SIMBIOSIS XI (1): 118-126               http://ojs.unud.ac.id/index.php/simbiosis

Program Studi Biologi FMIPA UNUD

eISSN: 2656-7784

Maret 2023

KEANEKARAGAMAN SPESIES MOLUSKA DI HUTAN MANGROVE KAWASAN EKOWISATA KAMPOENG KEPITING, DESA TUBAN, BALI

DIVERSITY OF MOLLUSK SPECIES IN MANGROVE FOREST ECOTOURISM AREA KAMPOENG KEPITING, TUBAN VILLAGE, BALI

Warda Oktoh Pratiwi1*, Ni Made Suartini1, dan I Ketut Ginantra1 1)Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana,Bali, Indonesia–80361 *Email:[email protected]

INTISARI

Kampoeng kepiting adalah salah satu kawasan untuk mengupayakan konservasi ekowisata yang didukung oleh pemerintah melalui bantuan Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina. CSR adalah tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan untuk mengelola dan memanfaatkan potensi mangrove serta pembinaan pembibitan untuk akuakultur. Struktur komunitas moluska menjadi penciri kualitas mangrove dan menjadi daya tarik untuk kegiatan ekowisata dan akuakultur. Keberadaan moluska di hutan mangrove Kawasan Ekowisata Kampoeng Kepiting belum banyak informasinya sehingga penelitian ini dilakukan yang bertujuan untuk mengetahui spesies-spesies moluska dan tingkat keanekaragamannya di wilayah tersebut. Pengambilan sampel dilakukan pada zona mangrove alami dan zone mangrove reboisasi yaitu masing-masing lima plot pengambilan sampel. Pengambilan sampel moluska dilakukan dengan metode kuadrat berukuran 1mx1m. Sampel moluska yang diperoleh selanjutnya dibawa ke Laboratorium Taksonomi Hewan Program Studi Biologi untuk diidentifikasi. Spesies moluska yang ditemukan di hutan mangrove Kampoeng Kepiting sebanyak 12 spesies yaitu termasuk dalam kelas Gastropoda sebanyak 11 spesies dan kelas Bivalvia sebanyak 1 spesies. Tingkat keanekaragaman moluska secara umum termasuk sedang yaitu dengan nilai indeks 2.12.

Kata kunci:keanekaragaman, moluska, potensi ekowisata.

ABSTRACT

Kampoeng Kepiting is one of the areas to seek ecotourism conservation which is supported by the government through Pertamina's Corporate Social Responsibility (CSR) which is a social responsibility for environment assistance to manage and utilize the potential of mangroves and foster nurseries for aquaculture. The structure of the mollusk community characterizes the quality of mangroves and becomes an attraction for ecotourism and aquaculture activities. There is not much information about the existence of mollusks in the mangrove forest of the Kampoeng Kepiting Ecotourism Area, so this study was conducted to determine the types of mollusks and their level of diversity in the area. Sampling was carried out in the natural mangrove zone and the reforestation mangrove zone, each of them which was five sampling plots. Sampling of mollusks was carried out using the square method measuring 1mx1m. The mollusk samples obtained were then brought to the Anomal Taxonomy Laboratory in Biology Department for identification. There were 12 species of mollusks found in the Kampoeng Kepiting mangrove forest, including 11 species in the Gastropod class and 1 species in the Bivalvia class. The level of diversity of mollusks in general is moderate, with an index value of 2.12.

Keywords: diversity, mollusk, ecotourism potential.

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan terletak diantara Samudera Hindia dan Pasifik dengan lebih dari 17.000 pulau. Indonesia adalah negara bahari, dengan keanekaragaman hayati tinggi, salah satunya adalah moluska. Selain menempati habitat laut, habitat moluska lainnya adalah hutan mangrove atau hutan bakau, juga disebut sebagai rawa bakau, semak bakau atau mangal. Hutan mangrove adalah lahan basah produktif yang terdapat pada zona intertidal pesisir.

Kelompok moluska memiliki sebaran yang luas yaitu mulai dari laut India bagian barat hingga Pasifik Barat, dari Teluk Persia hingga Filipina, bagian utara dan timur Laut China, hingga Taiwan (Carpenter, 1998). Moluska ini juga tersebar luas di perairan Indonesia dan melimpah pada perairan pesisir, daerah mangrove hingga muara sungai (Aziz , 2008). Menurut Hotchkiss and Hall (2010), moluska yang hidup di ekosistem hutan mangrove mempunyai peran yang cukup penting yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung fungsi ekologis hutan mangrove.

Mangrove mampu menciptakan lingkungan yang aman bagi kehidupan laut untuk berkembang serta untuk mencegah abrasi lebih lanjut dari garis pantai dan menumbuhkan kembali daerah yang terkena dampak menjadi vegetasi mangrove yang subur. Hutan mangrove yang terletak di Desa Tuban, Bali dikembangkan sebagai kawasan ekowisata berbasis pembangunan ekonomi masyarakat yang dikenal dengan Kawasan Ekowisata Kampoeng Kepiting Mangrove, Desa Tuban, Bali. Kawasan tersebut merupakan kawasan dengan pengembangan pariwisata dengan konsep mass tourism yang menawarkan ekosistem mangrovenya sebagai daya tarik utama (Oka dan Mahagangga, 2017).

Penelitian tentang spesies moluska di hutan mangrove di Bali dilakukan Ginantra et al. (2020) yang menemukan 27 spesies moluska di tiga zona hutan mangrove Pejarakan, Bali dan Suartini et al. (2013) menemukan sebanyak 17 spesies moluska di Mangrove Information Center Ngurah Rai, Bali. Penelitian tentang spesies moluska di hutan mangrove Kawasan Ekowisata Kampoeng Kepiting, Desa Tuban belum pernah dilakukan sehingga penelitian ini perlu dilakukan untuk kepentingan sains dan konservasi ecotourism.

MATERI DAN METODE.

Pengambilan sampel moluska

Sampel moluska diambil pada zona mangrove reboisasi (stasiun I) dan zona mangrove alami (stasiun II) di hutan mangrove kawasan bagian utara Kampoeng Kepiting (Gambar 1) pada bulan Mei 2022 sampai dengan bulan Juni 2022. Kedua zona dipilih dengan alasan untuk membandingkan pengaruh kondisi hutan mangrove terhadap struktur komunitas moluska yang ada. Di masing-masing zona diambil lima plot dengan jarak antar plot adalah 50 m. Sampel moluska diambil menggunakan metode kuadrat berukuruan 1m x 1m. Untuk mengantisipasi individu yang terdapat dalam substrat maka dilakukan penggalian substrat sampai kedalaman 10 cm menggunakan bantuan alat cengkok. kondisi substrat dicatat dalam pengambilan data dan ditentukan apakah termasuk subtrat lumpur berpasir, berbatu, pasir berlumpur, lumpur, pasir.

Individu moluska yang diperoleh pada setiap kuadrat dimasukkan ke dalam botol koleksi berisi alkohol 70 % sebagai pengawet dan diberi keterangan. Semua sampel moluska yang diperoleh selanjutnya dibawa ke Laboratorium Taksonomi Hewan, Program Studi Biologi untuk diidentifikasi.

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Kawasan Ekowisata Kampoeng Kepiting.

Sumber: Google Maps Pro 2022.

Identifikasi sampel moluska

Identifikasi sampel moluska yang diperoleh dilakukan dengan mengamati karakter morfologinya kemudian diidentifikasi dengan mengacu pada Dharma (1988).

Analisis Data

Data moluska yang diperoleh selanjutnya dihitung indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan dominansinya (Krebs, 1978):

Indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H):

H = -∑ [ni/N x Ln ni/N)

keterangan:

ni= nilai penting spesies ke-i

N=total nilai penting semua spesies.

Nilai penting ditentukan dari 2 parameter yaitu :

Kerapatan relatif dhitung dengan rumus:

(Kr) = (Ni/∑N ) x 100%

keterangan:

Ni = densitas spesies ke-i

∑N = total densitas semua spesies

Frekuensi relatif dihitung dengan rumus:

(Fr) = (Fi/∑F ) x 100%

keterangan:

Fi = frekuensi kehadiran spesies ke-i

∑F = total frekuensi semua spesies

Nilai Penting tiap spesies dihitung dengan rumus:

(ni) = Kr + Fr

keterangan:

Kr = kerapatan relatif

Fr = frekuensi relatif

Kepadatan/Densitas dihitung dengan rumus:

D = Jumlah individu suatu spesies/luas plot

Nilai H'<1 menunjukkan keanekaragaman rendah, kestabilan komunitas rendah dan tekanan ekologis berat. Nilai 1,0<H'< 3,322 maka keanekaragaman sedang, kondisi ekosistem sedang, dan tekanan ekologis sedang. Nilai H’>3,322 maka keanekaragaman tinggi, stabilitas ekosistem tinggi, tekanan ekologis rendah.

Indeks kemerataan dihitung dengan rumus:

( E ) = H/lnS

keterangan:

H = indeks keanekaragaman

S = jumlah spesies.

Kisaran indeks kemerataan yaitu:

E = 0 – 1

E mendekati 0 artinya sebaran individu antar spesies tidak merata/ada spesies tertentu yang dominan

E mendekati 1, artinya sebaran individu antar spesies merata.

Indeks dominansi (D) dihitung dengan rumus:

∑(ni/N)2

keterangan:

ni= nilai penting tiap spesies

N = total nilai penting seluruh spesies.

Indeks dominansi berkisar antara 0-1, semakin kecil nilai indeks dominansi maka menunjukkan tidak ada spesies yang mendominsi serta sebaliknya semakin besar dominansi maka menunjukkan ada spesies tertentu yang mendominasi (Stiling, 1996). Nilai indeks dominansi 0- 0,5 menunjukkan dominansi rendah, 0,5-0,75, dominansi masuk pada kategori yang sedang, dan untuk kategori yang baik yaitu jika 0,75-1,0.

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskripstif dan disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.

HASIL

Jumlah keseluruhan spesies moluska yang ditemukan di kawasan hutan mangrove Kampoeng Kepiting adalah sebanyak 12 spesies, yang termasuk dalam kelas Gastropoda sebanyak 11 spesies dan kelas Bivalvia sebanyak 1 spesies. Pada stasiun I ditemukan spesies moluska lebih banyak dibandingkan dengan stasiun II meskipun keanekaragaman spesies mangrove di stasiun I lebih sedikit tetapi kerapatan antar individu mangrove cukup baik untuk menjadi area pemijahan bagi kelompok moluska. Spesies moluska dan kepadatan individu masing-masing spesie yang ditemukan tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Kepadatan individu masing-masing spesies yang ditemukan di kedua stasiun

Kelas

Spesies

Stasiun

Jumlah Total

I

II

Gastropoda

Assiminaea brevicula

43

45

88

Cerithidea cingulata

34

68

102

Chicoreus brunneus

1

-

1

Chicoreus capucinus

2

2

4

Faunus ater

-

1

1

Terebralia sulcata

15

16

31

Strombus gibberulus

1

2

3

Neritaplanospira

1

38

39

Neritacostata

4

-

4

Littorina scabra.

8

5

13

Telescopium telescopium

4

9

13

Bivalvia

Geloina erosa

8

16

24

Jumlah individu

121

202

323

Jumlah spesies

11

10

Tingkat keanekaragaman moluska secara umum di kawasan hutan mangrove Kampoeng Kepiting termasuk kategori sedang yaitu 2.12. Tingkat keanekaragaman di masing-masing stasiun juga termasuk kategori sedang yaitu stasiun I dengan indeks keanekaragaman 2.05 dan stasiun II juga dengan indeks keanekaragaman 2.05. Indeks dominasi kedua stasiun berada pada rentang 0-1 yang artinya tidak ada spesies yang mendominasi. Indeks keanekaragaman, kemerataan dan dominansi tersaji pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Indeks keanekaragaman, kemerataan, dan dominasi moluska secara umum di kawasan hutan mangrove Kampoeng Kepiting

Parameter

Nilai indeks

Indeks Keanekaragaman

2.12

Kemerataan

0.85

Dominansi

0.15

Tabel 3. Indeks keanekaragaman, kemerataan dan dominasi spesies moluska di masing-masing stasiun

Parameter

Stasiun

I

II

Indeks Keanekaragaman

2.05

2.05

Kemerataan

0.85

0.89

Dominansi

0.16

0.15

Tipe substrat yang teramati di kedua stasiun ada tiga tipe yaitu lumpur, lumpur berpasir dan pasir sedangkan tanaman mangrove yang terdapat di stasiun I dan stasiun II teramati tumbuh dengan kepadatan rapat antar satu individu dengan individu lainnya. Tipe substrat di masing-masing stasiun tersaji pada Tabel 4 sedangkan spesies mangrove yang teramati di masing-masing stasiun tersaji pada Tabel 5.

Tabel 4. Tipe substrat di masing-masing stasiun

Tipe substrat

Stasiun

I

II

Lumpur

Lumpur berpasir

Pasir

-

Keterangan: √ = ditemukan, - = tidak ditemukan

Tabel 5. Spesies mangrove yang teramati di masing-masing stasiun

Stasiun

Spesies

I                     II

Lumnitzera ravemoza

Rhizophora mucronata Bruguiera gymnorrhiza Sonneratia alba

-                 √

√            √

√            √

√            √

Keterangan: √ = ditemukan, - = tidak ditemukan

Gambar 2. Spesies mangrove yang ditemukan a (Bruguiera gymnorrhiza), b (Soneratia alba), c (Lumnitzera racemosa), d Rhizophora mucronata)

PEMBAHASAN

Moluska dan mangrove adalah asosiasi untuk siklus lingkungan yang baik dengan menyediakan nutrient yang dibutuhkan biota makrozoobentik yang hidup di kolom perairan laut dangkal, serta dapat mensukseskan usaha budidaya akuakultur. Moluska berperan sebagai detritor serta pengurai dan bahan utama kalsifikasi yang berasal dari cangkang moluska. Spesies moluska yang ditemukan di hutan mangrove Kampoeng Kepiting adalah 12 spesies. Jika dibandingkan dengan penelitian moluska di hutan mangrve lainnya maka spesies yang ditemukan di hutan mangrove Kampoeng Kepiting lebih sedikit dibandingkan dengan di hutan mangrove Pejarakan, Bali yaitu 27 spesies (Ginantra et al., 2020) dan di Taman Hutan Raya Ngurah Rai yaitu 22 spesies (Ratnasari dkk., 2015) di Mangrove Information Center Ngurah Rai, Bali yaitu sebanyak 17 spesies (Suartini et al., 2013)

Di kawasan hutan mangrove Kampoeng Kepiting, spesies dengan jumlah kepadatan tertinggi adalah Cerithidea cingulata sebanyak 102 individu individu/ m2, disusul oleh jumlah spesies Assiminaea brevicula yaitu 88 individu/m2 (Tabel 1). Pada stasiun I ditemukan spesies moluska lebih banyak dibandingkan dengan stasiun II meskipun keanekaragaman spesies mangrove di stasiun I lebih sedikit tetapi kerapatan antar individu mangrove cukup baik untuk menjadi area pemijahan bagi kelompok moluska.

Spesies Cerithidea cingulata ditemukan dengan jumlah total kepadatan individu terbanyak serta tersebar pada beberapa plot di semua zona mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa spesies ini memiliki toleransi yang besar di berbagai habitat mangrove. Fratini dkk. (2004) menyatakan bahwa Cerithidea cingulata memiliki distribusi yang luas dan kemampuan hidup pada berbagai spesies salinitas, pH, bahan organik, dan substrat. Lebih lanjut disebutkan pula bahwa Cerithidea cingulata berperan besar dalam jaring-jaring makanan, degradasi serasah mangrove dan daur hara dalam ekosistem mangrove.

Assiminaea brevicula tersebar di plot depan dan tengah kawasan mangrove. Habitat ini dicirikan oleh tipe habitat berlumpur dengan pasang naik. Ginting dkk. (2017) menyatakan bahwa Assiminaea brevicula merupakan hewan bentik yang umumnya menghuni daerah surut (intertidal zone). Spesies tersebut biasanya menempati bagian atas zona yang merupakan daerah surut rata-rata dan daerah tengah antara pasang naik dan surut. Spesies ini ditemukan pada permukaan substrat lumpur dan juga menempel pada batang mangrove.

Terebralia sulcata selain ditemukan pada substrat, juga ditemukan pada akar mangrove karena pada umumnya kedua spesies tersebut sering ditemukan menempel pada pohon mangrove (Dharma, 1988). Genus Terebralia termasuk anggota subkelas Prosobranchia yang terdapat dalam jumlah besar dan dominan pada permukaan substrat berlumpur di hutan mangrove.

Indeks keanekaragaman moluska secara umum termasuk sedang, dengan nilai 2.12 (Tabel 3), kemerataan spesies cukup baik dengan nilai kemerataan sedang dan komunitas stabil dengan nilai indeks 0.85, dengan kisaran indeks kemerataan mendekati angka 1, dimana suatu komunitas ekologi populasi telah melalui proses suksesi serta tidak berubah dan mencapai keseimbangan dengan ekosistem dan lingkungannya. Dominansi rendah dengan nilai indeks yang didapatkan 0.15 dan dapat dikatakan tidak ada spesies moluska yang mendominansi

kawasan hutan mangrove Kampoeng kepiting, Desa Tuban, Bali. Hal tersebut dipengaruhi oleh karena kawasan mangrove tersebut belum sempurna untuk menjadi habitat moluska, belum bisa sebagai nursery ground atau habitat pemijahan bagi organisme yang masih muda sebelum menjadi dewasa

Spesies moluska dari kelas Gastropoda tersebar di stasiun arah laut dan stasiun tengah. Gastropoda hidup di substrat berlumpur atau berpasir. Karakteristik habitat Gastropoda sesuai dengan tipe habitat pada stasiun menuju laut. Tipe subtrat di stasiun I adalah lumpur dan lumpur berpasir sedangkan di stasiun II adalah lumpur, lumpur berpasir dan pasir (Tabel 4). Tipe substrat lumpur yang tinggi dapat meningkatkan kelimpahan Gastropoda karena spesies substrat lumpur sangat disukai oleh organisme ini, dimana lumpur memperangkap nutrient dalam bentuk sedimen halus. Perbedaan tekstur substrat dapat menyebabkan perbedaan spesies moluska yang hidup pada substrat.

Tingginya kelimpahan Gastropoda terkait dengan kandungan bahan organik substrat yang tinggi dan spesies substrat yang mengandung lumpur. Pakaya dkk. (2017) juga menyatakan bahwa Gastropoda merupakan biota umum yang menempati tipe habitat mangrove dengan substrat berlumpur. Gastropoda ini pada umumnya berada di lumpur atau lumpur berpasir di daerah litoral, dan spesies tersebut terbenam sebagai “filter feeder” yang mengakumulasi bahan tersaring pada insangnya. Dalam proses penyaringannya, bakteri dan mikroorganisme lain di sekitarnya dapat menumpuk dan mencapai jumlah yang berbahaya untuk dikonsumsi oleh kelompok moluska, maka dari itu penting untuk memiliki kualitas perairan yang sehat untuk area pemijahan moluska dan sebagai bahan dekomposer pada bagian cangkangnya.

Telescopium telescopium adalah spesies asli yang mendiami kawasan hutan mangrove, tetapi sampel spesies Telescopium telescopium tidak begitu banyak dalam satu area kuadrat maupun dalam satu stasiun, hal ini menunjukkan bahwa spesies yang ditemukan di lokasi penelitian memiliki jumlah sedang namun peran moluska tersebut patut ditingkatkan melalui penanaman ulang bibit mangrove serta sosialisasi mengenai aturan mengambil dan mengoleksi cangkang moluska dalam jumlah yang wajar. Menurut Baderan (2019), perlu untuk mengatur kawasan mangrove Kampoeng Kepiting, Desa Tuban, Bali untuk pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.

Jumlah spesies mangrove yang ada pada kawasan hutan mangrove Kampoeng Kepiting, Desa Tuban, Bali tidak banyak, yakni Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza dan Lumnitzera racemoza. Adanya alih fungsi lahan kawasan mangrove menjadi area jalan tol dan dekat dengan bandar udara mengakibatkan kualitas biodiversitas mangrove tidak terlalu baik, dikarenakan adanya penebanganan dan penimbunan lahan mangrove pada stasiun II. Meskipun pada kawasan stasiun I memiliki kerapatan yang baik tetapi hanya sepanjang kurang lebih 70-90 meter dari kolom perairan dalam. Pada stasiun II, kawasan alami mangrove masih terlihat dan teramati kerapatan antar spesies mangrove cukup baik, untuk menjadi ekosistem bagi beberapa makhluk hidup pesisir.

SIMPULAN

  • 1.    Spesies moluska yang ditemukan di hutan mangrove Kampoeng Kepiting sebanyak 12 spesies yang termasuk dalam kelas Gastropoda sebanyak 11 spesies dan kelas Bivalvia sebanyak 1 spesies

  • 2.    Tingkat keanekaragaman moluska secara umum di hutan mangrove Kampoeng Kepiting termasuk sedang yaitu dengan nilai indeks 2.12.

UCAPAN TERIMAKASIH

Erimakasih diucapkan kepada Bapak Drs. Ida Bagus Made Suaskara, MSi, Bapak Drs. Martin Joni, M.Si., dan Bapak I Made Saka Wijaya, S.Si., M.Sc atas masukan dan koreksi yang telah diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, M. F. 2008. Gerak air di laut. Oseana. vol XXXVI. LIPI Indonesia

Baderan, D.W.K, Hamidun M.S, Utina R.I, Rahim S, Dali R. 2019. The abundance and diversity of mollusks in mangrove ecosystem at coastal area of North Sulawesi, Indonesia. Biodiversitas 20 (4): 987- 993. DOI: 10.13057/biodiv/d200408

Carpenter, K.E. and V.H. Niem. 1998. The living marine reaources. Berkeley: University of California Press. 2008. ISBN 978-0-520-25092-5. OCLC 152581003

Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I (Indonesian Shell). PT. Sarana Graha. Jakarta.

Fratini S, Vigiani V, Vannini M, Cannicci S. 2004. Terebralia palustris (Gastropoda;Potamididae) in Kenyanmangal: Size structure, distribution and impact on the consumption of leaf litter. MarBio l144 (6):1173-1182.

Ginantra, I. K., Muksin, I. K., Suaskara, I. B., Joni, M. 2020. Diversity and distribution of mollusks at three zones of mangrove in Pejarakan, Bali, Indonesia. Biodiversitas. Vol 21 (10): 4636-4643. DOI: 10.13057/biodiv/d211023

Hotchkiss, E.R & R.O. Hall Jr. 2010. Linking calcification by exotic snails to stream inorganic carbon cycling. Oecologia. 163: 235-244.

Krebs. J. C. 1978. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance (Second Edition). Harper and Row Publishing.

Oka dan Mahagangga A. 2017. Perkembangan Desa Wisata di Kabupaten Badung Studi Kasus Desa Wisata Baha. Jurnal Destinasi Wisata. Vol. 4

Ratnasari, K. W., Swasta, I. B. J., Arnyana, I. B. P. 2015. Studi tentang keanekaragaman dan kemelimpahan moluska bentik pada ekosistem mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai Suwung Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Madya Denpasar, Bali. Jurnal Pendidikan Biologi Undiksha Vol. 2 (1). DOI: https://doi.org/10.23887/jjpb.v2i1.5397

Suartini, N. M., Sudaryanto, Sudatri, N. W. 2013. Inventarisasi jenis molusca di Mangrove Information Centre Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Jurnal Penelitian Universitas Mataran. Vol 17 (1): 46-51

Stiling, P. 1996. Ecology, Theories and Aplications. Prentice Hall Internationan Inc. New Jersey

DOI: https://doi.org/10.24843/JSIMBIOSIS.2022.v11.i01.p10

126