JURNAL SIMBIOSIS II (2): 226- 235

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana

ISSN: 2337-7224

September 2014

HISTOLOGI HATI MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIBERI EKSTRAK DAUN LAMTORO (Leucaena leucocephala)

LIVER HISTOLOGY MICE (Mus musculus L.) GIVEN THE EXTRACT OF LEAVES LAMTORO (Leucaena leucocephala)

I Wayan Andi Yoga Kurniawan1, Ngurah Intan Wiratmini2, Ni Wayan Sudatri3 1Jurusan Biologi, F. MIPA, Universitas Udayana 2Laboratorium Struktur dan Perkembangan Hewan 3Laboratorium Fisiologi Hewan

Email : [email protected]

INTISARI

Lamtoro (Leucaena leucocephala) telah lama digunakan sebagai obat tradisional, misalnya sebagai obat untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah, sehingga diindikasikan dapat digunakan sebagai obat diabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gangguan fungsi hati secara miskroskopis akibat perlakuan ekstrak daun lamtoro pada mencit (Mus musculus L.). Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan empat perlakuan yaitu satu kontrol dan tiga perlakuan (P0 : 0 g/kg bb (kontrol), PI : 0,5 g/kg bb, P2 : 1 g/kg bb, dan P3 : 1,5 g/kg bb.). Masing-masing perlakuan terdiri dari 6 ekor mencit sebagai ulangan. Perlakuan diberikan satu kali sehari selama 30 hari secara oral (metode gavage). Pada hari ke-31 mencit dikorbankan dan dibuat sayatan histologi hati untuk melihat kerusakan yang terjadi (degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan apoptosis di sekitar vena sentralis). Data dianalisis dengan menggunakan uji ANOVA dan uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui tingkat perbedaan antar perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan apoptosis baik pada kontrol maupun perlakuan, namun secara statistik perbedaan itu tidak signifikan. Mencit yang diberikan perlakuan dengan ekstrak daun lamtoro dosis 0 g/kg bb ; 1 g/kg bb ; 1,5 g/kg bb tidak menyebabkan kerusakan pada hati mencit.

Kata kunci : Leucaena leucocephala, histologi hati, Mus musculus L.

ABSTRACT

Leucaena (Leucaena leucocephala) has been used as traditional medicine, such as drugs to decrease the level of blood glucose, so it can be used as drug to indicate diabetes. The aim of this research is to study the histopathological change of mice’s liver given leucaena leaf extract. This research used 24 male mice that were divided into 4 groups by completely randomized design. Group P0 (control) were given 0,9 % NaCl, and groups P1, P2, and P3 were given 0,5 g / kg bw, 1 g / kg bw, and 1,5 g / kg bw leucaena’s leaf extract by oral administration respectively. The treatment were given daily for 30 days. All of the mice were necropsied at day 31, and the liver were taken to examine their histopathological change. Histopathological change examination were based on the present hydropic degeneration, fatty degeneration, and apoptosis surround central vein. Result of statistically analised by ANOVA and Kruskal-Wallis method indicated no significance difference among the control and treatments. There was no significance toxicity effect of leucaena leaf extract of all treatment dosage on mice liver.

Keywords: Leucaena leucocephala, liver histology, Mus musculus L.

PENDAHULUAN

Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat di Indonesia maupun di negara lain. Tumbuhan mengandung bahan kimia yang memiliki banyak manfaat termasuk untuk bahan pembuatan obat berbagai jenis penyakit yang secara tradisional sering diolah menjadi jamu. Salah satu tanaman yang digunakan sebagai pengobatan alternatif adalah lamtoro (Leucaena leucocephala). Penggunaan lamtoro sebagai obat tradisional lebih aman karena efek sampingnya relatif lebih kecil bila digunakan secara benar dan tepat, dan lebih murah karena biasanya tanaman yang digunakan mudah dicari dan tumbuh liar di alam (IPTEKnet, 2005). Akan tetapi tanaman lamtoro mengandung metobolit sekunder yaitu mimosin, asam sianida, dan tanin. Mimosin dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan apabila dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dan terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama. Asam sianida dapat menyebabkan pembengkakan kelenjar tiroid, keracunan akut, dan keracunan kronis. Ada juga tanin yang dapat menurunkan palatabilitas pakan dan penurunan kecernaan protein (Siregar, 1994).

Pemanfaatan daun dan biji tanaman lamtoro sebagai obat sakit perut dan obat

cacing telah dilaporkan oleh Saroso dan Soenardi (1995). Selain itu lamtoro juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan obat untuk menyembuhkan penyakit seperti diabetes, susah tidur, radang ginjal, disentri, meningkatkan gairah seksualitas, peluruh haid, herpes zoster, luka terpukul, bisul, eksim, patah tulang, luka tusuk, dan pembengkakan (Wijayakusuma, 2005).

Obat tradisional dari bahan tanaman yang penggunaannya dengan cara diminum tentu akan melalui proses pencernaan di dalam saluran pencernaan, untuk selanjutnya diserap oleh usus. Setelah diserap oleh usus, bahan-bahan tersebut akan didetoksifikasi di dalam hati. Oleh karena itu hati merupakan organ yang sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia yang masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan sering menjadi sasaran utama dari efek racun zat kimia.

Karena lamtoro dimanfaatkan sebagai obat tradisional yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh ekstrak daun lamtoro terhadap histologi hati.

METODE PENELITIAN

Hewan coba dalam penelitian ini adalah 24 ekor mencit jantan dewasa (Mus

musculus L.). Mencit yang digunakan mempunyai berat badan 21-26 gram. Sebelum diberi perlakuan, mencit diaklimatisasi selama tujuh hari. Kandang yang digunakan selama pemeliharaan berupa bak plastik yang berukuran panjang 25 cm, lebar 20 cm dan tinggi 15 cm yang ditutup dengan penutup kawat dan dialasi dengan sekam. Mencit dibagi menjadi empat perlakuan (P0, P1, P2, P3) ditempatkan dalam delapan kandang yang berbeda, masing-masing kandang terdiri dari tiga ekor mencit. Mencit diberi pakan berupa konsentrat CP 551 dan air minum secara ad libitum.

Ekstrak daun lamtoro dibuat dari 1 kg daun lamtoro tua, selanjutnya dipotong-potong halus dan dikeringanginkan dalam ruang tanpa sinar matahari langsung hingga menjadi simplisia, dimaserasi dalam etanol 96,5% dan disaring sehingga diperoleh filtrat. Ampas sisa penyaringan dimaserasi kembali dengan proses yang sama, filtrat yang diperoleh digabung dengan filtrat yang pertama. Selanjutnya filtrat dievaporasi dengan rotary evaporator sampai terbentuk larutan yang lebih pekat sehingga diperoleh ekstrak kasar dan siap digunakan dalam penelitian (Harbone, 1987). Selanjutnya ekstrak daun lamtoro dibuat larutan dengan campuran NaCl 0,9%. Dosis yang diberikan adalah kontrol (P0) : 0 g/kg bb, perlakuan 1 (PI) :

0,5 g/kb bb, P2 : 1 g/kg bb dan P3 : 1,5 g/kg bb selama 30 hari. Perlakuan diberikan secara oral terhadap hewan coba sebanyak 0,2 ml dengan menggunakan spuit yang ujungnya ditumpulkan. Untuk kontrol diberikan pelarut ekstrak lamtoro berupa NaCl 0,9%. Selama dalam perlakuan dilakukan penimbangan terhadap bobot mencit setiap tujuh hari.

Pada hari ke-31, mencit (Mus musculus L.) dibedah, sebelum dibedah masing-masing mencit ditimbang bobot badannya dengan menggunakan timbangan digital. Selanjutnya organ hati diambil dan dilakukan penimbangan. Setelah data bobot hati diperoleh selanjutnya organ hati difiksasi selama 24 jam kemudian dibuat sayatan histologi hati dengan menggunakan metode parafin. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah bobot hati dan kerusakan mikroskopis hati (degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan apoptosis di sekitar vena sentralis). Pengamatan pada organ hati dilakukan dengan menghitung jumlah sel yang mengalami kerusakan, dan sel hati yang normal di lima lapang pandang sekitar vena sentralis. Pada masing-masing lapang pandang dihitung jumlah sel hati (hepatosit) yang mengalami kerusakan kemudian dibagi dengan jumlah hepatosit dalam satu lapang pandang.

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji ANOVA dan Kruskal-Wallis.

HASIL

Secara makroskopis tidak nampak adanya perbedaan warna maupun

morfologi hati antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Warna hati yang diamati baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan sama-sama berwarna merah kecoklatan atau merah pekat (Gambar 3). Menurut Dorland, (2002) hati yang normal terlihat berwarna merah pekat, jika ditekan terasa agak keras.



Gambar 3. Morfologi dan warna organ hati

Keterangan : A. Kontrol, B. P1 dosis 0,5 g/kg bb, C. P2 dosis 1 g/kg bb

D. P3 dosis 1,5 g/kg bb.

Pada tabel 2 tersaji rerata bobot hati mencit yang diberi ekstrak daun lamtoro. Pengukuran bobot hati mencit dilakukan untuk mengetahui pengaruh

ekstrak daun lamtoro terhadap bobot hati mencit dan untuk mengetahui perbedaan antara bobot hati normal dengan bobot hati yang mengalami kerusakan. Hasil analisis

dengan uji ANOVA tidak ada perbedaan yang nyata antara bobot hati kelompok

kontrol dengan bobot hati kelompok perlakuan.

Tabel 2. Uji ANOVA rerata bobot hati mencit dengan perlakuan ekstrak daun lamtoro

(Leucaena leucocephala)

Parameter

Perlakuan

P0         P1         P2             P3

Bobot hati (g)

1,65±0,27a   1,60±0,30a   1,67±0,24a       1,50±0,23a

Keterangan : Huruf pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Tabel 3. Uji ANOVA rerata degenerasi hidropis dengan perlakuan ekstrak daun lamtoro (Leucaena leucocephala)

Parameter

Perlakuan

P0

P1

P2

P3

Degenerasi Hidropis

9,01±3,43a

9,55±9,08a

8,78±5,47a

9,91±3,04a

Keterangan : Huruf pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Tabel 4. Uji Kruskal-Wallis dan rata - rata degenerasi lemak dan apoptosis dengan

perlakuan ekstrak daun lamtoro (Leucaena leucocephala)

Perlakuan

Ranking Mean

Chi Square

DL   Ap

P

Rata - rata

DL

Ap

DL

Ap

DL

Ap

P0

9,50a

8,75a

0,55

0,05

P1

14,67a

11,67a

2,16   3,82

0,54

0,2

0,92

0,87

P2

12,17a

15,17a

8

0,52

0,71

P3

13,67a

14,42a

1,62

1,52

Keterangan : Huruf pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). DL :

Degenerasi Lemak, Ap : Apoptosis.

Pengamatan yang dilakukan secara mikroskopis pada mencit yang diberi ekstrak daun lamtoro dengan dosis 0,5 g/kg bb, 1 g/kg bb, dan 1,5 g/kg bb tersaji pada Tabel 3 dan Tabel 4. Ditemukan beberapa kerusakan hepatosit seperti degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan apoptosis. Dengan uji ANOVA diperoleh hasil rerata sel hati yang mengalami degenerasi hidropis P0 = 9,01±3,43; P1 = 9,55±9,08; P2 = 8,78±5,47; dan P3 =

9,91±3,04. Hasil analisis statistik menggunakan uji ANOVA pada sel hati yang mengalami degenerasi hidropis tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) antara kontrol dengan perlakuan.

Untuk sel hati yang mengalami degenerasi lemak dan apoptosis diuji dengan Kruskal-Wallis, karena sebaran data tidak normal sehingga tidak bisa diuji dengan One Way ANOVA. Pada Tabel 4 ranking mean jumlah sel hati yang

mengalami degenerasi lemak menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dengan nilai Chi Square 2,16 dimana P0 = 9,50; P1 = 14,67; P2 = 12,17; dan P3 = 13,67. Sel hati yang mengalami apoptosis juga diuji dengan Kruskal-

Wallis dan diperoleh nilai ranking mean menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara kontrol dengan perlakuan (P>0,05) dengan nilai Chi Square 3,82 dimana P0 = 8,75; P1 = 11,67; P2 = 15,17; dan P3 = 14,42.



Gambar 5. Mikroskopis sel hati

Keterangan : A. Sel hati normal (P0) 1000x

  • B.    Sel hati yang mengalami degenerasi hidropis (P1) 600x

  • C.    Sel hati yang mengalami degenerasi lemak (P3) 400x

  • D.    Sel hati yang mengalami apoptosis (P3) 600x


Gambar 4. Grafik rata-rata Degenerasi Hidropis (DH), Degenerasi Lemak (DL), dan Apoptosis (Ap) sel hati mencit yang diberi ekstrak lamtoro

PEMBAHASAN

Kerusakan yang ditemukan pada sel hati (hepatosit) mencit yang diberi perlakuan ekstrak daun lamtoro dalam penelitian ini adalah berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan kematian sel tanpa peradangan (apoptosis). Degenerasi hidropis bisa terjadi karena terganggunya pompa natrium kalium dalam pengaturan keluar masuknya ion. Degenerasi hidropis merupakan perubahan yang bersifat sementara, jika diamati secara mikroskopis terlihat adanya vakuola-vakuola di dalam sitoplasma sel sehingga terlihat sel hati mengalami pembengkakan, dan sel hati terlihat berwarna lebih pucat (Gambar 5B). Degenerasi hidropis termasuk kerusakan yang ringan karena dapat sembuh dan sel hati menjadi normal kembali (reversible). Dari grafik garis (Gambar 4), kerusakan sel hati yang paling banyak dialami baik pada kontrol maupun perlakuan yang

diberi ekstrak daun lamtoro adalah kerusakan degenerasi hidropis, P3 mengalami kerusakan tertinggi sebanyak 9,91%, sedangkan P2 mengalami kerusakan paling rendah yaitu sebanyak 8,78%. Hasil analisis uji ANOVA jumlah sel hati yang mengalami degenerasi hidropis pada perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol (P>0,05).

Kelanjutan dari degenerasi hidropis sebelum mengalami kerusakan yang bersifat irreversible adalah degenerasi lemak. Degenerasi lemak merupakan perubahan morfologi dan penurunan fungsi organ hati yang disebabkan oleh akumulasi lemak yang terdapat di dalam sitoplasma sel hati, sehingga pada sel terlihat bercak-bercak lemak kecil berwarna jernih (Gambar 5C). Degenerasi lemak dapat terjadi pada kondisi iskemia, anemia, gangguan bahan tosik, kelebihan konsumsi lemak dan protein (Dannuri, 2009). Dari grafik (Gambar 4) dapat

dilihat bahwa degenerasi lemak terjadi pada semua hewan coba baik kontrol maupun perlakuan. Rerata degenerasi lemak paling tinggi terjadi pada P3 sebanyak 1,62%, sedangkan paling sedikit pada P2 0,52%. Peningkatan jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi lemak bisa disebabkan oleh komponen alkaloid yang terkandung di dalam ekstrak lamtoro yaitu mimosin yang bersifat toksik sehingga menghambat kerja enzim yang terlibat dalam metabolisme lipid intraseluler. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh El Tahir dan Ashour (1993), komponen alkaloid yang terkandung dalam ekstrak minyak jintan hitam menyebabkan peningkatan jumlah sel hati yang mengalami degenerasi lemak. Pada Tabel. 4 dapat dilihat pada P1 paling tinggi mengalami degenerasi lemak sebesar 14,67 tetapi pada P2 mengalami penurunan menjadi 12,27 dan naik lagi pada P3 menjadi 13,67. Namun berdasarkan uji statistik menggunakan Kruskal-Wallis tidak ada perbedaan yang nyata antara kontrol dengan perlakuan.

Sel hati jika terus menerus terkena zat toksik akan menyebabkan kematian sel. Apoptosis merupakan kerusakan yang bersifat irreversible. Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram, melibatkan satu atau sekelompok sel tanpa sel radang dan dapat terjadi pada kondisi normal

(fisiologis) maupun abnormal (patologis). Kerusakan apoptosis dalam penelitian terjadi pada kontrol maupun perlakuan. Apoptosis paling tinggi pada P3 sebanyak 1,52%, paling rendah pada P0 sebesar 0,05%, pada P1 sebesar 0,87%, kemudian mengalami penurunan pada P2 menjadi 0,71% (Gambar 4). Namun pada Tabel 4 dapat dilihat hasil uji statistik menggunakan Kruskal-Wallis menunjukksn hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antara kontrol dengan perlakuan.

Pemberian perlakuan dengan cara gavage kemungkinan menyebabkan hewan coba mengalami stres yang dapat memicu terjadinya kenaikan gula darah. Kenaikan gula darah menyebabkan peningkatan metabolisme hati yang berakibat terjadi kerusakan-kerusakan hati. Pada penelitian ini, dosis yang digunakan pada P2 sebesar 1 g/kg bb diduga mampu menurunkan kadar gula darah pada P2 akibat stres perlakuan sehingga terjadi penurunan jumlah rerata degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan apoptosis pada P2 (Gambar 4). Sejalan dengan penelitian Hardani (1991) bahwa dosis 1 g/kg bb ekstrak biji lamtoro merupakan dosis yang optimum untuk menurunkan kadar gula dalam darah tikus.

Pada mencit kontrol dalam penelitian ini ditemukan sel hati yang

mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan apoptosis. Kemungkinan penyebab kerusakan hati yang dialami pada mencit kontrol disebabkan oleh faktor lingkungan, faktor makanan yang diberi tidak higienis sehingga mengandung mikotoksin yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan (Bahri, 2005). Kerusakan sel hati berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan apoptosis pada kontrol dan perlakuan juga dilaporkan oleh Berata (2012) pada mencit yang diberi ekstrak daun ashitaba. Hal ini diduga mencit sudah menderita infeksi, atau gangguan yang lain misalnya kekurangan nutrisi dan oksigen, serta ketuaan sel.

Kerusakan sel hati berupa degenerasi hidropis dan degenerasi lemak akan mengakibatkan peningkatan bobot hati karena pada organ hati yang mengalami degenerasi hidropis terdapat kelebihan cairan pada sel hati, sedangkan pada organ hati yang mengalami degenerasi lemak, bobot hati akan bertambah karena terdapat akumulasi lemak. Pada penelitian ini, karena secara mikroskopis tidak menunjukkan kerusakan secara nyata, maka bobot hatinya juga masih di kisaran bobot hati normal. Bobot hati normal mencit dewasa berkisar antara 1,2 hingga 1,6 gram (Wresdiyati, 2006). Bobot hati mencit pada penelitian ini

berkisar antara 1,5 hingga 1,67 gram. Zat metabolit sekunder yang terdapat pada daun lamtoro seperti mimosin, asam sianida, dan tanin tidak menyebabkan kerusakan pada sel hati mencit. Kemungkinan karena dosis yang digunakan dalam penelitian ini tidak mengakibatkan gangguan metabolisme pada organ hati.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak daun lamtoro dengan dosis 0,5 g/kg bb, 1 g/kg bb, dan 1,5 g/kg bb selama 30 hari tidak menyebabkan perubahan histopatologi hati mencit (Mus musculus L.).

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih saya sampaikan kepada BBVET Denpasar dan semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini.

KEPUSTAKAAN

Bahri, S., R. Maryam., R. Widiastuti.

2005. Cemaran Aflatoksin pada Bahan Pangan dan Pakan di Beberapa Daerah Propinsi Lampung dan Jawa Timur. JITV. 10(3) : 236241.

Berata, I. K., I. W. Sudira., I. M. Swarayana., Indrayadnya. 2012. Perubahan Histopatologi Hati Mencit

(Mus musculus) yang diberikan Ekstrak Daun Ashitaba (Angelica keiskei). Buletin Veteriner Udayana. 4 (2).

Dannuri, H. 2009. Analisis Enzim Alanin Amino Tranferase (ALAT), Aspartat Amino Transferase (ASAT), Urea Darah, dan Histopatologis Hati dan Ginjal Tikus Putih Galur Sprague-Dawley Setelah Pemberian Angklak. J Teknol dan Industri Pangan 20 (1) : 1-9.

Dorland W. A. N., 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi XXIX. EGC. Jakarta.

El-Tahir, K. E., M. M. S. Ashour. 1993. The Cardiovascular Action of The Volatile Oil of The Black Seed (Nigella Sativa L.) in Rats. Alucidation of The Mechanism of Action. Gen Pharmacol. 24(5) : 2331

Harbone, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Penerbit ITB. Bandung.

Hardani, N., N. C. Soegiarso., A. S. Ranti. 1991. Pengujian Efek Ekstrak Biji Leucaena leucocephala (Lam) De Wit terhadap Kadar Glukosa Darah

Tikus. Sekolah Farmasi ITB http://bahan-alam.fa.itb.ac.id.

Bandung.

IPTEKnet. 2005. Tanaman Obat Indonesia.

Available at :

http://www.iptek.net.id/ind/pd.tanobat/vie w.php?id=94

Opened : 19.9.2013

Saroso, B., Soenardi. 1995. Lamtoro Sebagai Tanaman Obat Tradisional di Ngambre, Ngawi. Prosiding Seminar Etnobotani : 206

Siregar, B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya . Jakarta . Hal 16.

Wijayakusuma, H. 2005. Sehat Dengan Lamtoro.

Available at :

http://www.suarakarya.onl ine.com/news.html?id

Opened : 9.09.2013

Wresdiyati, T. 2006. Profil Imunohistokimia Superoksida Dismutasi (SOD) Pada Jaringan Hati Tikus dengan Kondisi Hiperkolesterolemia . Hayati. 13(3) : 85-89.