PIRAMIDA Vol. IX No. 1 : 1 - 14

ISSN : 1907-3275

BEBERAPA STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DI KABUPATEN KARANGASEM, PROVINSI BALI

I Ketut Sudibia1, Anak Agung Istri Ngurah Marhaeni1 1Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan SDM Universitas Udayana email: [email protected]

ABSTRACT

Karangasem is one of Bali’s regency that has relatively high level of poverty. In year of 2007 and 2009 the proportion of poor people in the regency was 8.95 and 6.37 percent respectively, while in Bali Province the numbers were only 6.63 and 4.88 percent in the same periods. Poverty problem in Karangasem is also indicated by Human Development Index of 66.06 in 2009, which was the lowest index in Bali Province. Based on these facts, the problem of this research would be: what are the appropriate development policy strategies to alleviate poverty level in Karangasem Regency?

Karangasem is purposively selected as the research location because it has the lowest human development index in Bali. Samples are taken by accidental sampling with poor households as the respondents. Ninety respondents are distributed evenly to three sub-districts namely Karangasem, Manggis, and Abang. The three sub-districts have fulfilled requirements to become development corridor in Bali Province, which consists of tourism, agriculture, animal husbandry, and fishery. Next, data are collected through a structured interview and observation, while analysis is done descriptively by using frequency distribution and cross tabulation.

Based on data analysis and discussion of the results, there are two strategies of poverty alleviation that could be done. Firstly, cluster one is strategy for the really poor households with low level of education. With the limitation in economic and social ability, job opportunities through putting out system should be provided to these kinds of households. They are given opportunities to produce goods for certain companies. Thus, three parties are involved: the poor people, the company, and the government (in this case, is Ministry of Industry and Trade, and Ministry of Labor. Secondly, cluster two is strategy for poor people that enforce labor to become self-entrepreneur to increase their income. For entrepreneur households, it is suggested to develop their business into micro, small, and medium enterprises in order to increase sales. This strategy uses quality improvement approach in production, marketing, and funding process. The cluster 2 strategy is a partner-based model of rural community empowerment.

Keywords: poverty alleviation, human development index, community empowerment.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) telah disepakati oleh 189 negara anggota PBB pada KTT Milenium bulan September tahun 2000. Tujuan pembangunan milenium adalah sebuah framework pembangunan sosial dan memperluas manfaatnya untuk peningkatan kualitas manusia. Tujuan pembangunan milenium difokuskan pada delapan aspek kehidupan, yaitu (1) memerangi kemiskinan dan kelaparan; (2) memberikan pendidikan dasar untuk semua; (3) mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi penyebaran HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya; (7) menjaga kelestarian lingkungan; dan (8) mengembangkan kerja sama global (Saleh, 2008).

Memperhatikan luasnya cakupan MDGs seperti dipaparkan di atas, maka pada uraian berikut ini difokuskan pada pembahasan aspek yang pertama, yaitu memerangi kemiskinan dan kelaparan. Provinsi Bali sebagai salah

satu provinsi di Indonesia juga tidak lepas dari persoalan kemiskinan. Gambaran tentang jumlah penduduk miskin di Provinsi Bali selama periode 2007-2009 menunjukkan kecenderungan menurun, yaitu dari 229,1 ribu orang pada tahun 2007 menjadi 173,6 ribu orang pada tahun 2009. Sejalan dengan berkurangnya jumlah penduduk miskin yang digambarkan di atas, persentase penduduk miskin juga mengalami penurunan dari 6,63 persen pada tahun 2006 menjadi 4,88 persen pada tahun 2009 (BPS Provinsi Bali, 2011).

Informasi yang diperoleh dari kecenderungan jumlah dan persentase penduduk miskin yang digambarkan di atas masih sangat terbatas karena tidak memberikan gambaran mengenai variasi yang terjadi antarkabupaten/kota di Provinsi Bali (Tabel 1). Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin paling banyak dijumpai di Kabupaten Buleleng yaitu sebesar 53,4 ribu orang, disusul oleh Kabupaten Karangasem di tempat kedua sebesar 34,1 ribu orang. Sebaliknya, yang paling sedikit penduduk miskinnya adalah Kota Denpasar yaitu sebesar 12,3 ribu orang. Selanjutnya, jika diperhatikan

keadaan tahun 2009 tampak bahwa jumlah penduduk miskin terbanyak masih dijumpai di Kabupaten Buleleng yang mencapai 37,7 ribu orang. Posisi kedua bukan lagi diduduki oleh Kabupaten Karangasem, melainkan digantikan oleh Kabupaten Gianyar dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 25,5 ribu orang. Sementara itu kabupaten/ kota yang memiliki jumlah penduduk yang paling sedikit juga mengalami pergeseran, bukan lagi Kota Denpasar melainkan Klungkung yang jumlahnya sebesar 8,8 ribu orang.

Di pihak lain apabila diperhatikan persentasenya, pada tahun 2007 kabupaten yang memiliki persentase penduduk miskin tertinggi adalah Kabupaten Jembrana yang mencapai 9,92 persen, sedangkan yang terendah dijumpai di Kota Denpasar yaitu sebesar 2,10 persen. Selanjutnya, jika diperhatikan keadaan pada tahun 2009 tampaknya persentase penduduk miskin tertinggi masih dijumpai di Kabupaten Jembrana yaitu sebesar 6,80 persen dan terendah terdapat di Kota Denpasar yaitu sebesar 2,20 persen. Hal yang menarik adalah perubahan persentase penduduk miskin yang terjadi di Kota Denpasar, adalah satu-satunya kabupaten/kota yang mengalami peningkatan persentase penduduk miskin selama periode 2007-2009, sementara di kabupaten lainnya mengalami penurunan.

Semakin meningkatnya persentase penduduk miskin di Kota Denpasar tampaknya sejalan dengan peningkatan jumlahnya dari 12,3 ribu menjadi 13,3 ribu orang selama periode 2007-2009. Meskipun peningkatan jumlahnya relatif kecil, namun hal ini memberi pertanda bahwa telah terjadi pergeseran jumlah penduduk miskin dari pedesaan menuju perkotaan. Artinya bahwa luberan tenaga kerja yang mengalir dari daerah lain atau pedesaan menuju Kota Denpasar belum semuanya dapat ditampung oleh kesempatan-kesempatan kerja yang tersedia di perkotaan.

Tabel 1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Ba Kabupaten/Kota Selama Periode 2007-2009

li Menurut

Jumlah Penduduk Miskin

Persentase penduduk miskin

Kabupaten/kota

(000 jiwa)

(%)

2007

2009

2007

2009

1. Jembrana

25,0

17,6

9,92

6,80

2. Tabanan

30,2

20,8

7,46

4,99

3. Badung

17,4

14,0

4,28

3,28

4. Gianyar

25,8

25,5

5,98

5,76

5. Klungkung

15,0

8,8

9,14

5,23

6. Bangli

15,9

11,4

7,48

5,18

7. Karangasem

34,1

24,7

8,95

6,37

8. Buleleng

53,4

37,7

8,68

5,95

9. Denpasar

12,3

13,3

2,10

2,20

Bali:

229,1

173,6

6,63

4,88

Sumber: BPS Provinsi Bali (2011).

Selain melalui jumlah dan persentase penduduk miskin, indikasi dari kemiskinan yang terjadi di masing-masing kabupaten/kota juga dapat ditelusuri melalui indeks pembangunan manusia (IPM). Terdapat kesan bahwa Kabupaten/ kota yang memiliki jumlah penduduk miskin lebih banyak ternyata mempunyai IPM lebih

rendah, dan sebaliknya kabupaten/kota yang memiliki penduduk miskin lebih sedikit cenderung IPM-nya relatif lebih tinggi (Tabel 2). Dari uraian di atas diperoleh indikasi bahwa terdapat korelasi negatif antara jumlah penduduk miskin dan besarnya IPM.

Seperti diketahui, bahwa IPM merupakan indeks komposit dari tiga komponen, yaitu PDRB per kapita, angka harapan hidup, dan tingkat pendidikan penduduk (angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan persentase pendidikan yang ditamatkan). Dari penelusuran masing-masing komponen di atas akan dapat dilihat lebih jelas komponen mana sesungguhnya mempunyai kontribusi besar terhadap tinggi rendahnya IPM di kabupaten/kota di Provinsi Bali. Komponen pertama yang diamati adalah PDRB per kapita, selanjutnya diikuti oleh komponen-komponen lainnya. Dari Tabel 3 dapat diketahui besarnya PDRB per kapita penduduk di Provinsi Bali sebesar Rp 16.214,90 ribu dengan rentangan terendah adalah PDRB per kapita penduduk Kabupaten Karangasem sebesar Rp 9.477,31 ribu dan tertinggi adalah Kabupaten Badung sebesar Rp 30.350,42 ribu.

Dari Tabel 3 terungkap bahwa Kabupaten Karangasem memiliki IPM paling rendah, yaitu 66,06 dan PDRB per kapita yang diperoleh penduduknya hanya sebesar Rp 9.477,31 ribu, paling rendah di Provinsi Bali. Besarnya PDRB per kapita yang dicapai oleh penduduk di Kabupaten Karangasem hampir separuh daripada PDRB per kapita Provinsi Bali. Sebaliknya IPM tertinggi adalah sebesar 77,56 ditemukan di Kota Denpasar, dengan PDRB per kapita yang melebihi PDRB per kapita Bali. Selain Karangasem, Kabupaten Bangli dan Buleleng ternyata juga memiliki IPM yang relatif rendah dan juga didukung oleh PDRB per kapita yang rendah.

Tabel 2 Jumlah Penduduk Miskin dan Besarnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Dirinci Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2009

Kabupaten/kota

Jumlah Penduduk Miskin (000 orang)

IPM

1. Jembrana

17,6

72,45

2. Tabanan

20,8

74,26

3. Badung

14,0

72,26

4. Gianyar

25,5

72,43

5. Klungkung

8,8

70,19

6. Bangli

11,4

70,21

7. Karangasem

24,7

66,06

8. Buleleng

37,7

70,26

9. Denpasar

13,3

77,56

Bali:

173,6

71,52

Sumber: BPS Provinsi Bali (2011)

BAPPEDA Bali (2011)

Komponen berikutnya yang akan disoroti adalah angka harapan hidup dan pendidikan (Tabel 4). Angka harapan hidup menggambarkan rata-rata lamanya panjang usia yang dijalani oleh seseorang sejak yang bersangkutan dilahirkan. Rata-rata harapan hidup penduduk di Provinsi Bali mencapai 70,67 tahun, dan jika diperhatikan menurut kabupaten/kota dapat diketahui yang terendah adalah


Tabel 3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan PDRB per Kapita Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2009

Kabupaten/kota                  IPM          PDRB per Kapita (Rp 000)

1. Jembrana

72,45

12.678,71

2. Tabanan

74,26

10.886,70

3. Badung

72,26

30.350,42

4. Gianyar

72,43

14.553,39

5. Klungkung

70,19

14.532,69

6. Bangli

70,21

9.665,62

7. Karangasem

66,06

9.477,31

8. Buleleng

70,26

10.569,76

9. Denpasar

77,56

17.709,73

Bali:

71,52

16.214,90

Sumber: BPS Provinsi Bali (2011) BAPPEDA Bali (2011)

Ditamatkan Dirinci Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, 2009

Kabupaten/

Nilai

Persentase P

endidikan yang

Ditamatkan

Kota

IPM

Di bawah SD

Tamat SD/SLTP

SLTA ke atas

1. Jembrana

72,45

44,73

44,08

11,19

2. Tabanan

74,26

48,94

41,26

9,80

3. Badung

72,26

48,65

40,05

11,30

4. Gianyar

72,43

56,73

30,67

12,59

5. Klungkung

70,19

69,97

26,94

3,09

6. Bangli

70,21

53,48

41,73

4,79

7. Karangasem

66,06

78,09

21,91

0,00

8. Buleleng

70,26

59,90

35,77

4,33

9. Denpasar

77,56

31,25

52,08

16,67

Bali:

71,52

66,69

36,40

7,91

Sumber: BPS Provinsi Bali (2011).

Bappeda Bali (2011)

67,65 tahun dijumpai di Kabupaten Karangasem dan yang tertinggi sebesar 74,38 tahun ditemukan di Kabupaten Tabanan.

Sejalan dengan hubungan antara IPM dengan angka harapan hidup, pada Tabel 4 juga terungkap bahwa antara angka melek huruf dengan IPM memiliki hubungan yang searah. Artinya, makin rendah angka melek huruf maka IPM juga rendah, dan begitu sebaliknya makin tinggi angka melek huruf maka makin tinggi IPM pula yang dicapai oleh kabupaten/kota bersangkutan. Misalnya, angka melek huruf yang dicapai oleh Kota Denpasar paling tinggi (97,22) dan IPM yang dicapainya paling tinggi (77,56). Sebaliknya, Kabupaten Karangasem dengan angka melek huruf terendah (72,27), IPM yang dicapainya juga rendah (66,06). Apabila dilacak lebih jauh lagi terhadap rata-rata lama sekolah, ternyata rata-rata lama sekolah terendah juga ditemukan di Kabupaten Karangasem, yaitu 5,41 tahun dan Kota Denpasar paling tinggi yaitu 10,49 tahun.

Tabel 4 Hubungan Antara IPM, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, dan Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, 2009

Kabupaten/ Kota

Nilai IPM

Angka harapan hidup

Angka Melek Huruf

Rata-rata

Lama Sekolah

1. Jembrana

72,45

71,73

89,60

7,65

2. Tabanan

74,26

74,38

89,31

7,84

3. Badung

72,26

71,75

92,29

9,18

4. Gianyar

72,43

72,06

85,40

8,03

5. Klungkung

70,19

69,05

81,10

7,03

6. Bangli

70,21

71,56

82,23

6,52

7. Karangasem

66,06

67,85

72,27

5,41

8. Buleleng

70,26

68,96

87,84

7,09

9. Denpasar

77,56

72,96

97,27

10,49

Bali:

71,52

70,67

87,22

7,83

Sumber: BPS Provinsi Bali (2011).

Bappeda Bali (2011)

Apabila tingkat pendidikan yang digambarkan di atas ditelusuri lebih jauh menurut persentase pendidikan yang ditamatkan di masing-masing kabupaten/ kota akan dapat dilacak pada Tabel 5. Dalam kaitan ini pengelompokan pendidikan dibagi menjadi tiga, yaitu (1) di bawah SD; (2) tamat SD/SLTP; dan (3) SLTA ke atas.

Tabel 5 Hubungan Antara IPM dan Persentase Tingkat Pendidikan yang

Hubungan antara IPM dengan persentase pendidikan yang ditamatkan pada Tabel 5 memberikan gambaran yang menarik, karena ternyata kabupaten/ kota yang memiliki IPM tinggi ditunjukkan oleh semakin tingginya tingkat pendidikan penduduk. Misalnya, Kota Denpasar yang memiliki IPM paling tinggi ternyata ditunjang oleh persentase penduduk yang tamat SD/SLTP dan SLTA ke atas paling tinggi dibandingkan dengan pendidikan penduduk di kabupaten/kota lainnya di Provinsi Bali. Sebaliknya, Kabupaten Karangasem yang memiliki IPM terendah ternyata digambarkan oleh besarnya persentase penduduk yang hanya mengenyam pendidikan di bawah SD. Bahkan lebih parah lagi, penduduk miskin Kabupaten Karangasem tidak ada yang mengenyam pendidikan SLTA ke atas.

Rumusan Masalah

Bertolak dari uraian pada latar belakang dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: bagaimanakah strategi kebijakan pembangunan yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan penduduk di Kabupaten Karangasem?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan beberapa strategi kebijakan pembangunan yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan penduduk yang terjadi di Kabupaten Karangasem. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, baik secara praktis maupun akademis. Secara praktis dimaksudkan agar hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi para policy maker dalam menyusun strategi kebijakan pengentasan kemiskinan di daerahnya. Di pihak lain, secara akademik diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya yang terkait dengan strategi kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan di suatu daerah.

STUDI PUSTAKA

Konsep Kemiskinan

Kemiskinan dikatakan bersifat multidimensional karena berkaitan dengan kebutuhan manusia yang bermacam-

macam, tidak hanya kebutuhan primer namun juga menyangkut kebutuhan lainnya. Untuk mendapat persepsi yang sama tentang kemiskinan, perlu dirumuskan sebuah konsep kemiskinan sebagai dasar pijakan. Dalam hal ini akan dikemukakan konsep kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bappenas (2004), bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar meliputi (a) terpenuhinya kebutuhan pangan, (b) kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; (c) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan (d) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik (BPS, 2009).

Selain konsep kemiskinan secara umum seperti digambarkan di atas, juga dikenal konsep kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut menggambarkan sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Pada umumnya mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau sering disebut sebagai ”garis kemiskinan” (Todaro dan Smith, 2006). Dengan perkataan lain, bahwa ”garis kemiskinan” ini merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin.

Masalah utama terkait dengan konsep kemiskinan absolut adalah dalam menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum, karena hal ini tidak hanya ditentukan oleh faktor ekonomi semata, namun juga budaya dan sosial lainnya. Dalam kaitan ini seseorang dapat dikatakan hidup layak membutuhkan barang-barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan fisik dan sosialnya, yang sering disebut kebutuhan dasar. United Nation Research Institute for Social Development (dalam Arsyad, 2010) menggolongkan kebutuhan dasar manusia menjadi tiga, yaitu (1) kebutuhan fisik meliputi kebutuhan gizi, perumahan, dan kesehatan; (2) kebutuhan kultural meliputi pendidikan dan waktu luang, rekreasi, dan ketenangan hidup; serta (3) kebutuhan yang muncul karena adanya surplus pendapatan, sehingga ada keinginan untuk mencapai kebutuhan lain yang lebih tinggi.

Beragamnya kebutuhan dasar manusia, baik secara fisik maupun non-fisik akan memberikan garis kemiskinan yang beragam. Hal ini akan menimbulkan kesulitan dalam membandingkan tingkat kemiskinan antardaerah atau antarnegara karena beragamnya garis kemiskinan. Untuk mengatasi masalah ini Bank Dunia menghitung garis kemiskinan dengan menggunakan pengeluaran konsumsi yang dikonversi ke dalam US$ PPP (Purchasing Power Parity/ Paritas Daya Beli), bukan nilai tukar US$ resmi (BPS, 2009). Hal ini bermanfaat dalam menyalurkan sumber daya finansial yang ada, dan dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Angka paritas daya beli menunjukkan banyaknya rupiah

yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa di mana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli seharga US$1 di Amerika. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survei yang biasanya dilakukan setiap lima tahun sekali. Berkaitan dengan paritas daya beli ini, Bank Dunia menggunakan dua ukuran, yaitu (1) US$ 1 per kapita per hari; dan (2) US$ 2 per kapita per hari.

Uraian selanjutnya berkaitan dengan kemiskinan relatif, yang merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan (BPS, 2009; Arsyad, 2010). Sebagai contoh, 40 persen dari lapisan terendah dari seluruh penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan atau pengeluaran adalah tergolong penduduk yang relatif miskin. Jadi berdasarkan contoh di atas, kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan atau pengeluaran penduduk, yang pada intinya bahwa kemiskinan itu selalu ada.

Berbeda dengan garis kemiskinan absolut, garis kemiskinan relatif bersifat dinamis. Bahwa tatkala suatu negara menjadi lebih kaya, negara tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu garis kemiskinan relatif tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

Indikator Kemiskinan

Berikut ini akan dikemukakan beberapa indikator kemiskinan untuk menentukan jumlah penduduk yang tergolong miskin, yaitu (1) tingkat konsumsi beras per kapita per tahun; (2) modul konsumsi Susenas; (3) pendataan keluarga; dan (4) pendataan sosial ekonomi (PSE). Masing-masing indikator kemiskinan tersebut akan dipaparkan lebih jauh pada uraian berikut ini.

  • 1.    Tingkat konsumsi beras

Menurut Surbakti (2007), indikator ini dicetuskan oleh Sajogyo, yaitu dengan menerjemahkan pendapatan penduduk setara dengan tingkat konsumsi beras per kapita per tahun. Indikator kemiskinan penduduk di daerah perkotaan berbeda dengan daerah pedesaan. Penduduk perkotaan dianggap miskin apabila pendapatannya kurang dari setara dengan tingkat konsumsi beras 360 kg per kapita per tahun, dan penduduk daerah pedesaan dianggap miskin apabila pendapatannya kurang dari setara dengan tingkat konsumsi beras 240 kg per kapita per tahun.

  • 2.    Modul konsumsi Susenas

Penghitungan jumlah penduduk miskin menurut modul konsumsi Susenas didasarkan pada besarnya rupiah yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk konsumsi energi

dan kebutuhan dasar non-makanan. Dari data konsumsi hasil Susenas dapat diperkirakan jumlah penduduk yang mengalami kelaparan dengan menghitung banyaknya asupan energi yang dikonsumsi. Dengan menggunakan patokan minimum 2.100 kalori asupan energi per hari dapat dihitung jumlah penduduk yang kelaparan. Penentuan garis kemiskinan menurut Surbakti (2009) dengan modul konsumsi Susenas adalah sebagai berikut:

  • 1)    Menentukan kelompok penduduk rujukan, yaitu penduduk yang miskin dan mendekati miskin (sekitar 20 persen rumah tangga termiskin) menurut perhitungan dari survei sebelumnya (survei Susenas dilakukan secara periodik);

  • 2)    Memilih komoditi dasar makanan dan non-makanan yang dikonsumsi rumah tangga rujukan;

  • 3)    Menghitung nilai pengeluaran riil rumah tangga rujukan;

  • 4)    Mengidentifikasi komoditi yang umumnya dikonsumsi penduduk rujukan;

  • 5)    Menghitung harga kalori dan menentukan garis kemiskinan makanan;

  • 6)    Menghitung garis kemiskinan non-makanan;

  • 7)    Menghitung garis kemiskinan (jumlah butir 5 dan 6);

  • 8)    Menghitung rumah tangga yang pengeluarannya lebih kecil dari garis kemiskinan sebagai rumah tangga miskin; dan

  • 9)    Memasukkan semua anggota rumah tangga dalam rumah tangga miskin sebagai penduduk miskin.

  • 3.    Pendataan keluarga

Surbakti (2009) menyebutkan bahwa data kemiskinan yang dikumpulkan oleh BPS melalui modul konsumsi Susenas sangat bermanfaat untuk menyusun perencanaan makro, namun tidak dapat digunakan untuk menentukan target program pengentasan kemiskinan. Kelemahan terutama dari data modul konsumsi Susenas terkait dengan siapa yang miskin dan dimana mereka bertempat tinggal. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, BKKBN berupaya untuk menutup kesenjangan tersebut dengan mengumpulkan beberapa komponen kesejahteraan keluarga melalui kegiatan pendataan keluarga. Berdasarkan hasil pendataan keluarga tersebut disusun indeks komposit untuk menentukan (1) keluarga pra sejahtera; (2) keluarga sejahtera I; (3) keluarga sejahtera II; (4) keluarga sejahtera III; dan (5) keluarga sejahtera III plus. Hasil pendataan keluarga ini sangat membantu program untuk melakukan intervensi terkait dengan pengentasan kemiskinan, di samping sebagai pedoman operasional bagi unit pengelola program keluarga berencana (KB). Adanya kelebihan yang dimiliki oleh hasil pendataan keluarga seperti terlacaknya nama dan alamat penduduk miskin telah membantu Bulog (Badan Urusan Logistik) dalam menyalurkan bantuan beras bagi orang miskin (Raskin).

Sesuai dengan penggolongan keluarga sejahtera di atas,

maka yang tergolong keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan minimal seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan serta tidak dapat memenuhi minimal satu ketentuan berikut:

  • 1)    Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih;

  • 2)    Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja atau sekolah dan bepergian;

  • 3)    Rumah yang ditempati keluarga memiliki atap, lantai, dan dinding yang baik;

  • 4)    Bila ada anggota keluarga yang sakit dibawa ke sarana kesehatan;

  • 5)    Bila pasangan usia subur ingin ber-KB, pergi ke sarana pelayanan kontrasepsi; dan

  • 6)    Semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga tersebut bersekolah.

Selanjutnya, yang digolongkan keluarga sejahtera tahap I adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial-psikologisnya, seperti ibadah, makan protein hewani, ruang untuk interaksi keluarga, kesehatan, penghasilan, baca tulis Latin dan keluarga berencana sebagai berikut:

  • 1)    Pada umumnya anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing;

  • 2)    Paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan daging/ikan/telur;

  • 3)    Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu pasang pakaian baru dalam setahun;

  • 4)    Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk setiap penghuni rumah;

  • 5)    Tiga bulan terakhir, keluarga dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing;

  • 6)    Ada seorang atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk memperoleh penghasilan;

  • 7)    Seluruh anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulisan Latin; dan

  • 8)    Pasangan usia subur dengan anak dua atau lebih menggunakan obat/alat kontrasepsi.

  • 4.    Pendataan Sosial Ekonomi (PSE)

Pendekatan yang disebut terakhir adalah pendataan sosial ekonomi yang dilakukan oleh BPS, dimaksudkan untuk mengetahui rumah tangga yang miskin dan alamatnya (Surbakti, 2009). Kegiatan ini dilakukan dalam kaitan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebagai subsidi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada akhir 2004. Dalam hal ini Pemerintah telah menyepakati kriteria rumah tangga miskin yang didasarkan pada 14 kriteria dengan rincian berikut ini.

  • 1)    Luas lantai per kapita adalah kurang atau sama dengan 8 m2;

  • 2)    Jenis lantai: tanah/bambu/kayu berkualitas rendah;

  • 3)    Jenis dinding: bambu/rumbia/kayu lainnya yang berkualitas rendah;

  • 4)    Fasilitas tempat buang air besar: bersama/umum;

  • 5)    Sumber air minum: sumur/mata air tak terlindung/ sungai/air hujan;

  • 6)    Sumber penerangan: lampu/minyak/petromaks;

  • 7)    Bahan bakar: kayu/minyak;

  • 8)    Konsumsi daging/ayam/susu: tidak pernah;

  • 9)    Frekuensi makan: 1 kali sehari;

10)Beli pakaian baru: tidak pernah;

  • 11)    Kemampuan berobat: tidak pernah;

12)Lapangan usaha kepala rumah tangga: pertanian padi/palawija;

13)Pendidikan kepala rumah tangga: SD ke bawah; dan 14)Kepemilikan aset: tak punya tabungan, emas, TV berwarna, ternak, atau sepeda motor.

Rumah tangga yang memenuhi masing-masing kriteria akan mendapat skor satu atau nol bila tidak memenuhi, sehingga rumah tangga secara maksimal akan mendapat jumlah skor 14. Setelah dilakukan berbagai prosedur statistik, diperoleh cara penghitungan keparahan kemiskinan rumah tangga yang ditentukan oleh jumlah skor yang diperoleh rumah tangga sebagai berikut:

  • 1)    Rumah tangga sangat miskin bila skor = 14;

  • 2)    Rumah tangga miskin bila skor 12-13;

  • 3)    Rumah tangga mendekati miskin bila skor 9-11; dan

  • 4)    Rumah tangga tidak miskin bila skor kurang dari 9.

Penyebab Kemiskinan

Dalam mengupas penyebab kemiskinan, khususnya yang terjadi di Indonesia, berikut ini akan dikemukakan pendapat Hadiwigeno dan Pakpahan (1993) dalam tulisannya yang berjudul “Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia”. Dari hasil kajian tersebut dikemukakan bahwa penyebab kemiskinan bersumber dari berbagai aspek, seperti:

  • 1)    Sumber daya alam, meliputi: lahan yang kurang subur, pendayagunaan lahan kurang, dan adanya degradasi lahan.

  • 2)    Teknologi dan unsur pendukungnya, meliputi: aplikasi teknologi rendah, ketersediaan sarana produksi terbatas, dan hama penyakit.

  • 3)    Sumber daya manusia, meliputi: tingkat pendidikan rendah, produktivitas tenaga kerja rendah, tingkat kesehatan masyarakat rendah, adanya tradisi yang menghambat, dan lapangan kerja yang terbatas.

  • 4)    Sarana, prasarana, dan kelembagaan, meliputi: daerah terisolir, modal terbatas, kelembagaan sarana pembangunan pertanian kurang/ tidak berfungsi, irigasi terbatas, pemilikan lahan sempit, bagi hasil yang tak adil, dan tingkat upah rendah.

Selain penyebab kemiskinan ekonomi yang telah banyak disoroti pada uraian di atas, Effendi (1995) mengemukakan

beberapa penyebab kemiskinan sosial yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang bersifat menghambat seseorang untuk memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia. Faktor-faktor penghambat tersebut dibagi menjadi dua, yaitu (1) faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang; dan (2) faktor-faktor yang berasal dari luar diri seseorang.

Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang atau sekelompok orang dapat berupa rendahnya tingkat pendidikan atau karena hambatan budaya. Kemiskinan dapat muncul sebagai akibat nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Kemiskinan ini muncul karena sekelompok masyarakat tidak terintegrasi dengan masyarakat luas, apatis, cenderung menyerah pada nasib, tingkat pendidikan rendah, tidak mempunyai daya juang dan kemampuan memikirkan masa depan (Lewis, dalam Effendi, 1995). Kriminalitas dan kekerasan mewarnai kehidupan sehari-hari. Keadaan tersebut muncul karena lingkungan atau budaya masyarakat itu sendiri dan kondisi tersebut cenderung diwariskan dari generasi ke generasi. Kemiskinan sosial seperti ini dikatakan sebagai akibat dari adanya kebudayaan kemiskinan. Menurut Effendi pendapat di atas tidak sepenuhnya benar, karena beberapa bukti empiris menunjukkan bahwa kaum miskin, terutama di daerah perkotaan bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan motivasi untuk memperbaiki nasib.

Selanjutnya faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang, misalnya birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat mencegah seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Kemiskinan sosial seperti ini disebut dengan kemiskinan struktural. Kemiskinan ini terjadi karena adanya hambatan-hambatan struktural, bukan karena seseorang malas bekerja. Dengan demikian kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural mencakup kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya, kekurangan perlindungan hukum dan pemerintah.

Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Setelah memperoleh gambaran tentang beberapa penyebab kemiskinan, berikut ini akan dipaparkan tentang strategi penanggulangan kemiskinan. Menurut Darwin (2010), upaya penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap I (Pelita I) yang dimulai tahun 1969. Salah satunya adalah melalui program pemenuhan kebutuhan pokok, sehingga target utama Pelita I diprioritaskan pada sektor pertanian. Pada Pelita I sudah ada program

untuk warga miskin, yaitu berupa Program Pelayanan Kesejahteraan Keluarga Miskin. Pada Pelita II program tersebut berganti nama menjadi Bimbingan Kesejahteraan Keluarga. Pada Pelita III, program ini diganti dengan Bantuan dan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat. Akhirnya pada Pelita IV dan V nama program diganti lagi dengan Program Penyantunan dan Pengentasan Fakir Miskin.

Kebanyakan program penanggulangan kemiskinan pada masa Orde Baru bersifat top down, sebagai akibat dari sistem perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistis. Model perencanaan pembangunan seperti itu akan mematikan inisiatif dan kreativitas daerah, padahal masing-masing daerah memiliki potensi dan kearifan lokal yang berbeda-beda. Oleh karena itu sejak Orde Reformasi program-program penanggulangan kemiskinan lebih difokuskan kepada upaya pemberdayaan ekonomi rumah tangga miskin dengan pendekatan bottom up atau partisipatori. Pada masa Orde Reformasi atau lebih dikenal dengan masa otonomi daerah dilakukan perubahan yang komprehensif dengan menyusun rencana penanggulangan kemiskinan model baru, yang dikenal dengan sebutan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK).

Menurut Darwin (2010), SNPK mendasarkan diri pada dua nilai, yaitu (1) berkenaan dengan tujuan dan nilai; dan (2) berkenaan dengan proses. Ada dua nilai berkenaan dengan tujuan, yaitu (a) kesamaan hak tanpa pembedaan, bahwa penanggulangan kemiskinan menjamin adanya kesamaan tanpa membedakan atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, dan kemampuan berbeda; dan (b) manfaat bersama, penanggulangan kemiskinan harus memberi manfaat bagi semua pihak, terutama bagi masyarakat miskin laki-laki maupun perempuan.

Pada pihak lain, terdapat tujuh nilai yang berkenaan dengan proses, yang rinciannya adalah sebagai berikut:

  • a)    Partisipasi, yaitu penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan keterlibatan aktif semua pihak, termasuk orang miskin baik laki-laki maupun perempuan.

  • b)    Transparansi, yaitu penanggulangan kemiskinan menekankan asa keterbukaan bagi semua pihak melalui pelayanan dan penyediaan informasi bagi semua pihak termasuk masyarakat miskin.

  • c)    Akuntabilitas, adanya proses dan mekanisme pertanggungjawaban atau kemajuan, hambatan, capaian, hasil dan manfaat, baik dari sudut pandang pemerintah dan apa yang dialami oleh masyarakat, terutama masyarakat miskin, laki-laki dan perempuan kepada parlemen dan rakyat.

  • d)    Keterwakilan, adanya keterwakilan kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dari penanggulangan kemiskinan dengan mempertimbangkan

keterwakilan kelompok minoritas dan kelompok rentan.

  • e)    Keberlanjutan, penanggulangan kemiskinan harus menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan.

  • f)    Kemitraan, adanya kemitraan yang setara dan saling menguntungkan antarpelaku dalam penanggulangan kemiskinan.

  • g)    Terpadu, adanya sinergi dan keterkaitan yang terpadu antarpelaku dalam penanggulangan kemiskinan.

Selanjutnya, berdasarkan nilai-nilai di atas dirumuskan lima strategi SNPK, sebagai berikut:

  • a)    Perluasan kesempatan

Strategi yang dilakukan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan.

  • b)    Pemberdayaan kelembagaan masyarakat

Strategi yang dilakukan adalah untuk memperkuat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat serta memperluas partisipasi masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar.

  • c)    Peningkatan kapasitas

Strategi yang dilakukan adalah untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan.

  • d)    Perlindungan sosial

Strategi yang dilakukan adalah untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan (perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, kemampuan berbeda/ penyandang cacat), dan masyarakat miskin baru, baik laki-laki maupun perempuan, yang disebabkab antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial.

  • e)    Penataan kemitraan global

Strategi yang dilakukan adalah untuk mengembangkan dan menata ulang hubungan dan kerj sama internasional guna mendukung pelaksanaan keempat strategi di atas.

METODE PENELITIAN

Pemilihan Lokasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Karangasem, dengan alasan jumlah penduduk miskin di kabupaten ini

menduduki urutan kedua terbanyak setelah Kabupaten Buleleng. Selain itu yang paling penting adalah kualitas penduduk yang dicerminkan oleh IPM ditemukan paling rendah di Kabupaten Karangasem. Rendahnya kualitas penduduk dapat diduga berhubungan erat dengan kondisi kemiskinan penduduk di wilayah tersebut. Kualitas penduduk dengan kondisi kemiskinan dapat dikatakan seperti lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal saling mempengaruhi. Kualitas penduduk yang rendah dapat menjadi sebab kemiskinan, dan sebaliknya kemiskinan dapat mengakibatkan kualitas penduduk menjadi rendah. Dengan memperhatikan alasan tersebut, maka dalam penelitian ini wilayah yang akan dikaji kondisi kemiskinannya adalah Kabupaten Karangasem, yang ditentukan secara purposive sampling. Selanjutnya, pengambilan sampel penelitian dilakukan secara accidental sampling yang akan dijadikan responden keluarga miskin.

Jenis dan Jumlah Responden Penelitian

Dalam penelitian ini yang akan dijadikan responden penelitian adalah masyarakat yang tergolong penduduk miskin. Jumlah penduduk yang tergolong miskin yang akan diteliti atau dikaji adalah mereka yang tergolong Pra Keluarga Sejahtera (KS), dan KS I, sesuai dengan pendataan dari BKKBN. Jumlah kecamatan di Kabupaten Karangasem sebanyak 8 buah dengan 78 buah desa. Jumlah keluarga yang tergolong Pra KS dan KS I di setiap kecamatan sangat bervariasi dan di Kecamatan Manggis jumlah keluarga yang tergolong Pra KS dan KS I paling banyak di antara kecamatan lainnya, dan Kecamatan Bebandem memiliki jumlah Pra KS dan KS I yang paling sedikit. Secara rinci jumlah Pra KS dan KS I menurut kecamatan disajikan dalam Tabel 6.

Mengingat keterbatasan sumber daya yang tersedia, maka dalam penelitian ini dipilih kecamatan yang dapat mewakili informasi yang ingin dikumpulkan, yang juga didasarkan atas pertimbangan tertentu. Selain itu juga dikaitkan dengan program MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Provinsi Bali masuk dalam koridor yang akan menekankan pada pembangunan pariwisata, pertanian, peternakan, maupun perikanan. Dengan demikian dalam penelitian ini akan dipilih kecamatan yang dapat mencerminkan hal tersebut yaitu di Kecamatan Manggis, Karangasem, dan Abang. Jumlah responden keluarga miskin yaitu tepatnya Pra KS dan KS I yang diteliti sebanyak 90 responden yang didistribusikan merata di setiap kecamatan yaitu untuk Kecamatan Manggis, KecamatanAbang, dan Kecamatan Karangasem masing-masing 30 responden.

Jenis Data dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan dapat berupa data kuantitatif yaitu data yang memiliki satuan hitung tertentu dan dapat diterapkan operasi matematika untuk data tersebut, seperti umur responden, rata-rata lama sekolah,

Tabel 6. Jumlah Pra KS dan KS I menurut Kecamatan di Kabupaten Karangasem, 2011 (dalam KK)

No

Kecamatan

Pra KS

KS I

Total

1

Abang

125

382

507

2

Bebandem

43

249

292

3

Karangasem

77

303

380

4

Kubu

68

266

334

5

Manggis

1359

1685

3044

6

Rendang

302

316

618

7

Selat

363

545

908

8

Sidemen

91

258

349

9

Total

2.428

4.004

6.432

Sumber: BKKBN, 2012. Database Kelompok UPPKS Online

dan jumlah pendapatan, serta jumlah pengeluaran pada periode tertentu. Data kualitatif juga dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu data yang tidak memiliki satuan hitung tertentu sehingga tidak dapat diterapkan operasi matematika pada data kualitatif tersebut, seperti data tentang persepsi mengenai kemiskinan penduduk di daerah penelitian.

Sumber data yang digunakan dapat bersumber dari data primer maupun data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti untuk pertama kalinya guna menjawab tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Dalam penelitian ini data primer langsung diperoleh dari dari responden baik yang berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Data primer ini dikumpulkan langsung dari responden yaitu mereka yang tergolong penduduk miskin, yaitu mereka yang berasal dari keluarfa Pra KS dari KS 1. Data sekunder juga digunakan, yaitu data yang sudah dikumpulkan oleh orang atau lembaga lain untuk tujuan kepentingan mereka, dan peneliti hanya menggunakan data yang sudah ada. Data sekunder ini dikumpulkan melalui dokumen-dokumen yang dibutuhkan seperti dari BPS, Bappeda Provinsi Bali dan instansi lainnya. Data sekunder dalam penelitian ini antara lain jumlah penduduk yang tergolong Pra KS dan KS I, yang disusun menurut kecamatan di Kabupaten Karangasem.

Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan berbagai cara atau metode. Ada tiga metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode dokumentasi, observasi, dan wawancara terstruktur. Penggunaan metode dokumentasi adalah untuk memperoleh data sekunder baik yang berupa data yang telah dipublikasi maupun data yang didapat dari kantor-kantor tertentu yang dibutuhkan, seperti data tentang jumlah keluarga yang tergolong Pra KS dan KS I, jumlah penduduk menurut kecamatan. Metode observasi digunakan untuk memperoleh informasi tentang kondisi rumah, kondisi lingkungan dimana penduduk miskin tersebut berada. Wawancara terstruktur adalah wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya, yang dikumpulkan dari responden penduduk miskin.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif. Melalui teknik analisis deskriptif ini akan dipaparkan masing-masing variabel yang berkaitan dengan karakteristik responden penduduk miskin. Untuk memudahkan pemahaman, paparan yang terkait dengan karakteristik penduduk miskin juga dilengkapi dengan tabel distribusi frekuensi tunggal dan tabel silang.

PEMBAHASAN

Jenis Bantuan yang Diinginkan oleh Keluarga Miskin

Pada dasarnya program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah ditujukan untuk menurunkan jumlah penduduk miskin, dan bahkan jika memungkinkan untuk menghapus kemiskinan. Namun demikian program-program pengentasan kemiskinan selama ini ditentukan dari atas atau tanpa ada usaha untuk mengetahui apa yang diinginkan oleh masyarakat miskin. Dengan kondisi jumlah penduduk miskin yang terus ada kecenderungan bertambah, dalam penelitian ini ditanyakan mengenai bantuan yang diinginkan oleh responden dengan harapan program yang dirancang sesuai dengan kebutuhan responden.

Berdasarkan data hasil penelitian sebagai penduduk yang tergolong miskin yaitu dalam katagori KS I dan Pra KS mereka semua (100 persen) responden masih menginginkan bantuan di masa yang akan datang jika memang masih ada bantuan. Satu hal yang sangat menggembirakan adalah mengenai bantuan yang mereka inginkan, yang dapat mencerminkan bahwa sebenarnya mereka menginginkan keluar dari kondisi kemiskinan yang selama ini melilit mereka. Mereka sangat berharap dapat keluar dari kondisi kemiskinan tersebut dengan bantuan orang lain dalam hal ini dari pemerintah. Dari seluruh responden yang diteliti lebih dari 83 persen mereka mengharapkan bantuan yang bersifat produktif, dan hanya kurang dari 17 persen yang menginginkan bantuan yang bersifat konsumtif. Hal ini berarti mereka lebih menginginkan ”kail” untuk mencari ”ikan” bukan ikannya, mereka menginginkan kesempatan kerja agar mereka dapat meningkatkan atau memperoleh penghasilan untuk keluar dari kondisi kemiskinan.

Sebagian responden ada yang bekerja di sektor pertanian, ada juga di sektor pariwisata dan ada juga di sektor lainnya selain kedua sektor tersebut. Dari data karakteristik responden ternyata hanya sekitar 42 persen yang bekerja dan sisanya 58 persen tidak bekerja, jadi yang tidak bekerja jauh lebih banyak. Kondisi ini juga sebagai salah satu sebab kenapa mereka menjadi miskin. Ketiadaan pekerjaan menyebabkan mereka tidak memiliki penghasilan, dan hal tersebut pada akhirnya mengklasifikasikan mereka sebagai KS I atau Pra KS.

Dengan melihat data karakteristik yaitu status pekerjaan mereka yang sebagian besar tidak bekerja, maka dapat dipahami sebagian besar mereka menghendaki bantuan yang bersifat produktif. Beberapa jenis bantuan produktif yang mereka inginkan antara lain: 1) dalam bentuk bantuan benih pertanian; 2) bantuan bibit ternak; 3) bantuan modal dagang; 4) bantuan sarana pertanian; 5) kursus kerajinan; dan 6) bantuan modal usaha. Mereka yang bekerja atau menginginkan bekerja di sektor pertanian juga menginginkan bantuan di bidang itu seperti bibit ternak, bantuan benih pertanian, dan bantuan sarana pertanian. Di sisi lain jika mereka sebagai pedagang bantuan yang mereka inginkan adalah bantuan modal dagang, dan yang menginginkan bekerja di sektor jasa yang diinginkan adalah bantuan kursus kerajinan dan modal usaha.

Bantuan yang diinginkan oleh responden seperti yang telah disampaikan memiliki beberapa alasan seperti yang disampaikan oleh responden. Beberapa alasan tersebut antara lain disampaikan sebagai berikut.

  • 1)    Dapat digunakan untuk menambah modal usaha jahitan yang selama ini masih dianggap kurang

  • 2)    Dapat bekerja di sawah dengan lebih cepat, karena menginginkan bantuan sarana pertanian

  • 3)    Dengan bantuan bibit ternak, mereka dapat meningkatkan kondisi ekonomi keluarga karena omzet penjualan nantinya akan lebih tinggi

  • 4)    Ingin membuka usaha, sehingga yang bantuan yang dibutuhkan adalah bantuan permodalan

  • 5)    Dengan usaha dagang yang sudah dimiliki, ingin memperoleh bantuan modal untuk menambah jumlah barang dagangan sehingga berharap omzet penjualan dagang meningkat

  • 6)    Dengan bantuan yang diminta diharapkan penghasilan akan dapat meningkat

  • 7)    Sangat berharap bantuan modal dengan bunga ringan untuk menambah omzet usaha atau penjualan

  • 8)    Untuk meningkatkan keterampilan, sehingga dapat membuka peluang usaha sesuai dengan keterampilan yang dimiliki

  • 9)    Modal yang dimiliki selama ini sangat sedikit, responden mengharapkan bantuan modal untuk dapat meningkatkan kondisi ekonomi keluarga mereka.

10)Meskipun ada jawaban atau alasan yang kurang pas, namun mereka banyak yang menginginkan bantuan bedah rumah yaitu sekitar 40 persen karena mereka merasa rumah mereka tidak layak huni, dan ada juga yang menyatakan rumah mereka sudah roboh.

Dengan melihat alasan-alasan kenapa mereka menginginkan bantuan yang bersifat produktif, dapat dipahami bahwa mereka sebenarnya tidak menginginkan kondisi yang mereka alami sekarang. Dengan bantuan yang diharapkan oleh penduduk miskin tersebut mereka berharap penghasilan dapat meningkat sehingga mereka

dapat keluar dari perangkap kemiskinan.

Selain responden yang mengharapkan bantuan yang bersifat produktif ada juga yang mengharapkan bantuan bersifat konsumtif. Bantuan yang diharapkan adalah sembako dan bantuan rumah. Alasan mereka menginginkan bantuan sembako adalah agar dapat meringankan kebutuhan pokok keluarga, dan untuk kelangsungan hidup. Jadi dengan bantuan sembako tersebut akan dapat mengurangi biaya untuk kebutuhan pokok mereka. Selain itu bantuan konsumtif yang berupa bantuan rumah sangat mereka butuhkan karena untuk membuat atau memperbaikinya mereka merasa tidak mampu. Mereka menyadari bantuan konsumtif ini hanya akan dapat mengurangi pengeluaran mereka tetapi tidak dapat menambah penghasilan mereka.

Model/Strategi Kebijakan Pengentasan Penduduk Miskin

Secara umum program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah memiliki 2 tujuan yaitu 1) mengurangi pengeluaran masyarakat miskin, yang dibebankan kepada pihak lain seperti ke pemerintah atau masyarakat lainnya; 2) meningkatkan pendapatan penduduk miskin sehingga dapat keluar dari jurang kemiskinan. Beberapa kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi pengeluaran penduduk miskin antara lain: Program Raskin, Program BLT, bantuan sembako, Program JKBM (Jaminan Kesehatan Bali Mandara), Program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), Program Bedah Rumah, Askescat (asuransi kesehatan untuk orang cacat), dan beasiswa miskin yaitu beasiswa yang diberikan kepada anak atau siswa yang putus sekolah. Program-program tersebut masing-masing ditangani oleh instansi yang berbeda dalam pelaksanaannya tergantung program yang dilaksanakan. Seperti program JKBM dilaksanakan oleh dinas kesehatan, program beasiswa miskin pelaksanaannya oleh dinas kesehatan, program bedah rumah dikoordinasikan oleh dinas sosial, dan program-program lainnya dilaksanakan oleh dinas atau departemen yang lain.

Sampai saat ini di Provinsi Bali maupun di kabupaten/ kota program pengentasan kemiskinan dilakukan di berbagai Kluster. Selama ini terdapat 3 kluster dalam pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan di Provinsi Bali. Program-program tersebut disebut sebagai Kluster 1, Kluster 2, dan Kluster 3. Program-program tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Semakin tinggi Kluster berarti program mengarah pada program yang produktif, demikian sebaliknya. Program-program yang tergolong Kluster 1 adalah program-program yang bersifat konsumtif seperti Askescat, JKBM, Jamkesmas, Sembako, Bedah Rumah, dan Raskin, Program-program yang tergolong Kluster 2, antara lain program-program pemberdayaan masyarakat seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) mandiri, Program Simantri, dan

Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE), dan juga program Simpan Pinjam yang dilaksanakan oleh para perempuan yang dananya berasal dari Program PNPM mandiri yang sering disebut sebagai Program Simpan Pinjam Perempuan. Tujuan dari Program Simpan Pinjam Perempuan adalah untuk memberikan kesempatan kerja pada perempuan dengan membuka usaha yang modalnya diberikan dari program PNPM mandiri. Program-program pengentasan kemiskinan di Kluster 2, kadang-kadang juga disebut sebagai Gerakan Pembangunan Desa Terpadu (Gerbang Sadu). Program-program yang tergolong Kluster 3, yaitu program-program yang tergolong produktif seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Tanpa Agunan (KTA), Jaminan Kredit Bali Mandara (Jamkrida). Dalam Program KTA, meskipun namanya Kredit Tanpa Agunan, namun perusahaan atau usaha yang mengajukan dana untuk program tersebut dilihat atau diobservasi kondisi usahanya untuk menentukan apakah usaha tersebut layak diberikan kredit. Hal ini sangat penting untuk dapat menentukan apakah usaha tersebut fisibel atau layak untuk diberikan kredit agar usahanya meningkat, sehingga kredit yang akan dikucurkan lancar pengembaliannya dan tidak mengalami kemacetan. Program pengentasan kemiskinan pada Kluster 3 selain dapat mengurangi jumlah penduduk miskin, namun juga dapat mengurangi jumlah penganggur yang ada disekitar tempat usaha tersebut. Selain itu program pada Kluster 3 dikatakan sebagai program yang benar-benar program produktif yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan penduduk miskin. Keberhasilan program pada Kluster 3 ini, akan dapat diibaratkan sebagai pemberian “kail” oleh pemerintah kepada masyarakat. Semua Kluster dalam pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan oleh pemerintah, dan tetap berlangsung hingga saat ini.

Berikut dijelaskan masing-masing 1 contoh program pengentasan kemiskinan yang tergolong di Kluster 2 dan Kluster 3. Untuk Kluster 2 salah satunya adalah Program Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi). Program ini dilaksanakan mulai tahun 2009 pada saat kepemimpinan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika. Program Simantri ini terus dilaksanakan sampai sekarang, dan sampai Bulan Juli 2012 telah berhasil dibentuk 300 unit Simantri di 9 kabupaten/kota dengan anggaran masing-masing unit Simantri sekitar Rp. 200 juta. Program ini mengintegrasikan kegiatan pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan dalam 1 kawasan pengelolaan secara terpadu dengan kelengkapan unit pengolah kompos, pengolah pakan, serta instalasi bio urine dan bio gas (Pemda Provinsi Bali, 2012). Jelas program ini, dengan penambahan aktivitas di sektor pertanian dan tambahan investasi sejumlah dana tersebut, maka program ini akan menambah kesempatan kerja atau menekan angka pengangguran. Dengan demikian secara langsung program ini juga merupakan program untuk mengentaskan kemiskinan melalui usaha untuk

meningkatkan pendapatan melalui pemberdayaan masyarakat petani.

Salah satu contoh program pengentasan kemiskinan di Kluster 3 adalah Program KUR (Kredit Usaha Rakyat). KUR adalah jenis kredit atau pembiayaan modal kerja dan atau investasi kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi (UMKMK). UMKMK yang dibiayai adalah bidang usaha yang produktif dan layak, namun belum Bankable dengan plafond kredit sampai dengan Rp.500.000.000,-yang dijamin oleh perusahaan penjamin. Program KUR ini sangat bermanfaat bagi UMKM di dalam meningkatkan omzet penjualan dari usaha yang ditekuni, melalui tambahan modal kerja maupun pada investasi yang baru sehingga harapan untuk memperoleh penghasilan yang lebih tinggi akan dapat tercapai. Program KUR ini bukan untuk program konsumtif, namun untuk program produktif. Program KUR ini juga dapat dimanfaatkan oleh bentuk badan usaha lainnya seperti PT, CV, Firma, UD maupun perusahaan perseorangan.

Dalam penelitian ini dengan melihat karakteristik responden, jenis usaha yang dimiliki oleh responden, dan berbagai hal yang berkaitan dengan programprogram yang telah dilaksanakan oleh pemerintah selama ini, maka berikut dapat dijelaskan strategi yang dapat disampaikan sebagai berikut. Program atau strategi yang akan disampaikan berkaitan dengan program yang produktif dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat miskin. Karakteristik dari responden dari segi jenis kelamin sebagian besar perempuan (67 persen), dengan umur produktif, status kawin, sebagian besar berpendidikan SLTP ke bawah (87 persen), dan hanya 13 persen berpendidikan SLTA, dan status bekerja hanya sekitar 42 persen, lebih banyak yang tidak bekerja. Dengan karakteristik seperti itu dan keberadaan Kluster dalam pengentasan kemiskinan selama ini, maka berikut disampaikan model atau strategi pengentasan kemiskinan seperti berikut.

Model/Strategi Kluster 1

Untuk keluarga yang benar-benar miskin artinya pendapatannya sangat rendah, dan dengan pendidikan yang rendah pula, maka keluarga seperti ini harus dibantu secara total untuk meningkatkan pendapatannya. Hal ini didukung oleh sebuah situasi yang kompleks dan multi dimensi, seperti mereka tidak memiliki ketrampilan tertentu ataupun jika mereka memilikinya tetapi tidak dapat dikembangkan dengan optimal akibat ketiadaan sumber daya lain yang mendukung seperti modal kerja, kesempatan kerja, maupun jaringan atau relasi yang dapat membantu mengoptimalkan potensi atau ketrampilan yang dimiliki.

Dengan ketiadaan kemampuan yang dimiliki oleh mereka baik secara ekonomi maupun sosial, maka untuk mereka ini harus diberikan kesempatan kerja melalui kegiatan putting out system. Mereka diberikan kesempatan

untuk menghasilkan suatu produk atau mengerjakan suatu produk yang dimiliki oleh perusahaan tertentu. Di sini ada keterlibatan 3 pihak yaitu: 1) penduduk miskin; 2) perusahaan yang menghasilkan produk; 3) pemerintah dalam hal ini dapat diwakili oleh departemen perindustrian dan perdagangan dan dinas tenaga kerja.

Pada model/strategi ini sangat dibutuhkan komitmen dari ke 3 pihak tersebut untuk benar-benar berusaha meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin melalui kesempatan kerja yang diberikan kepada mereka. Tanpa komitmen dan kesadaran yang tinggi dari ketiga komponen tersebut, maka tujuan tidak akan pernah tercapai, dan kemungkinan besar akan gagal. Prosedur atau urut-urutan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

  • 1)    Mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan produk yang mampu dikerjakan atau mampu dibuat oleh sekelompok penduduk miskin. Kegiatan identifikasi ini dapat dilakukan oleh Disnaker dan bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi dan kabupaten/kota

  • 2)    Setelah diketahui kemungkinan produk yang dapat dikerjakan oleh mereka, maka pemerintah dalam hal ini Disnaker dan Disperindag, dapat memanggil atau menemui perusahaan yang cocok dan yang memungkinkan untuk melaksanakan kerjasama atau perbantuan ini. Hal ini juga dapat dipandang sebagai bentuk tanggung jawab sosial dari perusahaan (CSR)

  • 3)    Jika diperlukan untuk melakukan tambahan pendidikan dan pelatihan bagi mereka, maka dapat diatur pelaksanaannya oleh pemerintah (Disnaker & Disperindag, perusahaan, dan lembaga lain seperti lembaga diklat jika dipandang perlu

  • 4)    Jika sudah dipandang kemampuan penduduk miskin tersebut memadai untuk mengerjakan produk perusahaan, maka dapat didistribusikan melalui putting out system, dimana produk dikerjakan di rumah penduduk miskin, dan setelah selesai barulah dibawa ke perusahaan, dengan menggunakan atau menentukan satu pengepul yang bertanggungjawab terhadap pendistribusian atau pelaksanaan proses produksi

  • 5)    Dengan strategi ini penduduk atau keluarga miskin tersebut akan dapat memiliki pekerjaan dan tentu saja mereka akan memperoleh penghasilan.

  • 6)    Strategi ini dapat terlaksana dengan sukses atau berhasil jika ada komitmen yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini. Mungkin pada awalnya dari segi ekonomi perusahaan tidak banyak profitnya dari program ini, namun dari segi tanggung jawab sosial akan sangat besar artinya bagi mereka yang memperoleh program bantuan ini.

  • 7)    Mereka dalam kelompok ini memang benar-benar harus dibantu, karena tanpa bantuan, mereka tidak

akan mampu keluar dari belenggu kemiskinan tersebut, akibat berbagai keterbatasan yang dimiliki.

  • 8)    Dari segi fisik mereka yang membutuhkan bantuan seperti ini masih sangat mungkin untuk mengerjakannya mengingat umur responden sebagian besar yaitu sekitar 89 persen berumur 50 tahun ke bawah dengan umur yang paling muda adalah 21 tahun. Jadi secara fisik masih sangat potensial untuk belajar atau berusaha untuk meningkatkan ketrampilan yang dimiliki.

  • 9)    Jika dilihat dari klasifikasi pendataan dari BKKBN, maka penduduk/keluarga miskin yang memperoleh program bantuan ini adalah sebagian besar mereka yang tergolong Pra KS.

  • 10)    Jika dilihat dari status pekerjaan responden yang sebagian besar tidak bekerja (58 persen), maka model/strategi pertama tersebut akan berusaha mengubah status pekerjaan mereka dari tidak bekerja menjadi bekerja. Jadi dirancang mereka akan menjadi pekerja.

Model/Strategi Kluster 2

Pada model/strategi yang ke 2 ini sudah lebih tinggi atau lebih mapan dibandingkan dengan model atau strategi 1. Mereka atau penduduk miskin yang akan menggunakan model ini karakteristiknya berbeda dengan mereka yang ada pada model atau Kluster 1. Jika dilihat dari klasifikasi pendataan keluarga oleh BKKBN, maka sebagian besar mereka adalah tergolong pada KS I. Pendidikan mereka paling sedikit SLTP, dan SLTA. Sesuai dengan pembagian katagori dalam pengentasan kemiskinan, maka strategi Kluster 2 ini adalah berkaitan dengan strategi pemberdayaan masyarakat desa. Dari data yang ada mereka yang tergolong dalam katagori bekerja ada sebagian yang bekerja sebagai pekerja/buruh, dan ada juga yang memiliki usaha mandiri di rumah mereka masing-masing. Dalam strategi Kluster 2 ini, kelompok inilah yang akan menjadi sasaran, dengan harapan penduduk miskin yang sebelumnya sebagai pekerja diarahkan untuk menjadi pengusaha mandiri sehingga penghasilan dapat ditingkatkan. Di sisi lain untuk masyarakat atau penduduk miskin yang telah memiliki usaha mandiri, maka strategi ini akan mengubah mereka menjadi pengusaha dengan dibantu oleh buruh atau menjadi pengusaha UMKM, sehingga berharap omzet penjualannya meningkat. Pada strategi ini akan digunakan pendekatan perbaikan atau peningkatan kualitas dalam proses produksi, dan pemasaran serta permodalan. Strategi Kluster 2 ini merupakan model pemberdayaan masyarakat desa yang berbasis kemitraan. Prosedur atau urut-urutan pada model/strategi Kluster 2 diuraikan sebagai berikut.

  • 1)    Mengobservasi dan mengidentifikasi jenis-jenis usaha yang ada dan potensial untuk dikembangkan di suatu daerah yang tergolong penduduknya miskin.

  • 2)    Mengobservasi dan mengidentifikasi berbagai keahlian, kemampuan, maupun kualifikasi yang dimiliki oleh penduduk/keluarga miskin di tempat tersebut. Kegiatan identifikasi ini dapat dilakukan oleh Pemerintah daerah yaitu oleh Disnaker dan bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi dan kabupaten/kota dan juga dengan pengusaha yang sesuai dengan jenis usaha yang berkembang di daerah tersebut

  • 3)    Mengobservasi dan mengidentifikasi berbagai keahlian, kemampuan, maupun kualifikasi yang dibutuhkan dalam proses produksi sesuai dengan usaha-usaha yang potensial untuk dikembangkan. Kegiatan identifikasi ini dapat dilakukan oleh Pemerintah daerah yaitu oleh Disnaker dan bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi dan kabupaten/kota, serta bekerja sama pula dengan pengusaha yang sesuai atau relevan dengan usaha yang akan dikembangkan.

  • 4)    Melakukan identifikasi berbagai kesesuaian dan ketidaksesuaian antara keahlian, kualifikasi, atau kemampuan yang dimiliki oleh penduduk/keluarga miskin di wilayah tersebut dengan berbagai keahlian, kualifikasi, atau kemampuan yang dibutuhkan. Kegiatan identifikasi ini dapat dilakukan oleh Pemerintah daerah yaitu oleh Disnaker dan bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi dan kabupaten/kota dan juga dengan pengusaha yang sesuai dengan jenis usaha yang berkembang di daerah tersebut

  • 5)    Memberikan pendidikan dan pelatihan Diklat) kepada para calon atau pengusaha mandiri untuk mendekatkan keahlian, kualifikasi, atau kemampuan yang dimiliki dengan yang dibutuhkan. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga Diklat dengan dikoordinasikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali dan kabupaten/kota, dan juga dengan para pengusaha yang relevan

  • 6)    Dengan Diklat ini mereka dari segi kemampuan telah siap untuk melakukan proses produksi sesuai dengan jenis usaha yang potensial untuk dikembangkan.

  • 7)    Sebelum proses produksi dapat direalisasikan, oleh karena mereka tergolong penduduk miskin, ada kemungkinan kepemilikan modalnya sangat lemah. Dengan kondisi ini pemerintah dapat membantu melalui Program PNPM mandiri perdesaan, atau program KUR, maupun program KTA yang memungkinkan untuk dilaksanakan sesuai dengan kondisi mereka. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh Pemerintah daerah yaitu oleh Disnaker dan bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi dan kabupaten/kota dan dikoordinasikan dengan lembaga keuangan atau lembaga lainnya

yang relevan

  • 8)    Setelah proses tersebut, maka proses produksi siap untuk dilaksanakan. Pada awal-awalnya proses ini dapat dipantau oleh perusahaan yang relevan, dengan pemantauan oleh pemerintah yaitu Disnaker dan bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi dan kabupaten/kota.

  • 9)    Setelah produk selesai dalam proses produksi, tahap berikutnya adalah kegiatan pemasaran. Oleh karena penduduk/masyarakat tersebut tergolong miskin, maka relasinya juga terbatas, maka disini peran perusahaan yang relevan dalam membantu pemasaran produk yang dihasilkan oleh penduduk/ masyarakat miskin tersebut yang sudah mulai bergerak menjadi pengusaha mandiri UMKM). Di sini peran kemitraan menjadi sangat penting untuk membantu pengembangan usaha penduduk miskin tersebut.

10)Proses kemitraan ini dapat berlanjut terus sesuai dengan kepentingannya atau sesuai dengan waktu yang dibutuhkan agar usaha-usaha tersebut menjadi mandiri dalam proses produksi, permodalan, maupun pemasarannya.

  • 11)    Dengan demikian model/strategi Kluster 2 ini adalah pemberdayaan masyarakat desa dengan berbasis kemitraan.

12)Seperti halnya pada model/strategi Kluster 1, model/strategi Kluster 2 ini juga akan sukses atau berhasil jika memang ada komitmen yang tinggi dari pemerintah, pengusaha, dan juga penduduk/ keluarga miskin tersebut dalam mendukung pencapaian tujuan ini yaitu mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan penduduk miskin yaitu menjadi pengusaha mandiri UMKM).

Dengan memperhatikan karakteristik penduduk miskin tersebut dan kemungkinan usaha-usaha yang dapat dikembangkan, maka dalam penelitian ini dihasilkan 2 buah model/strategi pengentasan penduduk miskin yang diberi nama Strategi Kluster 1, dan Strategi Kluster 2. Apapun strategi yang dipilih atau diterapkan keberhasilan atau kegagalannya sangat dipengaruhi oleh komitmen atau kesungguhan atau kebesaran jiwa dari semua komponen untuk membantu masyarakat atau keluarga miskin keluar dari belenggu kemiskinannya.

PENUTUP

Kesimpulan

Bertolak dari hasil pembahasan pada uraian sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan penting yang berkaitan dengan strategi kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Karangasem adalah, yaitu:

  • 1. Strategi Kluster 1

Untuk keluarga yang benar-benar miskin artinya

pendapatannya sangat rendah, dan dengan pendidikan yang rendah pula, maka keluarga seperti ini harus dibantu secara total untuk meningkatkan pendapatannya. Dengan ketiadaan kemampuan yang dimiliki oleh mereka baik secara ekonomi maupun sosial, maka untuk mereka ini harus diberikan kesempatan kerja melalui kegiatan putting out system. Mereka diberikan kesempatan untuk menghasilkan suatu produk atau mengerjakan suatu produk yang dimiliki oleh perusahaan tertentu. Jadi disini ada keterlibatan 3 pihak yaitu: 1) penduduk miskin; 2) perusahaan yang menghasilkan produk; 3) pemerintah dalam hal ini dapat diwakili oleh departemen perindustrian dan perdagangan dan dinas tenaga kerja. Pada model/ strategi ini sangat dibutuhkan komitmen dari ke 3 pihak tersebut untuk benar-benar berusaha meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin melalui kesempatan kerja yang diberikan kepada mereka. Tanpa komitmen dan kesadaran yang tinggi dari ketiga komponen tersebut, maka tujuan tidak akan pernah tercapai, dan kemungkinan besar akan gagal.

Strategi Kluster 2

Strategi Kluster 2 ini sudah lebih tinggi atau lebih mapan dibandingkan dengan Strategi Kluster 1. Penduduk miskin yang akan menggunakan strategi ini karakteristiknya berbeda dengan mereka yang ada pada Strategi Kluster 1. Dalam Strategi Kluster 2 ini, kelompok sasaran adalah penduduk miskin yang sebelumnya sebagai pekerja diarahkan untuk menjadi pengusaha mandiri sehingga penghasilan dapat ditingkatkan. Di sisi lain untuk masyarakat atau penduduk miskin yang telah memiliki usaha mandiri, maka strategi ini akan mengubah mereka menjadi pengusaha dengan dibantu oleh buruh atau menjadi pengusaha UMKM, sehingga berharap omzet penjualannya meningkat. Pada strategi ini akan digunakan pendekatan perbaikan atau peningkatan kualitas dalam proses produksi, dan pemasaran serta permodalan. Strategi Kluster 2 ini merupakan model pemberdayaan masyarakat desa yang berbasis kemitraan.

  • 5.2.    Rekomendasi

Untuk dapat merumuskan strategi kebijakan pembangunan yang tepat dalam mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Karangasem ada tiga hal yang direkomendasikan, yaitu:

  • 1)    Strategi kebijakan kemiskinan yang akan disusun atau dirumuskan hendaknya didasarkan pada hasil pendataan kemiskinan yang cermat, sehingga diperoleh data yang valid, reliabel, dan obyektif. Hanya data dengan kriteria seperti itu yang dapat digunakan untuk menyusun strategi pengentasan kemiskinan yang tepat apakah seseorang dapat digolongkan ke dalam Strategi Kluster 1 atau Strategi Kluster 2.

  • 2)    Strategi pengentasan kemiskinan yang telah berhasil dirumuskan tidak otomatis akan dapat

memecahkan masalah kemiskinan, karena hal ini masih memerlukan dukungan (moral dan material), kerja sama (kemitraan), dan komitmen dari berbagai pihak, baik penduduk miskin, pemerintah (Disnaker, Disperindag, Dinas Sosial), pengusaha, maupun penyandang dana.

  • 3)    Prinsip bantuan yang diberikan kepada penduduk miskin agar disesuaikan dengan klusternya, lebih ditekankan untuk memberikan “kail” daripada “ikan”, sehingga mereka mampu keluar dari belenggu kemiskinan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Kepala BKKBN Pusat atas dana yang diberikan untuk melaksanakan penelitian ini. Demikian pula atas kesediaannya memfasilitasi kegiatan seminar hasil penelitian ini pada akhir tahun 2012 di Jakarta. Untuk memperluas jangkauan diseminasi, hasil penelitian tersebut juga diterbitkan dalam Jurnal Piramida Edisi Juli tahun 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan Edisi kelima.

Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN Yo-

gyakarta.

Badan Pusat Statistik. 2005. Analisis Dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005. Jakarta: BPS

.......... 2009. Analisis Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Distribusi Pendapatan. Jakarta: BPS.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. 2011. Karangasem Dalam Angka. Amlapura: BPS Kabupaten Karangasem.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2011. Bali Dalam Angka. Denpasar: BPS Provinsi Bali.

.......... 2011. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Bali 2007-2011. Denpasar: Kerjasama Bappeda dan BPS Provinsi Bali.

Darwin, Muhadjir. 2010. “Tinjauan Implementasi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan” dalam Tukiran, Agus Joko Pitoyo, dan Pande Made Kutanegara (eds.), Akses Penduduk Miskin terhadap Kebutuhan Dasar. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. hlm 39-72

Effendi, Tadjuddin Noer. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Hadiwigeno, Soetatwo dan Agus Pakpahan. 1993. “Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia” dalam Prisma, 12(3):hlm.23-32.

Perwakilan BKKBN Provinsi Bali. 2012. Profil Pendataan Keluarga Tahun 2011 Provinsi Bali. Denpasar: BKKBN Provinsi Bali.

Saleh, Kusmadi. 2008. Panduan Analisis Data Hasil Survei. Jakarta: BPS Pusat.

Surbakti, Soedarti. 2007. “Upaya Pemantauan Kemiskinan dan Pembangunan Milenium di Tingkat Pusat” dalam Payung Surbakti (ed.), Upaya Pemantauan dan Evaluasi Program Pelayanan Sosial Ibu dan Anak Melalui Indikator Pembangunan Milenium di Indonesia. Jakarta: BPS. hlm 1-38.

Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi edisi kesembilan. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Er-langga.

14

PIRAMIDA Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia