan Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ni Luh Putu Sriyani, S.Pt, MP., IPM., ASEAN Eng. atas fasilitas pendidikan dan pelayanan administrasi kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Akhtar, S., M.I. Khan, and F. Faiz. 2013. Effect of thawing on frozen meat quality: A comprehensive review. Pakistan Journal of Food Sciences. 23(4): 198-211.
Amertaningtyas D. 2012. Kualitas daging sapi segar di pasar tradisional Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. J. Ilmu dan Tek. Hasil Ternak. 7(1): 42-47.
Andini, M., dan I.B.N. Swacita. 2014. Kualitas daging sapi wagyu dan daging sapi bali yang disimpan pada suhu 40C. Indonesia Medicus Veterinus. 3 (5): 430-435.
Apriantini, A., I.I. Arief, L.C. ENSD, S. Riyanto, dan R. Adiyoga. 2021. Persepsi dan perilaku konsumen bisnis terhadap daging sapi beku, studi kasus: DKI Jakarta, Indonesia. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. 9 (1): 20-29.
Aritonang, S.N. 2015. Perilaku konsumen rumah tangga dalam memilih daging sapi di kota Padang (the behavior of household consumers in choosing the beef in Padang). Jurnal Ilmu Ternak Universitas Padjadjaran. 15 (2).
Badan Pusat Statistik. 2021. Konsumsi Bahan Pokok 2019. BPS RI, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2022. Statistik Indonesia 2022. BPPS RI, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 3932:2008 Mutu Karkas dan Daging Sapi. BSN, Jakarta.
Berry, B.W. 1990. Changes in quality of all‐beef and soy‐extended patties as influenced by freezing rate, frozen storage temperature, and storage time. Journal of Food Science. 55(4): 893-897.
Buckle, K.A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wooton, 1978. Food Science. Watson Ferguson & Co. Brisbane, Australia.
Diana, D.E., dan D. Kardaya. 2018. Kualitas fisik dan kimiawi daging sapi beku pada berbagai metode (thawing physical and chemical qualities of frozen beef within different thawing method). Jurnal Pertanian. 9(1): 51-60.
Ernawati, F., N. Imanningsih, N. Nurjanah, E. Sahara, D. Sundari, A.Y. Arifin, dan M. Prihatini. 2018. Kualitas daging beku, dingin dan segar: pH dan zat gizi makro. Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research). 41 (1): 21-30.
Firahmi, N., S. Dharmawati, dan M. Aldrin. 2015. Sifat fisik dan organoleptik bakso yang dibuat dari daging sapi dengan lama pelayuan berbeda. Al Ulum Jurnal Sains dan Teknologi. 1(1): 39-45.
Gunawan, L. 2013. Analisa perbandingan kualitas fisik daging sapi impor dan daging sapi lokal. Jurnal Hospitality dan Manajemen Jasa. 1(1): 146-166.
Huang, L., Y.L. Xiong, B. Kong, X. Huang, X. and J. Li. 2013. Influence of storage temperature and duration on lipid and protein oxidation and flavour changes in frozen pork dumpling filler. Meat Science. 95(2): 295-301.
Jaelani, A., S. Dharmawati, dan W. Wanda. 2014. Berbagai lama penyimpanan daging ayam broiler segar dalam kemasan plastik pada lemari es (suhu 40C) dan pengaruhnya terhadap sifat fisik dan organoleptik. Ziraa'ah Majalah Ilmiah Pertanian. 39(3): 119128.
Jahidin, J. P., R.A. Maheswari, dan I.I. Arief. 2015. Analisis komponen volatil flavor dendeng batokok dengan bahan pengasap serbuk gergaji medang. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 18(1): 1-7.
Jeong, J.Y., G.D. Kim, H.S. Yang, and S.T. Joo. 2011. Effect of freeze–thaw cycles on physicochemical properties and color stability of beef semimembranosus muscle. Food Research International. 44(10): 3222-3228.
Kayana, I.N., dan I.G. Suarta. 2020. Hubungan keinginan konsumen terhadap kuliner di wilayah pariwisata Nusa Dua, Kuta Selatan, Badung. Majalah Ilmiah Peternakan, 23 (2): 60-65.
Lawrie, R. A. 1979. Meat Science. 3rd edition. Pergamon Press. Oxford.
Merthayasa, J.D., I.K. Suada, dan K.K. Agustina. 2015. Daya ikat air, pH, warna, bau dan tekstur daging sapi bali dan daging wagyu. Indonesia Medicus Veterinus, 4(1): 16-24
Miller, M.F., M.A. Carr., C.B. Ramsey, K.L. Crocckett, and L.C. Hoover. 2001. Consumed thresholds for establishing the value of beef tenderness. Journal of Animal Science. 79: 3062-3068.
Miwada, I.N.S. 2015. Teknologi Pembekuan Daging: Bentuk Selamat Dari Pembusukan. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar.
Nashimura, T. 2003. Food factors in health promotion and disease prevention. ACS Symposium Series. 37(851): 419.
Pertiwi, A.F., dan M.S. Soenarno. 2020. Persepsi masyarakat Desa Situgede Kota Bogor terhadap daging sapi beku impor dan daging sapi segar lokal. Jurnal Pusat Inovasi Masyarakat (PIM). 2(5): 850-859.
Pramono, A. 2001. Perilaku Konsumen Rumah Tangga dalam Memilih Daging Sapi di Perumahan Bumi Indra Prasta Bogor. Doctoral Dissertation, Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor.
Sangadji, I. 2013. Lama penyimpanan daging sapi terhadap ALT bakteri. BIOSEL (Biology Science and Education): Jurnal Penelitian Science dan Pendidikan. 2 (1): 1-8.
Sanjaya, S. D. 2020. Pengaruh dosis kromanon deamina dan waktu pendiaman pada suhu ruang terhadap perubahan kimia dan fisik daging ayam broiler bagian dada. Doctoral Dissertation, Unika Soegijapranata Semarang.
Sarassati, T., dan K.K. Agustina. 2015. Kualitas daging sapi wagyu dan daging sapi bali yang disimpan pada suhu-190C. Indonesia Medicus Veterinus, 4(3): 178-185.
Silaban, I.E., A. Wibowo., dan I. Ibrahim. 2021. Pengamatan perubahan sifat fisik pada otot longissimus dorsi pada sapi pasca penyembelihan selama masa simpan dingin. Jurnal Peternakan Lingkungan Tropis. 4 (2): 1-10.
Soeparno. 2015. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan keenam. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sriyani, N.L.P. 2016. Karkas Sapi Bali Unggul. Newsletter Sapi Bali. 5 (2): 2.
Suradi, K. 2012. Pengaruh lama penyimpanan pada suhu ruang terhadap perubahan nilai pH, TVB dan total bakteri daging kerbau (effect of storage length in the room temperature on pH, TVB, and total bacteria changes of buffalo meat). Jurnal Ilmu Ternak Universitas Padjadjaran. 12 (2): 9-12.
Widati, A.S. 2012. The influence of aging period, freezing temperature and packaging material on frozen beef chemical quality. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak (JITEK). 3(2): 39-49.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Zahro, S.F., K.A. Fitrah, S.A. Prakoso, dan L. Purnamasari. 2021. Pengaruh pelayuan terhadap daya simpan dan keempukan daging. Jurnal Peternakan Indonesia (Indonesian Journal of Animal Science). 23(3): 235-239.
Lebang, B.B., J. Peternakan Tropika Vol. 11 No. 2 Th. 2023 : 397 – 410
Page 410
Discussion and feedback