Sport and Fitness Journal

Volume 5, No.3, September 2017: 101-109

ISSN: 2302-688X

INTERVENSI INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITATION TECHNIQUE (INIT) DAN TERAPI ULTRASONIK LEBIH MENURUNKAN DISABILITAS LEHER AKIBAT SINDROMA MIOFASIAL OTOT UPPER TRAPEZIUS DIBANDINGKAN INTERVENSI MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE (MRT) DAN TERAPI ULTRASONIK

Rita Maria1, Alex Pangkahila2, M. Irfan3, Made Jawi4, Adiartha Griadhi5, Indra Lesmana6

  • 1    PS. Magister Fisiologi Olahraga Universitas Udayana

    • 2,4 ,5 Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

    • 3,6    Fakultas Fisioterapi Universitas Esa Unggul

ABSTRAK

Penggunaan obat-obatan analgesik pada penderita sindroma miofasial untuk jangka panjang memiliki efek yang kurang baik, sehingga perlu dicari metode lain yang lebih efektif dan efisien dalam penanganan sindroma miofasial. Sindroma miofasial otot upper trapezius adalah sekumpulan gejala seperti nyeri otot kronis dengan peningkatan sensitivitas terhadap tekanan, adanya spasme otot, tenderness, stiffness, keterbatasan gerak, dan kelemahan upper trapezius. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan tingkat penurunan disabilitas leher pada pemberian intervensi Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT), Myofascial Release Syndrome (MRT), dan terapi ultrasonik. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan pre-test dan post-test group design. Eksperimen ini dilaksanakan di RSPI Puri Indah, Jakarta. Sampel penelitian berjumlah 20 orang yang dibagi ke dalam 2 kelompok sampel yaitu 10 orang pada kelompok pertama dan 10 orang pada kelompok kedua. Sampel pada kelompok pertama memiliki usia rata-rata sebesar 30,9 tahun dengan laki-laki sebanyak 4 orang dan perempuan sebanyak 6 orang. Sedangkan pada kelompok kedua memiliki usia rata-rata sebesar 32,8 tahun dengan laki-laki sebanyak 5 orang dan perempuan sebanyak 5 orang. Hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji independent sample t-test menunjukkan adanya perbedaan yang signikan antara rerata sesudah intervensi disabilitas kelompok pertama dengan rerata sesudah intervensi disabilitas leher kelompok kedua, dengan nilai kelompok pertama (21,6 ± 4,6)% dan kelompok kedua (15,6 ± 3,6)% dengan nilai p < 0,05. Disimpulkan bahwa intervensi Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT) dan terapi ultrasonik lebih menurunkan disabilitas leher pada sindroma miofasial otot upper trapezius, dibandingkan dengan pemberian Myofascial Release Syndrome (MRT) dan terapi ultrasonik.

Kata kunci: Sindroma Miofasial, Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT), Myofascial Release Technique (MRT) dan terapi ultrasonik.

INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITATION TECHNIQUE (INIT) AND ULTRASOUND THERAPY WAS BETTER IN REDUCING NECK DISABILITY CAUSED BY UPPER TRAPEZIUS MUSCLE MYOFASCIAL SYNDROME COMPARED TO MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE (MRT) AND ULTRASOUND THERAPY

ABSTRACT

The long term use of analgesic drugs in patients with myofascial syndrome had a bad effect. So it is very important to find another methods. Upper trapezius muscle myofascial syndrome is a collection of symptoms such as chronic pain with increased sensitivity to pressure, muscle spasms, tenderness, stiffness, limited motion, and weakness of the upper trapezius muscle. The aim of this study was to compare the rate of decline in the neck disability of interventions for Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT), Myofascial Release Syndrome (MRT), and

ultrasound therapy. This research used experimental method with pre-test and post-test group design. This experiment was conducted in RSPI Puri Indah, Jakarta. These samples included 20 people who were divided into two groups of samples, are 10 people in the first group and 10 people in the second group. Samples in the first group had an average age of 30.9 years old with men as much as 4 people and women as much as 6 people. While the second group had an average age of 32.8 years old with men as much as five people and women as many as five people. The results of testing the hypothesis by using test independent sample t-test showed significantly differences between the average after intervention disability first group with mean after intervention disabilities neck second group, with the value of the first group (21.6 ± 4.6)% and the second group (15.6 ± 3.6)% with values p <0.05. It was concluded that the Inhibitation Integrated Neuromuscular Technique (INIT) and ultrasonic therapy was better in reducing the neck disability in the upper trapezius muscle myofascial syndrome, compared to Myofascial Release Syndrome (MRT) and ultrasound therapy. The decline in neck disability will significantly optimize the functional activity of the cervical spine.

Keywords: myofascial syndrome, Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT), Myofascial Release Syndrome (MRT), and ultrasound therapy

PENDAHULUAN

Semakin maraknya penggunaan komputer dan internet menyebabkan manusia cenderung bekerja statis dan kurang memperhatikan postur tubuh. Mereka juga kurang memperhatikan batas-batas beban kerja yang dapat ditolerir oleh tubuh sehingga menyebabkan kelelahan dari tubuh karena beban kerja yang berlebihan. Kelainan postur tubuh maupun kelelahan karena beban kerja yang berlebih dapat menimbulkan gangguan gerak dan fungsi pada tubuh, misalnya pada mata, leher, pundak, punggung atas, dan pinggang. Salah satu kondisi yang dapat menimbulkan gerak dan fungsi tubuh adalah sindroma miofasial.

Penelitian terkini mengindikasikan sindroma miofasial sebagai sumber utama yang paling sering ditemui sebagai penyebab penurunan disabilitas pada sistem muskuloskeletal sehingga menyebabkan pasien mencari pertolongan medis.1 Penelitian yang dilakukan oleh David G. Simons menunjukkan dari 13 orang dengan 8 otot yang diteliti hanya satu orang yang tidak memiliki trigger point dan dua belas orang mempunyai trigger point di 8 ototnya dengan penyebaran yang berbeda-beda.2

Sindroma miofasial merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri dari trigger point/tender point, tender spot, muscle tightness dan muscle twisting akibat kerusakkan dari fascia dan miofibril pada

jaringan otot sehingga menyebabkan nyeri dari trigger point/tender point pada struktur miofasial, baik nyeri lokal maupun nyeri menjalar (referred pain)3. Salah satu lokasi trigger point yang sering ditemui pada area leher adalah pada otot upper trapezius.4

Otot upper trapezius merupakan otot dengan tipe tonik sehingga apabila terdapat patologi pada otot ini maka akan terjadi gangguan berupa tightness dan kontraktur. Kerja otot upper trapezius yang buruk dapat menyebabkan trauma pada jaringan, baik akut maupun kronik yang akan menimbulkan stress secara mekanis pada jaringan miofasial serta terjadi peningkatan ketegangan otot dikarenakan adanya fase kontraksi secara terus-menerus dengan kontraksi sub-maksimal overloading pada sebagian motor unit.5

Sindroma miofasial pada otot upper trapezius dapat disebabkan karena trauma makro dan mikro, postur yang buruk seperti skoliosis, serta degenerasi dari otot tersebut. Pada otot yang mengalami ketegangan ataupun kontraksi secara terus-menerus tanpa adanya istirahat dan pada posisi statis tersebut dalam waktu yang lama akan menyebabkan peningkatan ketegangan atau kontraksi otot yang akan menyebabkan stress mekanis pada jaringan miofasial.6

Adanya beban tegangan yang berlebihan yang diterima jaringan miofasial secara intermitten dan kronis akan menstimulasi fibroblast dalam fascia untuk

menghasilkan lebih banyak kolagen sehingga akan timbul jaringan fibrous. Keadaan ini akan mencetuskan timbunan fibroblast dan banyak kolagen membuat ikatan tali (abnormal crosslinks) yang secara fisiologis timbul perlahan-lahan dan perlahan-lahan pula akan menyebabkan tekanan dalam jaringan. Di samping itu aliran darah pada area tadi juga akan menurun bahkan hingga tingkat iskemia yang akan mengiritasi serabut saraf Aδ dan C sehingga akan mencetuskan timbulnya trigger 7

point.

Biasanya sindroma miofasial pada otot upper trapezius sering ditemui pada pasien dengan keluhan nyeri leher. Selain nyeri, problem lain yang dapat muncul akibat ketegangan atau kontraktur jaringan miofasial adalah adanya taut band, spasme otot, kelemahan otot serta keterbatasan sendi yang disertai penurunan mobilitas trunk sehingga dapat mengganggu ADL (Activity Daily Living).

Disabilitas diartikan sebagai sebuah definisi payung dimana didalamnya terdapat impairment (body function dan body structure), activity limitation dan participation retrictions. Impairment adalah masalah yang terjadi pada tingkatan body function dan body structure. Activity limitation adalah suatu bentuk kesulitan individual dalam menyesuaikan gerakan atau aktivitas, sedangkan participation retriction adalah masalah yang terjadi pada individu dalam menghadapi kehidupan.8

Intervensi sindroma miofasial dengan terapi ultrasonik didasarkan pada efek-efek terapeutik yang dimiliki oleh gelombang ultrasonik, yaitu efek heating, mekanik, kavitasi, dan accoustic microstreaming.9

Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT) merupakan teknik yang menggabungkan     kombinasi     ischemic

compression, strain counter strain dan muscle energy technique yang efektif untuk melepas perlengketan pada sindroma miofasial.10

Myofascial release technique (MRT) merupakan salah satu metode soft tissue mobilization yang difokuskan pada jaringan lunak yaitu fascia dan otot dan berperan untuk memberikan regangan atau elongasi pada struktur otot dan fascia dengan tujuan untuk fascia, otot, dan fungsi sendi normal.11

Tujuan penelitian adalah untu mengetahui, 1) Intervensi INIT dan terapi ultrasonik dapat menurunkan disabilitas leher pada sindroma miofasial otot upper trapezius. 2) Intervensi MRT dan terapi ultrasonik dapat menurunkan disabilitas leher pada pada sindroma miofasial otot upper trapezius. 3) Intervensi INIT dan terapi ultrasonik lebih menurunkan disabilitas leher pada sindroma miofasial otot upper trapezius, dibandingkan dengan pemberian MRT dan terapi ultrasonik.

METODE PENELITIAN

  • A.    Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan yang digunakan adalah Pre and Post Test Group Design, yaitu membandingkan antara perlakuan pada dua kelompok perlakuan. Dengan jumlah sampel sebanyak 20 orang pada tiap kelompok perlakuan, dengan usia sampel antara 22 - 40 tahun. Kedua kelompok dilakukan pengukuran awal dengan Neck disability Index (NDI). Pada Kelompok I diberikan intervensi INIT dan terapi ultrasonik dan pada kelompok II diberikan intervensi MRT dan terapi ultrasonik..

  • B.    Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di RSPI-Puri Indah, Jakarta.      Waktu penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Desember 2016 sampai dengan bulan Februari 2017.

  • C.    Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah populasi terjangkau para pekerja back office RSPI – Puri Indah yang telah mengalami sindroma miofasial otot upper trapezius, dengan kritria inklusi : a) Sampel positif menderita disabilitas leher akibat dari sindroma miofasial otot upper trapezius (telah dipilih berdasarkan protap assessmen fisioterapi). b) Sampel berusia 25-45 tahun. c) Bersedia menjadi subjek penelitian dari awal sampai akhir penelitian dengan menandatangani surat perjanjian bersedia menjadi sampel penelitian. d) Sampel tidak sedang mengikuti program terapi lainnya.

  • D.    Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling yaitu dengan memilih

sample secara acak atau diundi dalam penelitian ini dengan tujuan mendapatkan sampel yang mewakili status populasi yang diambil sebagai anggota sampel. Dengan jumlah sampel sebanyak 10 orang pada setiap kelompok perlakuan.

  • E.    Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang diambil dalam prosedur penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu: tahap persiapan dan administrasi, tahap pemilihan sampel dan tahap pelaksanaan penelitian.

  • 1)    Tahap persiapan dan administrasi

Tahap persiapan dan administrasi meliputi : a) Melakukan proses perijinan pada institusi tempat penelitian. b) Membuat jadwal pelaksanaan penelitian. c) Mengadakan penjelasan dan pelatihan terhadap rekan sejawat fisioterapi yang membantu proses pelaksanaan penelitian. d) Mempersiapkan bahan, alat ukur dan instrumen yang diperlukan selama penelitian. e) Peneliti membuat inform consent yang harus ditandatangani subyek penelitian, dan disetujui oleh pengawas fisioterapi, yang isinya bahwa subyek bersedia menjadi sampel penelitian ini sampai dengan selesai. f) Peneliti memberikan edukasi kepada subyek yang diteliti mengenai manfaat, tujuan, bagaimana penelitian ini dilakukan, dan pentingnya dilakukan penelitian ini.

  • 2)    Tahap Pemilihan Sampel

Pada tahap penentuan populasi dan pemilihan sampel prosedur yang dilakukan adalah : a) Melakukan assessmen fisioterapi untuk mencari sampel yang menderita disabilitas leher akibat sindroma miofasial otot upper trapezius. b) Melakukan seleksi terhadap sampel sesuai kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan dan memberikan nomor urut untuk setiap sampel yang terpilih. c) Melakukan pembagian sampel menjadi dua kelompok perlakuan secara acak sederhana untuk di alokasikan ke masing-masing kelompok perlakuan. d) Memberikan kembali nomer urut sampel yang telah dialokasikan pada masing-masing kelompok perlakuan.

  • 3)    Tahap Pelaksanaan penelitian

Pada tahap pelatihan prosedur yang dilakukan adalah : a) Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital bagi pasien untuk mengetahui kondisi umum subjek yang diteliti. b) Melakukan pengukuran dengan NDI untuk mengetahui skor disabilitas leher. c) Memberikan penjelasan pada subjek atau pasien perihal tentang tata cara atau prosedur intervensi yang akan dilakukan. d) Mempersiapkan semua alat, bahan dan instrumen yang digunakan saat intervensi.

  • F.    Pengolahan dan Analisa Data

  • 1.    Uji normalitas data untuk menganalisis distribusi data dari masing-masing kelompok perlakuan.Uji statistik yang digunakan adalah shapiro wilk test.

  • 2.    Uji homogenitas untuk menganalisis variasi data dari masing-masing kelompok perlakuan. Uji statistik yang digunakan adalah levene’s test of varians.

  • 3.    Uji hipotesis 1 dan 2 pada penelitian ini merupakan uji komparasi data pre test dan post test dari kedua kelompok perlakuan yang bertujuan untuk mengetahui beda penurunan disabilitas leher setelah intervensi pada masing-masing kelompok tersebut. Uji statistik nonparametrik yang digunakan adalah tes Wilcoxon dan uji yang digunakan adalah t-test related.

  • 4.    Uji hipotesis 3   pada  penelitian ini

merupakan uji komparasi dua sampel yang tidak berpasangan atau  mencari  beda

pengaruh pada kelompok perlakuan Idan kelmpok perlakuan II. Uji statistik yang digunakan adalah Independent t-test.

HASIL PENELITIAN

  • 1.    Diskripsi Data penelitian

Tabel 1 Karakteristik Subyek penelitian (n-10) Karakteristik      Kelompok. I    Kelompok II

Rerata

SB

Rerata

SB

Usia (tahun)

30,9

6,2

32,8

5,9

Masa Kerja (bulan)

68,6

27,7

71,9

26,9

NDI awal (%)

25,6

5,8

26,4

4,4

Tabel 1 menunjukkan bahwa sampel penelitian pada kelompok perlakuan I, memiliki rerata usia 30,9 ± 6,2 tahun dan pada

kelompok II memiliki rerata usia 32,8 ± 5,9 tahun, hal tersebut memberikan gambaran bahwa sampel penelitian pada kedua kelompok mewakili usia kategori dewasa. Berdasarkan masa kerja, sampel penelitian pada kelompok I memiliki rerata 68,6 ± 27,7 bulan dan pada kelompok II memiliki rerata 71,9 ± 26,9 bulan. Berdasarkan nilai sampel penelitian pada kelompok NDI perlakuan I memiliki rerata (25,6 ± 5,8)% dan pada kelompok perlakuan II memiliki rerata (26,4 ± 4,4)% hal tersebut menunjukkan semua sampel penelitian merupakan pasien sindroma miofasial I upper trapezius dengan kategori mild disability.

Tabel 2 Data Umum Subyek penelitian

Karakteristik Sampel

Kelompok I

Kelompok II

N

%

N

%

Umur (tahun)

20 – 30

5

50

3

30

30 – 40

5

50

7

70

Jenis Kelamin

Laki-laki

4

40

5

50

Perempuan

6

60

5

50

Letak Disabilitas

Kanan

8

80

7

70

Kiri

2

20

3

30

Masa Kerja (bulan)

1 – 52

3

30

2

20

53 – 104

7

70

8

80

Tabel 2 menunjukkan Distribusi sampl pada masing-masing kelompok usia di kelompok I dan II tidak jauh berbeda. Umur termuda pada kelompok satu adalah 22 tahun dan umur tertua 40 tahun. Sementara umur termuda pada kelompok dua adalah 22 tahun dan umur tertua 39 tahun. Jenis kelamin pada kelompok satu terdiri dari sampel laki-laki sebanyak 4 orang (40%) dan sampel perempuan sebanyak 6 orang (60%). Sedangkan pada kelompok dua terdiri dari sampel laki-laki sebanyak 5 orang (50%) dan sampel perempuan sebanyak 5 orang (50%). Berdasarkan letak disabilitas leher, pada kelompok satu diperoleh data bahwa disabilitas bagian kanan sebanyak 8 orang (80%) dan disabilitas bagian kiri sebanyak 2 orang (20%). Pada kelompok dua diperoleh data bahwa disabilitas bagian kanan sebanyak 7 orang (70%) dan disabilitas bagian kiri

sebanyak 3 orang (30%). Berdasarkan masa kerja, diperoleh nilai rerata 68,6 ± 27,7 bulan untuk kelompok satu dan 71,9 ± 26,9 bulan untuk kelompok dua. Masa kerja tersingkat pada kelompok satu adalah 30 bulan dan masa kerja terlama 102 bulan. Sementara masa kerja tersingkat pada kelompok dua adalah 28 bulan dan masa kerja terlama 103 bulan.

Tabel 3 Hasil pengukuran Disabilitas leher dengan NDI

Sebelum

Sesudah

Rerata

SB

Rerata

SB

Kelompok I

25,6

5,8

4,0

1,6

Kelompok II

26,4

4,4

10,8

2,1

Tabel 3 menunjukkan nilai rerata disabilitas leher setelah diukur dengan NDI. Kelompok satu sebelum diberikan program penelitian mempunyai rerata sebanyak (25,.6 ± 5,8)%, sedangkan pada kelompok dua menunjukkan rerata sebanyak (26,4 ± 4,4)%. Setelah selesai program penelitian, kelompok satu mempunyai rerata sebanyak (4,0 ± 1,6)% dan kelompok dua mempunyai rerata sebanyak (10,8 ± 2,1)%. Kedua kelompok sebelum diberikan program penelitian sama-sama termasuk dalam katagori disabilitas ringan (mild disability). Sedangkan setelah selesai program penelitian, kedua kelompok samasama masuk dalam kategori bukan disabilitas (no disability).

Tabel 4 Uji Statistik Disabilitas Leher Sebelum dan Sesudah Perlakuan Pada Kelompok 1 dan Kelompok II

Kemampuan Mobilitas

Sebelum

sesudah

P value

rerata±SB

rerata±SB

Kelompok I

25,6 ± 5,8

4,0 ± 1,6

0,005

Kelompok II

26,4 ± 4,4

10,8±2,1

0,000

Pada tabel 4 di ketahui bahwa sebelum diberikan intervensi nilai mean pada kelompok I sebesar 25,6 ± 5,8 dan sesudah diberikan intervensi nilai mean 4,0 ± 1,6. Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai p = 0,005 yang berarti nilai p<0,05. Sehingga dapat disimpulkan intervensi INIT dan terapi ultrasonik dapat menurunkan disabilitas leher pada sindroma miofasial otot upper trapezius.

Sebelum intervensi nilai mean pada kelompok II sebesar (26,4 ± 4,4)% dan sesudah diberikan intervensi nilai mean (10,8 ± 2,1)%. Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai p = 0,000 yang berarti nilai p < 0,05. Sehingga dapat disimpulkan intervensi MRT dan terapi ultrasonik dapat menurunkan disabilitas leher pada pada sindroma miofasial otot upper trapezius.

Tabel 5 Uji Statistik beda penurunan disabilitas leher pada kelompok I dan Kelompok II

Selisih

Rerata±SB

P

Selisih 1

21,6 ± 4,6

0,005

Selisih 2

15,6 ± 3,6

Dari tabel 5 diketahui bahwa nilai mean untuk selisih sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok I sebesar (21,6 ± 4,6)%. Sedangkan pada kelompok II didapatkan nilai mean (15,6 ± 3,6)%. Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai p = 0,005 yang berarti nilai p<0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa intervensi INIT dan terapi ultrasonik lebih menurunkan disabilitas leher pada sindroma miofasial otot upper trapezius, dibandingkan dengan pemberian MRT dan terapi ultrasonik.

PEMBAHASAN

Intervensi INIT dan terapi ultrasonik dapat menurunkan disabilitas leher pada sindroma miofasial otot upper trapezius

Pemberian terapi ultrasonik sebelum aplikasi INIT dapat menurunkan tonus otot-otot leher secara signifikan sehingga memudahkan pelaksanaan INIT dan menghasilkan efek yang lebih besar yaitu terjadinya peningkatan ekstensibilitas kolagen dari jaringan otot dan fascia sehingga mempermudah melakukan kompresi yang diikuti dengan rileksasi dan stretching sehingga mempercepat untuk menghancurkan collagen waving pada jaringan otot dan fasia dan mengurangi rasa nyeri yang menimbulkan penurunan disabilitas leher.

Ketika INIT diberikan pada otot maka komponen actin-myosin dan tegangan otot akan mengalami peningkatan ketegangan, sarkomer memanjang. Sarkomer berperan dalam proses kontraksi dan relaksasi otot. Ketika otot mengalami suatu kontraksi, maka filamen

actin-myosin akan berhimpit dan otot akan memendek. Sedangkan ketika otot mengalami fase relaksasi maka otot akan mengalami pemanjangan. Ketika terjadi penguluran, maka serabut otot akan terulur penuh melebihi panjang serabut otot itu dalam posisi normal yang dihasilkan oleh sarkomer. Ketika penguluran terjadi, serabut yang berada pada posisi yang tidak teratur akan dirubah posisinya sehingga posisinya akan menjadi lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima.10

Otot yang mengalami pemanjangan akan mempengaruhi sarkomer dan fascia dalam myofibril otot untuk memanjang. Pemanjangan sarkomer dan fascia akan mengurangi derajat overlapping antara thick and thin myofilamen dalam sarkomer sebuah taut band otot yang mengandung trigger point.

Pengurangan overlapping antara dua myofilamen akan mempengaruhi pelebaran pembuluh kapiler otot sehingga sirkulasi darah akan lancar, mengurangi penumpukan sampah metabolisme, meningkatkan nutrisi dan oksigen pada sel otot dan mencegah adanya muscle fatique. INIT akan mengurangi nyeri dan mempengaruhi golgi tendon organ otot yang terletak di tendon berdekatan dengan serabut saraf. Apabila tegangan meluas ke seluruh serabut saraf maka golgi tendon organ akan melaju menimbulkan relaksasi serta fleksibilitas pada otot.12

Intervensi dengan INIT mengkombinasikan dari 3 intervensi yaitu ischemic compression, strain counter strain dan muscle energy technique yang memiliki pengaruh terhadap penurunan nyeri sindroma miofasial. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Simons pada tahun 2003 yang menyatakan bahwa penekanan pada otot dapat memanjangkan sarkomer otot dan mengurangi nyeri yang disebabkan oleh adanya stimulasi dari mechanoreceptors yang mempengaruhi rasa sakit.2 Ketika nyeri mengalami penurunan, maka dilanjutkan dengan pemberian strain counter strain yang dapat menyebabkan otot upper trapezius menjadi rileks. Dan tindakan terakhir yang dilakukan yaitu dengan metode muscle energy technique. Metode ini menggunakan kontraksi isometrik pada otot yang terkena dengan memproduksi relaksasi pasca-isometrik melalui pengaruh golgi tendon

organ sehingga ketegangan otot bisa teratasi dan fleksibilitas otot meningkat.

Intervensi MRT dan terapi ultrasonik dapat menurunkan disabilitas leher pada sindroma miofasial otot upper trapezius

Ketika otot diberikan MRT, maka akan terjadi peningkatan aliran darah secara signifikan dan bertahan selama 30 menit. Kemudian setelah 30 menit akan terjadi penurunan aliran darah.13 Tekanan yang dihasilkan oleh MRT dapat membuka kapiler-kapiler darah sehingga terjadi proses vasodilatasi pembuluh darah sehingga volume dan aliran darah meningkat. Dengan adanya peningkatan volume dan aliran darah pada area tersebut, zat-zat iritan penyebab nyeri dapat terangkat dengan baik lalu masuk kembali ke dalam aliran darah (vena dan limfe), sehingga membantu dalam mengatasi spasme otot. Reaksi kapiler berdilatasi oleh stimulus MRT akan diikuti oleh peningkatan temperatur pada cutaneous.

MRT menghasilkan mobilisasi pada jaringan lunak dimana gerakan yang terkontrol dapat mempengaruhi proses penyembuhan. Jaringan lunak tubuh dapat dibangkitkan melalui gaya internal dan gaya eksternal.14 Tanpa adanya stress pada jaringan tersebut maka kekuatan regangan akan menurun. Beberapa ahli telah mengobservasi efek gerakan terhadap aktivitas fibroblastic dalam proses penyembuhan jaringan konektif, dimana jaringan fibril membentuk hampir seluruh jaringan yang regenerasi. Adanya gaya eksternal dapat menyusun jaringan fibril yang terbentuk.

Penurunan disabilitas leher dengan myofascial release technique terjadi karena adanya efek sirkulasi dan peningkatan temperatur jaringan dimana hal tersebut akan membuat jaringan lebih elastis.15 Myofascial release technique juga dapat melepaskan adhesion antara serabut otot dan fascia sehingga akan terjadi kebebasan gerak antara serabut otot dan fascia, yang pada akhirnya terjadi peningkatan lingkup gerak sendi yang mengakibatkan menurunnya disabilitas leher.16

Pemberian terapi ultrasonik sebelum aplikasi Myofascial release technique dapat menurunkan tonus otot-otot leher secara

signifikan sehingga memudahkan pelaksanaan MRT dan menghasilkan efek yang lebih besar yaitu terjadinya peningkatan ekstensibilitas kolagen dari jaringan otot dan fascia sehingga mempermudah melakukan stretching yang diikuti dengan penekanan yang lembut sehingga mempercepat untuk menghancurkan jaringan colagen waving pada jaringan otot dan fascia yang dapet mengurangi rasa nyeri yang menimbulkan penurunan disabilitas leher.

Kombinasi INIT dan terapi ultrasonik lebih baik dibandingkan intervensi MRT dan terapi ultrasonik dalam menurunkan disabilitas leher pada sindroma miofasial otot upper trapezius

Pada sindroma miofasial terdapat adanya taut band dan trigger point dalam serabut otot. Adanya taut band dapat terjadi penurunan kemampuan ekstensibilitas dan fleksibilitas yang dapat membuat otot tidak bisa berkontraksi dan relaksasi secara efisien. Ischemic compression pada intervensi INIT merupakan teknik terapi manual yang sering digunakan untuk menonaktifkan trigger points. Teknik ini menerapkan tekanan langsung yang berkelanjutan dengan kekuatan cukup selama durasi waktu 90 detik pada titik trigger pointnya. Ischemic compression berfungsi untuk memperlambat pasokan darah dan meredakan ketegangan otot. Pengurangan nyeri selama pemberian ischemic compression dapat disebabkan oleh adanya stimulasi dari mechanoreceptors yang mempengaruhi rasa sakit17. Setelah dilakukan penekanan maka akan terjadi peningkatan sirkulasi darah dan nyeri akan berkurang. Sementara tehnik MRT tidak langsung tertuju kepada trigger point. Akan tetapi menggunakan tehnik mobilisasi jaringan lunak untuk memberikan regangan atau elongasi pada struktur otot dan fascia sehingga mengembalikan kualitas cairan atau lubrikasi pada jaringan fascia, mobilitas jaringan fascia dan otot, dan fungsi sendi normal. Ketika perlengketan pada jaringan fascia terlepas, secara tidak langsung hal ini berpengaruh kepada berkurangnya trigger point.18

Strain counter strain dan MET pada tehnik INIT lebih maksimal dalam membebaskan taut band dibandingkan dengan

tehnik MRT. Strain counter strain akan mencapai manfaatnya melalui spindle otot yang mampu memanjangkan jaringan. Pada saat posisi tubuh dalam posisi nyaman, maka jaringan akan mencapai posisi dimana rasa sakit akan menghilang dari titik yang teraba. Sedangkan MET adalah metode yang umum digunakan untuk menginhibisi otot sebelum dilakukan peregangan. Pendekatan ini menggunakan kontraksi isometrik pada otot yang terkena dengan memproduksi relaksasi pasca-isometrik melalui pengaruh badan golgi tendon (penghambatan autogenik)12. Hal ini juga dapat diterapkan untuk kelompok otot antagonis yang memproduksi inhibisi timbal balik dalam otot agonistik.

INIT akan mengurangi nyeri dan mempengaruhi golgi tendon organ otot yang terletak di tendon berdekatan dengan serabut saraf. Apabila tegangan meluas ke seluruh serabut saraf maka golgi tendon organ akan melaju menimbulkan relaksasi serta fleksibilitas pada otot. Akibatnya, taut band dapat menghilang    lebih    maksimal

dibandingkan dengan tehnik MRT.

Walaupun tehnik INIT lebih baik dalam menurunkan disablitas leher pada sindroma miofasial otot upper trapezius, akan tetapi dalam pengaplikasiannya tidak mudah untuk dilakukan. Berbeda dengan MRT. Tehnik MRT, dapat diaplikasikan oleh pasien sendiri tanpa pelu bantuan dari terapis. Pada dosis yang berbeda, tehnik MRT dapat ditujukan untuk tindakan pencegahan yang dapat dilakukan sendiri oleh pasien tersebut.

SIMPULAN

  • 1.    Intervensi    Integrated Neuromuscular

Inhibitation Technique (INIT) dan terapi ultrasonik   menurunkan disabilitas leher

pada pasien sindroma miofasial otot upper trapezius.

  • 2.    Intervensi Myofascial Release Technique (MRT) dan terapi ultrasonik menurunkan disabilitas leher pada pasien sindroma miofasial otot upper trapezius.

  • 3.    Intervensi Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT) dan terapi ultrasonik lebih baik dibandingkan intervensi Myofascial Release Technique

(MRT) dan terapi ultrasonik dalam menurunkan disabilitas leher pada pasien sindroma miofasial otot upper trapezius.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Friction JR, Kroening R, Haley D, Siegert R. 1985. Myofascial pain syndrome of the head and neck: a review of clinical haracteristics of 164 patients. Oral Surg Oral Med Oral Pathol , Vol. 6: 15-23.

  • 2.    Simons, DG. 2002. Enigmatic Trigger Points Often Caused Enigmatic Musculoskeleal Pain. Columbus: STAR Symposium Proceedings.

  • 3.    Alvarez, DJ., Rockwell, PG. 2002. Trigger Point Diagnosis And Management. American Academy of Physycians.

  • 4.    Skootsky, SA, Jaeger, B., Oye, RK., Prevalence of Myofascial Pain in General Internal Medicine Practice. West J Med. Vol.100: 151-157.

  • 5.    Starlanyl, D. 2001. Fibromyalgia and Chronic Myofascial Pain: A Survival Manual . 2nd.

  • 6.    Gerwin, RD. 2004. Soft Tissue Pain Syndromes:   Clinical Diagnosis and

Pathogenesis. Differential Diagnosis of Trigger Points. New York: The Haworth Medical Press, pp.23-28.

  • 7.    Gerwin, RD., Dommerholt,  JD.  An

Expansion of Simon’s Integrated Hypothesis of Trigger Point Formation. Current Pain and Headache Reports, pp. 468-475.

  • 8.    WHO. 2016. World Health Organization. [Online]. [Cited: September 15,  2016.]

http://www.who.int/topics/disabilities/

  • 9.    Watson, T. 2000. Therapeutic Ultrasound. p. 1.

  • 10.    Nagrale, A, Glyn, P., Joshi, A. 2000. The efficacy Of INIT On Upper Trapezius Trigger Point in neck Pain. USA: s.n., Escorts Physical Therapy Collage.

  • 11.    Werenski, J. 2011. The Effectiveness of Myofascial Release Technique In The Treatment Of Myofascial Pain: A Literature Review. Journal of Musculoskeletal Pain, Vol.23: 27-35.

  • 12.    Chaitow, L. 2006. Muscle Energy Technique. 3rd Ed. Edinburgh: Churchill Livingstone.

  • 13.    Riggs, A., Grant, KE. 2008. Myofascial Release. In: Modalities for Massage and Bodywork. Elsevier Health Scienses, pp. 149-161.

  • 14.    Sara, T. 1992. Massage For Common Ailments. 3rd Ed. London: Gaia Book Limited.

  • 15.    Duncan, R. 2014. Myofascial Release. USA: Human Kinetics.

  • 16.    Michael JS. 2002. Myofascial Release. p. 38.

  • 17.    Travel, JG., Simons, DG. 1992. Myofascial pain and dysfunction,The Trigger Point Manual. 2nd. Baltimore : Williams and Wilkins. p. 8.

  • 18.    Riggs, A., Grant, KE. 2009. Myofascial Release. New York: Wiley Interscience.

Intervensi Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (Init) dan Terapi Ultrasonik…

109