THE DIGESTIBILITY VALUE OF COMMERCIAL RATIONS AND CONVENTIONAL RATIONS IN LAYING HENS ISA BROWN
on
ISSN 2722-7286
Jurnal
FAPET UNUD
Jurnal
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
Submitted Date: May 22, 2022
Accepted Date: January 3, 2023
Editor-Reviewer Article : A.A. Pt. Putra Wibawa & Eny Puspani
NILAI CERNA RANSUM KOMERSIAL DAN RANSUM KONVENSIONAL PADA AYAM PETELUR ISA BROWN
Trisnayanthi, N. N. A, I P. A. Astawa, I G. Mahardika
PS. Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali e-mail : [email protected],Telp +6282147600449
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai cerna ransum komersial dan ransum konvensional pada ayam petelur isa brown. Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat yaitu yang pertama di Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali dan yang kedua di Laboraturium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang berlangsung selama satu bulan satu minggu. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), 4 perlakuan dan 4 ulangan, sehingga terdapat 16 unit percobaan. Masing-masing unit percobaan menggunakan 10 ekor ayam petelur. Keempat perlakuan tersebut adalah ayam yang di berikan ransum komersial (P0), Ayam yang di berikan ransum konvensional 1 (P1), Ayam yang di berikan ransum konvensional 2 (P2), Ayam yang di berikan ransum konvensional 3 (P3). Variabel yang diamati meliputi kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan serat kasar, kecernaan protein kasar. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ransum komersial dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik, serta menurunkan kecernaan serat kasar dan memberikan hasil yang sama pada kecernaan protein kasar terhadap ransum konvensional.
Kata kunci : Ayam petelur isa brown, nilai cerna, ransum komersial dan konvensional.
THE DIGESTIBILITY VALUE OF COMMERCIAL RATIONS AND CONVENTIONAL RATIONS IN LAYING HENS ISA BROWN
ABSTRACT
This study aims to determine the digestibility value of commercial and conventional rations in laying hens isa brown.This research was carried out in two places, the first in Candikusuma Village, Melaya District, Jembrana Regency, Bali and the second in the Nutrition and Animal Feed Laboratory, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University which lasted for one months one week. The design used was a Completely Randomized Design (CRD) with 4 treatments and 4 replications, so there were 16 experimental units. Each experimental unit used 10 laying hens. The four treatments were laying hens that were given
commercial feed (P0), laying hens that were given conventional rations 1(P1), laying hens that were given conventional rations 2 (P2), laying hens that were given conventional rations 3 (P3). Based on the results of this study, it can be concluded that commercial rations can increase the digestibility of dry matter and organic matter, and reduce digestibility of crude fiber and give the same results on digestibility of crude protein as conventional rations.
Keywords : Laying hens Isa Brown, digestibility, commersial and conventional rations.
PENDAHULUAN
Peternakan merupakan salah satu sub-sektor pertanian dalam arti luas yang memegang peranan cukup penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat terutama dalam memenuhi kebutuhan akan protein hewani. Salah satu ternak yang mempunyai potensi untuk dikembangkan adalah ayam strain petelur. Masyarakat di Indonesia tentunya sudah mengenal jenis ayam strain petelur, dikarenakan ayam strain petelur merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Ayam strain petelur yakni banyak diusahakan oleh masyarakat baik dalam skala kecil yang dikelola oleh sekelompok masyarakat peternak dan juga dikelola oleh keluarga.
Ayam strain petelur Isa Brown termasuk ayam petelur tipe medium. Ayam strain petelur Isa Brown merupakan hasil persilangan Rhode Island White dan Rhode Island Red. Strain Isa Brown mulai berproduksi pada umur 18-19 minggu. Periode bertelur Isa Brown pada puncak produksinya mencapai 96 % dengan jumlah telur 250-300 butir/ekor/tahun (Sastrawan et al., 2020).
Ransum merupakan sumber nutrisi utama bagi suatu ternak. Ransum berkualitas sangat diperlukan untuk menunjang performa ternak yang optimal (Astawa dan Mahardika., 2015). Agar mendapatkan produktivitas maksimal maka sangat perlu diperhatikan kualitas dari suatu bahan ransum itu sendiri. Pada umumnya peternak ayam petelur memberikan ransum komersial (ransum lengkap atau konsentrat), dan ada juga yang memformulasi bahan ransum sendiri dengan bahan – bahan yang sudah biasa diberikan pada ransum ternak. Pemberian ransum tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ialah harga dari ransum tersebut, karena biaya ransum dalam usaha peternakan mencapai kurang lebih 70 % -80 % dari biaya produksi (Tangendjaja, 2007).
Peternak ayam petelur di Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana memberikan ransum dengan memformulasi sendiri dari beberapa bahan ransum diantaranya ialah jagung, dedak padi, tepung ikan dan PB (pakan broiler) 1. Diberikan
tambahan PB 1 bertujuan untuk menekan biaya bahan ransum yang memiliki harga cukup tinggi. Menurut Mampioper et al., (2008) dengan menyusun formula ransum menggunakan ketersediaan bahan ransum lokal sangatlah penting untuk mengurangi ketergantungan dari peternak akan ransum komersial. Dengan membuat ransum sendiri dapat mempunyai potensi tersedia sumber ransum melimpah dengan harga yang murah seperti dedak padi, tepung ikan dapat dijadikan alternatif untuk menghemat biaya dari ransum. Yang terpenting dalam menyusun ransum sendiri yaitu dimana ransum tersebut harus memenuhi nutrisi yang dibutuhkan oleh ayam petelur dalam jumlah yang tepat (Subekti, 2012).
Pengukuran nilai kecernaan dari suatu bahan ransum dapat dilakukan secara langsung terhadap ternak unggas tersebut. Pengukuran kecernaan merupakan suatu usaha untuk menentukan jumlah zat yang dapat diserap oleh saluran pencernaan, dengan mengukur jumlah makanan yang dikonsumsi dan jumlah makanan yang dikeluarkan melalui feses. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui tentang bagaimana pengaruh nilai cerna ransum komersial dan ransum konvensional pada ayam petelur isa brown.
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat yaitu yang pertama di Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali dan yang kedua di Laboraturium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang berlangsung selama satu bulan satu minggu.
Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian pada saat dilapangan yaitu timbangan digital dengan kapasitas 1 kg yang digunakan untuk menimbang ransum dan sisa ransum yang diberikan pada ayam petelur. Mixer yang digunakan untuk mencampur ransum ayam. Alat tulis digunakan untuk mencatat berat telur, konsumsi ransum, dan peralatan yang digunakan pada saat di lab adalah cawan porselin, neraca analitik, desikator, tray, pinset, pipet, beaker gelas, tabung berpenutup, tol beaker, hotplate, corong buchner, pompa vakum, kertas saring, vapodest destilator, tungku kjeldehitherm, turbosog, tabung digest, erlenmeyer, labu ukur, gelas ukur, top buret digital, neraca analitik, sarung tangan anti panas.
Kandang
Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang dengan sistem baterai permanen yang terbuat dari kawat sebanyak 80 petak. Setiap petak berukuran panjang 35 cm, lebar 30 cm. Semua petak kandang terletak pada sebuah bangunan dengan atap terbuat dari asbes dan lantai dari beton. Tiap deret kandang dilengkapi tempat pakan dari pipa paralon dan tempat air minum otomatis (nipple).
Ransum
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum komersial jenis piala (PL 241) dan ransum konvensional yaitu jagung, dedak padi, konsentrat, mineral, tepung ikan. Komposisi bahan penyusun ransum konvensional adalah seperti pada Tabel 1 dan kandungan zat gizi ransum perlakuan pada Tabel 2
Tabel 1. Komposisi Bahan Penyusun Ransum Komersial dan Ransum Konvensional Ayam Ras Petelur
Ransum (%) |
Ransum Perlakuan1) | |||
P0 |
P1 |
P2 |
P3 | |
Piala (PL 241) |
100 |
30 |
29 |
28 |
Konsentrat (KLK)2) |
- |
10 |
9 |
8 |
Pakan Broiler 13) |
- |
10 |
9 |
8 |
Jagung |
- |
30 |
31,6 |
32,7 |
Dedak Padi |
- |
10 |
11 |
12 |
Tepung ikan |
- |
9,5 |
10 |
11 |
Mineral |
- |
0,5 |
0,4 |
0,3 |
TOTAL |
100 |
100 |
100 |
100 |
Keterangan :
1. P0 = Ransum komersial atau ransum piala produksi PT. JAFPA COMFEED INDONESIA, Tbk.
(PL 241)
P1 = Ransum konvensional 1
P2 = Ransum konvensional 2
P3 = Ransum Konvensional 3
2. Konsentrat (KLK) produksi PT. JAFPA COMFEED INDONESIA Tbk.
3. Pakan Broiler 1 produksi PT. JAFPA COMFEED INDONESIA Tbk.
Tabel 2. Kandungan Zat Gizi Ransum Perlakuan
Kandungan zat gizi ransum |
Ransum Perlakuan | ||||
P01) |
P12) |
P2 |
P3 |
Standar3) | |
Energi termetabolis (kkal/kg) |
2900 |
2825 |
2802 |
2723 |
2900 |
Protein kasar (%) |
18.5 |
18.9 |
17.9 |
17.9 |
18.5 |
Lemak kasar (%) |
3 |
5 |
7 |
5 |
5 – 10 |
Serat kasar (%) |
6 |
4 |
7 |
9 |
4 – 9 |
Ca (%) |
4 |
4 |
4 |
4 |
3,5 – 4 |
Abu (%) |
14 |
10 |
12 |
13 |
14 |
Fosfor (%) |
0,45 |
0,5 |
0,48 |
0,45 |
0,45-0,5 |
Air (%) |
12 |
10 |
9 |
9 |
12 |
Keterangan :
1. Perlakuan P0 berdasarkan brosur PT. JAFPA COMFEED INDONESIA Tbk.
2. Ransum perlakuan P1,P2,P3 analisa proksimat Lab nutrisi dan makanan ternak Sudirman, Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
3. Standar Scott et al., (1982)
Ayam Petelur
Ayam yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam petelur jenis Isa Brown yang berumur 70 minggu sebanyak 160 ekor yang di produksi oleh PT. Charoen PhokPhand, tbk.
Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) Dengan 4 perlakuan, 4 ulangan dengan menggunakan 10 ekor ayam disetiap ulangannya. Keempat perlakuan tersebut adalah : Perlakuan P0 : Ayam yang di berikan pakan komersial, Perlakuan P1 : Ayam yang di berikan ransum konvensional 1, Perlakuan P2 : Ayam yang di berikan ransum konvensional 2, Perlakuan P3 : Ayam yang di berikan ransum konvensional 3.
Pemberian Ransum dan Air Minum
Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum, setiap pemberian ransum selalu dicatat untuk mengetahui selisih ransum yang diberikan dengan sisa ransum.
Pengambilan Sampel
Pengambilan data kecernaan dilakukan pada tahap koleksi total. Koleksi total dilakukan pada akhir percobaan dengan mengambil waktu selama tujuh hari berturut-turut. Prosedur pengambilan sampel feses dari 10 ekor ayam disetiap ulangannya sebagi berikut: sampel diambil sebanyak 200 gram setiap harinya lalu dikeringkan dibawah sinar matahari. Selanjutnya sampel dikumpulkan dan dikomposit kemudian diambil sub sampel berdasarkan perlakuan masing-masing, lalu sub sampel dibawa ke laboratorium untuk analisis.
Variabel Yang Diamati
-
1. KcBK : pengukuran kecernaan BK dilakukan dengan cara melihat konsumsi bahan kering yang dikurangi dengan jumlah bahan kering, kotoran dibagi dengan konsumsi bahan kering dikali 100 %. Konsumsi bahan kering dihitung dengan cara mengalikan
bahan kering (BK) dari ransum dengan konsumsi ransum.
KcBK =
konsumsi bahan kering—bahan kering QFeses)
x 100 %
konsumsi bahan kering
-
2. KcBO : dapat diukur dengan cara mengukur konsumsi bahan organik yang dikurangi dengan jumlah bahan organik kotoran dibagi dengan konsumsi bahan organik dikali 100
%. Konsumsi bahan organik dihitung dengan cara mengalikam bahan kering ransum
dengan kandungan bahan organik ransum.
KCBO =
Konsumsi bahan organik—Bahan organik (feses)
x 100 %
Konsumsi bahan organik
-
3. KcSK : dapat diukur dengan cara mengukur konsumsi serat kasar dikurangi dengan jumlah serat kasar kotoran dibagi dengan konsumsi serat kasar (SK) dikali dengan
100%. Konsumsi serat kasar dihitung dengan cara mengalikan bahan kering ransum
dengan kandungan serat kasar ransum.
KCSK =
konssumsi serat kasar—serat kasar (feses)
x 100 %
konsumsi bahan serat kasar
-
4. KcPK : dapat diukur dengan cara mengukur konsumsi protein kasar dikurangi dengan jumlah protein kasar kotoran dibagi dengan dengan konsumsi protein kasar dikali 100 %. Konsumsi protein kasar dihitung dengan cara mengalikam bahan kering ransum dengan kandungan protein ransum.
KCPK =
konsumsi protein-protein (feses) konsumsi protein
x 100 %
Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar, dan kecernaan serat kasar pada ayam petelur yang diberikan ransum komersial dan ransum konvensional dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil kecernaan ransum ayam petelur yang diberikan ransum komersial dan
ransum konvensional
Variabel (%)4) |
Perlakuan1) |
SEM2) | |||
P0 |
P1 |
P2 |
P3 | ||
KcBK |
70,87b3) |
73,49a |
66,90c |
62,65d |
0,59 |
KcBO |
78,92a |
79,79a |
76,70b |
76,14b |
0,59 |
KcSK |
43,78b |
38,02c |
51,02a |
52,33a |
0,63 |
KcPK |
78,36a |
78,93a |
77,47a |
76,10a |
0,67 |
Keterangan :
1. P0 = Ransum komersial atau ransum piala produksi PT. JAFPA COMFEED INDONESIA, Tbk. (PL 241)
P1 = Ransum konvensional 1
P2 = Ransum konvensional 2
P3 = Ransum Konvensional 3
2. SEM “ Standar Error Of The Treatment Means”
3. Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)
4. Hasil analisa Laboraturium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
Kecernaan bahan kering (KcBK)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering pada perlakuan P0,P1,P2, dan P3 berturut-turut adalah 70,87 %, 73,49 %, 66,90 % dan 62,65 % (Tabel 3). Ransum konvensional 2 (P2), ransum konvensional 3 (P3) secara nyata (P<0,05) meningkatkan nilai cerna bahan kering sebesar 5,6 % dan 11,5 % dibandingkan dengan ransum komersial (P0). Ransum konvensional 1 (P1) tidak mempengaruhi nilai cerna bahan kering (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P0). Ransum konvensional 1 (P1) berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan ransum konvensional 2 (P2) dan ransum
konvensional 3 (P3). Nilai cerna bahan kering perlakuan ransum konvensional 2 (P2) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan ransum konvensional 3 (P3).
Pemberian ransum dengan komposisi berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) tingginya variabel kecernaan bahan organik antara perlakuan ransum komersial (P1) dibandingkan (P0) dikarenakan tingginya kandungan protein (P1) sebanyal 0,4% dibandinkan kontrol. Kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kecernaan dari komponen bahan organik yang meliputi protein, karbohidrat (BETN dan serat kasar), dan lemak. Ditambahkan oleh Anggordi (1979), faktor yang mempengaruhi nilai daya cerna diantaranya adalah bentuk fisik pakan, komposisi ransum, tingkat protein ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan nutrien lainnya. Menurunnya nilai kecernaan bahan kering kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum, sehingga menyebabkan daya cerna zat-zat makanan lainnya menurun (Sudartama et al., 2019), selain itu menurunnya nilai kecernaan
bahan kering juga disebabkan karena laju perjalanan makanan yang terhambat. Menurut Bautrif (1990) tinggi rendahnya tingkat kecernaan bahan kering setiap perlakuan juga dapat dipengaruhi oleh masing-masing komposisi kimia ransum perlakuan. Untuk mencapai daya cerna bahan organik yang optimal, maka nilai nutrien dari komponen bahan organik juga harus disesuaikan dengan kebutuhan ternak tersebut (Mangisah et al., 2006).
Kecernaan bahan organik (KcBO)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah 78,92 %, 779,79 %, 76,70 % dan 76,14 % (Tabel 3). Ransum konvensional 2 (P2), ransum konvensional 3 (P3) secara nyata (P<0,05) meningkatkan nilai cerna bahan organik sebesar 2,8 % dan 3,5 % dibandingkan dengan ransum komersial (P0). Ransum konvensional 1 (P1) tidak mempengaruhi nilai cerna bahan organik (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P0). Ransum konvensional 1 (P1) berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan ransum konvensional 2 (P2) dan ransum konvensional 3 (P3). Nilai cerna bahan organik perlakuan ransum konvensional 2 (P2) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan ransum konvensional 3 (P3).
Pemberian perlakuan ransum konvensional berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan bahan organik dibandingkan dengan perlakuan ransum komersial (P0) karena rendahnya kecernaan bahan kering pada perlakuan tersebut. Hal ini sejalan dengan prinsip perhitungan bahan organik dari analisis proksimat, dimana semakin rendah persentase suatu bahan kering maka akan diikuti juga oleh penurunan persentase bahan organik (Bautrif, 1990). Kecernaan bahan organik suatu ransum menunjukkan kualitas dari ransum yang dicerna oleh tubuh ternak. Meningkatnya kecernaan bahan organik pada ransum konvensional 1 (P1) dikarenakan meningkatnya kecernaan bahan kering. Sutardi (1980) melaporkan bahwa peningkatan bahan organik sejalan dengan meningkatnya kecernaan bahan kering, karena sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor - faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan bahan kering akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya bahan organik. Hardianto et al., (2019) menerangkan bahwa kecernaan bahan organik erat hubungannya dengan kecernaan bahan kering, karena bahan kering terdiri atas bahan organik, perbedaan keduanya hanya terletak pada kadar abu.
Kecernaan serat kasar (KcSK)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan serat kasar pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah 43,78 %, 38,02 %, 51,02 % dan 52,33 % (Tabel 3). Ransum
konvensional 2 (P2), ransum konvensional 3 (P3) secara nyata (P<0,05) meningkatkan nilai cerna serat kasar sebesar 16,5 % dan 19,5 % dibandingkan dengan ransum komersial (P0). Ransum konvensional 1 (P1) tidak mempengaruhi nilai cerna serat kasar (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P0). Ransum konvensional 1 (P1) berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan ransum konvensional 2 (P2) dan ransum konvensional 3 (P3). Nilai cerna serat kasar perlakuan ransum konvensional 2 (P2) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan ransum konvensional 3 (P3).
Hasil penelitian ransum konvensional berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan serat kasar dibandingkan dengan perlakuan ransum komersial (P0), terutama pada perlakaun (P1), hal ini disebabkan oleh meningkatnya kecernaan dari hewan ternak unggas, karena hewan ternak unggas tidak memiliki senyawa yang membantu mengurai serat kasar pada saat proses kecernaan berlangsung. Hasil ini sejalan dengan penelitian Anggorodi (1994) yang melaporkan bahwa semakin meningkat kandungan serat kasar dalam ransum maka kecernaan ransum semakin rendah dan kecernaan ransum akan meningkat apabila kandungan serat kasar dalam ransum lebih rendah. Hidanah et al., (2013) menerangkan bahwa kecernaan serat kasar dipengaruhi oleh kadar serat dalam pakan, konsumsi pakan, dan konsumsi penyusun serat kasar. Menurut Syamsuhaidi (1997) kandungan serat kasar yang tinggi dalam ransum dapat menghambat laju pencernaan nutrien di dalam ransum. Serat kasar yang tinggi perlu dibatasi penggunaannya di dalam ransum, karena unggas mempunyai keterbatasan dalam mencerna serat kasar. Menurut Standar Nasional Indonesia (2006) serat kasar yang dibutuhkan oleh ayam petelur 4 % - 9 %. Ditambahkan oleh Anggorodi (1985) Serat kasar diatas 9 % dalam ransum akan menyebabkan terjadi hambatan pertumbuhan karena konsumsi pakan yang rendah sehingga mengakibatkan nutrien hilang bersama keluarnya ekskreta. Kandungan serat kasar yang terdapat pada ransum mempengaruhi ketersediaan nutrien, kandungan serat kasar yang lebih rendah dalam ransum menyebabkan nutrien ransum mudah untuk dicerna di dalam saluran pencernaan (Wahju, 1997).
Kecernaan protein kasar (KcPK)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan serat kasar pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah 78,36 %, 78,93 %, 77,47 % dan 76,10 % (Tabel 3). Ransum konvensional 1 (P1), ransum konvensional 2 (P2), ransum konvensional 3 (P3) tidak mempengaruhi nilai cerna protein kasar (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P0). Ransum konvensional 1 (P1) tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan ransum
konvensional 2 (P2) dan ransum konvensional 3 (P3). Nilai cerna protein kasar perlakuan ransum konvensional 2 (P2) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan ransum konvensional 3 (P3).
Pemberian ransum dengan komposisi berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada variabel kecernaan protein kasar (P>0,05) (Tabel 4.1). Hal ini disebabkan karena standar konsumsi protein 18,5% dan kandungan protein pada setiap ransum perlakuan sudah dapat memenuhi standar kebutuhan. Faktor yang mempengaruhi adalah konsumsi ransum dan kandungan protein kasar ransum. menurunnya hasil kecernaan protein kasar disebabkan oleh rendahnya kandungan protein kasar serta tingginya kandungan serat kasar. Protein kasar dipergunakan dalam ransum unggas yang mempunyai daya cerna 75 % - 90 % dan untuk ransum 85 % (wahju, 2004). Menurut Abun et al., (2003) semakin tinggi tingkat protein di dalam ransum, maka konsumsi ransum protein semakin tinggi pula, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kecernaan protein ransum. Sejalan dengan pendapat wahju (1997) yang menyatakan bahwa tingkat konsumsi protein akan berpengaruh terhadap nilai kecernaan. Nilai kecernaan protein yang tinggi menunjukkan tingginya kualitas ransum dan protein yang mudah dicerna merupakan protein yang berkualitas baik (Parakkasi, 1990). Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan ransum dan juga banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Eka et al., 2016).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ransum komersial dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik, serta menurunkan kecernaan serat kasar dan memberikan hasil yang sama pada kecernaan protein kasar terhadap ransum konvensional.
Saran
Hasil penelitian menunjukkan, pemberian ransum konvensional (P1) sangat disarankan kepada peternak ayam petelur karena mendapatkan hasil yang paling baik , dengan jumlah produksi yang tinggi serta harganya lebih murah dibandingkan ransum komersial. Selain itu di sarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna memperoleh hasil yang
lebih maksimal lagi, sehingga dapat di jadikan acuan pada peternak untuk meningkatkan pendapatannya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Perkenankan penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir I Nyoman Gde Antara, M. Eng, IPU, Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir I Nyoman Tirta Ariana, MS, IPU., Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Dr. Ir. Ni Luh Putu Sriyani, S.Pt.,MP,IPM, ASEAN Eng., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Anggordi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta.
Anggordi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia Utama, Jakarta.
Anggordi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta.
Abun, D. Rusmana dan N.P. Indriani. 2003. Penentuan Kecernaan Ransum Mengandung Ampas Umbi Garut (Maranta arundinacea Linn.) pada Ayam Broiler dengan Metode Pemotongan. Jurnal Bionatura. 5(3): 227-238.
Hardiawan, N. D., I.G Mahardika dan I.P.A Astawa. 2015. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kunyit (Curcuminoid) dalam Ransum Terhadap Organ Dalam Babi Bali. Jurnal Peternakan Tropika. 3(3): 492-500.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/18612/12078
Bautrif, E. 1990. Recent Development in Quality Evalution. Food Policy and Nutrition Division, FAO, Rome.
Eka, F., Kristoforus, R., dan N. Niswi. 2016. Penggunaan Kadar Protein Berbeda Pada Ayam Kampung Terhadap Penampilan Produksi dan Kecernaan Protein. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 26(2): 73-83.
Hardianto, A., Ali, U., dan U. Kalsum. 2019. Pengaruh Penambahan Aspergillus Niger Pada Haylase Complete Feed Berbasis Bagas Tebu dan Kotoran Ayam Petelur Terhadap Kecernaan In Vitro. Jurnal Rekasatwa Peternakan. 1(1): 126-129.
Mampioper, A., Rumetor, S.J.D., dan F. Pattiselanno. 2008. Kualitas Telus Ayam Petelur Yang Mendapat Ransum Perlakuan Substitusi Jagung Dengan Tepung Singkong. Jurnal Ternak Tropika. 9(2): 42-51.
Nurcholis., Hastuti, D., dan B. Sutiono. 2009. Tatalaksana Pemeliharaan Ayam Ras Petelur Periode Layer di Populer Farm Desa Kuncen Kecamatan Mijen Kota Semarang. Jurnal Mediagro. 5(2): 38-49.
Parakkasi, A. 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Cetakan Pertama. Angkasa. Jakarta.
Steel, C. J., dan Torrie, J. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. PT. Gramedia, Jakarta.
Syamsuhaidi. 1997. Penggunaan Duckweed (Family Lemnaceae) Sebagai Pakan Serat Sumber Protein Dalam Ransum Ayam Pedaging. Disertasi Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid 1. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Standardisasi Nasional Indonesia, B. 2006. SNI 04-7182-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Subekti, E. 2012. Pengaruh Penambahan Vitamin C Pada Pakan Non Komersial Terhadap Efisiensi Pakan Puyuh Petelur. Jurnal Mediagro. 8(1): 1-8.
Sudartama, I.P.O.S., Astawa, I.P.A., dan I.M. Suasta. 2019. Pengaruh Penambahan Probiotik Melalui Air Minum Terhadap Penampilan Broiler. Jurnal Peternakan Tropika. 7(23): 1025-1036. https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/53927/31979
Sastrawan, I.P.L., Astawa, I.P.A., dan I.G. Mahardika. 2020. Pengaruh Suplementasi (Asam Amino, Mineral, dan Vitamin) Melalui Air Minum Terhadap Kualitas Telur yang Disimpan Sampai 21 Hari. Jurnal Peternakan Tropika. 8(1): 189-201.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/60478/35013
Tangendjaja, B. 2007. Inovasi Teknologi Pakan Menuju Kemandirian Usaha Ternak Unggas. Jurnal Wartozoa. 17(1): 12-20.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogjakarta. 13-24.
Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Ternak Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogjakarta.
Trisnayanthi, N. N. A., J. Peternakan Tropika Vol. 11 No. 1 Th. 2023 : 34 – 45
Page 45
Discussion and feedback