PENGARUH DOSIS DAN LAMA PERLAKUAN EKSTRAK DAUN KALIANDRA MERAH (Calliandra calothyrsus Meissn.) TERHADAP STRUKTUR HISTOLOGI GINJAL MENCIT (Mus musculus L.)
on
JURNAL SIMBIOSIS II (2): 236- 246
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana
ISSN: 2337-7224
September 2014
PENGARUH DOSIS DAN LAMA PERLAKUAN EKSTRAK DAUN KALIANDRA MERAH (Calliandra calothyrsus Meissn.) TERHADAP STRUKTUR HISTOLOGI GINJAL MENCIT (Mus musculus L.)
THE EFFECT OF DOSES AND TREATMENT LENGTH OF RED CALLIANDRA LEAF EXTRACT ON HISTOLOGICAL STRUCTURE OF MICE KIDNEY
Nur Assiam, Iriani Setyawati*, Sang Ketut Sudirga**
*Lab. Struktur dan Perkembangan Hewan, **Lab. Fisiologi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana
Kampus Bukit Jimbaran, Kuta Email: [email protected]
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun kaliandra merah (Calliandra calothyrsus Meissn.) yang diberikan secara oral dengan dosis yang bervariasi terhadap struktur histologi ginjal mencit (Mus musculus L.). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor yaitu dosis (0 atau kontrol, dosis 2, 4, dan 6 mg/kg BB) dan lama perlakuan (7, 14, dan 21 hari), sehingga terdapat 12 kelompok (kombinasi) masing-masing dengan 3 ulangan. Pengambilan sampel organ dilakukan pada hari ke 8, 15, dan 22 hari. Parameter yang diamati berupa gambaran histopatologi ginjal. Kerusakan histologi ginjal berupa edema, penyempitan glomerulus, dan endapan protein, menunjukkan ada korelasi antara dosis dan lama perlakuan, namun korelasi yang sangat nyata terjadi pada jenis kerusakan degenerasi lemak, hemoragi, dan inti piknotik. Kerusakan histologi berupa kongesti glomerulus dan infiltrasi sel radang tidak menunjukkan ada korelasi antara dosis dan lama perlakuan ekstrak.
Kata Kunci: kaliandra merah, histopatologi ginjal, mencit jantan
ABSTRACT
This research aims to determine the effect of red calliandra (Calliandra calothyrsus Meissn.) leaf extrac on the histological structure of the kidney of mice (Mus musculus L.). Treatment was administered orally with varying doses. This research used a Completely Randomized Design in factorial pattern of two factors, doses (0 or control, 2, 4, and 6 mg/kg BW) and length of treatment (7, 14, and 21 days), so there are 12 combination groups with 3 replications of each. Organ was collected on days 8, 15, and 22 to observe histological structure of the kidney. Renal histological observation of edema, Bowman’s space constriction, and protein deposition, showed no correlation between both factors, but a very real correlation occurs in the damage of fatty degeneration, hemorrhage, and nucleus pyknotic. Histological observation of glomerular congestion and infiltration of inflammatory cells did not show any correlation between dose and duration of treatment.
Keywords: red calliandra, histopathology of kidney, male mice
PENDAHULUAN
Kaliandra merah (Calliandra calothyrsus Meissn.) merupakan tanaman yang banyak terdapat di seluruh Indonesia
yang memiliki banyak manfaat salah satunya digunakan sebagai obat herbal (Herdiawan dkk, 2006). Tanaman dari genus Calliandra banyak dimanfaatkan
masyarakat pedalaman di wilayah Amazon, Peru sebagai obat rematik, sesak napas, kanker rahim, arthritis, dan pembersih darah serta kontrasepsi, dapat pula digunakan sebagai anthelmintika (obat cacing), antidiare, antispasmodik, antipiretik, antikoligenik, antikonvulsan, analgesik, antiulserogenik, bersifat antimikroba terhadap bakteri Staphyloccocus aureus, Escherichia coli dan Staphyloccocus gallinallum (Orishadipe et al., 2010; Ofusori and Adejuwon, 2011). Data mengenai uji keamanan ekstrak daun dari genus kaliandra termasuk tanaman kaliandra merah sejauh ini masih sangat sedikit bahkan belum ada. Uji toksisitas mengenai efek akut dan kronis ekstrak dari genus kaliandra pada mencit ditemukan bahwa ekstrak kaliandra berpengaruh terhadap struktur histologi lambung dan pankreas mencit yaitu terjadi kerusakan pada sel epitel lambung, degenerasi pulau Langerhans, dan disorganisasi kelenjar acini (Ofusori and Adejuwon, 2011).
Menurut Moharram et al. (2006), Orishadipe et al. (2010) dan Onyeama et al. (2012), ekstrak daun dan akar dari genus kaliandra mengandung 17 senyawa aktif yaitu asam galat, metil galat, myricitrin, quercitrin, myricetin 3-O-â-D-4C1-lukopiranosida, afzelin, isoquercitrin, myrecitin 3-O-(6 ̋-O-galloyl)-â-D-
glukopiranosida, myricitrin 2 ̋ -O-galat, quercitrin 2 -̋ Ogalat, afzelin 2 ̋ -O-galat,1,2,3,4,6-penta-O-galloyl-â-D-4C1-glukopiranosida, myrictrin 2 ̋, 3 -̋ di-O-galat, quercetin 3-O-metil eter, 2-
Hidroksi-4-Metoksi asam benzoat, asam kafeat, asam betulinat, glikosida digital, glikosida, saponin, steroid, asam lemak, alkaloid, polifenol, antrakuina. Beberapa penelitian mengenai senyawa aktif seperti saponin dengan dosis bertingkat (100, 150, 250, 350, dan 600 mg/kg) dapat
menyebabkan kematian pada mencit serta mengalami kerusakan berupa haemorrhagi pada jaringan dan glomerulus ginjal (Diwan et al., 2000). Senyawa lainnya yaitu alkaloid yang di ekstrak dari daun Senna alata sebanyak 250, 500, dan 1000 mg/kg berpengaruh terhadap ginjal pada tikus bunting (Yakubu and Musa, 2012).
Ginjal merupakan salah satu organ yang terkena efek toksisitas jika tubuh terpapar oleh zat-zat antinutrisi (Guyton dan Hall, 2007). Glomerulus dan tubulus adalah bagian dari ginjal yang mudah mengalami kelainan sehingga akan
berdampak secara morfologis dan
fungsional jika terjadi kerusakan.
Kerusakan dapat berupa nekrosis,
proliferasi sel, infiltrasi sel radang, lolosnya protein, dan makromolekul lain dalam jumlah yang besar, serta dapat terjadi atrofi, fibrosis, edema, vakuolisasi
tubulus, kongesti, dan pendarahan (Adinata dkk., 2012; Anggraini, 2008; Suyanti, 2008). Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang efek negatif daun kaliandra merah terhadap struktur histologi ginjal pada mencit, karena setiap obat tradisional perlu dilakukan pengujian agar penggunaannya dapat menimbulkan efek dan aman bagi pemakainya.
MATERI DAN METODE
Daun kaliandra merah yang akan digunakan dilayukan terlebih dahulu hingga beratnya konstan, kemudian diblender dan diayak hingga menjadi serbuk. Serbuk daun sebanyak 500 g lalu dimaserasi dengan alkohol 96% selama 72 jam, kemudian dievaporasi dengan vacuum rotary evaporator dan menghasilkan
ekstrak kasar berbentuk pasta. Dosis ekstrak daun kaliandra merah yang diberikan pada mencit yaitu 2 mg/kg, 4 mg/kg, dan 6 mg/kg.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor yaitu dosis dan lama perlakuan (hari). Dosis yang digunakan adalah 0 (kontrol), 2, 4, dan 6 mg/kg BB ekstrak daun kaliandra merah. Lama perlakuan adalah 7, 14, dan 21 hari. Kombinasi antar faktor menjadi 4 x 3 = 12, masing-masing dengan 3 ulangan (jumlah hewan coba 3 x 12 = 36 ekor). Ekstrak dilarutkan dengan NaCl 0,9%, kemudian diberikan secara oral (gavage) sebanyak 0,2 mg/ekor setiap hari sampai hari ke 7, 14, dan 21 hari.
Tabel 1. Tabel pengelompokan mencit (Mus musculus L.)
Waktu |
Kontrol (K) |
Dosis A |
Dosis B |
Dosis C |
Perlakuan |
(NaCl 0,9%) |
(2 mg/kg) |
(4 mg/kg) |
(6 mg/kg) |
7 hari |
K1 K2 K3 |
A1 A2 A3 |
B1 B2 B3 |
C1 C2 C3 |
14 hari |
K4 K5 K6 |
A4 A5 A6 |
B4 B5 B6 |
C4 C5 C6 |
21 hari |
K7 K8 K9 |
A7 A8 A9 |
B7 B8 B9 |
C7 C8 C9 |
Keterangan: Pembedahan dilakukan setelah 7 hari, 14 hari, dan 21 hari.
Variabel yang diamati berupa struktur mikroskopis ginjal, kemudian ginjal dibuat preparat awetan dengan metode parafin, dengan tebal irisan 5 µ dan pewarnaan Hematoxylin–Eosin (HE). Pengamatan histologi dilakukan dengan cara menghitung setiap kerusakan yang ditemukan pada preparat ginjal. Data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan Two Way Anova, dengan uji lanjut Duncant Multiple Range Test (DMRT) dengan program SPSS for Windows.
HASIL
Berdasarkan hasil analisis statistik, pemberian ekstrak daun kaliandra merah
terhadap kerusakan edema menunjukkan korelasi nyata (P=0,014) antara faktor dosis dan lama perlakuan. Terdapat peningkatan kerusakan edema glomerulus yang berbeda nyata seiring peningkatan dosis pada 21 hari perlakuan, namun perubahan rerata kerusakan fluktuatif pada 7 dan 14 hari perlakuan baik pada peningkatan dosis ataupun lamanya hari perlakuan (Tabel 2).
Kerusakan berupa penyempitan glomerulus menunjukkan korelasi nyata (P=0,033) antara dosis dan lama perlakuan. Rerata penyempitan glomerulus
tampak fluktuatif baik pada 7, 14, dan 21 hari perlakuan maupun antar dosis (2, 4, 6 mg/kg BB). Penyempitan glomerulus antara kontrol dan kelompok dosis berbeda nyata, namun antar dosis tidak berbeda nyata pada semua hari perlakuan (7, 14, dan 21 hari). Kerusakan berupa endapan protein juga menunjukkan korelasi nyata (P=0,024) antara dosis dan lama perlakuan. Rerata kerusakan endapan protein tampak fluktuatif pada 7, 14, dan 21 hari perlakuan maupun antar dosis (2, 4, 6 mg/kg BB) (Tabel 2).
Tabel 2. Rerata kerusakan glomerulus ginjal mencit setelah pemberian ekstrak daun kaliandra merah dosis 2, 4, dan 6 mg/kg selama 7, 14, dan 21 hari.
Kerusakan |
Dosis |
Waktu (Hari) | |||
7 hari |
14 hari |
21 hari | |||
Kontrol |
0±0 a |
0±0 a |
0±0 a | ||
2 mg |
6,8±2,878 bc |
11,731±1,731 bcd |
6,923±0,769 bc | ||
Edema G |
4 mg |
8,939±4,394 bcd |
12,054±2,530 cd |
12,339±2,662 d | |
Glomerulus |
6 mg |
6,48±1,718b |
10,917±3,370 bcd |
17,769± 6,231 e | |
Kontrol |
0±0 a |
0±0 a |
0±0 a | ||
Penyempitan G |
2 mg |
43,691±3,368 b |
76,25±1,250 e |
60,769±6,923 cde | |
4 mg |
51,667±1,667 bcd |
54,762±4,762 bcd |
38,468±3,468 b | ||
6 mg |
49,623±23,393 bcd |
62,231±5,627 de |
44,769±16,769 bc | ||
Kontrol |
0±0 a |
0±0 a |
0±0 a | ||
2 mg |
72,5±39,5 bc |
61,5±1,5 b |
69±20 bc | ||
Endapan Prot |
4 mg |
70±20 bc |
96,33±25,11 c |
58,17±5,575 b | |
6 mg |
97±0 c |
55,5±2,5 b |
59±4 b | ||
Kontrol |
0±0 a |
0±0 a |
0±0 a | ||
2 mg |
20±0 b |
55±5 d |
65±0 e | ||
Degenerasi |
4 mg |
42,5±2,5 c |
47,5±7,5 cd |
80±0 f | |
Tubulus |
6 mg |
52,5±7,5 d |
50±10 cd |
87,5±2,5 f | |
Kontrol |
0±0 a |
0±0 a |
0±0 a | ||
2 mg |
24±2 b |
52±3 d |
69,5±1,5 f | ||
Inti Piknotik |
4 mg |
36,5±3,5 c |
61±4 e |
79±2 g | |
6 mg |
42,5±0,5 c |
60±13,748 e |
87,5±0,5 h | ||
Kontrol |
0±0 a |
0±0 a |
0±0 a | ||
2 mg |
47,5±7,5 b |
65±5 d |
77,5±2,5 f | ||
Hemoragi |
4 mg |
55±5 c |
70±5 de |
75±0 ef | |
6 mg |
70±5 de |
65±0 d |
65±5 d |
Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p≤0,05)
Kerusakan degenerasi lemak menunjukkan korelasi yang sangat nyata (P=0,000) antara dosis dan lama perlakuan. Terjadi peningkatan degenerasi lemak seiring peningkatan lama perlakuan pada dosis 2 dan 4 mg/kg, sedangkan pada dosis 6 mg tampak nilai yang fluktuatif. Kerusakan meningkat seiring peningkatan dosis pada lama perlakuan 7 dan 21 hari, namun fluktuatif pada 14 hari perlakuan. Kerusakan inti piknotik juga menunjukkan korelasi yang sangat nyata (P=0,000) antara dosis dan lama perlakuan. Inti piknotik meningkat seiring peningkatan dosis pada lama perlakuan 7 dan 21 hari, namun fluktuatif pada 14 hari perlakuan. Peningkatan inti piknotik juga terjadi pada semua dosis seiring makin lamanya waktu pemberian ekstrak. Hemoragi menunjukkan korelasi yang sangat nyata (P=0,000) antara dosis dan lama perlakuan. Berdasarkan peningkatan dosis terjadi penurunan hemoragi pada perlakuan 21 hari, namun nilainya fluktuatif pada 7 dan 14 hari perlakuan.
Semakin lama perlakuan terjadi peningkatan hemoragi pada dosis 2 dan 4 mg/kg BB (Tabel 2.).
Kerusakan berupa kongesti dan infiltrasi sel radang menunjukkan tidak ada korelasi antara faktor dosis (2, 4, 6 mg/kg BB) dan faktor lama perlakuan (7, 14, dan 21 hari). Kongesti glomerulus pada kontrol berbeda nyata dengan semua kelompok perlakuan. Perbedaan nyata juga terdapat antara dosis 4 mg dengan dosis 2 dan 6 mg/kg BB serta antara perlakuan 7 hari dengan 14 dan 21 hari. Kerusakan berupa infiltrasi sel radang terlihat perbedaan nyata antara kontrol dengan kelompok dosis 2, 4, dan 6 mg/kg BB, namun tidak berbeda nyata antara lama perlakuan 7, 14, dan 21 hari. Infiltrasi sel radang berbeda nyata antara kontrol dengan kelompok dosis 2, 4, dan 6 mg/kg BB. Terdapat perbedaan nyata antara waktu perlakuan 7 hari dengan 14 dan 21 hari, namun tidak berbeda nyata antara 14 dan 21 hari perlakuan (Tabel 3).
Tabel 3. Rerata kerusakan tubulus ginjal mencit (Mus musculus L.) setelah pemberian dosis
2, 4, dan 6 mg/kg BB ekstrak daun kaliandra merah selama 7, 14, dan 21 hari.
Dosis |
Kongesti |
Infiltrasi Sel Radang |
0 mg (Kontrol) |
0 a |
0 a |
2 mg |
69,482 b |
62,000 b |
4 mg |
74,659 b |
75,000 b |
6 mg |
66,968 b |
70,833 b |
Hari |
Kongesti |
Infiltrasi Sel Radang |
7 |
49,936 a |
36,875 a |
14 |
55,041 a |
54,250 b |
21 |
53,355 a |
64,750 b |
Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p≤0,05)
PEMBAHASAN
Kaliandra merah mengandung bermacam-macam zat kimia, namun beberapa diantaranya bersifat nefrotoksik yaitu saponin, alkaloid, asam kafeat, dan quercetin yang dapat menyebabkan berbagai kerusakan pada ginjal (Moharram et al., 2006; Orishadipe et al., 2010; Onyeama et al., 2012). Ginjal merupakan organ tubuh yang vital karena berfungsi sebagai organ ekskresi zat-zat sisa metabolisme. Pada proses ekskresi tersebut ginjal dapat mengalami kerusakan karena zat yang diekskresikan berupa zat yang
toksik bagi tubuh (Jean, 2010).
Kerusakan berupa edema (Gb. 1d), penyempitan glomerulus (Gb.2c), endapan
protein (Gambar 1b), degenerasi lemak (Gambar 2b), hemoragi (Gambar 1c), dan inti piknotik (Gambar 1a) menunjukkan adanya korelasi antara faktor dosis (2, 4, 6 mg/kg BB) dan faktor lama perlakuan (7, 14, dan 21 hari). Pemberian ekstrak daun kaliandra merah menujukkan korelasi yang sangat nyata (P=0,000) antara dosis dan lama perlakuan pada jenis kerusakan berupa degenerasi lemak, hemoragi, dan inti piknotik, sedangkan kerusakan berupa kongesti glomerulus (Gambar 2a) dan infiltrasi sel radang (Gambar 2d) tidak menunjukkan ada korelasi antara dosis dan
lama perlakuan.
Gambar 1. Gambaran histologi ginjal yang mengalami kerusakan pada kelompok perlakuan.
Keterangan inti piknotik (a), endapan protein di lumen tubulus (b), hemoragi (c), dan edema glomerulus (d) (Gambar utama perbesaran 200x, gambar insert perbesaran 400x)
a
b
Gambar 2. Gambaran histologi ginjal yang mengalami kerusakan pada kelompok perlakuan.
Keterangan: kongesti glomerulus (a), degenerasi lemak (b), penyempitan ruang Bowman (c), dan infiltrasi sel radang (d) (Gambar utama perbesaran 200x, gambar insert perbesaran 400x)
Pada glomerulus ditemukan kongesti glomerulus (Gambar 2a), edema glomerulus (Gambar 1d), dan penyempitan ruang Bowman (Gambar 2b). Perlakuan ekstrak daun kaliandra merah pada penelitian ini menyebabkan kerusakan histologi berupa kongesti glomerulus, namun tidak adanya korelasi (P=0,620) antara dosis dan lama perlakuan. Kongesti merupakan peningkatan sel darah pada jaringan dan bagian tubuh yang mengalami proses patologi (Pratama, 2013). Zat toksik yang masuk ke dalam tubuh akan mengganggu sistem sirkulasi sehingga oksigen dan zat makanan tidak dapat diproses di dalam tubuh (Price dan Lorraine, 2006).
Pada penelitian ini terlihat adanya kerusakan berupa edema glomerulus yang ditandai dengan adanya endapan protein di dalam ruang Bowman (Suyanti, 2008). Ekstrak daun kaliandra merah
menyebabkan edema glomerulus (Gambar 1d) yang menunjukkan terdapat korelasi nyata (P=0,014) antara dosis dan lama perlakuan. Menurut Pratama (2013), edema merupakan peningkatan volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan interstitium) yang disertai penimbunan cairan dalam jaringan dan rongga serosa (jaringan ikat longgar dan rongga badan). Edema terjadi akibat adanya kongesti, pertambahan permeabilitas kapiler, dan tekanan osmotik darah maupun cairan sehingga menyebabkan lolosnya protein pada filtrat glomerulus ginjal.
Perlakuan ekstrak pada penelitian ini juga menyebabkan penyempitan glomerulus yang menunjukkan korelasi nyata (P=0,033) antara dosis dan lama perlakuan, namun peningkatan pemberian dosis belum menunjukkan pengaruh yang nyata. Penyempitan glomerulus ginjal
merupakan kerusakan yang diakibatkan oleh adanya edema, peradangan maupun proliferasi dari epitel kapsula bowman sehinggga terjadi penyempitan pada ruang Bowman. Saat terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan filtrasi pada glomerulus, maka protein plasma dan sel darah merah dapat bocor dari glomerulus sehingga membran filtrasi glomerulus rusak dan terjadi pembengkakan serta edema di ruang Bowman yang dapat mengakibatkan ruang Bowman menyempit (Mayori dkk., 2013). Kerusakan ini akan mengganggu fungsi produksi filtrat dan kontrol filtrat. Pembesaran glomerulus (glomerulomegaly) ditandai dengan meningkatnya volume glomerulus sehingga terjadi penyempitan pada ruang Bowman (Herlitz et al., 2010).
Selain pada glomerulus, ditemukan juga kerusakan pada gambaran histologi tubulus ginjal yaitu endapan protein (Gambar 1b), degenerasi lemak (2b), inti piknotik (1a), hemoragi (1c), dan infiltrasi sel radang (2d). Ekstrak daun kaliandra merah menyebabkan endapan protein dalam lumen tubulus yang menunjukkan terdapat korelasi nyata (P=0,024) antara dosis dan lama perlakuan. Endapan protein ini disebabkan karena terjadi peningkatan tekanan osmotik pada cairan interstitium sehingga filtrasi dan reabsorpsi dalam
tubulus menjadi terganggu (Corwin, 2001).
Pada tubulus ginjal terlihat adanya kerusakan berupa degenerasi lemak (Gambar 2b) dengan korelasi yang sangat nyata (P=0,000) antara dosis dan lama perlakuan. Kerusakan degenerasi menunjukkan peningkatan seiring peningkatan lama perlakuan pada dosis 2 dan 4 mg/kg, dan seiring peningkatan dosis pada lama perlakuan 7 dan 21 hari.
Degenerasi merupakan hilangnya struktur normal sel sebelum kematian sel dimana hal ini merupakan tanda dimulainya kerusakan sel akibat zat toksin. Terjadi penimbunan cairan ekstraseluler karena adanya gangguan mekanisme pompa natrium yang dapat disebabkan karena iskemia (berkurangnya aliran darah ke jaringan karena adanya sumbatan atau penyemptitan pembuluh darah), metabolisme yang abnormal, dan zat kimia (Suyanti, 2008). Dalam penelitian ini ditemukan degenerasi berupa degenerasi lemak (akumulasi lemak di dalam sitoplasma) karena inti sel berada di pinggir yang disebabkan oleh daya kohesi molekul yang besar pada lemak sehingga molekul lemak ini dapat mendesak inti sel ke tepi sitoplasma.
Pengamatan histologi ginjal memperlihatkan adanya inti yang mengalami piknotik (Gambar 1a).
Kerusakan inti piknotik menunjukkan korelasi yang sangat nyata (P=0,000) antara dosis dan lama perlakuan. Kerusakan meningkat seiring peningkatan dosis pada lama perlakuan 7 dan 21 hari, juga meningkat pada semua dosis seiring makin lamanya waktu pemberian ekstrak. Inti piknotik merupakan keadaan dimana kromosom di dalam inti sel mengalami perubahan warna menjadi gelap, mengecil, mengalami pengisutan, dan kromatin menggumpal. Proses reabsorpsi terjadi di tubulus proksimal, maka pada pengamatan mikroskopis ginjal, inti piknosis ini sering terlihat pada tubulus proksimal (Adinata, 2012). Hal tersebut sejalan dengan penelitian ini, dimana inti piknotik banyak terlihat pada tubulus proksimal.
Kerusakan berupa infiltrasi sel radang juga ditemukan pada tubulus ginjal (Gambar 2d), terdapat perbedaan nyata antara waktu perlakuan selama 7 hari dengan 14 dan 21 hari, namun tidak berbeda nyata antara 14 dan 21 hari perlakuan. Peradangan merupakan respon terhadap kerusakan sel oleh pembuluh darah dan jaringan ikat. Adanya reaksi peradangan ini berguna untuk mempertahankan keseimbangan dan gangguan fungsi jaringan dari bahaya (Sunanto, 2010).
Penelitian Diwan et al. (2000) dan Ajibade and Famurewa (2012)
menunjukkan senyawa saponin dengan dosis 100-600 mg/kg BB menyebabkan hemoragi pada jaringan. Hal tersebut mendukung penelitian ini dimana terdapat kerusakan berupa hemoragi disekitar tubulus ginjal (Gambar 1c) dengan korelasi yang sangat nyata (P=0,000) antara dosis dan lama perlakuan. Hemoragi merupakan terdapatnya darah di luar pembuluh darah yang secara mikroskopik akan tampak sel-sel darah yang berada di dalam jaringan (Berata dkk., 2014),.
Selain senyawa saponin yang dapat merusak jaringan ginjal, ekstrak daun kaliandra merah juga mengandung senyawa kimia lain yaitu quercetin. National Toxicology Program (NTP) (1992) menyatakan bahwa quercetin yang diberikan pada pakan hewan pengerat menyebabkan toksisitas pada organnya tetapi tidak sampai menimbulkan kematian.
Ekstrak daun kaliandra merah juga mengandung zat nefropatik yaitu asam kafeat (Moharram et al., 2006; Orishadipe et al., 2010). Asam kafeat (3,4-dihydroxycinnamic acid) merupakan senyawa golongan polifenol. Pemberian asam kafeat sebanyak 2% pada tikus (selama 104 minggu) dan mencit (selama 96 minggu) berakibat terjadinya hiperplasia sel tubulus ginjal sebanyak
70% pada mencit jantan dan 20% pada mencit betina (Hagiwara et al., 2013).
SIMPULAN
Pemberian ekstrak daun kaliandra merah (Calliandra calothyrsus Meissn.) pada mencit jantan (Mus musculus L.) menunjukkan kerusakan histologi berupa edema, penyempitan glomerulus, endapan protein, degenerasi lemak, hemoragi, dan inti piknotik menunjukkan adanya korelasi antara faktor dosis (2, 4, 6 mg/kg BB) dan faktor lama perlakuan (7, 14, dan 21 hari). Korelasi yang sangat nyata (P=0,000) terjadi pada jenis kerusakan degenerasi lemak, hemoragi, dan inti piknotik, sedangkan kerusakan berupa kongesti glomerulus dan infiltrasi sel radang tidak menunjukkan ada korelasi antara faktor dosis dan lama perlakuan.
KEPUSTAKAAN
Adinata, M.O., I.W. Sudira, dan I.K.
Berata. 2012. Efek Ekstrak Daun Ashitaba (Angelica keiskei) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit (Mus musculus) Jantan. Buletin Veteriner Udayana. Bali. 4(2):55-62.
Ajibade, V.A. and O. Famurewa. 2012. Histopathological and
Toxicological Effects of Crude Saponin Extract from Phyllanthus niruri, L (Syn. P. franternus. Webster) on Organs in Animal
Studies. Global Journal of Medical Research. 12(1):30-37.
Anggraini, D.R. 2008. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Hati dan Ginjal Mencit Akibat
Pemberian Plumbum Asetat.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. (Thesis).
Berata, I.K., I.B.O.Winaya, A.A.A.M. Adi, dan I.B.W. Adnyana. 2014. Patologi Veteriner Umum. Bahan Ajar. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Cetakan ke-2. Penerbit Swasta Nulus. Denpasar.
Corwin, E.J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. 3rd Edition. EGC. Jakarta.
Diwan, F.H., I.A. Abdel-Hassan, and S.T. Mohammed. 2000. Effect of Saponin on Mortality and Histopathological Changes in Mice. Eastern Mediterranean Health Journal. 6(23):345-351.
Guyton, A.C. dan J.E., Hall. 2007. Ginjal dan Cairan Tubuh. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi XI. Penerbit EGC. Jakarta.
Hagiwara, A., M. Hirose, S. Takahashi, K. Ogawa, T. Shirai, and N. Ito. 2013. Forestomach and Kidney Carcinogenicity of Caffeic Acid in F344 Rats and C57BL/6N x C3H/HeN F1 Mice. American Association for Cancer Research. 51:5655-5660.
Herdiawan, I., A. Fanindi, dan A. Semali. 2006. Karakteristik dan Pemanfaatan Kaliandra (Calliandra calothyrsus). Balai Penelitian Ternak. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Bogor.
Herlitz, L.C., G.S. Markowitz, A.B. Farris, J.A. Schwimmer, M.B. Stokes, C. Kunis, R.B. Colvin, and V.D. D’Agati. 2010. Development of Focal Segmental
Glomerulosclerosis after Anabolic Steroid Abuse. Journal of the American Society of Nephrology. 21:163-172.
Jean, R. 2010. Pengaruh Pemberian Teh Hitam (Camellia sinensis) terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit Balb/C. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. (Artikel Ilmiah).
Mayori, R., N. Marusin, dan D.H. Tjong. 2013. Pengaruh Pemberian Rhodamin B Terhadap Struktur Histologis Ginjal Mencit Putih (Mus musculus L.). Jurnal Biologi Universitas Andalas. 2(1):43-49.
Moharram, F.A., M.S.A. Marzouk, M.T. Ibrahim, and T.J. Marby. 2006. Antioxidant Galloylated Flavanol Glycosides from Calliandra haematocephala. Natural Product Research. USA. 20(10):927-934.
National Toksicology Program. 1992. Toxicology and Carcinogenesis Studies of Quercetin In F344/N Rats. Department of Health and Human Services. National Institutes of Health. United States.
Ofusori, D.A. and A.O. Adejuwon. 2011. Histopathological Studies of Acute and Chronic Effects of Calliandra portoricensis Leaf Extract on the Stomach and Pancreas of Adult Swiss Albino Mice. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 182-185.
Onyeama, H.P., H.A. Ibekwe, P.Y. Ofemile, A. Peter, M.S. Ahmed,
and P.O. Nwagbo. 2012. Screening and Acute Toxicity Studies of Calliandra portoricensis (ERI AGBO In Igbo) Used in the Treatment of Snake Bite in South Eastern Nigeria. Vom Journal of Veterinary Science. 9:17-24.
Orishadipe, A.T., J.I. Okogun, and E.
Mishelia. 2010. Gas Chromatography-Mass Spectrometry Analysis of the Hexane Extract of Calliandra portoricensisand Its Antimicrobial Activity. African Journal of Pure and Applied Chemistry. 4(7):131-134.
Pratama, B.P. 2013. Kongesti dan Oedema. [Online],
Available:“http://benny-putra.blogspot.
com/2013/05/kongesti-dan-oedema.html”[21 Mei 2014].
Price, A.S. and W.M. Lorraine. 2006. Patofisiologi. Vol 2. EGC. Jakarta.
Sunanto. 2010. Proses Inflamasi atau Peradangan. [Online], Available: “http://nanto14.blogspot.com/2010/ 03/proses-inflamasi-atau-peradangan. html”[19 Mei 2014].
Suyanti, L. 2008. Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus pada Pemberian Fraksi Asam Amino Non-Protein Lamtoro Merah (Acacia villosa) pada Uji Toksisitas Akut. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. (Skripsi).
Yakubu, M.T. and I.F. Musa. 2012. Liver and Kidney Functional Indices of Pregnant Rats Following the Administration of the Crude Alkaloids from Senna alata (Linn. Roxb) Leaves. Iranian Journal of Toxicology. 6(16):615-625.
Discussion and feedback