PIRAMIDA Vol. IX No. 1 : 15 - 23

ISSN : 1907-3275

Peluang Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Pegawai Perempuan di Pemerintah Daerah di Provinsi Bali

AA IN Marhaeni, AA Ayu Sriathi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana email: [email protected]

ABSTRACT

Education and training is a very important activity to be implemented in order to improve the competence of civil servants. A regulation governing the education and training of civil servants is the Indonesian Government Regulation Number 101 Year 2000 on Education and Job Training for Civil Servants. Improving the competence of civil servants through education and training become important in the career advancement of civil servants, education and training is often a requirement to fill a particular position. If the opportunity to participate in different training among civil servants of men and women, it will create different competencies, and in the end there are different opportunities for certain positions.

The purpose of the research was to examine the perceptions of female civil servants (PNS) of their opportunities to participate in Education and Training at the Provincial Government of Bali. Respondents in this study were female civil servant who has held echelon positions of echelon 4 to 2 in all Local Government of Regencies / City and Province of Bali, which numbered 310 people. Samples were taken with a random sampling method. Data were collected through interviews and in-depth interviews. Data analysis technique used is descriptive statistic that comes with a descriptive analysis.

The results showed the majority of respondents (over 90%) of respondents have completed the Education and Training, both Leadership Education and Training , Functional, and Technical Education and Training. Respondents who have not followed Leadership Education and Training are civil servants who had served echelon 4, and immediately follow the Leadership Education and Training 4. Respondents perceive that the functional and technical Education and Training are directly benefitted and related to their duties as compared with Leadership Education and Training, and they also found that it is useful for their work. Based on the existing data and the opinions of respondents, it can be seen that the higher the levels of leadership education and training the lower the chances of female civil servants to participate in the Leadership Education and Training, even for Leadership Education and Training I, the chance of female civil servants are very low. The suggestions that can be put forward that there should be a policy of affirmative action to follow the higher level of Leadership Education and Training , in order to achieve a higher equal opportunity to attend the Education and Training.

Keywords: education and training, opportunities, female civil servants

  • I.    PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam menunjang karier pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Daerah (Pemda), baik di Pemda tingkat II, maupun di Pemda tingkat I, peranan pendidikan dan pelatihan sangat penting. Peluang pegawai untuk mengikuti Diklat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal dari pegawai yang bersangkutan. Seringkali seorang pegawai tidak dapat meningkatkan karier atau jabatannya hanya gara-gara belum memiliki sertifikat secara formal tentang Diklat tertentu meskipun secara nyata dalam pekerjaannya pegawai tersebut sangat dapat diandalkan. Dengan kata lain untuk meningkatkan kompetensi seorang PNS kegiatan diklat menjadi demikian penting karena melalui kegiatan inilah seorang pegawai akan dapat meningkatkan kualifikasi dirinya termasuk sebagai syarat dalam berkompetisi untuk memperoleh

jabatan tertentu. Demikian pentingnya kegiatan diklat ini bagi pengembangan pegawai menyebabkan pemerintah perlu mengaturnya melalui peraturan pemerintah.

Peraturan pemerintah yang mengatur tentang Diklat ini adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Tujuan Diklat Sesuai dengan pasal 2 peraturan pemerintah tersebut adalah: 1) meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi; 2) menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa; 3) memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat; 4) menciptakan kesamaan visi dan pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum

dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik. Dengan tujuan yang telah dirumuskan tersebut diharapkan dicapai sasaran Diklat yaitu terwujudnya PNS yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan persyaratan jabatan masing-masing.

Jenis Diklat sesuai dengan peraturan pemerintah tersebut ada 2 yaitu Diklat Prajabatan dan Diklat Dalam Jabatan. Sesuai dengan pasal 5, Diklat Prajabatan merupakan syarat pengangkatan CPNS menjadi PNS yang terdiri dari Diklat Prajabatan Golongan I, Golongan II, dan Golongan III. Diklat dalam jabatan ada 3 jenis yaitu Diklat Kepemimpinan, Diklat Fungsional, dan Diklat Teknis. Diklat Kepemimpinan (Diklatpim) ini dilaksanakan untuk mencapai kompetensi kepemimpinan aparatur pemerintah yang sesuai dengan jenjang jabatan struktural sesuai dengan pasal 9. Pasal 11 menyebutkan bahwa Diklat Fungsional dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi yang sesuai dengan jenis dan jenjang jabatan fungsional masing-masing. Diklat Teknis dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas PNS, sebagaimana yang tercantum pada pasal 12 ayat 1 peraturan pemerintah tersebut. Jika diperhatikan jenis diklat yang ada, pelaksanaannya dapat di daerah masing-masing, namun ada juga yang dilaksanakan di luar daerah kabupaten/kota ataupun di luar provinsi, dalam hal ini di luar Provinsi Bali.

Pelaksanaan Diklat di luar daerah inilah yang mungkin dapat menjadi kendala atau hambatan bagi perempuan untuk mengikutinya, mengingat peran reproduktif yang dijalaninya seperti mengandung, melahirkan, dan menyusui. Jika perempuan sedang menjadi peran reproduktif ini lalu memperoleh tugas untuk mengikuti diklat di luar daerah, maka besar kemungkinan pegawai perempuan tersebut akan menolak atau menunda keberangkatannya jika masih ada kesempatan untuk itu. Apabila hal tersebut terjadi berarti peluang untuk meningkatkan kompetensinya akan tertunda dan penolakan tersebut tidak menutup kemungkinan akan dijadikan sebagai salah satu penilaian atau alasan untuk tidak memberikan kesempatan diklat yang lain pada periode berikutnya. Peluang untuk mengikuti diklat yang dimaksudkan di sini adalah peluang atau kesempatan yang diberikan oleh institusi kepada pegawai perempuan yang bersangkutan maupun peluang bersedia diambil oleh pegawai perempuan jika kesempatan itu ada. Dengan demikian peluang yang dimaksudkan di sini adalah peluang yang sudah direalisasikan ke dalam bentuk keikutsertaan dalam diklat yang diselenggarakan baik di daerah maupun di luar daerah.

Rumusan masalah dan Tujuan penelitian

Dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan, teori, maupun hasil penelitian yang relevan dan sepertinya ada perbedaan peluang antara pegawai laki-laki dan perempuan

dalam mengikuti pendidikan dan pelatihan (Diklat), maka dalam tulisan ini dapat dirumuskan masalah penelitiannya adalah bagaimanakah persepsi pegawai perempuan (PNS) mengenai peluang mereka untuk mengikuti Diklat di Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji persepsi pegawai perempuan (PNS) tentang peluangnya untuk mengikuti Diklat di Pemerintah Daerah Provinsi Bali.

  • II.    KAJIAN KEPUSTAKAAN

Berbagai batasan atau konsep tentang pendidikan dan pelatihan (Diklat) telah disampaikan oleh para ahli. Jika diperhatikan atau dipahami tentang konsep Diklat tersebut adalah sebuah upaya yang disengaja untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu berkaitan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital) yang dimiliki oleh para pegawai. Secara sederhana Diklat dilaksanakan untuk memperoleh peningkatan kemampuan pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya, tidak hanya secara teknis, namun juga berkaitan dengan sikap yang dibutuhkan dalam melaksanakan sebuah pekerjaan. Harapan yang ingin dicapai oleh manajemen dalam pelaksanaan Diklat adalah peningkatan produktivitas dan kinerja pegawai pada masa yang akan datang. Dalam Pasal 1 PP RI Nomor 101 tahun 2000, Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS, dinyatakan Pendidikan dan Pelatihan jabatan PNS yang selanjutnya Diklat adalah proses penyelenggaraan mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan PNS.

Simamora (1997) menyatakan bahwa pelatihan (training) adalah proses sistematik pengubahan perilaku para karyawan dalam suatu arah guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam sebuah pelatihan akan diciptakan sebuah kondisi atau lingkungan dimana para peserta pelatihan dapat memperoleh atau mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan, dan perilaku yang spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan. Notoatmojo (2003) menyatakan pendidikan dan pelatihan merupakan upaya pengembangan sumber daya manusia, yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian manusia. Pendidikan umumnya berhubungan dengan persiapan calon tenaga kerja yang dibutuhkan oleh suatu organisasi, sedangkan pelatihan lebih berkaitan dengan peningkatan kemampuan maupun ketrampilan tenaga kerja dalam tugasnya tertentu. Fokus dari pelatihan atau training ini adalah untuk menyediakan keahlian-keahlian khusus bagi karyawan atau peserta pelatihan, dan juga untuk mengoreksi atau memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam pekerjaan yang dapat mempengaruhi kinerja mereka.

Senada dengan konsep atau definisi pendidikan dari beberapa sumber yang telah disebutkan Bernardin dan Russell (1998) menyatakan pelatihan adalah suatu upaya untuk meningkatkan kinerja peserta. Hal ini biasanya

berhubungan dengan perubahan terhadap pengetahuan khusus, ketrampilan, sikap, dan perilaku peserta pelatihan. Untuk menjamin pelatihan yang dilaksanakan efektif, maka pelatihan yang dilakukan hendaknya memuat materi pengalaman belajar dari suatu aktivitas organisasi tertentu yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan organisasi. Sebuah pelatihan agar memiliki efektivitas yang tinggi seharusnya mengikuti 3 tahapan antara lain: 1) melakukan penilaian (assessment) terhadap kebutuhan pelatihan sesuai dengan kebutuhan organisasi; 2) pengembangan (development) yaitu merancang materi dan metode pelatihan; 3) melakukan evaluasi yaitu menetapkan kriteria untuk melakukan evaluasi terhadap keberhasilan pelatihan seperti perubahan ketrampilan, pengetahuan, dan perubahan sikap.

Seringkali pelatihan dibedakan dengan pendidikan (education) dimana pendidikan dianggap lebih luas ruang lingkupnya. Pendidikan ditujukan untuk pengembangan diri individu yang umumnya berkaitan dengan pendidikan formal di sekolah. Pelatihan umumnya mempunyai tujuan segera dibandingkan dengan pendidikan, dan berlangsung dilingkungan organisasi. Meskipun ada sedikit perbedaan pemahaman antara pelatihan (training) dan pendidikan (education), namun dalam pelatihan yang dilakukan oleh para pegawai di pemerintah daerah baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, pelatihan tersebut sering disebut sebagai Diklat (pendidikan dan pelatihan) seperti pendidikan dan pelatihan pimpinan yang sering disebut sebagai Diklat Pim. Diklat Pim ini misalnya tidak hanya ditujukan untuk jabatan yang sedang dipegang misalnya, namun ada juga tujuan untuk mempersiapkan pegawai sebagai calon untuk menduduki jabatan tertentu di masa yang akan datang. Dengan demikian dalam pembahasan berikutnya pelatihan akan disebut sebagai pendidikan dan pelatihan atau Diklat.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, beberapa pertimbangan yang digunakan antara lain 1) dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik sesuai dengan tuntutan nasional maupun global, maka sangat diperlukan aparatur yang memiliki kompetensi jabatan yang memadai untuk mampu dalam menyelenggarakan Negara dan pembangunan; 2) untuk menciptakan aparatur yang memiliki kompetensi tersebut diperlukan peningkatan mutu profesionalisme, sikap pengabdian dan kesetiaan pada perjungan bangsa dan Negara, semangat kesatuan dan persatuan, dan pengembangan wawasan PNS melalui Diklat jabatan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari usaha pembinaan PNS secara menyeluruh. Selain itu terdapat satu pertimbangan lainnya yaitu bahwa Diklat yang akan dilaksanakan mengacu pada kompetensi jabatan. Dengan pertimbangan tersebut dapat dimaknai bahwa pelaksanaan Diklat untuk PNS dilakukan sesuai dengan kompetensi jabatan yang diharapkan atau yang

dituju. Dengan perkataan lain Diklat PNS dilaksanakan untuk memperoleh kompetensi tertentu.

Kompetensi ini ditegaskan dalam Bab V tentang Kurikulum dan Metode Diklat pasal 17 ayat (1) PP RI Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, yang menyatakan bahwa kurikulum Diklat mengacu pada standar kompetensi jabatan. Pasal ini secara eksplisit dan implisit menunjukkan bahwa pelaksanaan Diklat sudah sesuai dengan teori yang ada yaitu pelaksanaan Diklat untuk meningkatkan kinerja sebuah organisasi melalui peningkatan kompetensi peserta pelatihan. Pasal 17 ayat (2) menyebutkan bahwa penyusunan dan pengembangan kurikulum Diklat dilakukan dengan melibatkan pengguna lulusan, penyelenggara Diklat, peserta dan alumni Diklat, serta unsur ahli lain. Pasal dan ayat ini juga sudah relevan dengan teori khususnya Teori dari Bernardin dan Russell (1998), khususnya dalam poin kedua yang berkaitan dengan development, yaitu menyangkut perancangan materi pelatihan dan metode pelatihan yang digunakan. Materi dan metode pelatihan yang digunakan di dalam setiap pelatihan tentu saja akan berbeda sesuai dengan jenis Diklat yang akan dilaksanakan. Untuk di PNS jenis Diklat yang dilaksanakan dapat berupa Diklat Prajabatan, Diklat Pim, Diklat Teknis, dan Diklat Fungsional yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga perancangan materi dan metode yang digunakan tentunya akan berbeda. Kondisi ini ditegaskan dalam pasal 17 ayat (3), (4), dan (5) yang menyebutkan secara berturutan bahwa kurikulum Diklat Prajabatan dan Diklat Pim ditetapkan oleh instansi Pembina, kurikulum Diklat Fungsional ditetapkan oleh instansi Pembina jabatan fungsional, dan kurikulum Diklat Teknis ditetapkan oleh instansi teknis yang bersangkutan. Pasal dan ayat ini menunjukkan bahwa metode dan materi Diklat harus sesuai dengan jenis Diklat yang dilaksanakan.

Berkaitan dengan peluang untuk mengikuti Diklat di PNS, perlu dilihat peraturan yang mengatur tentang peserta Diklat yaitu Bab IV Peraturan Pemerintah Pasal (13) sampai pasal (16) pada Bab IV, pada PP RI Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Dalam Bab tersebut diatur tentang siapa peserta Diklat sesuai dengan jenis Diklat yang diikuti. Untuk peserta Diklat Prajabatan adalah semua Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), seperti yang disebutkan dalam pasal (13), jadi peserta Diklat ini adalah mereka yang belum menjadi PNS. Peserta Diklatpim adalah PNS yang akan atau telah menduduki jabatan structural yang disebutkan dalam pasal (14) peraturan tersebut. Pasal ini menunjukkan seorang PNS yang akan menduduki jabatan tertentu dapat mengikuti Diklatpim, artinya mereka dipersiapkan kemampuan dan kompetensinya untuk menduduki sebuah jabatan tertentu. Secara ideal kondisi ini yang sebenarnya lebh baik daripada mengikuti Diklatpim setelah memegang jabatan tertentu. Dalam kenyataan dari hasil observasi di beberapa instansi pemerintah yang lebih banyak dilaksanakan

adalah seorang PNS mengikuti Diklatpim dalam jenjang tertentu setelah diangkat dalam sebuah jabatan. Hal ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain berkaitan dengan sumber daya yang dibutuhkan akan lebih banyak jika sebelum menduduki jabatan seorang PNS telah mengikuti Diklatpim karena belum tentu nantianya dia diangkat dalam sebuah jabatan, sehingga PNS yang diangkat harus dididik dan dilatih lagi sedangkan sumber daya telah digunakan untuk mereka yang tidak diangkat. Selain itu Diklatpim pada mereka yang belum menduduki jabatan juga dapat menyebabkan mereka merasa prustasi jika tidak diangkat padahal mereka telah mengikuti Diklatpim. Dengan pertimbangan tersebut, maka pada umumnya PNS mengikuti Diklatpim segera setelah mereka menduduki jabatan pada level tertentu. Jadi secara peraturan pelaksanaan ini tidak menyalahi mengingat dalam pasal (14) membolehkan mereka yang akan akan atau yang telah menduduki jabatan tertentu.

Pada pasal (15) peraturan pemerintah tersebut menyebutkan bahwa peserta Diklat Fungsional adalah PNS yang akan atau telah menduduki Jabatan Fungsional tertentu, jadi pasal ini dapat disimpulkan PNS yang mengikuti Diklat Fungsional boleh setelah menduduki jabatan fungsional tersebut atau belum. Pasal (16) peraturan pemerintah tersebut menyatakan peserta Diklat Teknis adalah PNS yang membutuhkan peningkatan kompetensi teknis dalam pelaksanaan tugasnya. Pasal ini secara implisit menegaskan bahwa PNS yang mengikuti Diklat Teknis adalah PNS yang telah memiliki tugas atau jabatan tertentu yang dipandang penting untuk meningkatkan kompetensinya secara teknis. Jika diperhatikan pasal-pasal yang mengatur tentang peserta Diklat, tidak ada secara eksplisit maupun implisit mensyaratkan tentang jenis kelamin peserta Diklat. Hal ini berarti siapun dia apakah laki-laki atau perempuan memiliki kesempatan yang tidak dibatasi oleh peraturan untuk mengikuti berbagai jenis Diklat, meskipun setiap jenis Diklat memiliki persyaratan tertentu, namun tidaklah berkaitan dengan persyaratan yang menyangkut jenis kelamin dari para peserta. Dengan demikian secara konseptual tidak ada perbedaan atau diskriminasi bagi peserta Diklat jika dilihat dari indikator jenis kelamin, namun tentu ada persyaratan lainnya yang berlakuk sama baik bagi PNS laki-laki maupun perempuan.

  • III.    METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian dilaksanakan di beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Responden pada penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan yang memegang jabatan eselon dari eselon IV sampai eselon II. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2011. Jumlah responden sebanyak 310 orang yang diambil dengan metode pengambilan sampel random sampling/ pengambilan sampel acak. Selain itu ada juga beberapa

orang informan yang diteliti untuk melengkapi informasi yang telah diperoleh dari responden. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 yaitu sumber data primer yang diperoleh langsung dari responden dan para informan, serta data sekunder yang antara lain diperoleh dari laporan-laporan yang telah dibuat oleh instansi terkait. Beberapa metode pengumpulan data dapat digunakan dalam penelitian seperti yang disampaikan oleh Cooper dan Emory (1997). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara/interview yang didasarkan atas instrumen penelitian yang telah disiapkan sebelumnya, dan juga dilakukan observasi untuk mengamati situasi kerja. Pengumpulan data bagi para informan dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview). Setelah data dikumpulkan dilakukan editing terhadap kuesioner yang masuk sebelum data tersebut di entry untuk diolah dan dilanjutkan dengan analisis data. Teknik analisis statistik yang digunakan dalam tulisan ini adalah statistik deskriptif yang dilanjutkan dengan analisis secara deskriptif.

  • IV.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Manfaat dan Efektivitas Diklat

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan dianalisis dapat disampaikan beberapa hal. Hasil wawancara dengan salah seorang informan yang berstatus sebagai atasan pegawai perempuan, peran reproduktif perempuan tidaklah selalu dijadikan alasan untuk menolak untuk mengikuti diklat. Peran reproduktif yang dimaksud antara lain misalnya mengandung, melahirkan maupun menyusui. Meskipun dalam kondisi hamil ada juga pegawai perempuan yang mengikuti diklat prajabatan, sampai akhirnya melahirkan di tempat diklat. Mungkin pegawai perempuan ini memandang kesempatan tersebut harus dimanfaatkan agar tidak tertunda pengangkatannya sebagai PNS. Hal tersebut juga sesuai dengan pasal 6 ayat 1 dan 2 yang menyatakan CPNS wajib diikutsertakan dalam Diklat Prajabatan selambat-lambatnya 2 tahun setelah pengangkatannya sebagai CPNS. CPNS wajib mengikuti dan lulus Diklat Prajabatan untuk diangkat sebagai PNS. Pasal 6 tersebut akan dapat menjadi pemicu atau memberi motivasi pegawai perempuan untuk mengikuti Diklat Prajabatan begitu ada kesempatan, meskipun masih dalam kondisi hamil atau sedang memiliki balita. Jika dalam 2 tahun belum mengikuti prajabatan, hal itu akan dapat menjadi masalah dalam pengangkatannya sebagai PNS. Hal seperti ini mungkin tidak akan dijumpai pada pegawai laki-laki, karena kapanpun mereka ditugaskan untuk mengikuti diklat mereka tidak akan ada halangan akibat peran reproduktif. Dampak selanjutnya dari kondisi ini adalah kesempatan untuk meraih peluang karier lebih tinggi bagi pegawai perempuan sedikit banyak akan terhalang oleh peran tersebut, apalagi jika memiliki atasan laki-laki yang tidak sensitif gender apalagi yang cenderung bersikap bias gender.

Berdasarkan hasil pengumpulan data jauh lebih sedikit persentase responden yang belum pernah mengikuti diklat yaitu hanya sekitar 7 persen (dari 310 orang responden), sedangkan sisanya lebih dari 90 persen sudah pernah mengikuti salah satu diklat baik diklatpim, maupun diklat teknis. Mereka yang sudah pernah mengikuti diklat juga merasakan bahwa diklat yang diikuti bermanfaat untuk pekerjaan mereka dimana lebih dari 90 persen yang merasakan demikian, bahkan di antara mereka sekitar 50 persen yang menyatakan sangat bermanfaat. Secara umum jika diklat dirasakan bermanfaat bagi pekerjaan mereka, maka kemungkinan besar diklat tersebut sesuai dengan bidang tugas. Pada penelitian ini juga ditanyakan mengenai kesesuaian diklat dengan bidang tugas pada saat itu yaitu pada saat diklat diikuti. Jawaban responden dapat dikatakan konsisten dengan pertanyaan sebelumnya dimana lebih dari 90 persen responden menyatakan bahwa diklat yang mereka ikuti sesuai dan sangat sesuai dengan bidang tugas. Jika diperhatikan diklat teknis yang mereka ikuti memang disesuaikan dengan bidang tugas yang pada saat itu dilakukan, misalnya pegawai yang bertugas di bidang keuangan tentu saja diklat teknis yang diikuti berkaitan dengan bidang keuangan. Contoh lain seorang pegawai perempuan yang bertugas di Dinas Lingkungan Hidup mengikuti Diklat Teknis Amdal A, B, dan C. Demikian pula pada saat bertugas di Dinas Pertanian pernah mendapat diklat tentang pemasaran usaha tani. Dengan beberapa contoh ini dapat diperkirakan secara umum bahwa diklat teknis yang diikuti memang sesuai dengan bidang tugas yang diemban.

Oleh karena pegawai yang mengikuti diklat teknis adalah pada saat pegawai tersebut memegang bidang tugas tertentu, maka seyogyanya hasil diklat yang diikuti dapat diterapkan. Selain itu responden sebagian besar menyatakan diklat yang diikuti sesuai atau sangat sesuai dengan bidang tugas, sehingga diharapkan dapat diterapkan. Hasil penelitian menunjukkan persentase jawaban responden tentang penerapan hasil diklat persis sama dengan jawaban pertanyaan tentang kesesuaian diklat dengan bidang pekerjaan. Lebih dari 90 persen responden menyatakan bahwa diklat yang mereka ikuti dapat diterapkan di bidang tugas mereka. Ada kemungkinan mereka yang menyatakan bahwa diklat yang mereka ikuti tidak sesuai atau tidak dapat diterapkan di bidang tugas mereka berkaitan dengan Diklatpim. Kenapa demikian, karena Diklatpim dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi kepemimpinan, tentu saja penerapan kompetensi kepemimpinan di tempat kerja barangkali tidak semudah penerapan hasil diklat teknis maupun fungsional. Kesesuaian atau penerapan kompetensi kepemimpinan di bidang tugas masing-masing, mungkin sangat situasional sifatnya, tidak dapat disamakan satu dengan yang lainnya. Kepemimpinan di sini menyangkut ilmu dan seni di dalam memimpin, setiap orang memiliki seni yang berbeda dalam menerapkan ilmu

kepemimpinan yang dimiliki. Dengan demikian apakah mereka akan merasa pengetahuan kepemimpinan yang dimiliki sesuai atau dapat diterapkan di bidang tugas akan sangat tergantung dari seni masing-masing orang. Jangan dilupakan yang dipimpin atau dikelola adalah orang yaitu dalam hal ini bawahan, yang sudah tentu memiliki tujuan dan pandangan yang berbeda mengenai tugas yang dibebankan atau tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Mengelola orang tentu saja lebih sulit daripada mengelola benda mati, dengan demikian penerapan kompetensi kepemimpinan cenderung akan lebih sulit daripada penerapan kompetensi teknis, sehingga hasil diklatpim akan dirasakan tidak sesuai atau tidak dapat diterapkan di bidang tugas. Selain itu tetap ada kemungkinan bahwa diklat teknis yang diikuti tidak sesuai dengan bidang tugas sehingga tidak dapat diterapkan dan tentu saja hasil diklat tersebut tidak bermanfaat dalam pekerjaan.

Sasaran diklat seperti yang telah disebutkan adalah agar PNS memiliki kompetensi yang sesuai dengan persyaratan jabatan masing-masing. Dengan kompetensi yang dimiliki oleh PNS yang telah mengikuti diklat diharapkan dapat diterapkan di bidang tugasnya masing-masing sehingga dapat meningkatkan kinerja jabatannya. Pelaksanaan diklat baik diklatpim, diklat teknis, maupun diklat fungsional sudah tentu membutuhkan sumber daya. Sumber daya yang telah dikeluarkan tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat dibidang pekerjaan sehingga ada peningkatan kinerja, dengan kata lain hasil diklat haruslah diterapkan oleh peserta diklat dan sebenarnya ada kewajiban moral peserta diklat untuk melakukan sosialisasi atau menyampaikan pengetahuan yang diperoleh kepada koleganya agar semakin meluas penyebaran pengetahuan tersebut. Untuk dapat menerapkan hasil diklat sesuai dengan bidang tugas, seyogyanyalah peserta diklat untuk sementara waktu harus tetap di bidang tugasnya sehingga dapat menerapkan hasil diklat. Namun demikian dalam kenyataannya seringkali setelah mengikuti diklat segera pegawai tersebut dipindahkan ke bidang lainnya, sehingga akhirnya tidak dapat menerapkan hasil dalam pembelajaran diklat yang telah diikuti. Jika kondisi seperti ini terjadi sudah dapat dipastikan diklat yang dilaksanakan tidaklah efektif karena kompetensi yang telah dimiliki tidak dapat diterapkan di bidang tugas. Bahkan mungkin yang sangat mengecewakan adalah seorang pegawai yang sedang mengikuti diklat sudah dirancang untuk dipindahkan ke bidang lain, sehingga sama sekali hasil diklat tidak dapat diterapkan di bidang tugas sesuai dengan harapan pada saat mengikuti diklat.

Untuk mengetahui bagaimana efektivitas dari diklat yang dapat diukur dari apakah seseorang peserta diklat segera dipindahkan setelah mengikuti diklat, dalam penelitian ini hal tersebut juga ditanyakan. Hasil penelitian menunjukkan cukup banyak responden yang mengaku bahwa mereka dipindahkan segera setelah mengikuti diklat yaitu lebih dari 30 persen. Jadi sekitar sepertiga dari responden pernah mengalami mereka dipindahkan tugas

ke bagian atau bidang lain segera setelah mereka mengikuti diklat. Dengan demikian mereka yang telah memperoleh pengetahuan maupun ketrampilan dalam diklat tidak akan dapat menerapkannya di bidang tugas mengingat dalam diklat teknis maupun fungsional yang diberangkatkan untuk mengikuti diklat adalah sesuai dengan tugas yang diemban. Kecuali untuk diklatpim barangkali masih dapat diterapkan di tempat lainnya karena pengetahuan atau ketrampilan tersebut lebih bersifat umum, sehingga cenderung dapat diterapkan di semua bidang tugas. Oleh karena itu peristiwa ini yaitu pemindahan segera setelah mengikuti diklat dapat dikatakan sebagai inefisiensi dalam pelaksanaan diklat, karena tujuan untuk meningkatkan kinerja atau kualitas pelayanan kepada publik melalui peningkatan kompetensi tidak akan tercapai.

Peluang Mengikuti Diklat Menurut Jenis Kelamin

Tujuan dari pelaksanaan Diklat adalah untuk meningkatkan kompetensi peserta Diklat. Bagaimanapun juga pegawai yang telah mengikuti diklat baik diklatpim, diklat teknis maupun diklat fungsional, dapat diperkirakan pengetahuannya akan bertambah dan akan ada kecenderungan kompetensi sesuai dengan diklat yang diikuti juga akan meningkat. Jika pegawai yang diberangkatkan mengikuti diklat peluangnya tidak sama antara pegawai laki-laki dan pegawai perempuan dimana pegawai laki-laki yang memiliki peluang yang lebih besar, maka dampaknya kompetensi pegawai perempuan cenderung akan lebih rendah daripada laki-laki. Akibat selanjutnya peluang perempuan untuk menduduki jabatan eselon juga cenderung akan lebih rendah daripada laki-laki mengingat salah satu persyaratan untuk menduduki jabatan eselon adalah kompetensi yang dimiliki oleh calon. Persepsi mengenai kompetisi dalam diklat juga penting untuk mengetahui bagaimana peluang perempuan untuk mengikuti diklat. Dari hasil penelitian sekitar 10 persen responden (dari 310 orang responden) menyatakan bahwa kompetisi dalam diklat dalam kondisi yang tidak adil dan sangat tidak adil. Walaupun yang menyatakan bahwa kompetisi dalam diklat tersebut dalam kondisi adil dan sangat adil jauh lebih banyak daripada responden yang merasakan sebaliknya, namun hal tersebut tidak dapat diabaikan. Kondisi diklat yang tidak adil bagaimanapun kecilnya tetap mencerminkan ada diskriminasi, dan hal ini tentu saja akan mempengaruhi jumlah maupun persentase pegawai perempuan yang akan mengikuti diklat. Dari beberapa pengalaman informan dalam mengikuti diklat kelihatannya memang persentase perempuan yang mengikuti diklat jauh lebih rendah daripada peserta laki-laki. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan yang berstatus sebagai atasan dari pejabat perempuan yang sering mengikuti diklat.

“Pengalaman saya memang dari semua diklat yang pernah saya ikuti peluang perempuan untuk mengikuti diklat jauh lebih rendah, ini terbukti dari diklatpim yang saya ikuti. Pada

saat saya mengikuti diklatpim tingkat 1 di Jakarta dari 29 orang total peserta hanya 3 orang peserta perempuan”.

Dari apa yang dikatakan oleh salah seorang informan seperti yang tertera dalam pernyataan sebelumnya hanya sekitar 10 persen peserta diklat adalah perempuan, sedangkan sisanya yaitu sebanyak 9 kali lipat pesertanya adalah laki-laki. Hal ini tentu saja sangat tidak seimbang, dan hal ini lebih jauh berdampak pada sangat rendahnya calon perempuan untuk jabatan eselon 1. Apalagi untuk diklatpim tingkat 1 yang outputnya merupakan calon pemegang jabatan eselon dimana untuk tingkat provinsi hanya ada 1 jabatan eselon 1, diklatpim dengan tingkat yang lebih rendah sama juga kondisinya yaitu perserta perempuan jauh lebih sedikit.

Untuk wilayah Provinsi Bali, lembaga yang berhak untuk menyelenggarakan diklat, baik diklatpim, diklat teknis, diklat fungsional, maupun diklat prajabatan adalah Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Bali. Dengan demikian jika pemerintah daerah kabupaten/kota akan melaksanakan diklat prajabatan, maka diklat tersebut akan diselenggarakan di Badan Diklat Provinsi Bali. Di Badan Diklat Provinsi Bali ini tersedia akomodasi untuk penginapan sekitar 120 kamar dan jika setiap kamar dapat diisi 2 orang peserta, maka Badan Diklat ini mampu menampung lebih dari 200 orang peserta. Di Badan Diklat ini diklat yang diselenggarakan selama ini adalah Diklat Prajabatan, diklatpim, diklat teknis, dan diklat fungsional. Dilihat dari segi jumlah, maka peserta diklat yang paling banyak adalah diklat prajabatan yang diselenggarakan secara periodik baik untuk calon pegawai di tingkat Provinsi Bali maupun di tingkat kabupaten/kota. Diklatpim yang diselenggarakan adalah diklatpim tingkat IV dan tingkat III, sedangkan untuk diklatpim tingkat II dan tingkat I diselenggarakan di luar Provinsi Bali. Untuk tingkat Provinsi Bali secara umum menyelenggarakan diklatpim tingkat III dan tingkat IV hampir setiap tahun sekali, sedangkan untuk wilayah kabupaten/kota belum tentu setiap tahun mengirim peserta untuk mengikuti diklatpim, diklat tehnis, maupun diklat fungsional karena keterbatasan dana. Dana diklat untuk kabupaten/kota sangat banyak terserap untuk diklat prajabatan mengingat CPNS paling lambat 2 tahun sudah mengikuti diklat prajabatan semenjak tanggal SK CPNS diterbitkan, sehingga dana diklat lebih banyak difokuskan untuk itu, sehingga CPNS tidak merasa ketakutan tentang status mereka.

Dari data yang berhasil diperoleh di Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Bali untuk peserta diklatpim baik diklatpim tingkat IV maupun tingkat III jauh lebih banyak persertanya adalah laki-laki. Kondisi ini terjadi baik untuk wilayah provinsi maupun untuk tingkat kabupaten/kota. Berikut disampaikan perkembangan peserta Diklatpim tingkat IV untuk tingkat Provinsi Bali maupun beberapa daerah kabupaten/kota.

Tabel 1. Perkembangan peserta diklatpim tingkat IV menurut jenis kelamin tahun 2005- 2010 di Provinsi Bali dan beberapa kabupaten/kota (orang, %)

No

Pemda

Tahun

Laki-laki

Perempuan

Total

(%)

(%)

Orang

%

1

Provinsi Bali

2005

61,54

38,46

39

100,00

2

Provinsi Bali

2006

60,00

40,00

35

100,00

3

Provinsi Bali

2007

52,50

47,50

40

100,00

4

Provinsi Bali

2009

75,00

25,00

40

100,00

5

Provinsi Bali

2010

62,86

37,14

35

100,00

6

Buleleng

2006

86,67

13,33

30

100,00

7

Klungkung

2006

69,23

30,77

39

100,00

8

Klungkung

2008

66,67

33,33

36

100,00

9

Karangasem

2006

75,00

25,00

24

100,00

10

Karangasem

2008

76,00

24,00

50

100,00

11

Kota Denpasar

2008

55,00

45,00

40

100,00

Sumber: Badan Diklat Provinsi Bali, 2010

Dari data yang tercantum dalam Tabel 1 dapat dilihat bahwa persentase peserta perempuan yang mengikuti diklatpim tingkat IV selalu lebih rendah daripada peserta laki-laki. Pelaksanaan diklatpim tingkat IV dari tahun 2005 sampai tahun 2010 peserta dari Kabupaten Buleleng pada tahun 2006 memiliki persentase peserta perempuan yang paling rendah di antara daerah-daerah yang lainnya, sedangkan peserta dari Provinsi Bali pada tahun 2007 memiliki persentase teringgi. Kota Denpasar pada tahun 2008 memiliki peserta perempuan cukup tinggi yang menempati urutan kedua setelah Provinsi Bali. Dari semua periode diklatpim tersebut belum ada persentase yang seimbang antara peserta laki-laki dan perempuan, hanya Provinsi Bali tahun 2007 dan Kota Denpasar tahun 2008 yang mendekati keseimbangan dalam persentase. Kondisi peserta untuk diklatpim tingkat III tidak jauh berbeda dengan diklatpim tingkat IV, seperti Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Perkembangan peserta diklatpim tingkat III menurut jenis kelamin tahun 2005- 2009 di Provinsi Bali dan beberapa kabupaten/kota (orang, %)

No

Pemda

Tahun

Laki-laki

Perempuan

Total

(%)

(%)

Orang

%

1

Provinsi Bali

2005

70,00

30,00

40

100,00

2

Provinsi Bali

2006

75,00

25,00

40

100,00

3

Provinsi Bali

2007

70,00

30,00

40

100,00

4

Provinsi Bali

2007

75,00

25,00

40

100,00

5

Provinsi Bali

2009

81,58

18,42

38

100,00

6

Badung

2005

65,00

35,00

40

100,00

7

Badung

2009

85,00

15,00

40

100,00

8

Klungkung

2005

77,50

22,50

40

100,00

9

Karangasem

2005

80,00

20,00

30

100,00

10

Buleleng

2006

78,38

21,62

37

100,00

11

Gianyar

2007

71,79

28,21

39

100,00

12

Kota Denpasar

2007

80,00

20,00

40

100,00

13

Kota Denpasar

2009

90,00

10,00

20

100,00

14

Jembrana

2007

73,08

26,92

26

100,00

15

Buleleng

2008

82,50

17,50

40

100,00

Sumber: Badan Diklat Provinsi Bali, 2010

Dari data pada Tabel 2 terlihat bahwa diklatpim tingkat III yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah Bali dan beberapa kabupaten/kota dari tahun 2005 sampai dengan 2009 menunjukkan persentase peserta

perempuan kondisinya lebih memprihatinkan daripada diklatpim tingkat IV. Persentase peserta perempuan paling tinggi dimiliki oleh Kabupaten Badung pada tahun 2005 yang mencapai 35 persen dimana persentase ini masih lebih rendah daripada persentase teringgi untuk diklatpim tingkat IV yang mencapai 47,50 persen.

Demikian pula persentase terendah pada diklatpim tingkat III mencapai hanya 10 persen yang terdapat di Kota Denpasar tahun 2009, dimana persentase ini juga lebih rendah daripada persentase terendah untuk diklatpim tingkat IV yang mencapai 13,33 persen. Pola peserta diklatpim perempuan berdasarkan jenjang atau tingkatannya sama dengan pola pemegang jabatan eselon perempuan dimana semakin tinggi jenjang diklatpim semakin rendah persentase perempuan yang menjadi pesertanya. Jika diklatpim ini digunakan sebagai persyaratan untuk menduduki jabatan eselon, maka dapat dipastikan calon perempuan akan jauh lebih sedikit daripada calon laki-laki. Jauh lebih rendahnya peserta diklatpim perempuan juga dapat dipengaruhi oleh lebih sedikitnya PNS perempuan dibandingkan dengan PNS laki-laki.

Jumlah PNS perempuan dan laki-laki sekarang ini tentu dipengaruhi oleh jumlah rekrutmen sebelumnya. Hasil rekrutmen PNS akan menghasilkan jumlah Calon Pegawai Negeri Sipil atau yang sering disebut CPNS dan CPNS ini akan menjadi PNS setelah menikuti diklat prajabatan. Salah satu syarat seorang pegawai untuk diangkat sebagai pemegang jabatan eselon adalah berstatus sebagai PNS. Dengan demikian rekrutmen CPNS menurut jenis kelamin juga menjadi penentu PNS dan akhirnya menentukan calon untuk mengikuti diklatpim yang pada gilirannya mempengaruhi calon pemegang jabatan eselon. Perbandingan rekrutmen CPNS menurut jenis kelamin begitu penting artinya karena pada saat berikutnya akan menentukan proporsi perempuan yang berhasil memegang jabatan eselon. Untuk memperoleh informasi bagaimana proporsi laki-laki dan perempuan dalam tahap rekrutmen, indikator yang digunakan adalah jumlah peserta diklat prajabatan. Peserta diklat prajabatan merupakan hasil rekrutmen CPNS selama 2 tahun terakhir, sehingga data ini dapat dengan baik menjadi cerminan kondisi rekrutmen menurut jenis kelamin.

Diklat prajabatan ini juga diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Latihan Provinsi Bali yang tidak hanya mendidik dan melatih CPNS pemerintah daerah Provinsi Bali, namun juga CPNS dari kabupaten/kota, sehingga dalam waktu setahun ribuan CPNS telah mengikuti diklat prajabatan di badan diklat ini. Diklat prajabatan ini dibedakan antara diklat prajabatan untuk golongan III dan diklat prajabatan golongan II & I, dimana golongan II dan I pelaksanaannya digabungkan yang dari segi aturan dibolehkan. Berikut ini disampaikan data diklat prajabatan golongan III pada tahun 2008 dan 2009 untuk berbagai pemerintah daerah. Diklat prajabatan untuk golongan III ini pesertanya adalah tamat sarjana (S1), karena pada saat melamar persyaratan pendidikannya adalah sarjanan.

Persyaratan pendidikan menjadi penting pada saat menjadi calon pemegang jabatan eselon.

Dari data yang tercantum dalam Tabel 3, pada 2 periode tersebut ada kenaikan persentase perempuan yang mengikuti diklat prajabatan golongan III bahkan pada tahun 2009 hampir semua pemerintah daerah, peserta perempuannya lebih banyak daripada laki-laki, kecuali Kabupaten Jembrana dan Klungkung masih di bawah 50 persen. Dilihat dari persentase perempuan yang memegang jabatan eselon pada tahun 2008 memang Kabupaten Jembrana memiliki persentase yang paling rendah di antara kabupaten/kota di Provinsi Bali. Di antara 9 pemerintah daerah hanya pemerintah daerah Provinsi Bali yang sedikit mengalami penurunan persentase perempuan meskipun masih di atas 50 persen pada tahun 2009, sedangkan 8 pemerintah daerah lainnya mengalami kenaikan persentase peserta perempuan. Kondisi ini akan menjadi kondisi yang menguntungkan ke depannya bagi calon-calon yang akan mengikuti diklatpim dan calon pemegang jabatan eselon, yang akan dapat lebih menjamin kesetaraan gender di bidang jabatan eselon di masa depan. Jika ke depan peserta diklat prajabatan terus menerus persentase peserta perempuannya lebih tinggi daripada laki-laki, maka dapat dipastikan pada waktu yang akan datang kesetaraan akan dapat tercapai, dan bahkan tidak menutup kemungkinan persentase perempuan yang akan menduduki jabatan eselon dapat lebih banyak daripada laki-laki.

Tabel 3. Jumlah peserta diklat prajabatan golongan III menurut jenis kelamin tahun 2008-2009 Pemda Provinsi Bali dan Pemda Kabupaten/Kota (orang, %)

Tahun 2008

Tahun 2009

No

Pemda

Laki-laki (%)

Peremp. (%)

Total (orang)

Laki-laki (%)

Peremp. (%)

Total (orang)

1

Jembrana

55,81

44,19

86

52,78

47,22

73

2

Tabanan

45,45

54,55

77

40,45

59,55

89

3

Buleleng

60,00

40,00

100

44,79

55,21

96

4

Denpasar

46,67

53,33

15

37,04

62,96

27

5

Gianyar

52,22

47,78

90

38,71

61,29

31

6

Klungkung

64,71

35,29

34

54,84

45,16

31

7

Bangli

58,43

41,57

89

46,01

53,99

213

8

Karangasem

66,19

33,81

139

46,27

53,73

67

9

Prov. Bali

39,55

60,45

177

45,19

54,81

104

Sumber: Badan Pendidikan dan Latihan Bali, 2008, 2010

Tabel 4. Jumlah peserta diklat prajabatan golongan II dan I menurut jenis kelamin tahun 2009 di Pemda Provinsi Bali dan pemda kabupaten/ kota (orang, %)

No

Pemda

Laki-laki

Orang (%)

Perempuan

Total

Orang

(%)

Orang

%

1

Jembrana

26

46,43

60

53,57

112

100,00

2

Buleleng

239

71,77

94

28,23

333

100,00

3

Tabanan

142

50,90

137

49,10

279

100,00

4

Badung

412

64,78

224

35,22

636

100,00

5

Gianyar

166

65,35

88

34,65

254

100,00

6

Klungkung

124

71,26

50

28,74

174

100,00

7

Bangli

559

59,79

376

40,21

935

100,00

8

Karangasem

269

59,51

183

40,49

452

100,00

9

Denpasar

166

62,88

98

37,12

264

100,00

10 Provinsi Bali

258

73,93

91

26,07

349

100,00

Sumber: Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Bali, 2010

Selain diklat prajabatan golongan III, Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Bali juga menyelenggakan diklat prajabatan golongan II dan I yang pelaksanaannya digabung. Diklat prajabatan untuk golongan II adalah untuk CPNS yang berpendidikan SLTA, sedangkan diklat prajabatan golongan I bagi CPNS yang berpendidikan SLTP. Berikut disampaikan data peserta diklat prajabatan golongan II dan I pada tahun 2009.

Data perserta diklat prajabatan golongan II dan I yang diselenggarakan pada tahun 2009 di Badan Diklat Provinsi Bali secara total menunjukkan jumlah yang sangat bervariasi menurut kabupaten/kota. Kabupaten Bangli mengirim peserta diklat prajabatan golongan II dan I yang paling banyak, dan yang paling sedikit Kabupaten Jembrana. Jumlah peserta diklat prajabatan ini sangat dipengaruhi oleh anggaran yang direncanakan dalam APBD oleh pemerintah daerah masing-masing. Satu hal yang dapat dibandingkan antara peserta diklat prajabatan golongan III dengan golongan II dan I dari segi jenis kelamin adalah perbedaan persentasenya. Persentase peserta perempuan pada diklat prajabatan golongan III jauh lebih tinggi daripada persentasenya pada golongan II dan I. Hal ini dapat dibandingkan untuk setiap kabupaten/ kota maupun provinsi. Semua kabupaten/kota dan Provinsi Bali memiliki persentase peserta diklat perempuan untuk prajabatan golongan III lebih tinggi daripada peserta diklat prajabatan golongan II dan I kecuali Kabupaten Jembrana. Kabupaten Jembrana dalam kondisi yang berkebalikan dengan semua wilayah lainnya dimana di kabupaten ini persentase peserta diklat perempuan golongan III lebih rendah daripada yang terdapat pada golongan II dan I dengan perbandingan 47,22 persen dengan 53,57 persen. Pada diklat prajabatan golongan III hanya 2 kabupaten yaitu Jembrana dan Klungkung persentase peserta perempuan lebih rendah daripada 50 persen, sedangkan kabupaten/kota lainnya dan juga Provinsi Bali masing-masing sudah mencapai di atas 50 persen.

Sebaliknya untuk diklat prajabatan golongan II dan I semua kabupaten/kota termasuk Provinsi Bali memiliki persentase peserta perempuan lebih rendah daripada laki-laki atau semuanya kurang dari 50 persen persentasenya, hanya Kabupaten Jembrana yang memiliki persentase peserta perempuan lebih tinggi daripada laki-laki yaitu lebih tinggi daripada 50 persen. Ke depan kondisi ini akan berdampak pada calon pemegang jabatan eselon, dan dapat dikatakan di Kabupaten Jembrana calon yang berasal dari perempuan akan lebih rendah daripada laki-laki, mengingat sekarang saja dari keikutsertaan mereka dalam diklat pra jabatan golongan III jauh lebih rendah daripada persentase peserta laki-laki. Barangkali kondisi yang sekarang akan berlanjut dimana persentase perempuan yang memegang jabatan eselon di kabupaten ini paling rendah dibandingkan dengan kabupaten/ kota lainnya. Peserta diklat prajabatan golongan II dan I akan jauh lebih rendah peluangnya untuk menduduki jabatan

eselon dibandingkan dengan golongan III, sehingga boleh dikatakan jumlah peserta diklat prajabatan golongan III menurut jenis kelamin adalah salah satu penentu jumlah perempuan yang berhasil memegang jabatan eselon nantinya.

Satu hal yang boleh dikatakan kondisinya sudah sedikit terbalik dibandingkan dengan kondis umum yaitu lebih tingginya persentase perempuan yang nengikuti diklat prajabatan golongan III dibandingkan dengan golongan II dan I. Secara umum pendidikan laki-laki lebih tinggi daripada pendidikan perempuan, sehingga jika analogi ini berlaku, maka persentase laki-laki sebagai peserta diklat prajabatan golongan III akan seyogyanya lebih tinggi daripada persentase perempuan, namun dalam kenyataannya hal tersebut tidak terjadi. Kondisi seperti ini terjadi hampir di seluruh tingkatan pemerintahan daerah, dan dari segi kesetaraan gender di bidang jabatan eselon tentu saja kondisi ini akan sangat dapat mendukung tujuan tersebut. Secara umum pada saat proses rekrutmen calon PNS, tidak dibedakan atau tidak dipersyaratkan jenis kelamin tertentu. Dengan demikian pelamar baik laki-laki maupun perempuan akan bersaing untuk mengisi lowongan tersebut, dan jika calon PNS perempuan yang jumlahnya lebih banyak dalam mengikuti prajabatan golongan III dapat diartikan bahwa dalam rekrutmen yang lebih banyak berhasil dalam memperebutkan lowongan tersebut adalah perempuan. Secara tidak langsung kondisi ini juga mencerminkan bahwa dari segi kemampuan intelektual perempuan tidaklah kalah dengan laki-laki, sehingga semestinya ke depan peluang perempuan untuk dapat memperoleh jabatan eselon setara dengan laki-laki.

  • V.    SIMPULAN DAN SARAN

Dari apa yang telah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden yang merupakan pejabat eselon sudah pernah mengikuti diklat dalam jabatan baik diklat teknis, diklat fungsional maupun diklatpim. Bagi responden yang mengatakan belum pernah, ada kemungkinan akan segera mengikuti diklatpim setelah menduduki jabatan eselon IV. Bagi responden yang memegang jabatan eselon III atau apalagi eselon II sudah pasti mereka sudah pernah mengikuti diklat. Secara umum diklat yang diikuti bermanfaat di bidang tugas dan sesuai dengan pekerjaannya sehingga kemungkinan besar akan dapat diterapkan. Namun demikian masih terjadi

inefisiensi dalam pelaksanaan diklat karena cukup banyak yang menyatakan mereka segera dipindahkan setelah mengikuti diklat terutama untuk diklat teknis. Dalam hal kompetisi untuk mengikuti diklat masih ada sebagian kecil responden yang menyatakan tidak adil atau bahkan ada yang menyatakan sangat tidak adil. Meskipun jumlah ini relatif kecil, namun persaingan yang tidak adil tentu saja akan dapat berpengaruh pada semangat kerja mereka, oleh karena itu persaingan yang dirasakan adil oleh semua calon tentu akan dapat meningkatkan peluang perempuan untuk maju. Ada kecenderungan semakin tinggi eselon semakin sedikit perempuan yang memegang jabatan tersebut, sehingga terjadi kecenderungan untuk Diklatpim yang semakin tinggi, semakin sedikit perempuan yang mengikutinya. Dengan demikian dapat dikatakan semakin tinggi jabatan (semakin tinggi Diklatpim), maka semakin kecil kemungkinan perempuan untuk mengikuti Diklat tersebut. Dengan memperhatikan persentase peserta perempuan yang mengikuti diklat prajabatan golongan III, dapat diharapkan dimasa depan kesetaraan gender di bidang jabatan eselon akan lebih memungkinkan untuk diwujudkan.

Untuk Diklatpim tingkat I dimana dari pengalaman yang ada sangat sedikit PNS perempuan yang berhasil mengikuti Diklatpim tingkat I tersebut, sehingga perlu kebijakan affirmative action untuk jangka waktu tertentu pada jenjang diklat ini sehingga kesetaraan gender dapat ditingkatkan. Kondisi ini juga akan turut mendukung Tujuan Pembangunan Millennium (Millennium Development Goals/MDGs) yaitu tujuan yang ketiga, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Bali. 2010. Laporan Peserta Diklat. Denpasar: Badan Diklat Provinsi Bali.

Bernardin, H, J. Russel, Joyce E. A. 1998. Human Resource Management. Second Edition, An Experiential Approach. New York: Irwin Mc Graw-Hill.

Cooper, Donald R, Emory. C. William. 1997. Metode Penelitian Bisnis. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Notoatmojo, S. 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil.

Simamora, Henry. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Kedua. Yogyakarta: Penerbit STIE YKPN.

I Volume IX No. 1 Juli 2013