POTENSI RISIKO WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KONSTRUKSI DI PT. TUNAS JAYA SANUR

Anak Agung Istri Agung Prajna Paramita, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI: KW.2022.v11.i08.p5

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami mengenai potensi risiko wanprestasi dalam perjanjian konstruksi di PT. Tunas Jaya Sanur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum Empiris, menggunakan pendekatan perundang – undangan dan pendekatan fakta. Pelaksanaan perjanjian konstruksi di PT. Tunas Jaya Sanur dilaksanakan serta dibedakan menjadi 2 (dua) macam perjanjian kemitraan yakni perjanjian kemitraan yang dilakukan antara individu dengan swasta dan dengan pemerintah. Terhadap perjanjian kemitraan yang dilakukan dengan swasta dibuat dan didasarkan pada ketentuan KUHPerdata yang tunduk pada ketentuan Pasal 1313, Pasal 1320 serta Pasal 1338. Sedangkan terhadap perjanjian kemitraan yang dilakukan dengan pemerintah maka didasarkan atas tender atau seleksi, pengadaan secara elektronik, penunjukan langsung, dan pengadaan langsung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila di kemudian hari ternyata terjadi permasalahan maka akan diselesaikan dengan musyawarah mufakat ataupun diselesaikan melalui upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi.

Kata Kunci : risiko, wanprestasi, perjanjian konstruksi

ABSTRACT

The purpose of this research is to know and understand the potential risks of default in construction agreements at PT. Tunas Jaya Sanur. This research uses empirical legal research and uses a statutory and factual approach. Implementation of the construction agreement at PT. Tunas Jaya Sanur is implemented and divided into 2 (two) types of partnership agreements, namely partnership agreements made between individuals and the private sector and with the government. Partnership agreements entered into with the private sector are made and based on the provisions of the Civil Code which are subject to the provisions of Article 1313, Article 1320 and Article 1338. Meanwhile, partnership agreements entered into with the government are based on tender or selection, electronic procurement, direct appointment, and procurement. directly in accordance with the provisions of the legislation. If in the future it turns out that there is a problem, it will be resolved by deliberation to reach a consensus or resolved through efforts to resolve disputes contained in the construction work contract.

Keywords : risk, default, construction agreement

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Perjanjian dalam suatu jasa konstruksi “diselenggarakan atas dasar kesepakatan sehingga isi dari perjanjian yang disepakati tersebut dapat dijadikan bukti dasar untuk melaksanakan pengerjaan konstruksi yang disepakati. Secara sederhana isi dari kesepakatan tersebut akan memuat hak serta kewajiban-kewajiban yang telah dikehendaki bersama. Berdasarkan isi kesepakatan tersebut kemudian dapat diselenggarakan suatu pekerjaan konstruksi secara tertib serta untuk mendorong tercapainya pekerjaan, sehingga pekerjaan konstruksi tersebut sesuai dengan isi kesepakatan yang disepakati”.1

Menurut Richard B. Simatupang bahwa “dengan adanya kesepakatan yang disepakati dalam perjanjian yang dibuat, dapat diterjemahkan sebagai bukti bahwa setiap masyarakat dapat melaksanakan haknya secara bebas untuk membuat suatu perjanjian yang mengikat kepada para pihak yang sesuai dengan yang tercantum di dalamnya. Pengertian tersebut dapat diterjemahkan sebagai bagian dari kebebasan berkontrak dalam hukum perdata dengan isi perjanjian yang dapat dirumuskan secara bebas, dengan catatan tidak terdapat rumusan kesepakatan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Sehingga pada akhirnya penegak hukum dapat memberikan pengawasan sekaligus penegakan hukum terhadap isi perjanjian di kemudian hari, dengan catatan bahwa isi perjanjian tersebut telah bertentangan dengan ketertiban umum atau keadilan ataupun terdapat perbuatan yang dilakukan di luar dari isi perjanjian yang telah disepakati oleh dari para pihak”.2

Perihal perjanjian konstruksi adalah “perjanjian yang disepakati untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan oleh masyarakat dengan swasta, pada perjanjian ini tentunya akan tunduk dengan ketentuan hukum perdata khususnya dalam ruang lingkup perjanjian dan aturan hukum yang mengatur tentang jasa konstruksi. Sedangkan perjanjian konstruksi dengan istilah government contract dilaksanakan oleh pemerintah dengan pihak swasta yang dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada perjanjian ini tentunya pelaksanaan government contract yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dengan pihak swasta, tentunya dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum secara lebih detail dan menyeluruh, mulai dari penghitungan estimasi pengerjaan proyek konstruksi sampai pada serah terima pengerjaan proyek yang meliputi prosedur ketentuan hukum di bidang pengadaan barang, tender pengadaan barang hingga kepada penganggaran pengadaan barang yang kemudian akan bermuara pada kesepakatan dengan pemenang tender”.3

Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa “pada perjanjian konstruksi telah disepakati hak dan kewajiban dari para pihak termasuk pada government contract yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dengan pihak swasta, sehingga berdasarkan hak da kewajiban tersebut terhadap proyek konstruksi dapat diselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Namun apabila kesepakatan yang telah disepakati tersebut tidak dilaksanakan maka hal tersebut dapat dinyatakan sebagai perbuatan cidera janji

(wanprestasi). Terhadap pihak yang merasa haknya tidak dilaksanakan oleh pihak lain maka cidera janji (wanprestasi) tersebut dapat dilakukan permintaan pemenuhan kepada pihak yang tidak melaksanakan kewajiban ataupun dapat melakukan gugatan dengan alasan cidera janji (wanprestasi) ke pengadilan”.

Menurut Ahmadi Miru dan Sakka Pati, “cidera janji (wanprestasi) dapat dikualifikasikan ke dalam 3 (tiga) hal yaitu tidak melaksanakan sesuai dengan kesepakatan, tidak sesuai dengan waktu yang disepakati atau melakukan lebih dari yang telah disepakati bersama. Mengingat dalam hal cidera janji (wanprestasi) merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap isi perjanjian yang telah disepakati sebelumnya oleh para pihak. Serta dalam hal government contract yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dengan pihak swasta dalam hal cidera janji (wanprestasi) dapat terjadi apabila pihak swasta sebagai pemenang tender tidak memenuhi kriteria pengerjaan konstruksi sesuai dengan isi dalam tender ataupun pemerintah tidak melaksanakan kewajibannya dalam hal memberikan imbalan sesuai dengan jumlah transaksi dalam tender”.4

Sebagaimana pada “PT. Tunas Jaya Sanur yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi sejak Tahun 1978, sehingga dari berbagai macam proyek maupun tender pemerintah yang telah didapatkan dari hasil lelang tender tersebut tentunya memiliki potensi terjadinya cidera janji (wanprestasi)”.5 Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan analisis secara lebih mendalam dengan fokus pada “potensi risiko wanprestasi dalam perjanjian konstruksi di PT. Tunas Jaya Sanur”. Dengan adanya fokus penelitian terkait dengan risiko wanprestasi maka dapat dianalisis faktor penyebab dan upaya mengatasi kendala tersebut sebagai alternatif penyelesaian sengketa di bidang konstruksi.

Penelitian ini merupakan hasil analisis penulis dengan menggunakan 2 (dua) penelitian terdahulu sebagai pembanding yang menunjukkan bahwa penelitian ini orisinal, yaitu berdasarkan hasil penelitian oleh Martin Putri Nur Jannah & Dewi Nurul Musjtari, dengan judul "Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan"6 serta penelitian yang dilakukan oleh Basyarudin, dengan judul “Perlindungan Hukum Akibat Wanprestasi Dalam Perjanjian Konstruksi Yang Dilaksanakan Kontraktor".7 Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimak bahwa meskipun terdapat substansi pembahasan yang menyerupai dengan judul penelitian, tetapi dalam segi pembahasan penelitian ini lebih mengkhusus dan hanya studi pada PT. Tunas Jaya Sanur.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian konstruksi di PT. Tunas Jaya Sanur?

  • 2.    Apa upaya hukum terkait terjadinya wanprestasi dalam perjanjian konstruksi di PT. Tunas Jaya Sanur?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan diperlukan agar suatu penelitian memiliki arah yang jelas dan terarah, sehingga dirumuskanlah tujuan daripada jurnal ilmiah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami mengenai upaya hukum terkait terjadinya wanprestasi. Upaya yang dimaksud difokuskan pada perjanjian konstruksi di PT. Tunas Jaya Sanur.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal hukum ini adalah metode penelitian empiris. Penelitian hukum empiris adalah penelitian yang memiliki fokus pada penerapan ketentuan hukum yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan dengan kenyataan, sebagaimana dimaksud dalam penelitian ini yakni khususnya pada perjanjian konstruksi di PT. Tunas Jaya Sanur.8 Adapun dalam penelitian ini digunakan pendekatan penelitian berupa Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan Pendekatan Fakta (fact Approach). Artinya dalam menelaah permasalahan yang ada dikaji berdasarkan fakta di lapangan dan ditunjang dengan disiplin ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas yakni berkaitan dengan potensi risiko wanprestasi dalam perjanjian konstruksi di PT. Tunas Jaya Sanur. Selanjutnya terkait dengan jenis penelitian hukum empiris di maksudnya hukum di konsepkan sebagai suatu gejala empirik yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata. Karakteristik pada penelitian hukum empiris terdapat pada sifat empirisnya dimana teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara.9 Permasalahan yang dimaksud yakni difokuskan pada potensi risiko wanprestasi dalam perjanjian konstruksi di PT. Tunas Jaya Sanur.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Antara PT. Tunas Jaya Sanur Dengan Pihak Swasta dan Pemerintah

Untuk mewujudkan tujuan Pembangunan Nasional maka salah 1 (satu) upaya yang dapat dilakukan adalah melalui perwujudan sarana prasarana termasuk melalui pengadaan konstruksi untuk menunjang kinerja pemerintahan. Pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan tersebut dapat dilakukan dengan penataan peraturan perundang-undangan pokok yang dapat dijadikan sebagai pedoman, selanjutnya dilengkapi dengan berbagai peraturan turun dan sebagai peraturan pelaksana kegiatan jasa konstruksi, hingga kepada organ pemerintah yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan dan/atau diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan kinerja. Selain untuk kepastian hukum, penataan peraturan perundang-undangan juga dapat digunakan sebagai instrumen perlindungan sebagaimana dalam hal kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.10

Pelaksanaan jasa konstruksi dengan standar mutu yang baik wajibmemperhatikan kualitas mutu konstruksi yang dibarengi dengan pengerjaan sesuai dengan waktu yang disepakati dalam perjanjian konstruksi ataupun dalam government contract yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dengan pihak swasta. Sebagaimana telah diuraikan bahwa instrumen terpenting selain komponen dalam konstruksi adalah instrumen perjanjian yang dipergunakan sebagai pedoman, mengingat dalam

perjanjian tersebut akan dituangkan hak serta kewajiban dari para pihak, untuk dipenuhi sesuai kesepakatan, ataupun dapat digunakan sebagai instrumen dasar ikatan kemitraan kerja antara pemilik konstruksi dengan penyedia jasa konstruksi atau antara pemerintah dengan penyedia jasa konstruksi.11

Suatu perjanjian kerjasama konstruksi dapat dipadankan dengan istilah perjanjian kemitraan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, prakata kemitraan berasal dari kata mitra, yang memiliki pengertian perihal hubungan (jalinan kerja sama dan sebagainya) sebagai mitra.12 Selain itu, prakata kemitraan juga dapat diartikan sebagai mitra yakni kawan kerja, partner kerja dalam mengadakan bisnis konstruksi dalam mengadakan pekerjaan”.13

Menurut Anak Agung Ngurah Dharma Jaya dkk., mengutip Zaeni Asyhadie dan Arif Rahman, perihal perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana para pihak sepakat untuk melaksanakan sesuatu, sehingga seluruh aspek yang telah disepakati dari suatu perjanjian akan berlaku mengikat kepada para pihak yang ada di dalamnya.14 Sedangkan menurut I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra menyebutkan “perjanjian sebagai salah 1 (satu) jenis kegiatan yang dilakukan untuk mengikat aspek tertentu yang disepakati dalam kehidupan di masyarakat. Melalui kesepakatan dalam perjanjian maka masyarakat akan dipermudah untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam melakukan suatu kegiatan yang berhubungan dengan bisnis yaitu dalam hal perjanjian kerja dan usaha bisnis lainnya yang membutuhkan kesepakatan yang tentunya dapat dituangkan pada sebuah perjanjian.15

Senada dengan pendapat Ahmadi Miru dan Sakka Pati bahwa perjanjian dapat mengacu pada bentuk dari perjanjian. Suatu perjanjian dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam yakni perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu. Apabila prestasi ini tidak seketika dapat dilakukan, maka perlu diberikan waktu memberikan atau menyerahkan suatu yang pantas. Juga terdapat jenis perjanjian untuk berbuat sesuatu misalnya perjanjian membuat bangunan gedung. Serta perjanjian untuk tidak berbuat

sesuatu misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain.16

Sehingga untuk mewujudkan suatu pekerjaan konstruksi maka diperlukan suatu kesepakatan sebagai salah 1 (satu) syarat sahnya suatu perjanjian. Pihak pengguna jasa dalam sudut pandang perjanjian pekerjaan konstruksi dapat disebut sebagai owner employer, sedangkan penyedia jasa dalam sudut pandang perjanjian pekerjaan konstruksi dapat disebut sebagai kontraktor. Para pihak yang telah sepakat dalam perjanjian pekerjaan konstruksi memiliki hak dan kewajiban. Pada isi dari suatu perjanjian pekerjaan konstruksi yang telah disepakati tersebut akan digunakan sebagai instrumen hukum yang dapat melindungi hak-hak sehingga tercipta kepastian hukum. Disisi yang lain bahwa instrumen perjanjian juga dapat dijadikan pedoman untuk melaksanakan hal-hal yang dapat dilakukan sebagaimana dalam hal hak dan kewajiban dari para pihak.17

Karakteristik perjanjian pekerjaan konstruksi dalam hal pengerjaan suatu konstruksi tersebut dilaksanakan oleh penyedia jasa konstruksi tersebut dengan pemerintah melalui government contract. Perihal pelaksanaan government contract, merupakan bentuk perjanjian pekerjaan konstruksi pemerintah sebagai penentu kebijakan negara dengan pihak swasta sebagai pihak penyedia jasa konstruksi dengan tujuan untuk pembaharuan dan/atau pengadaan suatu pembangunan sarana dan prasarana. Kemitraan dalam bentuk perjanjian pekerjaan konstruksi pemerintah dan swasta meskipun pada kenyataan telah banyak dilakukan namun terdapat sisi yang masih berpotensi menimbulkan permasalahan yang dikarenakan sulitnya mempertemukan 2 (dua) kepentingan yang berbeda antara pihak pemerintah dengan orientasi pelayanan serta ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat, sedangkan kepentingan pihak penyedia jasa konstruksi dalam melaksanakan pekerjaannya dengan orientasi adalah untuk mendapatkan keuntungan atas pengerjaan yang dilakukan”.18

Berbagai pengerjaan konstruksi, “apabila kesepakatan yang telah disepakati tersebut tidak dilaksanakan maka hal tersebut dapat dinyatakan sebagai perbuatan cidera janji (wanprestasi), yang dapat diistilahkan dengan kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan dapat terjadi dengan sebab adanya kesalahan pelaksana salah 1 (satu)nya yaitu penyimpangan pengerjaan proyek atas ketentuan standardisasi dan perencanaan yang telah dibuat dan disepakati dalam perjanjian oleh Konsultan Teknik proyek. Dengan melihat pengertian tersebut maka kegagalan bangunan juga dapat terjadi dalam hal penyerahan akhir pekerjaan atau tidak sesuai dengan ketentuan waktu yang disepakati dalam perjanjian. Bentuk ini merupakan bentuk lain dari kegagalan bangunan yang terletak pada waktu terjadinya yaitu bangunan yang mengalami gagal fungsi sebelum akhir umur pemakaiannya yang direncanakan”.19

Pada ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Jasa Konstruksi, disebutkan mengenai pengertian dari kegagalan bangunan yaitu “kegagalan bangunan mulai dihitung sejak

penyerahan akhir pekerjaan kepada pihak Pengguna jasa”. “Kegagalan pekerjaan konstruksi dapat disebabkan oleh faktor teknis maupun faktor non-teknis. Untuk menetapkan apakah benar kegagalan bangunan yang terjadi disebabkan oleh kesalahan kontraktor atau bukan sebagaimana disebabkan faktor teknis maupun faktor non-teknis, dapat merujuk pada ketentuan Pasal 60 UU Jasa Konstruksi bahwa yang berhak menilai terkait kegagalan bangunan adalah ahli yang memiliki kompetensi”.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Nyoman Adi Juniarta selaku Kepala Bagian Contract Engineering menyebutkan bahwa “jenis tender yang dilaksanakan dengan pihak pribadi dan/atau korporasi yaitu aanwijzing dalam hal pekerjaannya berhubungan dengan pengadaan produk barang atau jasa atau biasa disebut procurement. Aanwijzing ini akan berisi informasi terkait detail pekerjaan atau proyek yang akan ditenderkan. Informasi itu akan memuat ruang lingkup pekerjaan, cara pemilihan bahan yang digunakan/bahan yang dipakai, termasuk informasi administrasi hingga rancangan teknis-teknis lapangan yang nanti akan dikerjakan, hingga pada rancangan anggaran biaya berdasarkan kebutuhan yang disesuaikan dengan permintaan pihak pribadi dan/atau korporasi, serta kerangka acuan kerja sebagai detail pelaksanaan kegiatan sehingga pihak pribadi dan/atau korporasi dapat mengetahui kesiapan atau kepastian tatalaksana pelaksanaan proyek yang nantinya akan dikerjakan. Setelah proses aanwijzing ini selesai maka akan diakhiri dengan dibatalkan karena suatu sebab tertentu atau terdapat suatu kesepakatan melalui dokumen perjanjian tertulis (fidic-Federation Internationale des Ingenieurs Counsels) dengan format atau bentuk standar dari dokumen dan persyaratan kontrak, conditions of contract yang khusus dibuat untuk proyek-proyek pekerjaan sipil (civil engineering construction). Sedangkan perbedaan dengan perjanjian konstruksi dengan pemerintah yaitu harus mengetahui dasar hukum terbaru sebagaimana diatur dalam ketentuan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah republik Indonesia. Proses aanwijzing sama seperti yang dilakukan dengan pihak individu atau korporasi namun yang akan membedakan adalah proses ini akan menjadi seleksi penawaran terbaik kepada tender yang dilakukan pemerintah dengan para persaingan sebagaimana ditegaskan pada ketentuan perundang-undangan”. (wawancara tanggal 26 April 2022)

  • 3.2    Upaya Hukum Akibat Wanprestasi Dalam Perjanjian Konstruksi di PT. Tunas

Jaya Sanur

Sesuai dengan adagium bebas di masyarakat ada permintaan maka akan diikuti dengan adanya barang. “Hal tersebut juga terjadi dalam hal pengerjaan jasa konstruksi, sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia telah terdapat banyak masyarakat berbentuk jenis usaha di bidang jasa konstruksi. Selanjutnya dalam hal pelaksanaan maka akan erat kaitannya dengan perjanjian karena dari sudut pandang penyedia jasa konstruksi dengan jumlah beban konstruksi yang ada padanya mengakibatkan diperlukan suatu instrumen yang dapat mengikat hak serta kewajiban dari para pihak. Perjanjian yang telah disepakati berlaku sebagai undang-undang (pacta sunt servanda). Atas dasar tersebut maka pemenuhan hak dan kewajiban menjadi hukum sehingga tidak dapat dilakukan di luar dari yang telah disepakati bersama”.20

Perihal perjanjian yang akan disepakati oleh para pihak, “tentunya wajib memenuhi ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah dan tidak memiliki muatan yang bertentangan, sehingga apabila sebaliknya maka kemudian dapat dinyatakan perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Syarat pertama yang disebut sebagai syarat subyektif yakni sepakat (berdasarkan isi perjanjian yang disetujui sebagai suatu kesepakatan bersama) dan cakap (berdasarkan ketentuan umur dalam sudut pandang hukum dapat dinyatakan sudah dewasa ketika telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Sedangkan syarat kedua yang disebut sebagai syarat obyektif yakni hal tertentu (berdasarkan suatu kesepakatan yang tentunya mengatur hal-hal tertentu sesuai tujuan dibuatnya suatu perjanjian) dan sebab yang halal (berdasarkan atas tidak memiliki muatan yang melanggar dengan memperhatikan norma serta ketentuan pada peraturan perundang-undangan)”.21

Menurut Theodora Pritadianing Saputri bahwa resiko mungkin dapat terjadi dalam suatu pelaksanaan pengerjaan jasa konstruksi. “Resiko pertama yang mungkin terjadi berasal dari internal adalah resiko kecelakaan kerja seperti luka hingga kematian dari pekerja dan resiko cacat material konstruksi seperti kerusakan pada properti atau tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Selain resiko berasal dari internal, terhadap resiko eksternal yaitu keterlambatan pengerjaan jasa konstruksi yang tidak sesuai dengan waktu yang telah disepakati atau keuntungan yang tidak sesuai dengan yang telah direncanakan karena adanya ketidaksesuaian harga bahan baku berupa kenaikan, meskipun pada kenyataan telah disusun dan dipersiapkan sedemikian rupa terkait dengan matriks pengerjaan jasa konstruksi. Adapun isi dari matriks pengerjaan jasa konstruksi yakni sebagai berikut:

  • 1.    Pihak mana yang lebih dapat mengendalikan kejadian yang akan menyebabkan risiko terjadi (apakah pemilik proyek atau kontraktor atau konsultan);

  • 2.    Pihak mana yang lebih dapat mengendalikan risiko apabila risiko terjadi (apakah pemilik proyek atau kontraktor atau konsultan);

  • 3.    Bagaimana apabila pemilik proyek ingin ikut berpartisipasi dalam pengendalian risiko;

  • 4.    Pihak mana yang lebih siap untuk menanggung risiko yang di luar kendali (apakah pemilik proyek atau kontraktor atau konsultan);

  • 5.    Apakah jumlah pembayaran atas risiko yang dialihkan kepada kontraktor atau konsultan telah wajar dan dapat diterima;

  • 6.    Apakah pihak yang menanggung risiko dapat menanggung dampak dari terjadinya risiko”.

Terkait dengan sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidakmampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam pengerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati bersama dapat muncul seiring dikerjakannya proyek konstruksi, baik terkait dengan waktu mulai hingga penyelesaian proyek jasa konstruksi, bahan yang telah disepakati, cara pembayaran dari pihak pemilik

konstruksi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penyelesaian pengerjaan konstruksi.

Selanjutnya apabila terdapat pihak yang merasa haknya tidak dipenuhi oleh pihak lain maka berdasarkan ketentuan Pasal 88 UU Jasa Konstruksi ditegaskan bahwa “sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan. Dalam hal jika musyawarah para pihak tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, maka para pihak menempuh tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi”. Ketentuan dalam UU Jasa Konstruksi tersebut telah memberikan perlindungan terhadap pihak yang telah sepakat dalam perjanjian konstruksi tersebut, selain itu diatur atau tidak dalam ketentuan pada perjanjian bahwa pihak yang merasa haknya tidak dipenuhi oleh pihak lain tetap dapat melakukan upaya hukum lain selain musyawarah untuk mencapai suatu kemufakatan yaitu dengan menggunakan jasa pihak ketiga sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang arbitrase dan alternatif pilihan penyelesaian sengketa”.

Terkait dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan alternatif pilihan penyelesaian sengketa dapat merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. “Sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 5 menyebutkan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Berdasarkan uraian ketentuan tersebut maka tahapan akan dimulai dengan perundingan dengan melibatkan pihak ke-3 (tiga) sebagai mediator yang biasa disebut mediasi untuk kembali melakukan musyawarah untuk mencapai suatu kemufakatan”.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Nyoman Adi Juniarta selaku Kepala Bagian Contract Engineering menyebutkan bahwa “pada dasarnya pelaksanaan pembangunan harus memperhatikan setiap aspek secara detail dan menyeluruh. Perusahaan yang telah terjun ke dunia usaha jasa konstruksi tidak dapat dipersamakan dengan cara bekerja pada proses pembuatan rumah, karena pembangunan gedung atau bangunan dengan jumlah yang banyak memerlukan perhitungan yang matang untuk hasil yang sesuai dan kualitas yang maksimal. Terdapat hal-hal yang mungkin menjadi penyebab hasil tidak sesuai dengan antara lain yakni anggaran untuk kontrak yang disetujui tidak realistis, penawaran harga dari penyedia terlalu rendah, penilaian kualifikasi penyedia tidak dilakukan dengan benar; tidak ada pemantauan dalam setiap tahapan pelaksanaan, tidak ada evaluasi yang terencana, tidak ada pengujian hasil pekerjaan, tidak ada koreksi atas kekurangan atau kegagalan kecil. Penyebab lainnya adalah kegiatan detailed engineering yang tidak memadai, kuantitas pekerjaan yang jauh lebih tinggi dari yang direncanakan, perkiraan kualitas bahan yang terlalu tinggi, waktu pembangunan yang lebih tinggi dari rencana, harga bahan yang melonjak terlalu tinggi, harga jasa tenaga kerja/sewa peralatan yang lebih tinggi, pekerjaan tambah-kurang (variation orders) yang tidak perlu, kenaikan harga yang dikabulkan tidak sesuai dengan rumusan yang ditentukan. Selanjutnya terkait dengan upaya hukum terkait terjadinya wanprestasi dalam perjanjian konstruksi di PT. Tunas Jaya Sanur pada setiap perjanjian disepakati tentunya telah ditegaskan bahwa penyelesaian perkara akan diselesaikan secara musyawarah mufakat. Ketidaksesuaian hasil dengan bayangan yang dimiliki oleh setiap pengguna jasa akan dikomunikasikan dengan baik. Keterlambatan pengerjaan dengan kesepakatan waktu yang telah disepakati akan terjadi apabila penyedia jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas

pengelolaan dengan baik maupun tepat waktu. Sengketa konstruksi adalah sengketayang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi yang di dunia Barat disebut construction dispute”. (wawancara tanggal 26 April 2022)

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Terkait dengan pelaksanaan perjanjian konstruksi antara PT. Tunas Jaya Sanur dengan pihak swasta dan pemerintah bahwa pelaksanaan konstruksi dilaksanakan melalui jenis tender, yang dilaksanakan berdasarkan aanwijzing yaitu dalam hal pekerjaannya berhubungan dengan pengadaan produk barang atau jasa berisi informasi terkait detail pekerjaan atau proyek yang akan ditenderkan. Sedangkan dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan antara perjanjian dengan swasta dan perjanjian konstruksi dengan pemerintah. Pada perjanjian konstruksi dengan pemerintah maka harus didasarkan atas ketentuan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah republik Indonesia. Terkait upaya hukum terkait terjadinya wanprestasi dalam perjanjian konstruksi di PT. Tunas Jaya Sanur bahwa terdapat hal-hal yang mungkin menjadi penyebab hasil tidak sesuai antara lain yakni penilaian kualifikasi penyedia tidak dilakukan dengan benar atau tidak ada koreksi atas kekurangan atau kegagalan kecil. Penyebab lainnya adalah kegiatan detailed engineering yang tidak memadai, perkiraan kualitas bahan yang terlalu tinggi atau harga bahan yang melonjak terlalu tinggi. Selanjutnya terkait dengan upaya hukum penyelesaian perkara akan diselesaikan secara musyawarah mufakat.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amari, Mohammad dan Mulyana. Asep N., Kontrak Kerja Konstruksi Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi, (Semarang, Aneka Ilmu, 2010)

Miru, Ahmadi dan Pati. Sakka, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW), (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2011)

Simatupang, Richard B., Aspek Hukum dalam Bisnis, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003)

JURNAL ILMIAH

Adha, Lalu Hadi, "Kontrak Build Operate Transfer Sebagai Perjanjian Kebijakan Pemerintah Dengan Pihak Swasta", Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 3, 2011:

Anom, I Gusti Ngurah, “Addendum Kontrak Pemborongan Perspektif Hukum Perjanjian Di Indonesia”, Jurnal Advokasi, Vol. 5, No. 2, 2015

Basyarudin, B. (2021). “Perlindungan Hukum Akibat Wanprestasi Dalam Perjanjian Kontruksi Yang Dilaksanakan Kontraktor”. Jurnal Cakrawala Ilmiah, Vol. 1, No. 2,

Dwilaksmi, Ni Made Ayu Pasek, "Akibat Hukum Pelanggaran Kewajiban Menggunakan Bahasa Indonesia Dalam Perjanjian Dengan Pihak Asing", JurnalActa Comitas, Vol. 05, No. 01, 2020

Jannah, M. P. N., & Musjtar, D. N. (2019). “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Kontsruksi Bangunan”. Jurnal UIR Law Review, Vol. 3, No. 2

Jaya, Anak Agung Ngurah Dharma, Dharmawan. Ni Ketut Supasti & Darmadi. Anak Agung Sagung Wiratni, "Pelaksanaan ketentuan hukum tentang perjanjian konsinyasi antara distribution outlet dengan supplier di Denpasar Selatan", Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 02, No. 03, 2018

Kusuma, Komang Pande Dananjaya Tirta & Purwanto. I Wayan Novy, "Keabsahan Pembelian Mobil Bekas Melalui Media Facebook", Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 6, 2020

Mariyati, Dwi, “Prinsip Hukum Dalam Penyusunan Dan Pelaksanaan Kontrak Engineering Procurement Construction (Kontrak EPC)”, Jurnal Yuridika, Vol. 33, No. 2, 2018

Purwadi, Ari, Prinsip Tanggung Gugat Dari Profesi Perencana Terhadap Kegagalan Pekerjaan Jasa Konstruksi Jalan Tol”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 20, 2014:

Sitompul, Fajar Sahat Ridoli dan Ariani. I Gst Ayu Agung, “Kekuatan Mengikat Perjanjian Yang Dibuat Secara Lisan”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 02, No. 05, 2014

Suryawan, Made Angga Adi dan Resen. Made Gde Subha Karma, "Pelaksanaan Penarikan Royalti Oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia Wilayah Bali Pada Restoran Di Kabupaten Gianyar Atas Penggunaan Karya Cipta Lagu Dan Musik", Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 3

Utomo, Satrio Agung, dkk., “Evaluasi Hak & Kewajiban Antara Perjanjian Kontrak Nasional Dengan Persyaratan Standar Fidic (Studi Kasus: Proyek Pembangunan Gedung Pemuda Dan Kebudayaan Temanggung)”, Jurnal Karya Teknik Sipil, Vol. 4, No. 4, 2015

Wiranatha, I Nyoman Oka dan Purwanto. I Wayan Novy, "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Pemberian Uang Kembali yang Tidak Sesuai di Alfamart", Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 1, 2019

Yushar, "Tanggung Gugat Kontraktor dalam Kegagalan Bangunan", Jurnal Media Iuris, Vol. 2, No. 3, 2019

ARTIKEL:

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring (Dalam Jaringan), “Mitra”, URL: https://kbbi.web.id/mitra diakses pada 29 Januari 2022.

KBBI.Lektur.ID, “Arti Kemitraan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)”, URL: https://kbbi.lektur.id/kemitraan#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Ba hasa%20Indonesia,sama%20dan%20sebagainya)%20sebagai%20mitra diakses pada 29 Januari 2022, Pukul 14:21 Wita

Tunas Jaya Mandiri, 2013, “History PT. Tunas Jaya Mandiri General Contractor”, URL : http://www.tunasjayasanur.com/en/pages/history/, diakses tanggal 29 Januari 2019, Pukul 13:03 Wita.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Kitab Undang Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 7 Tahun 2022, hlm. 1539-1549