LEGALITAS PRIVATISASI LAHAN PANTAI UNTUK KEPENTINGAN INDUSTRIAL

MENURUT PERSPEKTIF HUKUM

Gilang Ambhibika Mangalam, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Cokorda Dalem Dahana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan jurnal ini memiliki tujuan untuk memahami lebih dalam terkait apa saja bentuk privatisasi lahan pantai yang dilakukan oleh pengusaha serta dapat mengetahui dan menganalisis terkait bagaimana legalitas mengenai privatisasi lahan pantai menurut perspektif hukum. Metode yang dipergunakan dalam artikel ini adalah metode penelitian yuridis normative, melalui pendekatan peraturan perundang-undangan serta konsep konsep hukum. Penelitian hukum normatif adalah bentuk penelitian yang menitikberatkan kepada pendayagunaan ius constitutum serta dapat berupa tesis, buku, yurisprudensi serta literatur kepustakaan yang berkorelasi dengan pemanfaatan lahan pantai untuk kepentingan industrial. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sejatinya telah terdapat peraturan yang mengatur tentang penggunaan lahan pantai demi kepentingan industrial, namun belum penegakan hukumnya belum terealisasi secara tegas oleh pihak pemerintah pusat maupun daerah guna memberikan efek jera kepada para pemilik modal yang merugikan masyarakat. Hal ini tentu perlu menjadi prioritas dan perhatian khusus untuk pemerintah, agar dapat menjamin hak hak masyarakat umum yang ingin berwisata maupun menjamin hak hak masyarakat pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan.

Kata Kunci: Privatisasi, Lahan Publik Pantai, Kepentingan Industrial

ABSTRACT

This study aims to ascertain and provide a comprehend understanding towards the legality or legitimacy of the privatization of coastal land for industrial purposes from a legal perspective. The method applied in the article is a normative juridical research method utilizing a legislation and legal concepts approach. Normative legal research is a conformation of research that emphasizes the use of jus constitutum, theses, books, jurisprudences, and library literature which related to the use of coastal land for industrial purposes. The results of this study indicate that in fact there have been regulations governing the privatization of coastal public lands for industrial purposes, but there has not been a realization in strict law enforcement that can be done by the central government also local to provide a deterrent effect to capital owners who are detrimental to the community. This of course needs to be a priority and special attention for the government, aims to guarantee the rights of the general public who want to travel as well as guarantee the rights of coastal communities who make a living as fishermen.

Key Words: Privatization, Coastal Land, Industrial Purposes

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Memiliki lebih dari 17.500 pulau, meliputi pulau besar dan kecil, menghantarkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang didominasi oleh daerah pantai dengan bentangan garisnya sebesar 81.000 km1. Seiring masifnya pertumbuhan penduduk yang dibarengi dengan laju intensitas pembangunan pada tiap bidang, sudah barang tentu melahirkan pelbagai permasalahan di beberapa bidang pula. Salah satunya adalah permasalahan serta konflik di bidang pertanahan. Timbulnya permasalahan a quo dipicu oleh pembangunan yang kian bereskalasi sehingga menghabiskan banyak lahan dan membuatnya menjadi semakin limitatif. Konflik dependensi lahan ini tentunya acapkali terjadi di kota-kota besar.

Terbatasnya keterbukaan wilayah di kota-kota besar menjadi dasar kuat bagi investor untuk mulai menjajaki wilayah pesisir atau pantai dalam upaya untuk mempertahankan kebutuhan usaha serta perekonomian mereka. Ihwal ini menjadi hal yang semakin lumrah dilakukan, pun didukung dengan terlampaunya minat wisatawan untuk berkunjung ke daerah pesisir. Pemanfaatan wilayah demikian mencakup aktivitas beralasakan ekonomi, seperti dimanfaatkan sebagai lahan untuk resort, hotel, dsb. Hingga kini lebih kurang sekitar 80% wilayah pantai telah dimanfaatkan oleh pelaku swasta, yang dalam hal ini adalah pengusaha. Secara leluasa para pengusaha mentransformasikan pantai, mulai dari menjadikannya daya tarik dari bangunan yang mereka bangun hingga membangun diatas pantai itu sendiri dengan cara mereklamasi.2 Kendati demikian, pembangunan yang pesat tersebut tidak disertai dengan konsideran akan kebutuhan serta kelestarian lingkungan. Fenomena ini pun berhasil mengubah pantai yang mulanya bersih nan asri serta diberdayakan untuk masyarakat kini berubah menjadi tercemar baik akibat sampah ataupun limbah lainnya.

Dimanfaatkannya wilayah pantai untuk kebutuhan usaha oleh para pengusaha tentunya didasarkan pada adanya kewenangan serta perijinan yang sayangnya seringkali diselewengkan. Untuk mengamankan kawasan pesisir pantai yang dijadikan lahan keuntungan oleh para pengusaha ini, mereka memiliki tendensi untuk melakukan privatisasi terhadap wilayah pesisir yang dulunya juga merupakan suatu kawasan yang diberdayakan masyarakat sekitar. Para pengusaha tersebut membatasi ruang gerak atas akses pihak-pihak ke dalam wilayah pantai yang mereka ampu, termasuk“ para nelayan,”pedagang,”tukang pijit, serta masyarakat dengan matapencaharian lainnya.3 Yang mana eksistensi perjanjian yang dibuat oleh pemangku swasta dan pemerintah sejatinya mencederai hak masyarakat untuk dapat menghayati lahan pesisir tersebut. Hal ini tentunya bertentangan bilamana ditinjau dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD

NRI 1945 yang secara konkrit memuat bahwa seluruh kekayaan di bumi diampu oleh negara untuk mensejahterakan rakyat.

Aktivitas manusia yang pada praktinya hanya mengejar keuntungan semata inilah yang terus membelenggukan permasalahan baru. Jika perkembangannya tidak terkontrol secara optimal oleh pemerintah, maka berimplikasi menimbulkan sebuah masalah lahan atau konflik kepemilikan (sengketa) lahan, dan bukan tidak mungkin kekumuhan akan menjadi suatu masalah baru di lingkungan pesisir. Ihwal ini akan berlaku antitesis, jika pemerintah mampu melakukan pengendalian terhadap pembangunan pembangunan ini, maka pemerintah dapat mengurangi risiko dari pesatnya pembangunan dan kita bisa memanfaatkan ruang yang ada secara optimal.4

Setiap pantai yang ada di wilayah Indonesia, sudah seyogyanya terbuka bagi khalayak umum. Namun praktiknya, pembangunan yang padat dilakukan oleh pelaku usaha yang berorientasi pada pembangunan pemukiman mewah semakin meladang di sepanjang pantai dan membuat pantai tak lagi menjadi ruang terbuka public serta berhasil dimonopoli pihak borjuis. Kenyataan pahit tersebut dialami pada hampir seluruh wilayah pesisir di Indonesia. Salah satu penyebab terjadinya kondisi pilu ini adalah karena kurangnya informasi penggunaan sumberdaya pesisir secara terpadu bertujuan untuk meminimalisir eksploitasi sumberdaya pesisir. 5 Salah satu bentuk peraturan yang harus diikuti adalah pembangunan dengan jarak paling minimal sejauh 20 m dari garis batas air pasang, akan tetapi realita di lapangan membuktikan banyak bangunan yang berpondasi kokoh serta begitu dekat bahkan cenderung menjorok ke tengah laut. Siatuasi demikian tentu akan berdampak pada 3 hal, yang pertama adalah kelestarian alam karena dampak peningkatan sampah yang diakibatkan oleh kegiatan perindustrian, yang kedua adalah kesejahteraan nelayan karena hak-haknya terabaikan serta dirumitkannya akses langsung menuju bibir pantai, dan tentunya kebebasan masyarakat umum untuk dapat beraktivitas serta menghayati keindahan di pantai tersebut.

Semakin menjamurnya tindakan privatisasi pantai yang memangkas ruang-ruang publik untuk masyarakat, tentunya berkontribusi pula terhadap menipisnya serta melumpuhnya perekonomian para nelayan. Ini menyekat aktivitas nelayan di pantai, seperti ia menjadi tidak selesa untuk mendaratkan jukung atau perahunya di tepi pantai, dan ia pun dibatasi ruang geraknya sehingga hasil tangkapan mereka tidak bisa dijajakan disembarang pinggir pantai, melainkan harus diturunkan di beberapa titik tertentu saja. Tidak hanya itu, ia juga tidak dapat mengadakan transaski jual-beli secara langsung atas hasil tangkapannya di tepi pantai. Bilamana loci materie dikiblatkan pada sosio-kultural masyarakat Hindu di Bali, merebaknya privatisasi pantai juga akan mengikis kanal untuk ritual Melasti, sebagai sebuah upacara adat yang rutin dilakukan umat Hindu di Bali untuk memuliakan hari raya Nyepi dengan membasuh dan menyucikan diri serta lambang-lambang keagamaan di laut. Penutupan akses jalur

Melasti memaksa masyarakat lokal untuk melintasi lajur lain, bahkan membuka kanal baru agar ritual ini tetap bisa terlaksana. Tak sedikit masyarakat Hindu Bali yang terpaksa mencari jalur pantai yang jauh dari areal tempat suci, pura oleh sebab ditutupnya akses karena arogansi pengusaha pariwisata.

Selain sangat merugikan masyarakat umum, dalam peraturan perundang-undangan pun telah mengatur bahwa kawasan “sempadan pantai” berperan sebagai preventifikasi atas abrasi pantai, ataupun jenis kegiatan yang dapat merusak kelestarian kawasan pesisir, seperti halnya privatisasi pantai atas dasar kepentingan industrial. Sebagaimana dimuat oleh ratione materie peraturan perundang-undangan, sempadan pantai didefiniskan sebagai berikut: 1. Bentangan pesisir yang memiliki lebar proporsional dengan kondisi fisik, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 2. Bentangan pesisir dengan bentuk dan kondisi fisik yang curam atau terjal dengan jarak proporsional megacu pada kondisi geografis pantai tersebut.6

Demi kenyamanan wisatawan, para pelaku usaha cenderung bertabiat untuk melakukan tindakan privatisasi pantai yang sejatinya membawa banyak kerugian baik terhadap kelestarian pantai dan juga kepada masyarakat lokal. Masyarakat lokal telah diwatasi ruang gerak publiknya dalam berekreasi hingga berujung pada susahnya dalam menjalani kegiatan upacara agama, padahal ini merupakan hal yang sangat esensial. Tindakan a quo amat berlawanan dengan lex specialis, yakni UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang tak hanya dalam ruang lingkup hak-hak atas tanah, tetapi juga atas hak-hak dasar komunal lainnya yang wajib dijunjung oleh negara.7 Privatisasi ini kemudian semakin keruh kembali akibat adanya perlakuan buruk atau kurang menyenangkan kepada masyarakat yang secara sadar dilakukan oleh sekuritas pelaku usaha pariwisata, seperti teguran yag cukup berlebihan hingga pengusiran dari sempadan pantai. Ini padahal sudah ditegaskan bahwa kawasan pantai diorientasikan untuk lahan terbuka bagi publik sebagai milik negara yang tidak boleh dimiliki secara pribadi ataupun pemangku swasta. Secara khusus, Pemprov Bali telah mengundangkan aturan yuridis dengan ratione materie sempadan pantai melalui Perda Prov. Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Aturan a quo menegaskan bahwa pendayagunaan sempadan pantai terkualifikasi ke dalam hak publik. Namun, teramat disayangkan pada praktiknya, pengawasan serta kontrol pemerintah terhadap kegiatan ekspansi kapital pengusaha pariwisata perlu digalakkan kembali karena kegiatan usaha ini sangat pejal berkembang bahkan dapat dikatakan telah melampaui batas wajar.

Fenomena berkenaan dengan banyaknya bangunan-bangunan serta properti yang didirikan di sepanjang pantai dan timbulnya kerusakan lingkungan tentu harus segera mendapat perhatian dan ditangani dengan serius. Hal ini menjadi sangat esensial untuk dilakukan sebagai langkah preventif atas kerusakan pantai yang lebih jauh dan runyam lagi serta untuk menjamin hak-hak komunal masyarakat umum dalam

memberdayakan wilayah pesisir, maka diperlukanlah sempadan pantai yang layak. Lahan sempadan pantai haruslah dijadikan daerah konservasi. Apabila mengacu pada Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (selanjutnya disebut Keppres No. 32/1990), telah memuat tentang adanya perlindungan sempadan pantai sejauh 100 meter. Keppres a quo, haruslah ditaati oleh pelaku usaha dan seluruh masyarakat yang hendak memberdayakannya, lalu ditegakkan oleh para aparat penengak hukum dan pemangku kebijakan lainnya, serta ditindaklanjuti manakala adanya pelanggaran-pelanggaran, yang kemudian diselaraskan dengan pelbagai aturan turunannya, baik dari tingkat pusat sampai daerah.

Dalam penulisan ini, penulis juga memiliki referensi dari penelitian lain yang serupa dengan judul ”Penguasaan Tanah di Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir8” yang ditulis oleh Rudhy Aghazsi dari Universitas Jember. Penelitian tersebut membahas mengenai aturan-aturan hukum yang sudah mengatur mengenai perlindungan sempadan pantai dan memberikan gambaran mengenai pelaksaaan di lapangan. Dari tulisan tersebut, penulis menjadikan acuan untuk tulisan yang dibuat penulis yang berfokus pada bentuk-bentuk privatisasi lahan pantai yang terjadi dan bagaimana penanganan dari pemerintah.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Apa saja bentuk privatisasi lahan pantai yang dilakukan oleh pengusaha?

  • 2.    Bagaimana legalitas mengenai privatisasi lahan pantai menurut perspektif hukum?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk privatisasi lahan pantai yang dilakukan oleh pengusaha serta legalitas mengenai privatisasi lahan pantai menurut perspektif hukum

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan analisis ini menpergunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan metode berupa pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum serta yurisprudensi atau putusan hakim terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam analisis ini, baik dalam hal memberikan pendefinisian, batasan, dan hal-hal yang berkaitan lainnya. Penelitian hukum normatif awamnya diketahui sebagai penelitian yang menitikberatkan pada pemberdayaan teori-teori maupun norma-norma hukum yang ternomenklatur dalam tesis, buku, yurisprudensi, serta literatur kepustakaan.9 Jenis sumber data pada penelitian ini adalah mengacu pada sumber data sekunder, yang kemudian dijadikan penunjang dari kompleksitas data primer yang diperoleh dari koleksi kepustakaan pribadi penulis yakni dengan membaca secara komperhensif dan menganalisa berbagai literatur seperti tesis, artikel, disertasi, jurnal dan buku. Pada dasarnya, analisis kualitatif diartikan sebagai sebuah tata cara penelitian yang dipergunakan guna memperoleh data deskriptif analitis yang

merupakan jawaban dari segala pertanyaan yang ditanyakan dalam penelitian, baik tertulis maupun lisan serta realitas yang dikaji sebagai objek penelitian yang padu.10

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Bentuk Privatisasi Yang Dilakukan Oleh Pengusaha

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sempadan Pantai memuat bahwa sempadan pantai adalah daerah sepantaran pantai dimanfaatkan untuk pengamanan dan pelestarian sumber daya pantai. Sempadan pantai diperuntukan guna menahan abrasi pantai serta melindungi pantai terhadap segala aktivitas yang berpotensi mencelakai kelestarian pantai. Kawasan ini hanya difungsikan sebagai tempat menanam komoditas pantai yang difungsikan demi melindungi wilayah pesisir, atau sebagai fasilitas umum sepanjang tidak mengubah fungsi lahan tersebut. 11 Bilamana berefleksi pada pernyataan a quo, sudah sangat jelas dapat dikatakan bahwa daerah sempadan pantai secara specialis dan eksklusif untuk preventifikasi terhadao abrasi dan melindungi pantai dari kerusakan, sehingga penggunaan dan pengelolaan kawasan sempadan pantai tidak boleh dilakukan secara sembarangan.

Sementara di sisi lain, adanya perpindahan komoditi perekonomian secara instan telah terjadi di Indonesia yang awalnya didominasi oleh komoditi pertambangan dan migas kini beralih ke sektor pariwisata. Terlalu cepatnya ritme perubahan yang terjadi tentunya belum disambut dengan kesiapan yang matang, baik oleh pemerintah, pengusaha, ataupun masyarakat. Tingkat kesiapan yang premature ini tercermin dari dibukanya lahan ataupun setiap tempat untuk dijadikan destinasi wisata termasuk dilakukannya privatisasi terhadap sempadan pantai tanpa dilakukannya peninjauan serta menimbang pelbagai implikasi di kemudian hari sehingga sangatlah tergesa-gesa dan menghilangkan hak-hak masyarakat lainnya.

Umumnya, privatisasi dapat dipahami sebagai metode instan pengalihan kepemilikan yang awalnya berada di ranah publik kemudian diambil alih atas nama perseorangan (pribadi). Dalam permasalahan ini jenis privatisasi yang terjadi adalah privatisasi pantai yang merupakan perubahan kepemilikan terhadap kawasan sempadan pantai yang berada dibawah kepemilikan umum dialihkan menjadi kepemilikan pribadi guna untuk kebutuhan usaha, sehingga memberikan dampak terhadap adanya pembatasan daya guna kawasan tersebut oleh masyarakat luas (masyarakat secara umum dan masyarakat lokal secara khusus) terkecuali pendayagunaan untuk kepentingan usaha pribadi dari pihak yang mengalihkan tersebut.

Berdasarkan realita yang terjadi, beberapa hal yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam ‘memprivatisasi’ pantai yakni: memasang watas berupa pelampung atau bendera yang terbentang sepanjang areal pantai sebagai penanda batas wilayah usaha pariwisata; dikelolanya kursi-kursi maupun sarana khusus milik pelaku usaha yang hanya boleh dinikmati oleh tamu usahanya saja, sehingga cenderung menghalangi masyarakat umum untuk beraktivitas; terlebih lagi, peletakan beberapa fasilitas air bagi wisatawan juga menyekat hak masyarakat untuk memberdayan kawasan tersebut.

hingga yang paling arogan adalah penempatan tembok beton sepanjang sempadan, sehingga nelayan tak lagi dapat menambatkan jukungnya serta bertransaksi jual beli hasil tangkapannya, seperti realita yang ada di daerah Candi Dasa, Bali; tak hanya itu, terhadap suatu pantai yang berada di bawah tebing, pelaku usaha tidak tanggung-tanggung hingga melarang akses turun melewati tangga menuju pantai, lalu menjadikan jalur demikian sebagai kanal yang dikomersialisasikan untuk usaha pariwisata; dan dapat pula berupa pengkaplingan lahan sempadan pantai guna menghalangi dan melarang masyarakat umum untuk dapat menggunakannya.

Tindakan Privatisasi sempadan pantai yang dilakukan oleh para pelaku usaha telah berhasil membawa trauma pilu bagi masyarakat setempat, dan telah merampas hak serta keleluasaan publik untuk memberdayaka SDA yang ada. Persoalan ini sejatinya bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) Konstituf NRI yang mana “seluruh kekayaan bumi dan air adalah dikelola oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar besarnya bagi kesejahteraan rakyat, maka harus berorientasi pada kelestariannya.”12 Implikasi kelam dari adanya tindakan privatisasi pantai ini tentunya berdampang langsung pada masyarakat umum akan tetapi naasnya mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan preventifikasi atas hal tersebut untuk tetap terjadi dan hanya dapat dijadikan penonton semu oleh para pelaku usaha pariwisata yang melakukan privatisasi pantai. Masyarakat lokal yang tidak dapat memanfaatkan kakayaan alamnya secara utuh juga terancam kehilangan lapangan pekerjaan masyarakat pesisir sebagai dampak dari adanya pembiaraan dan privatisasi ini. Manakala dihiraukan, hal ini juga akan berpotensi memutus mata rantai perekonomian masyarakat pesisir.

Jika dihadapkan dengan realita masifnya privatisasi pantai tanpa memperhatikan muaranya, baik terhadap lingkungan dan masyarakat lokal, maka wajib dibentuk dan dilaksanakan suatu paranata hukum berupa tataran peraturan perundang-undangan sebab kedudukannya sangat fundamental sebagai peminimalisir dan preventifikasi terhadap terjadinya pertentangan kewenangan dalam mentata lahan sempadan tersebut dan benturan dari pelbagai kepentingan yang ada,13sekaligus dalam rangka menjamin kawasan pantai untuk tetap dapat dinikmati oleh masyarakat umum sebagai pemenuhan dari hak publik, mencegah terjadinya kerusakan alam yang terjadi pada kawasan pantai, serta sudah barang tentu untuk memanfaatkan seluruh sumber daya pantai beserta seluruh kakayaan yang terkandung di dalamnya demi kemakmuran publik.

hak serta keleluasaan publik untuk memberdayaka SDA yang ada. Persoalan ini sejatinya bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) Konstituf NRI yang mana “seluruh kekayaan bumi dan air adalah dikelola oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar besarnya bagi kesejahteraan rakyat, maka harus berorientasi pada kelestariannya.”14

Implikasi kelam dari adanya tindakan privatisasi pantai ini tentunya berdampang langsung pada masyarakat umum akan tetapi naasnya mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan preventifikasi atas hal tersebut untuk tetap terjadi dan hanya dapat dijadikan penonton semu oleh para pelaku usaha pariwisata yang melakukan privatisasi pantai. Masyarakat lokal yang tidak dapat memanfaatkan kakayaan alamnya secara utuh juga terancam kehilangan lapangan pekerjaan masyarakat pesisir sebagai dampak dari adanya pembiaraan dan privatisasi ini. Manakala dihiraukan, hal ini juga akan berpotensi memutus mata rantai perekonomian masyarakat pesisir.

Jika dihadapkan dengan realita masifnya privatisasi pantai tanpa memperhatikan muaranya, baik terhadap lingkungan dan masyarakat lokal, maka wajib dibentuk dan dilaksanakan suatu paranata hukum berupa tataran peraturan perundang-undangan sebab kedudukannya sangat fundamental sebagai peminimalisir dan preventifikasi terhadap terjadinya pertentangan kewenangan dalam mentata lahan sempadan tersebut dan benturan dari pelbagai kepentingan yang ada,15sekaligus dalam rangka menjamin kawasan pantai untuk tetap dapat dinikmati oleh masyarakat umum sebagai pemenuhan dari hak publik, mencegah terjadinya kerusakan alam yang terjadi pada kawasan pantai, serta sudah barang tentu untuk memanfaatkan seluruh sumber daya pantai beserta seluruh kakayaan yang terkandung di dalamnya demi kemakmuran publik.

  • 3.2    Legalitas Mengenai Privatisasi Lahan Pantai Menurut Perspektif Hukum

Wilayah pantai menjadi suatu wilayah yang sangat penting bagi beberapa daerah. Ini dikarenakan wilayah pantai merupakan muara dari hasil pertemuan pelbagai kepentingan, seperti kepentingan pemangku swasta, pemerintah ataupun masyarakat perihal pemanfaatan akan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan ihwal tersebut, pendayagunaan sempadan pantai melalui tataran yuridis menjadi sangat fundamen sebagai upaya untuk meminimalisir, mencegah, atau bahkan menyingkirkan fenomena benturan pelbagai kepentingan dan ketumpangtindihan kewenangan. Lahan sempadan terkualifikasi sebagai kawasan lindung nasional yang dilindungi oleh pemerintah pusat. Dalam Keppres No. 32/1990, telah diatur secara lugas dalam ketentuan Pasal 4 Keppres a quo bahwa sempadan pantai merupakan salah satu kawasan lindung dalam lingkup nasional. 16 Dikarenakan termasuk sebagai kategori hutan lindung, maka pemerintah mempunyai kewenangan mengontrol secara agregat terhadap sempadan pantai yang terbentang di Indonesia. Pemerintah pun menyadari bahwa sempadan pantai merupakan kawasan yang rentan untuk mengalami kerusakan sebagai akibat dari tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab, karena sempadan pantai mudah dijangkau oleh siapa saja.

Apabila mengacu pemikiran dari sudut pandang hukum agraria, telah diatur pada ketentuan Pasal 2 UUPA terkait dengan hak menguasai negara dibidang sumber daya alam. Ketentuan a quo menghendari negara memiliki wewenang sebagai regelendaad atas seluruh SDA-nya. Pengaturan oleh negara dapat dilangsungkan melalui dua metode, antara lain direct managerial dan indirect managerial. Penguasaan negara secara tak langsung atau indirect managerial teridentifikasi melalui penghendakkan hak individual oleh negara atas SDA tertentu, dengan dilengkapi persyaratan yang menunjukan bahwasanya individu yang bersangkutan dapat mengelola SDA yang ada selama masih berpacu pada khasanah ius constitutum. Sementara, penguasaan negara secara langsung atau direct managerial, negara tak mengakui adanya hak individual atas suatu SDA tertentu, tetapi negara berlakon sebagai empunya terhadap obyek yang bersangkutan. Metode direct managerial sejatinya diterapkan untuk kawasan sempadan pantai sebagaimana yang diatur oleh UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (selanjutnya disingkat UU No. 27/2007) dengan ukuran proporsional minimal 100 meter. Para Pemeprov Daerah telah menentukan watas sempadan pantai yang mengacu pada kekhasan biofisik, hidro-oseanografi, topografi, budaya, kebutuhan ekonomi, maupun ketentuan lainnya. Kendati pun, pengaturan 100m tersebut tidak diikuti dengan implementasi nyata di lapangan, hal ini dikarenakan tidak adanya batas-batas secara nyata yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti pengukuran kembali atau pemasangan marka batas wilayah di kawasan tersebut. 17

Pemerintah telah mengundangkan beberapa tata peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi kawasan sempadan pantai yakni dalam:

  • 1.    UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

  • 2.    UUPA;

  • 3.    UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

  • 4.    PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

  • 5.    Perpres No. 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai;

  • 6.    Permen PKU No. 9/ PRT/M/2010 tentang Pedoman Pengamanan Pantai; dan

  • 7.    Perda Prov. Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali, serta ius constitutum lainnya.

Mengacu pada UU No. 27/2007, yang tertuang dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b dan c, bahwa “pemanfaatan dan pendayagunaan perairan pesisir dilaksanakan dengan tetap mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat lokal; dan memperhatikan hak komunal untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai.” Undang-Undang a quo juga menyebutkan bahwa terdapat sanksi bagi setiap insan yang tidak merefleksikan kewajiban sebagaimana dari ketentuan pasal tersebut, yang dapat berupa pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00. Pun juga dalam Pasal 35 huruf l, yang memuat bahwa “setiap orang secara langsung maupun tidak langsung dilarang untuk membangun secara fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.” Berarti secara agregar disebutkan bahwa

17 Fathoni, M. Yazid, Sahrudin Sahrudin, and Lalu Hadi Adha. "Tinjauan Hukum Pengaturan Penguasaan Dan Pemanfaatan Tanah Sempadan Pantai Untuk Usaha Kuliner." Jatiswara 35, no. 1 (2020) : hal 24-25

pembangunan yang dilakukan oleh pihak swasta di kawasan sempadan pantai merupakan tindak illegal secara hukum, bilamana berpotensi untuk merugikan masyarakat disekitarnya.18 Dalam hal ini, penulis menafsirkan bahwa kerugian yang dimaksud adalah diwatasinya ruang gerak masyarakat umum dalam berwisata dan berekreasi di kawasan pantai, terbatasnya hak hak nelayan untuk menggunakan bibir pantai demi mengakomodir mata pencahariannya, dan terbatasnya ruang masyarakat yang ingin mengadakan upacara persembahyangan di kawasan pantai seperti yang umumnya dilakukan masyarakat Bali.

Sebanyak 58 Pasal yang termaktub dalam UUPA, sangat disayangkan tak ada yang secara nomenklatur dan gamblang mengatur tentang kawasan bersih sempadan pantai, namun penulis mencermati secara komperhensif bahwa UUPA berlaku sebagai antisipatoris melalui ketentuan yang termaktub pada Pasal 6 yang mana “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”, selanjutnya pada Pasal 7dijelaskan “selama tidak mencederai kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”

Kemudian, tak satupun rumusan ketentuan dalam UU No. 26/2007 memuat standarisasi dalam penetapan Areal Bebas Sempadan Pantai secara khusus. Namun, terdapat sebuah ketentuan yang bermakna demikian secara implisit, yakni terkhusus pada Pasal 61 yang menyatakan bahwa “pemanfaatan ruang harus berdasarkan izin dan memberikan akses demi kepentingan umum”. Kemudian ratione materie Pasal 62 dan 63 bahwa pelanggaran atas ps. 61 akan dikenakan sanksi administratif berupa: peringatan tertulis, interupsi sementera terhadap kegiatan serta layanan umum, penutupan lokasi, pencabutan dan/atau pembatalan izin, dan pembongkaran bangunan. Pasal 72 UU a quo juga menyebutkan bahwa pihak yang membatasi akses pada kawasan a quo dapat dikenakan pidana kurungan paling lama setahun, dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00.

Oleh karena aturan yuridis supra, dapat dicermati bahwa sejatinya telah terdapat payung-payung hukum dalam tataran perundang-undangan beserta sanksi hukumnya yang mengatur tentang larangan privatisasi lahan pantai untuk digunakan demi kepentingan privat atau industrial. Namun realitanya, kini praktik privatisasi kawasan sempadan pantai masih menjamur di tengah masyarakat. Artinya, fiksi hukum belum terealisasi oleh penegak hukum secara tegas, baik oleh pihak pemerintah pusat maupun daerah dalam memberikan efek jera kepada para pemilik modal yang merugikan masyarakat. Dalam hal ini, tentu dibutuhkan kehadiran dan langkah nyata dari pemerintah guna menindaklanjuti fenomena privatisasi lahan pantai yang terjadi, sehingga hak hak masyarakat umum, maupun para nelayan dapat terjamin. Pemanfaatan kawasan sempadan pantai harus diorientasikan atas dasar fungsi konservatif dan harus steril dari seluruh aktivitas pembangunan yang mencederai kepentingan umu. Walaupun pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai direct managerial, tetapi terdapat alternatif lain bagi perseorangan untuk dapat menikmati kawasan sempadan pantai, yakni melalui pembuatan ijin pemanfaatan berdasarkan

perjanjian dengan Pemerintah Pusat maupun Pemda, yang mana pemerintah dalam hal ini berperan sebagai pengawas atas pengelolaan pihak ketiga tersebut. Penting untuk digarisbawahi bahwasanya sebelum ijin pemanfaatan bagi perseorangan diterbitkan, terlebih dahulu dilaksanakan posesifitas terhadap ijin lokasi untuk pemanfaatan kawasan pesisir.

4.fKesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa bentuk privatisasi lahan pantai yang dilakukan oleh pihak swasta dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya adalah pemasangan watas berupa bendera maupun pelampung yang melintang pada tepian pantai, penataan kursi kursi maupun sarana penunjang hotel lainnya yang menghalangi masyarakat umum untuk beraktivitas, peletakan beberapa fasilitas air bagi wisatawan; penempatan tembok beton sepanjang sempadan, sehingga nelayan tak lagi dapat menambatkan jukungnya serta bertransaksi jual beli hasil tangkapannya; pelarangan akses turun melewati tangga menuju pantai, dengan mengkomersialisasikan kanal tersebut dikomersialisasikan untuk usaha pariwisata; serta pengkaplingan lahan sempadan pantai guna menghalangi dan melarang masyarakat umum untuk dapat menggunakannya. Penulis juga menemukan bahwa telah terdapat payung-payung hukum dalam tataran peraturan perundang-undangan beserta sanksi hukumnya yang mengatur tentang larangan privatisasi lahan pantai untuk digunakan demi kepentingan privat atau industrial. Namun realitanya, kini praktik privatisasi kawasan sempadan pantai masih menjamur di tengah masyarakat. Berarti penegakan hukum tak terealisasi secara tegas oleh pihak pemerintah pusat maupun pemda untuk memberikan efek jera kepada para pemilik modal yang merugikan masyarakat. Dalam hal ini, tentu dibutuhkan kehadiran dan tindakan nyata dari pemerintah guna menindaklanjuti fenomena privatisasi lahan pantai yang terjadi, sehingga hak hak masyarakat umum, maupun hak para nelayan dapat terjamin.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Patis Jason, M. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir di Indonesia. (Bapenas,2011)

S. Soekanto dan Sri M. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat, Cet. 10, (Jakarta,Raja Grafindo Persada, 2007)

Zainal Asikin, Amiruddin dan H. Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2012)

Jurnal

Chikmawati, Nurul Fajri. "Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia (Dalam Perspektif Perlindungan Hukum bagi Hak-hak Ekonomi Masyarakat Tradisional)." ADIL: Jurnal Hukum 4, no. 2 (2013): 396-417

Fathoni, M. Yazid, Sahrudin Sahrudin, and Lalu Hadi Adha. "Tinjauan Hukum Pengaturan Penguasaan Dan Pemanfaatan Tanah Sempadan Pantai Untuk Usaha Kuliner." Jatiswara 35, no. 1 (2020).

Ikhsan, Ananta. "Identifikasi Perkembangan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Pesisir Kecamatan Tanjungpandan Kabupaten Belitung." PhD diss., Universitas Komputer Indonesia, 2019.

Ilham, Ilham. “Kajian Yuridis Pemanfaatan dan Penggunaan Areal Bebas Sempadan Pantai dalam Pembangunan Industri Pariwisata di Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat.” Jurnal Jatiswara Universitas Mataram (2017)

Jazuli, Ahmad. "Dinamika hukum lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam rangka pembangunan berkelanjutan." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 4, no. 2 (2015): 181-197.

Julio, Andre, and Ida Bagus Surya Dharmajaya. "Pengelolaan wilayah pantai oleh pihak swasta berdasarkan perjanjian dengan      pemerintah terkait dengan pasal 33

ayat (3) uud nri 1945 yang melingkupi kesejahteraan masyarakat lokal." Jurnal Kertha Semaya (2019)

Ramadhan, Kurnia. "beberapa permasalahan hukum terhadap status    hak     atas

tanah sempadan pantai senggigi di kecamatan    batu layar kabupaten lombok

barat." PhD diss., Universitas       Mataram, 2019.

Pradnyaswari, Pemayun, and Cokorda Istri. “Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali Terhadap    Pengelolaan Sempadan Pantai Secara Privat Untuk Keadilan

Publik Dalam Perspektif Hukum Tata Ruang.” Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana (2019)

Ridlo, Mohammad Agung, and Eppy Yuliani. "Mengembangkan kawasan pesisir pantai Kota Semarang sebagai ruang publik." Jurnal Geografi: Media Informasi Pengembangan dan Profesi Kegeografian 15, no. 1 (2018).

Sanjiwani, Putri Kusuma. "Pengaturan hukum terhadap privatisasi sempadan pantai oleh pengusaha pariwisata di provinsi bali." Jurnal Analisis Pariwisata 16, no. 1 (2016): 29-34.

Sugito, Nanin Trianawati, and Dede Sugandi. "Urgensi Penentuan Dan Penegakan Hukum Kawasan Sempadan Pantai." Jurnal Geografi Gea 8, no. 2 (2016)..

Indriani, Iin, Sri Utaminingsih, E. Trihandayani, and M. Iqbal. "Pembinaan Pengelolaan Lahan Tepi Pantai Berdasarkan Aspek Hukum Dan Pengembangan Industri." Abdi Laksana: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat 1 (2017).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)

Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68.)

Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 9/ PRT/M/2010 tentang Pedoman

Pengamanan Pantai

Keputusan Mentri Kelautan dan Perikanan No. 10 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sempadan Pantai

Perda Prov. Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali

Internet

Kementrian Kelautan dan Perikanan,       “Jumlah Pulau di Indonesia”, 2022.

https://kkp.go.id/djprl/p4k/page/4270-jumlah-pulau- di-indonesia. diakses tanggal 3 Maret 2023

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 8 Tahun 2022 hlm 772-784

784