ACTIVE ONE LEG STANDING EXERCISE LEBIH EFEKTIF DARIPADA CONTACTUAL HAND ORIENTATING RESPONSE (CHOR)EXERCISE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOBILITAS PASIEN PASCA STROKE
on
Sport and Fitness Journal
Volume 5, No.3, September 2017: 110-117
ISSN: 2302-688X
ACTIVE ONE LEG STANDING EXERCISE LEBIH EFEKTIF DARIPADA CONTACTUAL HAND ORIENTATING RESPONSE (CHOR)EXERCISE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOBILITAS PASIEN PASCA STROKE
Bambang Widayanto1, Alex Pangkahila2, Muh Irfan3, Ida Bagus Ngurah4, I Putu Adiartha Griadhi5, Mutiah Munawarah6
-
1 Program Studi Magister Fisiologi Olahraga Universitas Udayana
-
2,4 ,5 Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
-
3,6 Fakultas Fisioterapi Universitas Esa Unggul
-
ABSTRAK
Stroke merupakan sindrom yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak dengan awitan akut, disertai manifestasi klinis berupa defisit neurologis dan bukan sebagai akibat tumor, trauma atau infeksi susunan saraf pusat. Menurunnya Kemampuan Mobilitas merupakan salah satu akibat yang ditimbulkan oleh serangan stroke. Kemampuan mobilitas terdiri dari kemampuan keseimbangan dan fungsional berjalan. Penelitian ini bertujuan membandingkan Active One Leg Standing dan Contactual Hand Orientating Response (CHOR) Exercise untuk meningkatkan kemampuan mobilitas pada pasien pasca stroke. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan penelitian pre-test and post-test control group design. Jumlah sampel tiap kelompok sebanyak 7 orang. Kelompok I diberikan palatihan Active One Leg Standing, kelompok II diberikan pelatihan Contactual Hand Orientating Response (CHOR). Tiap kelompok diberikan latihan dengan durasi waktu satu jam, 3 kali seminggu selama 6 minggu. Tes pengukuran kemampuan mobilitas menggunakan POMA-Tinetti Test. Hasil : (1) Hasil t-test related
menunjukkan rerata±SB pre test (15,57±2,29)dan post test (21,42±2,50) dengan nilai p<0,05. (2) Hasil t-test related menunjukkan rerata±SB pre test (13,85±3,93) dan post test(18,14±3,89) dengan nilai p<0,05. (3) Hasil uji komparasi menunjukkan rerata±SB kelompok I (6,85±1,06) dan kelompok II (4,28±0,75) dengan nilai p<0,05. Disimpulkan bahwa perlakuan Active One Leg Standing Exercise meningkatkan kemampuan mobilitas pada pasien pasca stroke. Contactual Hand Orientating Response (CHOR) meningkatkan kemampuan mobilitas pada pasien pasca stroke. Active One Leg Standing Exercise lebih efektif daripada Contactual Hand Orientating Response (CHOR) untuk meningkatkan kemampuan mobilitas pada pasien pasca stroke
Kata kunci: Stroke, kemampuan mobilitas, Active One Leg Standing Exercise, Contactual Hand Orientating Response (CHOR).
ACTIVE ONE LEG STANDING EXERCISE WAS MORE EFECTIVE THAN CONTACTUAL HAND ORIENTATING RESPONSE (CHOR) EXERCISE TO IMPROVE PERFORMANCE MOBILITY IN POST STROKE PATIENTS
ABSTRACT
Stroke is a syndrome caused by circulatory disorders of the brain (CVA) with acute onset, accompanied by clinical manifestations in the form of neurological deficit and not as a result of tumor, trauma or infection of the central nervous system. Perfomance Mobility impairment is the consequences caused by stroke. The purpose of this study was to compare a Active One Leg Standing and Contactual Hand Orientating Response (CHOR) Exercise in order to improve performance mobility instroke patients. This research used experimental methods with pre-test and post-test control group design. The number of samples per group is 7 people. Group I was
gaveActive One Leg Standing Exercise, group II was gaveContactual Hand Orientating Response (CHOR) Exercise. Each group is given an exercise with an hour duration, 3 times a week for 6 weeks. Mobility perfomance measured using POMA-TinettiTest. It was concluded that Active One Leg Standing and contactual Hand orientating Response (CHOR) exercise can improve perfomance mobility in post-stroke patients. There is a significant difference in perfomance mobility level between Active One Leg Standing and contactual Hand orientating Response (CHOR) exercise.Result: (1) The result of t-test related showed mean ± SB pre test (15.57 ± 2.29) and post test (21.42 ± 2.50) with p value <0.05. (2) The result of t-test related showed mean ± SB pre test (13.85 ± 3.93) and post test (18.14 ± 3.89) with p value <0.05. (3) The result of comparation test showed the mean ± SB group I (6.85 ± 1.06) and group II (4.28 ± 0.75) with p value <0.05.
Keywords: Stroke, Perfomance mobility, Active One Leg Standing Exercise, Contactual Hand Orientating Response (CHOR).
PENDAHULUAN
Kesehatan fisik yang optimal menjadi harapan setiap orang sepanjang masa. Dengan fisik yang sehat dan terbebas dari segala penyakit maka hal ini akan memaksimalkan kemandirian seseorang dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Salah satu hal yang dapat mempengaruhi tingkat kemandirian seseorang adalah karena serangan stroke.
Stroke adalah sindrom yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (GPDO) dengan awitan akut, disertai manifestasi klinis berupa defisit neurologis dan bukan sebagai akibat tumor, trauma ataupun infeksi susunan saraf pusat1. Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu di dunia dan penyebab kematian nomor tiga dunia.1 Serangan stroke akan menimbulkan gejala neurologis yang tergantung dari berat ringannya gangguan pembuluh darah diotak dan lokasinya.2 Dari berbagai gejala yang ditimbulkan oleh serangan stroke, penanganan yang cepat dan tepat sejak dari fase akut sangatlah penting.
Gangguan fungsi motoric menjadi salah satu hal menjadi perhatian utama dalam proses rehabilitasi pada pasien paska stroke. Gangguan pada kemampuan mobilitas dalam hal ini adalah gangguan keseimbangan dan fungsional berjalan merupakan salah satu gangguan yang paling sering dijumpai pada pasien pasca stroke.3
Kemampuan mobilitas adalah kemampuan pasien untuk melakukan mobilisasi dalam suatu lingkungan saat melakukan aktivitas sehari-hari. Kemampuan mobilitas yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan atau kinerja mobilitas yang terdiri dari kemampuan fungsi keseimbangan dan kemampuan fungsional
berjalan. Kemampuan keseimbangan berkaitan dengan kemampuan fungsional berjalan. Kemampuan fungsi keseimbangan akan mendukung kemampuan fungsional berjalan.4
Teknologi Fisioterapi yang berguna untuk meningkatkan kemampuan mobilitas pada pasca stroke dapat berupa strengthening exercise serta latihan dengan pendekatan neuroscience.5 Penerapan terapi latihan dengan pendekatan neuroscience pada pasien pasca stroke untuk meningkatkan keseimbangan dan fungsional berjalan pada pasca stroke diantaranya menggunakan metode One Leg Standing Exercise dan Contactual Hand Oriented Response (CHOR) exercise.6
One leg standingatau single leg stance merupakan kemampuan berdiri dan menumpu dengan satu tungkai atau berdiri dengan beban tubuh yang disangga oleh satu tungkai saja. Kemampuan ini memerlukan aktivasi otot yang optimal pada sisi tubuh yang digunakan sebagai tumpuan. Dengan kemampuan berdiri dan menumpu satu tungkai yang optimal akan sangat mendukung kemampuan keseimbangan dinamisnya.7
Contactual Hand Orientation Response (CHOR) diartikan sebagai kontak sentuhan ataupun gesekan dari telapak tangan pada suatu bidang permukaan yang memungkinkan tangan memberikan informasi sensoris untuk ikut membentuk kemampuan body scheme terhadap midline Orientation, postural kontrol, keseimbangan dan kemampuan menumpu pada anggota gerak tubuh. Informasi sensoris yang berasal dari sentuhan pada telapak tangan akan memberikan kontribusi yang besar untuk ikut membentuk body scheme. Hal ini sangat
penting untuk membentuk kontrol postur yang 8
optimal.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa: 1). Active One Leg Standing Exercise dapat meningkatkan perfomance mobilitas pada pasien pasca stroke. 2). Contactual Hand Orientating Response (CHOR)Exercisedapat meningkatkan
perfomance mobilitas pada pasien pasca stroke. 3) Active One Leg Standing Exercise Lebih Baik Daripada Contactual Hand Orientating Response (CHOR) Exercisedalam
meningkatkan perfomance mobilitas pada pasien pasca stroke.
METODE PENELITIAN
-
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan yang digunakan adalah Pre and Post Test Group Design, yaitu membandingkan antara perlakuan pada dua kelompok perlakuan. Dengan jumlah sampel sebanyak 7 orang pada tiap kelompok perlakuan, dengan usia sampel antara 45 – 65 tahun. Kedua kelompok dilakukan pengukuran awal dengan POMA-tinetti test. Kelompok I diberikan One Leg Standing Exercise dan pada kelompok II diberikan Contactual hand Orientating Response (CHOR) Exercise.
-
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Sasana Husada Stroke Service Grup, Jakarta. Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 sampai dengan bulan Maret 2017.
-
C. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah populasi terjangkau pasien pasca stroke di Sasana Husada Stroke Service Grup Jakarta. Dengan kritria inklusi : a). Pasien pasca stroke berusia 45-65 tahun. b). Pasien terkena serangan stroke pertama kali. c). Pasien yang bersedia ikut dalam penelitian dengan perlakuan frekuensi 3 kali seminggu. d). Nilai National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS ) di bawah 15. e) Nilai pemeriksaan Mini Mental State Assesment (MMSE) diatas 23. f). Nilai Berg Balance Scale (BBS) di atas 40 (resiko jatuh rendah). g). Pasien dapat berjalan dengan atau tanpa alat
bantu sepanjang 10 m. h). NilaiIndeks Massa Tubuh (IMT) dalamkategori normal.
-
D. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling yaitu dengan memilih sample secara acak atau diundi dalam penelitian ini dengan tujuan mendapatkan sampel yang mewakili status populasi yang diambil sebagai anggota sampel. Dengan jumlah sampel sebanyak 7 oranga pada setiap kelompok perlakuan.
Langkah-langkah yang diambil
dalamprosedur penelitian ini dibagi menjadi tigatahap yaitu : tahappersiapan dan
administrasi, tahappemilihan sampel dan tahap pelaksanaan penelitian.
Tahap persiapan dan administrasi meliputi : a). Melakukan studi kepustakaan dari buku, jurnal, internet file, dan berbagai topik lain yang relevan. b). Mengurus surat-surat terkait persetujuan penelitian diberbagai tempat dan lokasi yang ditargetkan. c). Membuat jadwal pelaksanaan penelitian. d). Mengadakan penjelasan dan pelatihan terhadap rekan sejawat fisioterapi yang membantu proses pelaksanaan penelitian. e). Mempersiapkan bahan, alat ukur dan instrumen yang diperlukan selama penelitian. f). Mempersiapkan surat persetujuan penelitian kepada subjek sampel penelitian.
Pada tahap penentuan populasi dan pemilihan sampel prosedur yang dilakukan adalah : a). Melakukan seleksi terhadap sampel sesuai kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan dan memberikan nomor urut untuk setiap sampel yang terpilih. b). Melakukan tes MMSE untuk mendapatkan skor fungsi kognisi pasien. c). Pengukuran dan penilaian dapat dilanjutkan terhadap subjek jika skor hasil tes MMSE adalah normal (>23). d). Melakukan tes NIHSS untuk mendapatkan skor tingkat keparahan stroke pasien. e). Pengukuran dan penilaian dapat dilanjutkan terhadap subjek jika skor hasil tes NIHSS nya adalah kurang dari 15. f). Melakukan tes BBS untuk mengetahui tingkat keseimbangan pasien. g). Pengukuran
dan penilaian dapat dilanjutkan terhadap subjek jika skor hasil tes BBS nya adalah lebih besar dari 40. h). Melakukan pembagian sampel
menjadi dua kelompok perlakuan secara acak sederhana untuk di alokasikan ke masing-masing kelompok perlakuan. i). Memberikan kembali nomer urut sampel yang telah dialokasikan pada masing-masing kelompok perlakuan.
Pada tahap pelatihan prosedur yang dilakukan adalah : a). Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital bagi pasien untuk mengetahui kondisi umum subjek yang diteliti. b). Memberikan penjelasan pada subjek atau pasien perihal tentang tata cara atau prosedur latihan yang dilakukan. c). Mempersiapkan semua alat, bahan dan istrumen yang digunakan saat latihan.
Statistik deskriptif untuk menganalisis karakteristik subjek penelitian terkait dengan usia, jenis kelamin, BMI, skor MMSE, skor NIHSS, Tinetti test, pendidikan dan pekerjaan yang datanya diambil pada saat assesmen dan pengukuran pertama atau tes awal.
-
1) Uji normalitas data untuk menganalisis distribusi data dari masing-masing kelompok perlakuan.Uji statistik yang digunakan adalah shapiro wilk test.
-
2) Uji homogenitas untuk menganalisis variasi data dari masing-masing kelompok perlakuan. Uji statistik yang digunakan adalah levene’s test of varians.
-
3) Uji hipotesis 1 dan 2 pada penelitian ini merupakan uji komparasi data pre test dan post test dari ke dua kelompok perlakuan yang bertujuan untuk mengetahui beda peningkatan kemampuan mobilitas pasien pasca stroke setelah intervensi atau perlakuan pada masing-masing kelompok tersebut. Uji statistik parametrik yang digunakan adalah t-test related
-
4) Uji hipotesis 3 merupakan uji komparasi dua sampel tidak berpasangan atau mencari beda pengaruh pada kelompok perlakuan Idan kelmpok perlakuan II. Uji statistik yang digunakan adalah parametrik Independent t-test.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1 menunjukkan bahwa sampel penelitian pada kelompok perlakuan I, memiliki rerata usia 54,28 ± 5,40 dan pada kelompok II memiliki rerata usia 55,71 ± 6,87, hal tersebut memberikan gambaran bahwa sampel penelitian pada kedua kelompok mewakili usia kategori dewasa dan lanjut usia.
Tabel 1
Karakteristik Subyek penelitian
Karakteristik |
Kelompok I (n=7) |
Kelompok II (n=7) | ||
Rerata |
SB |
Rerata |
SB | |
Usia (tahun) |
54,28 |
5,40 |
55,71 |
6,87 |
NIHSS (skor) |
2,71 |
0,48 |
2,71 |
0,95 |
MMSE (skor) |
29.00 |
0.81 |
26,85 |
2,47 |
BBS (skor) |
44,42 |
1,98 |
42,00 |
1,29 |
BMI (skor) |
23,14 |
0,69 |
23,28 |
2,13 |
Berdasarkan nilai NIHSS sampel penelitian pada kelompok perlakuan I memiliki rerata 2,71 ± 0,48 dan pada kelompok perlakuan II memiliki rerata 2,71 ± 0.95 hal tersebut menunjukkan semua sampel penelitian merupakan pasien pasca stroke dengan klasifikasi stroke ringan. Berdasarkan nilai MMSE, sampel penelitian pada kelompok I memiliki rerata 29,00 ± 0,81 dan pada kelompok II memiliki rerata 26,85 ± 2,47, hal tersebut menunjukkan bahwa semua sampel pada kedua kelompok perlakuan tidak memiliki gangguan kognitif. Berdasakan nilai BBS pada kelompok perlakuan I memiliki rerata 44,42 ± 1,98 dan pada kelompok perlakuan II memiliki rerata 42,00 ± 1,29, hal tersebut menunjukkan bahwa semua sampel pada kedua kelompok perlakuan memiliki keseimbangan dalam kategori resiko jatuh rendah. Berdasarkan nilai BMI, pada kelompok perlakuan I memiliki rerata 23,14 ± 0,69 dan pada kelompok perlakuan II memiliki rerata 23,28 ± 2,13, hal tersebut menunjukkan bahwa semua sampel dalam kedua kelompok perlakuan memiliki berat badan normal.
Tabel 2 di atas menunjukkan data umum karakteristik sampel penelitian . Data umum karakteristik sampel penelitian ini terdiri dari : Jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, hobi, jenis stroke, topis lesi dan motor defisit.
Tabel 2 Data Umum Karakteristik Subyek penelitian
Variabel |
Kategori |
Klp. 1 (OLS) |
Klp. 2 (CHOR) |
% |
% | ||
Jnsklmn |
Laki-laki |
28,57 |
57,24 |
perempuan |
71,42 |
42,85 | |
Pekerjaan |
Wiraswasta |
28,57 |
14,28 |
Bhiksu/pendeta |
14,28 |
14,28 | |
IRT |
28,57 |
42,57 | |
Swasta |
28,57 |
14,28 | |
Sales |
0 |
14,28 | |
pendidikan |
Sarjana |
42,85 |
57,14 |
SMA |
57,14 |
42,85 | |
Jenis |
Hemoragic |
14,28 |
0 |
stroke |
Non hemoragic |
85,71 |
100 |
Topislesi |
Korteks |
100 |
85,71 |
Sub korteks |
0 |
14,28 | |
Motor |
Kanan |
85,71 |
42,85 |
defisit |
Kiri |
14,28 |
57,14 |
Tabel 3 Hasil pengukuran POMA-Tinetti Balance Test
Sebelum |
Sesudah | |||
Rerata |
SB |
Rerata |
SB | |
Kelompok I |
15,57 |
2,22 |
21,42 |
2,50 |
Kelompok II |
13,85 |
3,93 |
18,14 |
3,89 |
Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa hasil pengukuran dengan POMA-Tinetti Test(nilai total) pada kelompok perlakuan I sebelum diberikan program penelitian mempunyai rerata sebesar 15,57 ± 2,29, sedangkan pada kelompok perlakuan II menunjukkan rerata sebesar 13,85 ± 3,93. Setelah selesai program penelitian, kelompok perlakuan I mempunyai rerata sebanyak 21,42 ± 2,50 dan kelompok perlakuan II mempunyai rerata sebanyak 18,14 ± 3,89.
Tabel 4 Uji Statistik peningkatankemampuanmobilitas pada kelompok I dan Kelompok II
Kemampuan mobilitas |
Sebelum rerata±SB |
sesudah rerata±SB |
P value |
Kelompok I |
15,57±2,29 |
21,42±2,50 |
0,000 |
Kelompok II |
13,85±3,93 |
18,14±3,89 |
0,000 |
Pada Tabel 4 di ketahui bahwa sebelum diberikan program latihan nilai rerata sebesar pada kelompok I adalah 15,57 dan SB sebesar 2,29 dan sesudah diberikan program latihan nilai rerata sebesar 21,42 dan SB sebesar 2,50. Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai p < 0,05. Sehingga dapat disimpulkan ada peningkatan kemampuan mobilitas pada kelompok I setelah diberikan program ActiveOne Leg Standing Exercise.Dan pada kelompok II mempunyai nilai rerata sebesar 13,85 dan SB sebesar 3,93 dan sesudah
diberikan program latihan nilai rerata sebesar 18,14 dan SB sebesar 3,89. Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai p < 0,05.
Sehingga dapat disimpulkan ada peningkatan kemampuan mobilitas pada kelompok II setelah diberikan program latihan Contactual Hand Orientating Response (CHOR).
Tabel 5 Uji Statistik beda peningkatan Performance Mobilitas pada kelompok I dan Kelompok II
Selisih Rerata±SB p
Selisih 1 6,85±1,06
0,000
Selisih 2 4,28±0,75
Dari Tabel 5 diketahui bahwa nilai rerata untuk selisih sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok I sebesar 6,85 dan nilai SB sebesar 1,06. Sedangkan pada kelompok II didapatkan nilai rerata sebesar 4,28 dan SB sebesar 0,75. Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai p < 0,05.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian Active One Leg Standing Exercise lebih efektif daripada Contactual Hand Orientating Response (CHOR) Exercise untuk
meningkatkan kemampuan mobilitas pasien pasca stroke.
PEMBAHASAN
Perbaikan keseimbangan dan fungsional berjalan atau kemampuan mobilitas yang terjadi dikarenakan adanya proses pembebanan pada salah satu tungkai. Pembebaban ini akan menstimulasi otot-otot pada tungkai, pelvis dan trunk untuk lebih aktif dalam berkontraksi dan
menyediakan kekuatan yang optimal untuk berlangsungnya gerakan one leg standing exercise. Beberapa hal yang terjadi apabila otot-otot tungkai, pelvis dan trunk terstimulasi adalah:
-
1. Meningkatnya kemampuan anticipatory postural adjustments. Anticipatory postural adjustments merupakan kemampuan untuk mengontrol posisi tubuh agar tetap seimbang saat tubuh mengalami perubahan keseimbangan dalam melakukan suatu gerakan. Pada fungsi ini memungkinkan tubuh untuk mengatur kontraksi otot-otot postural yang optimal dalam proses mempertahankan keseimbangan.
Kemampuan ini juga menjadi persiapan stabilisasi tubuh saat akan melakukan gerakan fungsional. Dengan latihan One Leg standing Exercise kemampuan Anticipatory postural adjustments pada pada trunk sisi tubuh yang digunakan sebagai tumpuan. Hal ini akan memperkuat otot-otot postural yang akan dipergunakan dalam mempertahankan keseimbangan dinamis.6
-
2. Meningkatnya aktivasi otot-otot tungkai. Aktivasi otot-otot tungkai terutama terjadi pada sisi yang yang digunakan untuk menumpu. Dengan adanya pembebanan pada sisi tubuh yang digunakan untuk menumpu akan menstimulasi otot-otot tungkai untuk berkontraksi dalam membentuk stabilisasi pada tungkai.9 Dengan adanya kemampuan otot-otot tungkai yang optimal maka stabilisasi tungkai sebagai tumpuan saat melakukan proses jalan akan akan meningkat, sehingga proses perpindahan beban tubuh saat berjalan akan terjadi dengan baik.6
-
3. Meningkatnya kemampuan ankle strategy dan kontrol gerakan dari tibia saat digunakan untuk menumpu. Kemampuan ankle
strategy merupakan salah satu reaksi tubuh dalam mempertahan keseimbangan (balance strategies). Balance strategies merupakan pola gerakan atau adaptasi dari otot sebagai hasil dari mekanisme umpan balik pada saat kita melakuklan pembelajaran gerakan. Balance strategies memungkinkan tubuh mempersiapkan kontrol yang optimal saat terjadinya perubahan gerak selama aktivitas fungsional berlangsung.9 Pembebanan pada
tungkai yang digunakan untuk menumpu akan meningkatkan stabilisasi pada sendi ankle,sehingga keseimbangan akan lebih terjaga.
-
4. Meningkatnya kemampuan resiprocal
activity dari otot quadriseps dan hamstrings.
Latihan One Leg Standing akan meningkatkan kemampuan koordinasi antara otot hamstring dan otot quadrisep dalam bekerjasama membentuk kontraksi yang tepat saat terjadinya perubahan
keseimbangan selama latihan berlangsung.
-
5. Meningkatkan kekuatan otot-otot ekstensor hip dan pelvis. Kelurusan antar segmen tubuh saat terjadinya gerakan fungsional mutlak diperlukan. Dengan meningkatnya kekuatan otot-otot ekstensor hip dan pelvis maka tungkai akanstabil saat digunakan untuk menumpu. Kontrol pelvis untuk mempertahankan keseimbangan saat latihan berlangsung akan lebih mudah dilakukan.
Peningkatan kemampuan mobilitas terjadi dikarenakan pada pelatihanContactual Hand Orientation Response (CHOR)akan memberikan informasi sensoris untuk ikut membentuk kemampuan body scheme terhadap midline Orientation, postural kontrol,
keseimbangan dan kemampuan menumpu pada tiap anggota gerak tubuh.6 Informasi sensoris merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam membentuk kontrol postur11, bersama dengan informasi dari visual dan vestibular, ketiganya akan saling berinteraksi dan di organisasikan oleh tubuh guna membentuk kontrol postur yang optimal. Sistem saraf pusat akan mengorganisasi informasi sensoris dari tubuh sehingga kesadaran akan posisi tubuh terhadap ruang akan terbentuk8. Dengan body scheme, Kontrol postural dan Stabilisasi postural yang optimal, maka kemampuan perfomance mobilitas pasien paska stroke akan meningkat.
Peningkatan ini dapat terjadi karena: a) Meningkatnya kemampuan Midline orientation atau orientasi terhadap garis pusat tubuh dan membentuh body scheme yang optimal.6 Kemampuan tubuh untuk menjaga
orientasi terhadap garis pusat tubuh akan membentuk sistek keseimbangan yang optimal. Dalam konteks aktivitas, apabila Centre Of Gravity mendekati garis tengah tubuh maka, gerakan akan lebih mudah dilakukan.10 Sedangkan Body scheme adalah kesadaran akan posisi antar anggota tubuh dan juga posisi anggota tubuh terhadap lingkungan aktivitas.Body scheme terbentuk dari interaksi input sensoris yang berasal dari visual, vestibular dan somatosensoris (kulit, sensi dan reseptor pada otot). Postural body scheme terdiri dari:
-
1) Kelurusan antar segmen tubuh dan segmen tubuh terhadap lingkungan.
-
2) Gerakan segmen tubuh kaitannya dengan bidang tumpu.
3)Orientasi dari tubuh dalam melawan gravitasi.
-
b) Meningkatkan kontrol danStabilisasi postural sebagai dasar kontrol gerakan terutama pada anggota gerak atas. Karena berdiri dengan menumpu menggunakan kedua kaki, maka tubuh sebenarnya dalam posisi yang tidak stabil saat kedua tangan melakukan gerakan fungsional. Menjaga tubuh tetap stabil memerlukan proses yang sangat kompleks dari semua informasi yang masuk ke tubuh. Dengan kontrol dan stabilisasi postur yang optimal maka tubuh akan tetap stabil saat terjadi perubahan keseimbangan dalam melakukan derakan fungsional sehari-hari.
Postural stability adalah kemampuan tubuh untukmengontrol titik gravitasi dalam lingkup base of support. Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme keseimbangan. Perbaikan postural stability ini terjadi karena peningkatan kualitas dan kuantitas informasi sensoris yang diterima oleh otak, sehingga internal representation pada kortek menjadi lebih baik, hal ini menyebabkan meningkatnya gambaran anggota gerak di otak, sehingga kontrol gerakan tubuh dari otak menjadi lebih baik.6
-
c) Kemampuan menyangga beban pada anggota gerak atas. Dengan adanya input sensoris pada telapak tangan akan memberikan informasi ke otak tentang posisi anggota gerak atas yang sedanga digunakan untuk menumpu. Hal ini akan mengaktivasi otot-otot di anggota gerak atas untuk memberikan reaksi
menyangga beban11. Dengan adanya reaksi ini maka akan mengaktivasi reaksi tegak dari upper trunk untuk membentuk postur yang optimal.
-
3. One Leg Standing Exercise lebih efektif daripada Contactual Hand orientating Response (CHOR) dalam meningkatkan kemampuan mobilitas paska stroke.
Hal ini dapat terjadi dikarenakan Pelatihan One Leg Standingakan memberikan pembebanan secara langsung padatungkai satu sisi. Pembebanan ini akan menstimulasi dan mengaktifkan otot-otot pada tungkai, pelvis dan trunk yang di pakai untuk menumpu. Aktivasi otot-otot ini sangat diperlukan dalam
membentuk stabilisasi postur yang optimal saat tubuh melakukan fungsi keseimbangan.
Pelatihan One Leg Standing jugaakan
meningkatkan kemampuan tubuh dalam
melakukan gerakan yang mengakibatkan
adanya perubahan posisi beban tubuh atau kemampuan weight shiftingtubuh. Tubuh akan distimulasi untuk memberikan reaksi yang optimal saat terjadi perubahan posisi berat 12 tubuh sehingga keseimbangan tetap terjaga.12
Kemampuan ini mutlak diperlukan dalam menjaga fungsi keseimbangan dan fungsional berjalan.13 Sedangkan pada metode pelatihan Contactual Hand Orientating response (CHOR) memberikan kesempatan lebih besar untuk menyerap informasi sensoris yang akan diteruskan ke otak. Sehingga otak akan merespon informasi tersebut untuk membentuk reaksi keseimbangan pada tubuh.
Dibandingkan dengan pelatihan Contactual Hand Orientating response (CHOR)pelatihan One Leg Standing lebih komprehensif dalammemberikan stimulasi pada anggota tubuh, dibandingkan dengan pelatihan Contactual Hand Orientating response (CHOR). Dimulai dari adanya tumpuan atau pembebanan pada tungkai kemudian adanya aktivasi otot sepanjang tungkai sampai dengan kemampuan trunk dalam mempartahankan postur selama latihan berlangsung,Metode One Leg Standing memperhatikan segala aspek yang mempengaruhi kemampuan tubuh dalam membentuk keseimbangan yang diperlukan dalam proses berjalan. Sedangkan metode Contactual Hand Orientating response
(CHOR) merupakan optimalisasi sensori reseptor dalam membentuk reaksi
keseimbangan.
KESIMPULAN
-
1. Active One Leg Standing Exercise meningkatkan kemampuan mobilitas pada pasien pasca stroke.
-
2. Contactual Hand Orientating Response
(CHOR) meningkatkan kemampuan
mobilitas pada pasien pasca stroke.
-
3. Pelatihan Active One Leg Standing Exercise lebih efektif daripada Contactual Hand Orientating Response (CHOR) untuk meningkatkan kemampuan mobilitas pasien pasca stroke.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Dewanto, G., Suwono, WJ., Riyanto,
B., Turana Y. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata laksana Penyakit Saraf, Jakarta: EGC, hal 24.
-
2. Batticaca, F. 2008. Asuhan Keperawatan
pada klien dengan gangguan sistem
persarafan. Jakarta: Salemba Medika, hal 60.
-
3. Carr, JH. Shepherd, RB. 2007. Stroke Rehabilitation. China: Elseiver.
-
4. Tyson, S., Hanley M., Chillala J., Selley A., Tallis, RC. 2006, Balance Disability
after Stroke, Phys Ther. Vol. 86(1): 30-8.
-
5. Hankey, GJ, 2009, Stroke Treatment and Prevention; An Evidence-Based Approach. Australia: Cambridge University Press.
-
6. Raine, S., Meadows, L., Lynch-Ellerington, M., 2009. Bobath Concept: Theory and
Clinical Practice in Neurological Rehabilitation. UK: Wiley Blackwell.
-
7. Young, Her, JG., Taesung, K., Chung, SH., Kim, H. 2012. Effects of Standing on One Leg Exercise on Gait and balance of hemiplegia Patients. Journal of Physical Therapy Science. Vol. 24(7): 571.
-
8. Shumway-cook, A., Woollacoot. 2007. Motor Control; Translating Research Into Clinical Practice. Philadhelpia: Lippincot and Wilkins.
-
9. Peter, M., McGinnis. 2005, Biomechanic of Sport and Exercise. USA: Human Kinetics.
-
10. McGinnis, PM. 2005, Biomechanic of Sport and Exercise. USA: Human Kinetics.
-
11. Smania, N., Gandolfi, M., Picelli, A., Tinazzi, M. 2008. Rehabilitation of sensorimotor integration deficits in balance impairment of patients with stroke hemiparesis: A before/after pilot study; Neurological Sciences. Vol. 29(5): 313-9.
12.Buurke, JH., Hermens, HJ., Erren-Wolters, CV., Nene, AV. 2005. The effect of
walking aids on muscle activation pattern during walking in stroke patients. Gait & Posture. Vol. 22: 164-170.
13. Lord, S., Rochester, L. 2007. Walking in The Real Word: Concepts Related To Functional Gait. NZ, Journal of
Physiotheraphy. Vol. 5(3): 126-130.
Active One Leg Standing Exercise Lebih Efektif daripada Contactual Hand Orientating Response …
117
Discussion and feedback