STILISTIKA

Journal of Indonesian Language and Literature

ISSN: 2808-8336

Vol.01, No.02: April 2022, pp-50-61.

REPRESENTASI KONFLIK SOSIAL DALAM NOVEL BURUNG KAYU KARYA NIDUPARAS ERLANG

Alicia Agustina Ginting1*, I Nyoman Darma Putra2, dan Sri Jumadiah3 Universitas Udayana

*Surel: [email protected]

doi: https://doi.org/10.24843/STIL.2022.v01.i02.p05

Artikel dikirim: 24 Desember 2021; Diterima: 24 Januari 2022

REPRESENTATION OF SOCIAL CONFLICT IN NOVEL BURUNG KAYU BY NIDUPARAS ERLANG

Abstract. As a homo conflicus creature, humans cannot avoid conflict. Conflict is a part of human life that inspire literary writer to write story. The novel Burung Kayu (Wood Bird, 2021) by Niduparas Erlang set in a region in Mentawai, North Sumatera, and expresses social conflicts that reflect the local situation. This article discusses three issues related to the novel, including (1) how is the structure of the novel Burung Kayu by Niduparas Erlang related to plot, characterization, and setting; (2) how is the representation of social conflict in Burung Kayu by Niduparas Erlang; (3) what is the meaning of the representation of social conflict in the novel Burung Kayu by Niduparas Erlang. The theory used is the theory of social conflict from the view of Lewis A. Coser, besides that, the theory of structure from the view of Stanton is used to examine the structure of the novel Burung Kayu. The data was collected using the literature study method with reading, listening, and note-taking techniques. Data analysis was carried out by interpretive descriptive method. Based on the analysis results of the novel Burung Kayu by Niduparas Erlang, it is built on conventional plots and flashbacks, the characterizations consist of main and complementary characters, then the setting is divided into place, time, atmosphere, and social. All of these elements are intertwined in the inter-element relationship and reflected social conflict of community where the story is set.

Keywords: novel Burung Kayu; sociology of literature; representation of social conflict

PENDAHULUAN

Sastra merupakan sebuah ide atau gagasan manusia yang mempunyai nilai estetika dan dituangkan dalam bentuk karya sastra yang menggambarkan realitas sosial masyarakat pada umumnya dan di dalamnya terdapat berbagai masalah sosial, budaya, politik, dan agama. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat karena karya sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran- kebenaran hidup walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Menurut Semi (1993:1), sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta. Karya sastra berkaitan dengan masalah kehidupan sosial masyarakat yang meliputi berbagai masalah berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan cara 50

berpikir. Hal tersebut dapat dilihat pada salah satu karya sastra yang menceritakan konflik sosial masyarakat Mentawai yaitu novel Burung Kayu.

Suku Mentawai adalah nama salah satu suku yang menetap di Kepulauan Mentawai, Pulau Siberut, Sumatera Barat. Masyarakat suku Mentawai terkenal masih bergantung penuh pada alam dan hidup jauh dari peradaban modern saat ini, mereka memiliki rumah adat tradisional yang bernama “Uma” yang biasanya dihuni oleh keluarga batih menurut garis keturunan ayah, uma yang satu dengan uma yang lainnya memiliki keterikatan, jika mengadakan ikatan perkawinan maka setiap laki- laki mengambil istri dari uma tetangganya, kalau seorang suami meninggal maka istri berubah status menjadi janda dan harus kembali ke uma-nya. Pakaian adat untuk laki-laki Mentawai adalah kabit dan yang perempuan memakai rok yang terbuat dari daun atau kulit kayu. Sagu dan pisang merupakan makanan pokok orang Mentawai, khususnya di Pulau Siberut. Masyarakat Mentawai termasuk penganut animisme, yang percaya kepada roh-roh leluhur dan segala sesuatu (benda) yang dianggap memiliki jiwa, kepercayaan itu disebut “Arat Sabulungan”. Sabulungan berasal dari kata bulu yang berarti daun, biasanya dilakukan upacara keagamaan tersebut menggunakan dedaunan dan ranting-ranting pepohonan (Hernawati, 2007:85).

Konflik sosial merupakan fenomena di masyarakat yang biasa muncul saat adanya perbedaan antarindividu ataupun kelompok tidak dapat didamaikan dan menyebabkan pertentangan. Berkaitan dengan konflik sosial, Sayuti (2000:142) menyatakan bahwa konflik sosial adalah konflik antara orang-orang atau seorang dengan masyarakat. Masalah sosial merupakan masalah yang kompleks. Oleh karena itu, jika manusia tidak segera mencari jalan keluarnya, dapat menimbulkan konflik.

Novel Burung Kayu mengangkat cerita yang melukiskan konflik yang terjadi pada suku Sura’ Sabbeu dan suku Tunggul Kelapa di Kepulauan Mentawai yang bermula dari kematian Bagaiogok (Aman Legeumanai) yang memperjuangkan keluarganya untuk memenangkan pertaruhan dengan suku seberang sungai. Pertaruhan terjadi karena adiknya yang bernama Saengrekerei membawa kabur seorang gadis dari uma seberang sungai yang tidak menyukainya, namun sang gadis kabur dan mengadu kepada keluarganya, hal tersebut membuat keluarga uma gadis tersebut marah dan meminta denda kepada Saengrekerei, namun Saengrekerei menolak dan tidak mengakui kesalahannya sehingga muncul berbagai konflik.

Dipilihnya novel ini menjadi objek penelitian dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, novel Burung Kayu menceritakan konflik sosial dan kebudayaan suku-suku pedalaman di Kepulauan Mentawai dengan suguhan konflik yang kompleks. Kedua, novel Burung Kayu meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2020, yang

merupakan ajang penghargaan bergengsi dunia sastra Indonesia. Penelitian ini menggunakan kajian sosiologi sastra untuk mengungkapkan dan memaknai konflik sosial dan makna representasi konflik sosial yang terdapat dalam novel Burung Kayu.

Berdasarkan tinjauan yang dilakukan melalui situs-situs internet, ditemukan beberapa penelitian dan resensi terkait novel Burung Kayu yang sekaligus menjadi referensi dalam penelitian ini.

Adelia Nurfitri Aji (2021) dalam penelitian “Analisis Kearifan Lokal Dalam Novel Burung Kayu Karya Niduparas Erlang Dan Relevansinya Sebagai Bahan Ajar Sekolah Menengah Atas” menjelaskan adanya beberapa dimensi kearifan lokal dalam novel Burung Kayu, yaitu dimensi pengetahuan umum , dimensi keahlian lokal, dimensi sumber daya lokal, dimensi nilai lokal, dimensi mekanisme pengambilan keputusan lokal dan dimensi sumber daya lokal. Selain itu penelitian ini juga menjelaskan bahwa novel Burung Kayu ini mempunyai keterkaitan dengan pembelajaran sastra dalam kurikulum 2013 yang membuat novel ini layak digunakan sebagai bahan ajar sastra di sekolah menengah atas. Adapun perbedaan penelitian Adelia dengan penilitian ini yaitu dalam penelitian ini fokus terhadap konflik sosial yang terdapat dalam novel Burung Kayu, yang meliputi konflik realistik dan nonrealistik, sedangkan dalam penelitian Adelia membahas mengenai kearifan lokal termasuk berbagai jenis dimensinya. Konflik sosial dengan kearifan lokal cukup berbeda karena dalam konflik sosial membahas mengenai permasalahan atau pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat sedangkan kearifan lokal membahas mengenai aktivitas yang dilakukan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka.

Fitriyan (2021) dalam penelitiannya “Aspek Sosial dalam Novel Burung Kayu Karya Niduparas Erlang” menguraikan unsur-unsur yang membangun novel dan aspek sosial dalam novel tersebut. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan beberapa aspek sosial dalam penelitian Fitriyan. Aspek sosial tersebut antara lain aspek sosial dalam novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang, meliputi proses sosial, interaksi sosial, kelompok sosial, perubahan sosial, dan konflik sosial. Adapun perbedaan penelitian Fitriyan dengan penelitian ini ialah letak teori yang digunakan. Meskipun objek yang dianalisis dan wilayah kajiannya sama, akan tetapi fokus pembahasannya berbeda. Perbedaan yang cukup besar tampak pada pembahasan terkait aspek sosial yang dikemukakan oleh Fitriyan. Berbeda halnya dengan penelitian ini, fokus utama bertolak pada konflik sosial yang terdapat dalam novel Burung Kayu. Kendatipun isu konflik sosial sempat disinggung oleh Fitriyan dalam pembahasannya, namun tidak terang bederang penjelasannya. Lebih kompleks penelitian ini secara khusus menggunakan teori konflik sosial dari Lewis A. Coser untuk membedah lebih dalam masalah konflik sosial dalam novel Burung Kayu.

Selain itu, Alif (2020) dalam resensi “Burung Kayu, Novel Etnografis Karya Niduparas Berlatar Mentawai” membahas tentang realitas kehidupan masyarakat Mentawai yang memiliki kekayaan budaya, tradisi lisan, dan berbagai persoalan yang mereka hadapi terkait intervensi pemerintah dan agama mayoritas. Novel Burung Kayu menurut Alif di satu sisi merupakan upaya untuk melihat kembali bagaimana dinamika yang dialami masyarakat adat, khususnya masyarakat Mentawai, novel ini berupaya menjadikan persoalan-persoalan yang terjadi dari sudut pandang masyarakat Mentawai itu sendiri. Sebuah upaya untuk menjadikan masyarakat adat sebagai subjek, bukan lagi sekadar objek untuk diamati dan dinilai dari kacamata luar.

Artikel ini menerapkan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data lewat riset pustaka. Metode deskriptif analisis ini tidak semata-mata hanya menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya mengenai data yang ada (Ratna, 2009:53). Data analisis diambil dari ungkapan atau narasi dari novel dan dianalisis dengan berbagai literatur yang relevan dengan kajian truktur dan aspek sosial novel.

Hasil analisis disajikan ke dalam dua bagian berkaitan, yaitu kajian struktur novel dan aspek sosial yang dikaitkan dengan kehidupan soosial yang menjadi latar belakang penciptaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan pada penelitian ini dibagi menjadi tiga yaitu, struktur, konflik sosial (realistik dan nonrealistik), dan makna representasi konflik sosial dalam novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang.

Struktur

Struktur karya sastra merupakan titik awal untuk membuka ruang cerita sehingga memudahkan pembaca untuk menemukan anasir-anasir dalam novel Burung Kayu. Struktur yang dianalisis mengacu pada pandangan Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2007: 25) mengenai alur, penokohan dan latar. Novel Burung Kayu menggunakan dua alur sebagai gaya penceritaannya yakni konvensional dan flashback. Salah satu cerita yang menggambarkan alur flashback adalah ketika Aman Legeumanai mengisahkan tentang para leluhurnya yang berkonflik dengan pemerintah. Seperti dijelaskan dalam kutipan berikut.

Aman Legeumanai masih mengingat kisah-kisah yang diceritakan teteu-nya dengan sangat jelas. Betapa di suatu waktu, para sikerei- tak terkecuali kakeknya itu sendiri-pernah dikejar dan dihancurkan. Bakkat katsaila dibakar dan

dileburkan, dan agama-agama pendatang dipaksakan (hlm.21).

Alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Alur dibagi menjadi tiga, yaitu tahapan awal, tahapan tengah, tahapan akhir. Tahapan awal novel Burung Kayu menceritakan Legeumanai yang merupakan anak dari Bagaiogok dan Taksilitoni yang sedang melakukan ritual pengukuhan sikerei (dukun), ia diceritakan sebagai sosok yang kuat.

Para sikerei tua tahu bahwa roh-roh sikerei dari berbagai masa tengah memberkati sikerei muda yang kini melompat ke dalam api dan terus saja menari. Kakinya yang tadi tak henti mengentak-ngentak lantai, kini mengentak-ngentak bara api yang berkobar, menerbangkan lelatu yang pecah mekar sebelum padam. Kakinya tak lepuh dibakar api. Ia dingin di dalam api. Sementara matanya, mendelik berkilat-kilat, lalu memejam seolah memasuki dunia para leluhur, memasuki Uma Besar yang begitu memesona penuh warna penuh bunga-bunga, sembari terus saja menarikan tarian manyang melayang dan menyambar (hlm.2).

Tahapan tengah cerita, menjadi permulaan munculnya konflik. Setelah kisahan permusuhan suku Saengrekerei dan suku seberang sungai yang mengakibatkan kematian kakak kandung Saengrekerei, Aman Lageumanai. Taksilitoni sebagai istri dari Aman Legeumanai tidak ingin menjadi seorang janda dan meninggalkan anaknya, Legeumanai. Taksilitoni paham betul bahwa, ketika seorang istri ditinggalkan oleh suaminya, maka ia harus pulang dengan menyandang status “janda” tanpa mendapatkan harta dan warisan suaminya. Mengetahui hal itu, Taksilitoni tidak ingin hal itu terjadi dengannya. Akhirnya Taksilitoni memilih menikah dengan adik iparnya, untuk menjaga warisan beserta “dendam” kematian suaminya.

Setelah penggambaran konflik di barasi yang begitu kompleks, cerita mulai mengarah pada tahap akhir. Dikisahkan Legeumanai telah kembali ke barasi setelah menempuh pendidikan dan bekerja di kantor pemerintah sekitar lebih dari Sembilan tahun. Alasan Legeumanai pulang adalah karena ibunya sedang sakit. Namun, Legeumanai juga berada dalam kondisi sakit ketika perjalanan pulang. Sakit yang dialami Legeumanai disebabkan oleh mimpi yang mengisahkan gambaran sikerei yang terus menerus menghantui Legeumanai. Ditengah-tengah perjalanan menuju uma, Saengrekerei menyampaikan kepada Legeumanai bahwa satu-satunya cara untuk menyembuhkan ibunya adalah ia (Legeumanai) harus menjadi seorang sikerei.

Penokohan dapat diketahui gambaran jelas mengenai karakter tokoh-tokoh dalam sebuah cerita. Saengrekerei merupakan tokoh utama dalam novel Burung Kayu. Kehadirannya dalam cerita membuat arus utama adanya konflik yang kembali terjadi 54

dalam kisah-kisah penduduk di uma. Aman Legeumanai memiliki nama asli Bagaiogok. Nama tersebut diperoleh setelah menikah dengan Taksilitoni. Aman Legeumanai dilihat dari segi psikologis dinilai sebagai sosok pemberani dan penuh dedikasi terhadap uma-nya. Karena itulah ia mendapatkan kepercayaan sebagai pemimpin di uma-nya. Namun naas, ketika menaikkan burung enggang kayu di pohon katuka ia terjatuh dan meninggal dunia. Kematiannnya meninggalkan perjuangan dan “dendam” yang diwariskan kepada masyarakat uma-nya. Legeumanai merupakan anak dari Bagaiogok dan Taksilitoni. Legeumanai memiliki sifat pragmatis dan sifat tersebut terlihat ketika Legeumanai mengaku sebagai orang Minang, memilih agama tertentu, dan aspek lainnya yang mendukung ia untuk memperoleh pengakuan identitas semata.

Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (Sudjiman, 1992: 48). Dalam novel Burung Kayu ditemukan latar berupa tempat, waktu dan suasana. Latar tempat pada novel Burung Kayu mengisahkan kehidupan masyarakat di Pulau Mentawai provinsi Sumatera Barat. Sedangkan latar waktu terjadinya konflik dalam novel Burung Kayu tidak dijelaskan secara jelas namun pelacakan temporari untuk memperkuat eksistensi kehidupan masyarakat uma dalam novel tersebut dapat ditelusuri dari kehidupan adat-istiadatnya.

Latar sosial dalam novel Burung Kayu secara garis besar menampilkan gambaran sosial masyarakat pedalaman di Mentawai. Novel Burung Kayu berlatar sosial kehidupan penduduk uma dengan dinamika problematika kultural dan struktural didalamnya.

Representasi Konflik Sosial dalam Novel Burung Kayu

Konflik pada hakikatnya merupakan suatu kondisi di mana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan. Novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang menampilkan cerita tentang dunia masyarakat pedalaman suku Mentawai dengan segenap dinamika permasalahan yang direfleksikan melalui tokoh-tokohnya. Konflik mulai tampak ketika cerita diarahkan pada permasalahan-permasalahan yang dihadapi keluarga Saengrekerei ketika mendiami uma hingga pindah ke barasi. Konflik pada novel Burung Kayu dianalisis menggunakan teori konflik Lewis A. Coser yang membagi konflik menjadi dua tipe, yakni konflik realistik dan nonrealistik (Susan, 2009:46)

Konflik Realistik

Konflik realistik merupakan konflik yang berawal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan. Selain itu konflik realistik dapat juga terjadi karena seseorang terlalu berambisi untuk mendapatkan sesuatu. Penjabaran konflik realistik dikelompokkan menjadi dua yakni perasaan bermusuhan (hostile feeling) dan perilaku bermusuhan (hostile behavior).

Perasaan bermusuhan (hostile feeling) merupakan konflik yang muncul dari dalam

diri sendiri dan tidak melibatkan orang lain. Salah satu perasaan konflik yang terjadi di dalam novel Burung Kayu ketika Legeumanai mengalami perasaan jatuh cinta terhadap seorang gadis bernama Maria Saroro. Maria Saroro merupakan teman belajarnya ketika menempuh pendidikan di asrama Dusun Muara. Namun, Legeumanai harus merasakan perasaan konflik (hostile feeling) yang berkecamuk dalam dirinya ketika mengetahui kenyataan bahwa Maria Saroro hamil di luar nikah. Maria Saroro diketahui dihamili oleh orang yang berasal dari suku Jawa. Peristiwa tersebut membuat Legeumanai mengalami “amuk batin” dalam dirinya. Seperti diungkap dalam kutipan berikut.

O, Maria Saroro yang jelita, mengapa engkau mesti memilih sasareu dan membuatku menderita? (hlm.138).

Hostile Behavior merupakan konflik yang terjadi karena permusuhan dengan orang. konflik ini melibatkan lebih dari satu orang. Perilaku bermusuhan menyebabkan mengalami situasi konflik (Susan, 2009:46). Perilaku bermusuhan dalam novel Burung kayu dipresentasikan oleh antara penduduk uma dan pemerintah. Konflik tersebut disebut sebagai konflik struktural. Cara pandang pemerintah dalam melihat entitas kehidupan penduduk uma di lembah tampaknya bersifat intimidatif. Pemerintah bermaksud mengubah tatanan masyarakat di uma akan tetapi justru menimbulkan konflik berkepanjangan. Konflik tersebut seperti pemaksaan kepercayaan, penghapusan sistem adat, larangan intimidatif, dan perampasan tanah (konflik agraria).

Konflik Non-realistik

Konflik nonrealistik merupakan konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser (dalam Susan, 2009:47) mengungkapkan bahwa konflik nonrealistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis. Konflik nonrealistik direpresentasikan dalam perselisihan suku sura’sabbeu dengan suku seberang sungai. Perselisihan kultural (dendam) yang diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur uma kepada satu generasi ke generasi lain membuat bentuk-bentuk konflik semakin menuju resolusi yang komplek dan sulit menemukan konsensus dan perdamaian. Konflik nonrealistik terlihat pada tindakan Baumanai yang berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan berdiskusi, maka dariitu Bauanai memanggil perwakilan untuk menengahi permasalahan ini hingga dapat diselesaikan. Terlihat pada kutipan berikut.

Demi mendengar pengakuan adik perempuannya, Baumanai mencari dan menemui beberapa orang yang dimintanya menjadi sipasaili untuk berunding dengan keluarga babuisboje (hlm. 30).

Makna Konflik Sosial dalam Novel Burung Kayu

Palmer (dalam Abdul Chaer, 1993: 5) mengungkapkan makna hanya menyangkut intrabahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut, Lyons menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dengan katakata lain. Sebagaimana pendapat Palmer tersebut maka konflik dapat dijadikan sebagai instrument untuk melihat fenomena dan menguraikannya sebagai bahan untuk penjelajahan makna. Uraian makna konflik sosial dalam novel Burung Kayu dapat dimaknai sebagai gejala sosial.

Secara umum gejala sosial yang dapat dimaknai ialah konflik yang terjadi bersumber dari perebutan legitimasi identitas yang diwariskan secara turun temurun. Perebutan tanah serta segenap perselisihan “diselesaikan” dengan cara pako’ (pertarungan adat) yang pada bagian konsensusnya berakhir dengan pertumpahan darah. Terdapat berbagai gejala sosial yang dapat diidentisikasi dalam novel Burung Kayu, misalnya konflik struktural antara pemerintah dengan penduduk uma mengakibatkan adanya permasalahan-permasalahan seperti kekerasan, kerusakan alam, hingga hilangnya identitas kesukuan. Oleh karena itu pembahasan mengenai makna menjadi penting dilakukan.

Konflik yang mengakibatkan adanya kekerasan dijelaskan dalam peristiwa pembakaran tiga alat berat yang akan digunakan untuk membabat hutan. Penduduk uma dipaksa mengaku dan mengutarakan siapa dalang pembakaran tersebut. Para polisi dengan kekuatan legitimasinya dengan represif menuntut para penduduk uma di barasi. Seperti diungkap dalam kutipan berikut.

Tapi tak ada yang mau mengaku, meski dihantam popor senapan dan pulang dengan lunglai dan tanpa daya. Beberapa orang diantaranya, seperti si Juling dari suku-daun-keladi yang juga terlibat dalam aksi pembakaran tiga alat berat itu (hlm.118).

Bagi Lewis A. Coser, konflik yang terjadi didalam masyarakat tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatifnya saja, tetapi dapat pula menimbulkan dampak yang positif (dalam Susan, 2009:46).

Fungsi Positif Konflik Sosial dalam Novel Burung Kayu

Fungsi positif dari konflik menurut Lewis A.Coser merupakan cara atau alat untuk mempertahankan, mempersatukan, dan bahkan untuk mempertegas sistem sosial yang ada. Salah satu wujud fungsi positif konflik dalam novel Burung Kayu terdapat dalam peristiwa kepindahan Saengrekerei di barasi.

Saengrekerei melewati beban hidup yang dahsyat sebelum pindah di barasi, ia menjadi penyebab kematian kakaknya sendiri ketika peristiwa konflik dengan suku tunggal kelapa. Kakaknya terjatuh pada saat menenggerkan burung enggang kayu di puncak pohon katuka. Setelah kematian kakanya itulah, ia menikahi iparnya sendiri yakni

Taksilitoni kemudian mengajaknya pindah di barasi. Keluarganya di uma menentang kepindahan tersebut karena alasan pemerintah yang ingin “merubah” kehidupan penduduk uma. Setelah di barasi, Saengrekerei bertemu dengan Guru Baha’I (guru agama islam) Pertemuan tersebut menunjukkan sikap-sikap kerukunan, keharmonisan, serta kekeluargaan yang terjalin diluar konteks “keagamaan” masalah-masalah adat, masalah dengan pemerintahan seolah dikesampingkan dalam peristiwa tersebut. Momen emosional tersebut menyimbolkan adanya kerukunan antarmanusia. Tidak ada kepentingan pribadi yang mengatasnamakan kesejahteran dan agama.

Saengrekerei dan Taksilitoni menyambut keluarga Guru Baha’I dengan senang hati, dan mempersilahkannya turut serta pergi ke ladang mereka (hlm. 79).

Fungsi Negatif Konflik Sosial dalam Novel Burung Kayu

Fungsi negatif konflik sosial cenderung mengakibatkan adanya kerusakan-kerusakan alam hingga hilangnya identitas. Penduduk uma kehilangan identitas mereka karena mendapat tekanan dari pemerintah. Penduduk dipaksa menganut salah satu agama yang tidak sesuai dengan kepercayaan nenek moyang meraka.

Ketika Saengrekerei dan keluarganya sedang dalam perjalanan menuju barasi ia bertemu dengan orang-orang penghuni uma. Ia berpamitan, namun para penghuni uma lainnya terheran- heran melihat Saengrekerei dan keluarganya tidak menggunakan sebagaimana biasanya (ber-kabit atau ber-laha). Mereka tengah mengubah pakaian dengan pakaian modern yang didapatkan dari seorang Pastor. Seperti kutipan berikut

orang-orang itu agak terheran-heran melihat mereka tak lagi hanya ber-kabit atau ber-laha- nya. Ketiganya, kini di atas sampan sepanjang lima rentang tangan lelaki dewasa itu, memang mengenakan pakaian yang didapat Saengrekerei dari seorang pastor di Muara (hlm.8).

Pada kutipan tersebut menunjukkan hilangnya identitas budaya atau suku mereka yang terpaksa dipudarkan oleh aturan pemerintah. Berdasarkan fungsi negatif inilah, penduduk uma melakukan perlawanan-perlawanan. Seperti menyindir pemerintah dengan memberikan nama hewan peliharannya dengan sebutan pemerintah dan sistem. Seperti diungkap dalam kutipan berikut.

Namun, kepada anjing kecil hitam yang meringkuk di pengkuannya, yang diberi nama Pemerintah oleh teteu-nya (hlm.49).

sisa-sisa iba dan kapurut dibiarkan bergeletakan pada lulak dan lantai kayu, untuk dibersihkan seekor anjing berbulu cokelat bernama system (hlm.77).

Kematian Aman Legeumanai, pelarangan tato, komodifikasi upacara sikerei, pembunuhan sesama suku dan pembakaran alat berat secara kesuluruhan merupakan wujud dari adanya fungsi negatif konflik. Sehubungan dengan fungsi negatif tersebut dapat ditarik sebuah “wacana” pemikiran interpretatif yang tentunya bukan bersifat utopia dari konflik yang komprehensif di atas.

Konflik adalah sebuah entitas yang bersifat paradoks, satu sisi manusia memerlukan konflik untuk menunjukkan eksistensi dan dinamika kehidupan sosial-budaya masyarakatnya. Namun di sisi lain, konflik dapat berakibat pada berbagai kerusakan tatanan sosial mulai dari yang mikro hingga makro. Pemikiran semacam itu, mengarahkan kita sebagai masyarakat budaya untuk tidak antipati terhadap konflik dan juga tidak membuat konflik. Manusia sebagai mahluk budaya seyogyanya menjalankan kehidupan tanpa menghindari keduanya. Masalah-masalah yang terjadi dalam novel Burung Kayu dapat dipetik buah hikmahnya, bahwa “keyakinan” merupakan ranah privat yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Setiap manusia memiliki hak yang sama atas eksistensi keyakinannya. Karena itulah, perubahan seharusnya mengakomodasi pengetahuan kultural menjadi pengetahuan yang dapat melanggengkan identitas (uma) bukan justru mendiskreditkan atau didekonstruksi negatif.

SIMPULAN

Dari uraian di atas dapat ditarik tiga simpulan. Pertama, novel Burung Kayu terbangun atas struktur karya sastra yakni alur, penokohan, dan latar. Alur yang digunakan adalah konvensional dan flashback. Penokohan terbagi menjadi dua yakni tokoh utama dan pelengkap, berdasar identifikasi karakteristik tokoh didominasi oleh aspek fisiologis dan ideologis. Latar yang digunakan yaitu latar tempat. waktu, suasana, dan sosial. Kedua representasi konflik sosial dalam novel Burung Kayu dibagi menjadi konflik realistik dan konflik nonrealistik. Konflik realistik dikelompokkan ke dalam (1) perasaan konflik (hostile feeling) (2) perilaku konflik (hostile behavior). Ketiga, makna konflik sosial dalam novel Burung Kayu dapat dilihat sebagai refleksi sosial. Sebagai refleksi sosial masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, konflik yang terjadi cenderung menampilkan unsur kekerasan. Selanjutnya, konflik dalam novel Burung Kayu dapat dibagi atas dua fungsi yakni fungsi positif dan negatif. Fungsi positif konflik antara lain adalah mempererat rasa seperjuangan-sepenanggungan sesama penduduk uma, serta berfungsi sebagai kerangka berpikir dalam dinamika sosial-kultural penduduk uma. Fungsi negatifnya adalah hilangnya identitas diri penduduk uma sebagai akibat tindakan-tindakan eksploitatif-dekontruktif yang dilakukan pemerintah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur ke-hadirat Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan Kuasa-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan artikel ini dengan baik. Terima kasih kepada para dosen penguji skripsi, yaitu prof. Dr. I Wayan Cika, M.S, Dr. Drs. I Ketut Sudewa, M.Hum, dan Drs. I Ketut Nama, M.Hum atas segala masukannya yang menjadi bahan peningkatan isi artikel ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana atas segala ilmu,

didikan, dukungan, dan semangat yang diberikan kepada penulis dalam menempuh pendidikan di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya. Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua yang terkasih bapak H. Ginting dan ibu E. Sinuraya dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan doa, dukungan moral dan materi, semangat, motivasi, dan nasihat selama menempuh pendidikan hingga skripsi ini dapat diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Aji, Adelia Nurfitri. “Analisis Kearifan Lokal Dalam Novel Burung Kayu Karya Niduparas Erlang Dan Relevansinya Sebagai Bahan Ajar Sekolah Menengah Atas. https://scholar.google.com/scholar?hl=en&as_sdt=0%2C5&q=burung+kayu&btnG=. Diakses pada 15 Oktober 2021.

Alif.   “Burung   Kayu, Novel Etnografis Karya Niduparas Berlatar Mentawai

.https://alif.id/read/redaksi/burung-kayu-novel-etnografis-karya-niduparas-yang-berlatar- mentawai-b231189p/. Diakses pada 12 Desember 2020.

Erlang, Niduparas. 2020. Burung Kayu. Padang: CV. Teroka Gaya Baru.

Fitriyan, R. (2021). “Aspek Sosial dalam Novel Burung Kayu Karya Niduparas Erlang”.

https://scholar.google.com/scholar?hl=en&as_sdt=0%2C5&q=burung+kayu&btnG=.

Diakses pada 15 Oktober 2021.

Hernawati, Trida S. 2004. Antara Alam, Kebudayaan dan Jiwa. Padang: Yayasan Citra Mandiri.

Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sayuti, Suminto. 2000. Berkenalan Dengan Prosa. Yogyakarta: Gama Media. Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi Robert Stanton (Terjemahan Sugihastuti dan Rosi Abi

Al Irsyad). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Susan, Novri.

2009. Pengantar Sosiologi Konflik. Jakarta: Prenada Media Grup.

PROFIL PENULIS

Alicia Agustina Ginting adalah mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia angkatan 2017. Pada tahun 2017 pernah menjadi anggota bidang kekeluargaan Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia. Pada tahun 2019 pernah menjadi anggota bidang minat bakat Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia.

I Nyoman Darma Putra adalah guru besar ilmu sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Dia menyelesaikan S-1 di Program Studi Sastra Indonesia Unud, S-2 60

di University of Sydney, dan S-3 di University of Queensland. Tahun 2014-2018, Darma menjadi Ketua Program Studi S-2 Kajian Pariwisata Unud. Sejak 2011, menjadi pemimpin redaksi Jurnal Kajian Bali (terakreditasi B, Sinta-2). Karya bukunya antara lain A Literary Mirror: Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century (KITLV/Brill 2011), Wanita Bali Tempo Doeloe Perspektif Masa Kini (2007 [2003]), Tonggak Baru Sastra Bali Modern (2010 [2000]).

Dra. Sri Jumadiah, M.Hum. adalah dosen di Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Denpasar Bali. Pendidikan Magister dalam bidang filologi diselesaikan di Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1999. Judul Tesis “Geguritan Amir Amsyah Satu Kajian Filologi.” Mengajar mata kuliah Pengantar Filologi, Bahasa Daerah NonBahasa Ibu, Bahasa Jawa Baru, dan Psikologi Sastra.

61