PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI LUAR PENGADILAN (NON-LITIGASI) MELALUI ARBITRASE

Kadek Mas Kinari Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: made_sarjan[email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini yaitu guna mengidentifikasi dan mengetahui kekuatan hukum serta proses penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan (non-litigasi) dengan cara Arbitrase. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan tinjauan literatur dilakukan sebelum, selama, dan setelah penelitian untuk menyelesaikan penelitian. Literatur berasal dari sumber-sumber hukum yang dipakai untuk penyusunan jurnal ini, khususnya berbagai bahan hukum primer yaitu undang-undang serta bahan hukum sekunder, diantaranya yaitu buku, kamus-kamus hukum, majalah hukum, serta tulisan-tulisan pendukung lainnya. Hasil dari penelitian yaitu putusan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) selaku lembaga arbitrase mempunyai kekuatan hukum sama seperti Pengadilan Negeri, yaitu putusan tingkat pertama dan terakhir, bersifat final and binding bagi seluruh pihak yang berselisih; sehingga itu tidak bisa diajukan banding, dikuatkan pada banding, maupun tunduk pada pertimbangan ulang.

Kata Kunci : Sengketa, Alternatif, Arbitrase

ABSTRACT

The purpose of this study is to identify and determine the power of law and the process of resolving business disputes outside the court (non-litigation) by means of arbitration. The research method used was a literature review carried out before, during, and after the research to complete the research. Literature comes from legal sources used for the preparation of this journal, especially various primary legal materials, namely laws and secondary legal materials, including books, legal dictionaries, legal magazines, and other supporting writings. The results of the research are BANI decisions (Indonesian National Arbitration Board) as arbitration institutions have the same legal force as District Courts, namely first and last level decisions, are final and binding for all parties to the dispute; so that it cannot be appealed, strengthened on appeal, or subject to reconsideration.

Keywords: Dispute, Alternative, arbitration

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Sengketa adalah sengketa Benturan kepentingan (conflict of interest) antara orang atau lembaga atas hal yang sama yang muncul dalam hubungan mereka.1 Konflik kepentingan tentang kepemilikan dan hak di bidang ekonomi dan bisnis melahirkan sengketa bisnis. Kita dapat melihat bahwa resolusi konflik telah ada sejak lama dan berkembang seiring dengan pertumbuhan manusia.2 Gugatan diselesaikan melalui penyelesaian sengketa ketika dua orang yang berperkara terlibat. Ada dua pilihan penyelesaian sengketa: di pengadilan (litigasi) serta di luar pengadilan (non-litigasi).3 Jika suatu perkara diselesaikan melalui non-litigasi tidak membuahkan hasil, maka jalur pengadilan (litigasi) sebagai upaya final (ultimum remedium) yang ditempuh oleh seluruh pihak yang berperkara guna menyelesaikan perselisihan diantara mereka.

Namun, penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) seringkali berujung pada keputusan yang tidak memuaskan kedua belah pihak, dan semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu sengketa, semakin banyak uang yang akan dikeluarkan, meningkatkan kemungkinan biaya yang dikeluarkan tidak proporsional. terhadap masalah yang dihadapi. Sebaliknya, karena tidak memakan waktu lama dan biaya lebih rendah daripada litigasi, upaya menyelesaikan perkara dengan non-litigasi (di luar pengadilan) lebih berhasil digunakan untuk penyelesaian sengketa. Selain itu, prosedur di luar pengadilan (non-litigasi) seringkali menghasilkan konsensus yang memuaskan pihak-pihak yang bersengketa serta hasilnya saling menguntungkan.

Upaya penyelesaian masalah di luar pengadilan dikenal dengan istilah "non-litigasi" atau "penyelesaian konflik di luar pengadilan". Ada banyak cara dalam menyelesaikan suatu perkara dengan jalur non-litigasi, antara lain melalui mediasi, musyawarah, konsiliasi, serta penilaian ahli, hal ini sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.4

Dalam hal penyelesaian konflik, kedua belah pihak biasanya menyepakati forum perselisihan, proses penyelesaian perselisihan, dan tempat penyelesaian perselisihan antara para pihak dalam kontrak.5 Di luar ruang sidang, penyelesaian konflik menawarkan pada kedua belah pihak yang berperkara pengganti yang efektif di mana mereka memiliki kendali penuh untuk mencapai kesimpulan yang paling adil.6 Orang mencari jawaban humanisme yang cepat, murah, dan efektif sebagai hasil dari proses penyelesaian suatu konflik yang berkepanjangan serta tidak satupun pihak yang merasa dirugikan. Karena sebuah perusahaan akan segera menerima penilaian buruk dan kesan negatif jika konflik atau perselisihan bisnis menjadi rahasia umum, banyak pembisnis memilih untuk menyelesaikan masalah melalui penyelesaian perselisihan alternatif daripada pergi ke pengadilan. Berdasarkan hal tersebut ada beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam jurnal ini dengan judul “Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Luar Pengadilan (Non-Litigasi) Melalui Arbitrase” penulis akan mengkaji dan membahas lebih detail dalam jurnal ini tentang bagaimana proses penyelesaian sengketa bisnis diluar pengadilan serta kekuatan hukumnya. jurnal ini dapat di pertanggungjawabkan dari segi orisinalitasnya dikarenakan Jurnal ini didukung berbagai sumber yaitu jurnal, artikel, peraturan perundang-undangan serta buku-buku dari berbagai pihak.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • A.    Bagaimana proses penyelesaian sengketa bisnis diluar pengadilan (Non-Litigasi) melalui Arbitrase ?

  • B.    Bagaimana kekuatan hukum putusan penyelesaian sengketa bisnis diluar pengadilan (Non-Litigasi) melalui Arbitrase ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • A.    Guna mengidentifikasi dan mengetahui proses penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan (non-litigasi) dengan cara Arbitrase.

  • B.    Guna mengidentifikasi dan mengetahui kekuatan hukum penyelesaian sengketa bisnis diluar pengadilan dengan cara Arbitrase.

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada jurnal ini memakai tata cara study literatur ialah serangkaian aktivitas yang berkenaan dengan tata cara pengumpulan informasi pustaka, membaca serta mencatat, dan mengelolah bahan riset yang dicoba saat

sebelum, selama, serta sehabis riset untuk menuntaskan riset. Literatur berasal dari sumber- sumber hukum yang dipakai seperti, bahan hukum primer ialah undang-undang dan bahan hukum sekunder, antara lain ialah buku, kamus- kamus hukum, majalah hukum, dan tulisan- tulisan pendukung yang lain.

  • III.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Upaya penyelesaian sengketa bisnis diluar pengadilan (Non-Litigasi) melalui Arbitrase

Karena bisnis memainkan fungsi yang signifikan dan menempati posisi penting sebagai komponen produksi dalam memuaskan keinginan manusia, perselisihan bisnis selalu menjadi masalah yang kompleks dan sering menyebabkan keretakan di antara pihak-pihak yang berselisih.7 Para pihak atau salah satu pihak membuat janji tetapi menunggu sampai terlambat, seluruh pihak membuat perjanjian namun tidak tepat pada perjanjian, pihak-pihak terkait membuat janji namun tidak menaatinya. Itu, pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian dan sudah membuat kesepakatan, namun tidak menaatinya, dan para pihak yang membuat perjanjian tetapi tidak menaatinya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perselisihan bisnis.

Arbitrase adalah satu diantara pilihan penyelesaian perselisihan yang ada secara non litigasi (di luar pengadilan), atau penyelesaian perselisihan atau perkara di luar ruang sidang, atau dikenal pula sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif. Perselisihan hukum bisa diakhiri dengan memilih upaya arbitrase secara non litigasi dengan menggunakan perjanjian arbitrase tertulis antara para pihak. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur tentang arbitrase.8 BANI adalah lembaga nasional independen yang menyelenggarakan proses arbitrase oleh Majelis Arbitrase sesuai dengan aturan dan prosedur arbitrase BANI. BANI bukanlah lembaga penyelesaian sengketa.9

Salah satu prinsip pedoman arbitrase adalah mudah, cepat, dan ekonomis. Aturan ini sesuai dengan standar hukum peradilan, yang dinyatakan dalam Pasal 48 ayat 1 UU No. 30 Tahun 1999, yang mengamanatkan bahwasannya penyelesaian semua operasi pemeriksaan yang terkait dengan sengketa dilakukan dalam waktu 180 hari. Manfaat dari arbitrase adalah:

  • 1.    Para pihak yang berperkara memiliki kebebasan dalam memilih jalan beracaranya yang nantinya dipakai dengan prosedur yang mudah dan efisien dan mendapatkan hasil yang sama – sama menguntungkan.

  • 2.    Seluruh pihak yang mempunyai keinginan serupa dalam mengakhiri perkara.

  • 3.    Penyelesaian perkara melalui arbitrase adalah jalan menyelesaikan perkara secara non litigasi (di luar pengadilan) yang dapat dipastikan penyelesaiannya sederhana, cepat dan hemat biaya.

  • 4.    Putusan arbitrase yang bersifat final dan binding tanpa melibatkan jalur hukum juga sangat memudahkan tahapan penyelesaian sengketa.10

Kerugian dari arbitrase meliputi:

  • 1.    Sulit untuk mendamaikan keinginan para pihak yang bersaing dan mengajukannya ke badan arbitrase. Ini bisa menjadi tantangan untuk mencapai kesepakatan atau kesepakatan sulit. Kamar Dagang Arbitrase Internasional di Paris, Asosiasi Arbitrase Amerika di Amerika Serikat, Arbitrase ICSID, Pengadilan Arbitrase London, ataupun BANI adalah forum arbitrase yang tersedia.

  • 2.    Pengakuan serta penegakan putusan arbitrase asing. Sampai sekarang ini, permasalahan tentang pengakuan dan penegakkan putusan arbitrase asing masih tetap menjadi polemik yang sukar (Konvensi New York, 1958).

  • 3.    Dipahami bahwa dalam arbitrase tidaklah senantiasa memiliki hubungan pada putusan arbitrase sebelumnya (yurisprudensi). Sehingga hasil putusan dari tiap perselisihan apa yang sudah diambil tampaknya tidak digunakan, bahkan dalam penghakiman berisi dalil-dalil para ahli hukum ternama/terkemuka. Karena preseden ini tidak berlaku, masuk akal jika kemungkinan itu muncul keputusan yang saling bertentangan. Ini berarti fleksibilitas dalam mengambil keputusan berdasarkan fakta dan keinginan para pihak.

  • 4.    Arbitrase tidak dapat menawarkan penyelesaian konklusif untuk semua masalah hukum. Ini terkait langsung dengan gagasan dan kerangka hukum yang unik untuk setiap negara. Ide arbitrase negara Eropa Kontinental tentu berbeda dengan arbitrase di negara Anglo-Saxon. Perbedaan kedua gagasan ini antara satu sama lain ini karena masing-masing diatur oleh sistem hukum yang berbeda.

Namun, putusan arbitrase senantiasa bergantung pada kemampuan arbiter teknis dalam memberi putusan yang tepat, memuaskan para pihak, dan rasa keadilan bagi seluruh pihak.

  • 5.    Tuntutan ini kemungkinan tidak tepat bagi tuntutan yang meliputi berbagai pihak.

  • 6.    Jika ada pihak, terutama salah seorang pihak yang kalah, yang ingin menghindari pelaksanaan putusan arbitrase, diperlukan penetapan pengadilan. Meskipun putusan arbitrase bersifat akhir serta mengikat.

Kewajiban kerahasiaan merupakan persyaratan etika arbitrase. Seperti pengetahuan umum, arbitrase adalah alternatif rahasia dan pribadi untuk litigasi yang berlangsung di luar ruang sidang. Pertimbangan utama dalam memilih para pihak yang bersengketa adalah apakah arbitrase akan berfungsi sebagai forum yang tertutup dan tertutup untuk penyelesaian konflik di luar ruang sidang (non litigasi). Para pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian perkara, termasuk pengacara masing-masing pihak, wajib menjaga kerahasiaan. Komitmen ini melampaui hanya para pihak yang terlibat dalam sengketa. Apabila terjadinya perilaku menyimpang dari masing-masing pihak atau pengiring para pihak dapat menjadi perhatian etis yang dapat dilaporkan kepada organisasi profesi jika dilakukan oleh advokat dari pihak tertentu. Terdapat salah satu aspek yang harus diperhatikan ketika menentukan pilihan dan/atau selama proses arbitrase adalah prinsip etika berikutnya, yaitu penekanan pada kejujuran dan penegakan keadilan.11

Adapun prosedur penyelesaian sengketa melalui Arbitrase yaitu prosedur pendaftaran, proses pengangkatan dan penetapan arbiter, proses tanggapan termohon, dan proses pemeriksaan dan pelaksanaan putusan arbitrase.

  • 1.    Prosedur Pendaftaran

Sebelum proses arbitrase dapat dimulai, responden harus diberitahu bahwa ada ketidaksepakatan antara para pihak dan bahwa pemohon berencana untuk mengatasinya melalui lembaga arbitrase. Selain itu, pemohon harus segera mendaftar dan mengirimkan permohonan arbitrase ke BANI. Pihak Pemohon selanjutnya akan menjelaskan kepada BANI dimulainya Klausul Arbitrase.

  • 2.    proses pengangkatan dan penetapan arbiter

Pencalonan seorang arbiter menandai awal dari penyelesaian arbitrase, dan para pihak bebas untuk menyepakati arbiter tunggal, panel arbiter, atau untuk menyampaikan kesimpulan mereka kepada BANI. Ketua Pengadilan Negeri memutuskan putusan arbitrase jika klausulnya tidak tegas dan berdasarkan usulan para pihak. Dalam hal terjadi keraguan, arbiter juga dapat menerima atau menolak.

Menurut Pasal 12 Ayat 1 UU no. 30 Tahun 1999, menerangkan bahwasannya orang perseorangan yang bisa dipilih atau diangkat sebagai arbiter haruslah memiliki kriteria diantaranya yaitu: tidak dilandasi kepentingan finansial maupun kepentingan lain dalam putusan arbitrase, mampu melakukan kegiatan hukum, Berumur minimum 35 tahun, Tidak terdapat ikatan darah dengan salah satu pihak

yang bertikai atau karena perkawinan derajat kedua, Memiliki pengalaman minimal 15 tahun dan telah menjadi master di industrinya.

  • 3.    Proses tanggapan termohon

BANI selaku pemilik kewenangan menyampaikan surat salinan dari pemohon arbitrase kepada pihak termohon, BANI memberikan waktu kepada pihak termohon untuk mengemukakan tanggapan tertulis maksimal 30 hari.

Apabila pihak termohon memberi jawaban tertulis, termohon dapat sekaligus menunjuk arbiter melalui surat tersebut. Apabila pihak termohon tidak memberi balasan terhadap surat pemohon, dinyatakan termohon dianggap menyerahkan pemilihan arbiter kepada BANI. 12

  • 4.    Proses pemeriksaan dan pelaksanaan putusan arbitrase.

Dalam arbitrase alternatif, pemeriksaan tertulis atas sengketa diperlukan. Pemeriksaan lisan dapat diadakan jika semua pihak menyetujuinya dan arbiter atau majelis arbitrase menganggapnya penting. Saksi sekaligus saksi ahli diperiksa silang di depan arbiter maupun majelis arbitrase sesuai dengan standar hukum acara perdata.

Masalah tersebut harus diperiksa secara menyeluruh dalam waktu 180 hari sejak pembentukan arbiter maupun majelis arbitrase. Arbiter maupun majelis arbitrase akan berusaha menengahi dan mencari penyelesaian secara damai atas ketidaksepakatan para pihak jika mereka hadir pada hari yang telah ditentukan. Jika upaya perdamaian dilakukan, arbiter maupun majelis arbitrase harus membentuk akta perdamaian yang meyakinkan serta dapat dilaksanakan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Arbiter maupun majelis arbitrase menyusun dokumen rekonsiliasi yang bersifat mengikat dan final bagi pihak-pihak berperkara ketika upaya konsiliasi dilakukan, dan mereka menasehati mereka untuk selalu mematuhi persyaratannya. Jika pihak termohon tidak hadir di hadapan tergugat tanpa alasan yang baik pada hari yang sudah terjadwalkan, maka arbiter maupun majelis arbitrase harus secepatnya memanggil ulang tergugat. Bahkan tanpa kehadiran termohon, pemeriksaan akan tetap berjalan, dan kecuali gugatan pemohon tidak logis atau tanpa dukungan hukum, seluruh gugatan akan dikabulkan. Termohon hadir untuk sidang selambat-lambatnya 10 hari setelah menerima panggilan kedua. Kecuali panel menentukan bahwa jangka waktu yang lebih lama diperlukan, Majelis harus mencapai keputusan dalam waktu 30 hari dari kesimpulan persidangan. Majelis arbitrase memiliki kekuasaan, selain membuat keputusan akhir, untuk memberikan putusan pendahuluan, perantara, pasal, sementara dan/atau sebagian. Dalam masa empat belas (14) hari pasca

penghargaan diterima, para pihak diizinkan untuk memperbaiki kesalahan ketik, nama atau alamat yang salah eja, dan kesalahan administratif lainnya; namun, mereka tidak diizinkan untuk mengubah ketentuan dasar penghargaan.13

  • 3.2 Kekuatan hukum putusan penyelesaian sengketa bisnis diluar pengadilan (Non-Litigasi) melalui Arbitrase

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 berisi peraturan arbitrase untuk Indonesia. Menurut definisi arbitrase dalam Pasal 1 Ayat 1, dapat dikatakan tiga hal tentang pengertian yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999, yaitu:

  • 1.    Arbitrase adalah bentuk kesepakatan

  • 2.    Kesepakatan arbitrase diharuskan secara tertulis

  • 3.    Kesepakatan arbitrase adalah kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa yang dilakukan di luar peradilan umum.

Sebagaimana Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009 menerangkan bahwasannya upaya penyelesaian perkara perdata bisa dijalankan secara non-litigasi melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa, menjadi landasan pembahasan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.14

Putusan BANI bersifat mengikat bagi para pihak dan memiliki kedudukan hukum yang serupa dengan putusan Pengadilan Negeri yang telah berkedudukan hukum tetap, menjadi putusan tingkat pertama dan terakhir. Pengadilan Negeri tidak dapat meninjau kembali hasil putusan arbitrase, tetapi lembaga arbitrase dapat meminta bantuan pengadilan dalam melaksanakan putusan tersebut.

Kondisi berikut harus dipenuhi agar perjanjian arbitrase menjadi efektif dan sah dari tiga situasi berikut adalah :

  • a)    Diperlukan kesepakatan tertulis.

  • b)    Seluruh pihak harus bisa menutup serta memenuhi kontrak yang sudah ditandatangani bersama dengan itikad baik (good faith).

  • c)    Perjanjian tersebut harus memuat syarat-syarat yang secara tegas menolak kewenangan hukum arbitrase serta maksud dan kesepakatan para pihak, termasuk hal-hal yang disepakati dan yang dilarang.

Berdasarkan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, menegaskan jika putusan arbitrase sifatnya final sekaligus mengikat para pihak; tidak dapat dibantah, disangkal, atau

dipertimbangkan kembali. Menurut Sudargo Gautama, keputusan tersebut dapat dilakukan jika para pihak memiliki kontrak karena tidak dapat diubah. Jika klausul tidak menyatakan bahwa para pihak harus melihat keputusan sebagai final dan mengikat, upaya hukum lain, seperti kasasi dan banding, dapat digunakan.15

Agar dapat dilaksanakan, putusan arbitrase harus diajukan dalam masa tiga puluh (30) hari sejak putusan dibuat di Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya terletak di tempat termohon. Jika para pihak tidak mau menyelesaikan sengketa secara bebas, keputusan dapat diambil berdasarkan instruksi Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan salah satu pihak. Berdasarkan Pasal 61, Ketua Pengadilan Negeri diharuskan untuk mengeluarkan perintah eksekusi dalam waktu tiga puluh (30) hari pasca diterimanya permintaan. Hal ini dimungkinkan untuk membalikkan putusan arbitrase dalam beberapa cara. Putusan arbitrase ini hanya dapat dicabut bila telah memenuhi ketentuan dan persyaratan menurut Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Unsur-unsur berikut dapat hadir dalam putusan arbitrase, dan para pihak dapat meminta pembatalannya, menurut Pasal 70 Undang-Undang AAPS.

Menyusul pengajuan surat, putusan, ataupun dokumen untuk diperiksa dapat diketahui palsu atau dinyatakan palsu; dapat diketahui bahwa pihak lawan telah menyembunyikan dokumen penting; atau putusan dapat didasarkan pada bukti kecurangan yang dijalankan salah seorang pihak selama pemeriksaan perkara. Menurut Penjelasan UU AAPS Pasal 70, “Alibi permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini wajib dibuktikan dengan vonis majelis hukum. Jika pengadilan memutuskan bahwa alasan itu sah atau tidak sah, hakim dapat menggunakan putusan ini. Dalam memutuskan apakah akan menerima atau menolak permohonan tersebut.

Menurut Penjelasan Pasal 70 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan atas putusan arbitrase yang telah dicatat di pengadilan (UU AAPS). Dibatalkannya permohonan harus disertai dengan alasan yang didukung oleh putusan pengadilan agar hakim dapat memutuskan apakah permohonan itu diterima atau ditolak.

  • 4.    Kesimpulan

Arbitrase merupakan suatu upaya dalam menyelesaikan perkara secara langsung, cepat, dan terjangkau yang menggunakan prinsip-prinsip hukum peradilan sebagaimana diatur pada Pasal 48 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 1999. UU No. 30 Tahun 1999 mengatur arbitrase. 1) Para pihak berperkara diberikan pilihan guna menetapkan cara yang akan dilakukan dengan prosedur yang lugas, efisien dan memberikan hasil saling menguntungkan. 2) Para pihak yang berselisih memiliki ketertarikan pada hasil yang sama. 3) Arbitrase merupakan jalan penyelesaian perselisihan secara non litigasi (di luar pengadilan) yang memungkinkan pengambilan keputusan secara cepat, sederhana, dan terjangkau. 4) Putusan arbitrase bersifat final sekaligus bisa dilaksanakan tanpa menggunakan prosedur hukum juga

sangat mempercepat penyelesaian suatu sengketa dan menjamin kerahasiaan para pihak. Tahap pendaftaran, pemilihan dan pemilihan arbiter, jawaban termohon, dan terakhir peninjauan dan pelaksanaan putusan arbitrase merupakan langkah-langkah penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia selaku lembaga arbitrase mempunyai kekuatan hukum sama seperti Pengadilan Negeri, yaitu putusan tingkat pertama dan terakhir, bersifat final and binding bagi seluruh pihak yang berselisih; sehingga itu tidak bisa diajukan banding, dikuatkan pada banding, maupun tunduk pada pertimbangan ulang. Namun, bila salah seorang pihak ingin tidak mematuhi putusan arbitrase, maka putusan ini tetap wajib didaftarkan ke PN (Pengadilan Negeri) agar dapat dilaksanakan dan memberikan kejelasan hukum. Putusan arbitrase final dan mengikat dapat dikosongkan dalam beberapa cara. Hanya putusan arbitrase yang telah digugat di pengadilan yang dapat diminta untuk dicabut. Alasan permohonan pembatalan harus didukung oleh putusan pengadilan agar hakim dapat memutuskan apakah permohonan itu diterima atau ditolak.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dananjaya, Nyoman Satyayudha, Putra, Putu Rasmadi Arsha, dan Sudiarawan, Kadek Agus. “Buku Ajar Penyelesaian Sengketa Alternatif,” (Denpasar, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2017)

Yuhelson, H. “Hukum Arbitrase”. (Yogyakarta: CV. Arti Bumi Interan:2018), 4

Jurnal

Apsari, Ni Komang Ayuk Tri Buti, and Dewa Gede Rudy. "Perlindungan Hukum Dan Penyelesaian Sengketa Konsumen Belanja Online Di Luar Pengadilan." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 2, no. 2 (2014).

Boboy, Juwita Tarochi Boboy, Budi Santoso, and Irawati Irawati. "Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Mediasi Berdasarkan Teori Dean G. Pruitt Dan Jeffrey Z. Rubin." Notarius 13, no. 2: 803-818.

Cahyani, Kadek Anggiana Dwi, and I. Wayan Wiryawan. "Penyelesaian Sengketa Konsumen Apabila Tidak Hanya Satu Konsumen Yang Merasa Telah Dirugikan Oleh Produk Yang Sama."

Fadillah, Firda Ainun, and Saskia Amalia Putri. "Alternatif Penyelesaian Sengketa Dan Arbitrase (Literature Review Etika)." Jurnal Ilmu Manajemen Terapan 2, no. 6 (2021): 744-756.

Muskibah, Muskibah. "Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa." Jurnal Komunikasi Hukum 4, No. 2 (2018): 139-149.

Memi, Cut. "Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase Dan Pengadilan." Jurnal Yudisial 10, no. 2 (2017): 119.

Sembiring, Jimmy Joses, and M. SH. Cara menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan. Visimedia, 2011.

Septiani, Dinda Ayu Putri, and Edith Ratna. "Perkembangan Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Luar Pengadilan Melalui Proses Mediasi." Notarius 15, no. 1: 430-439.

Purnamasari, Ide Ayu Gde Wulan. "Kekuatan Mengikat Keputusan ARbitrase ICSID dalam Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal." Jurnal Hukum Kenotariatan 5 (2020).

Artikel

Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase” (Https://Smartlegal.Id/Smarticle/, Diakses Pada 25 Februari 2019).

Sumarto, “Penanganan Dan Penyelesaian Konflik Pertanahan Dengan Prinsip Win-Win Solution Oleh Badan Pertanahan Nasional RI” Disampaikan Pada Diklat Direktorat Konflik Pertanahan Kemendagri RI Tanggal 19 September, 2012. Hal 2.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang - Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 8 Tahun 2022 hlm 785-796

796