PENGATURAN MITIGASI BENCANA LIKUIFAKSI DALAM PERDA RTRW KABUPATEN JEMBRANA

I Putu Bagus Darma Saputra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Ketut Sudiarta, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Jurnal ini memiliki tujuan untuk mengetahui pengaturan zonasi kawasan rawan bencana yang diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana dan memberikan rekomendasi pentingnya pengaturan mitigasi bencana likuifaksi dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana. Metode yuridis normatif sebagai dasar metode penelitian dalam jurnal yang dikombinasikan dengan analisis peraturan perundang-undangan untuk menganalisis permasalahan hukum dalam topik bahasan. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana telah mengatur zonasi kawasan rawan bencana dari beberapa jenis potensi bencana yang ada. Namun terdapat salah satu jenis potensi bencana yang belum mendapat pengaturan mitigasi dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana, yaitu bencana likuifaksi yang potensi terjadinya bencana ini di beberapa wilayah Kabupaten Jembrana termasuk dalam kategori risiko sedang hingga risiko tinggi. Sehingga perlu untuk menambahkan pengaturan mitigasi bencana likuifaksi dalam porses revisi Perda RTRW Kabupaten Jembrana yang terbaru.

Kata Kunci: Mitigasi, Bencana Likuifaksi, Tata Ruang

ABSTRACT

The writing in this journal is motivated by the problem of liquefaction disaster mitigation regulation that have not been regulated in the Jembrana Regency Spatial Planning Regulation. This journal aims to find out the zoning regulation for disaster-prone areas as regulated in the Jembrana Regency Spatial Planning Regulation and provide recommendations for liquefaction disaster mitigation regulation in the Jembrana Regency Spatial Planning Regulations. The Normative Juridical Method as the basis for research methods in journals is combined with the analysis of legislation to analyze legal issues in the topic of discussion. The results is found that the Jembrana Regency Spatial Planning Regulation has regulated the zoning of disaster-prone areas from several types of potential disasters. However, there is one type of potential disaster that has not received mitigation regulation in the Jembrana Regency Spatial Planning, and that is namely the liquefaction disaster where the potential for this disaster in several areas of Jembrana Regency is included in the moderate to highrisk category. Because of that, it is necessary to add a liquefaction disaster mitigation regulation in the revision process of the latest Jembrana Regency Spatial Planning Regulation

Key Words: Mitigation, Liquefaction Disaster, Spatial Planning

  • I.    Pendahuluan

Sebagai bagian dari Provinsi Bali, Kabupaten Jembrana yang secara geografis terletak di ujung barat Pulau Bali, menjadi salah satu daerah pintu gerbang utama ke Bali. Kabupaten Jembrana memiliki 5 wilayah kecamatan dan terdiri dari 41 desa serta 10 kelurahan.1 Akibat dari total luas wilayahnya yang mencapai 841, 8 km2 atau setara dengan 14, 93% dari luas Provinsi Bali, menjadikan Kabupaten Jembrana sebagai kabupaten dengan luas wilayah terluas kedua di Bali setelah Kabupaten Buleleng.2 Sebagai kabupaten yang memiliki luas wilayah yang mumpuni, perlu adanya pengaturan ruang wilayah kabupaten dan batasan tentang penggunaan ruang dengan dituangkan dalam peraturan daerah kabupaten. Pengaturan tersebut dapat ditemukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jembrana Tahun 2012-2032 yang selanjutnya dalam pembahasan ini disebut dengan Perda RTRW Kabupaten Jembrana. Perda tersebut, salah satunya mengatur terkait beberapa wilayah strategis milik provinsi yang terletak di wilayah Kabupaten Jembrana. Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) huruf a Perda RTRW Kabupaten Jembrana, menyatakan bahwa ditinjau dari sudut pandang kepentingan perekonomian, maka suatu wilayah strategis milik dari Provinsi Bali yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Jembrana, mencakup:

  • 1.    Perkotaan Negara di wilayah Kec. Jembrana dan Kec. Negara;

  • 2.    Pelabuhan Laut Nasional Gilimanuk di wilayah Kec. Melaya;

  • 3.    Pelabuhan L a u t Kh u s u s Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan di Kec. Negara;

  • 4.    Kawasan Daya Tarik Pariwisata Pesisir Perancak yang mencakup sebagian dari wilayah Kec. Pekutatan, Kec. Mendoyo, serta Kec. Jembrana;

  • 5.    Kawasan Daya Tarik Khusus Bendungan Palasari dengan lokasi di Kec. Melaya;

  • 6.    Kawasan Daya Tarik Khusus Gilimanuk yang berada di Kec. Melaya;

  • 7.    Wilayah Khusus Industri di wilayah Pengambengan, Kec. Negara; dan

  • 8.    Wilayah di sepanjang Jalan Nasional Ruas Denpasar-Gilimanuk sebagai jalan arteri primer.

Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (2) huruf b Perda RTRW Kabupaten Jembrana, menyatakan bahwa apabila ditinjau dari sudut pandang kepentingan lingkungan hidup, terdapat beberapa kawasan strategis milik provinsi di Jembrana yang mencakup area: 1. Seluruh hutan lindung yang tersebar di wilayah Jembrana; 2. Wilayah Taman Nasional Bali Barat (TNBB) yang mencakup Kec. Melaya; 3. Semua area pegunungan di Kabupaten Jembrana; 4. Semua kawasan pesisir; dan 5. Daerah aliran sungai yang terletak dan mengalir melintasi antar kabupaten.

Selain memiliki cakupan wilayah yang luas dan sebagian juga ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi, perlu diketahui bahwa Kabupaten Jembrana juga menyimpan beragam ancaman potensi bencana yang beberapa telah dipetakan sebaran lokasi rawan bencana melalui peraturan daerah. Strategi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengurangan Bencana memberikan definisi bencana ialah selaku sesuatu kendala yang sungguh-sungguh berakibat pada keberfungsian suatu masyarakat di suatu wilayah, sehingga berdampak pada kerugian yang meluas terhadap aspek kehidupan, baik dari segi raga, harta benda, dan aspek kewilayahan

yang melampaui batasan kemampuan warga masyarakat dalam mengatasinya. Merujuk pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang selanjutnya disebut Undang-Undang Penanggulangan Bencana, menyatakan bencana sebagai suatu rangkaian peristiwa dengan dampak mengancam aspek suatu kehidupan dan jalan penghidupan masyarakat, karena faktor yang bersumber dari alam itu sendiri, bersumber dari non-alam, ataupun akibat kesalahan dari manusia sehingga berdampak terhadap timbulnya korban jiwa, dampak trauma yang mendalam, kerugian materiil, serta rusaknya lingkungan. Oleh karena itu, definisi dari bencana memuat 3 kriteria fundamental yaitu: 1. bencana sebagai suatu peristiwa mengancam dan merusak (hazard); 2. peristiwa tersebut mengancam aspek penghidupan dan kehidupan serta keberfungsian suatu masyarakat; serta 3. mengakibatkan korban jiwa, kerusakan, kerugian serta dampak psikologis yang melewati batas kemampuan manusia untuk meresponnya dengan sumber daya dan kemampuan yang dimilikinya.

Ancaman potensi bencana dapat mengganggu kehidupan masyarakat dan apabila tidak diatur terkait aspek mitigasi dan penanggulangannya, maka akan berdampak buruk apabila bencana tersebut benar-benar terjadi di kemudian hari. Terjadinya suatu bencana dapat berdampak sangat signifikan terhadap beragam aspek kehidupan, seperti aspek perekonomian, kesejahteraan sosial, kesehatan masyarakat serta politik suatu negara. Dampak bencana terhadap masyarakat berupa dampak secara langsung yang diakibatkan saat terjadi bencana, dampak yang tidak langsung dirasakan ketika terjadinya bencana serta dampak lanjutan pasca bencana.3 Dampak langsung bencana dapat berupa kerugian/kehilangan aspek finansial dari rusaknya aset materiil ekonomi berupa bangunan rumah tempat tinggal, tempat untuk usaha serta kerusakan infrastruktur publik. Dampak secara tidak langsung dari bencana meliputi terhentinya suatu siklus proses produksi-distribusi-konsumsi suatu barang, sehingga berdampak pada berkurang atau hilangnya pendapatan masyarakat. Begitu pula dengan dampak lanjutannya dapat mengakibatkan pada ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi wilayah, mengganggu rencana pembangunan di suatu wilayah dan menambah beban anggaran untuk rekonstruksi pasca bencana. Oleh sebab itu, kehadiran negara dalam berperan melaksanakan mitigasi dan penanggulangan bencana menjadi sangat penting untuk dilaksanakan dan juga memerlukan dukungan serta tanggung jawab seluruh pihak.

Apabila dikaitkan dengan konsep "Rechtsstaat,"maka yang dapat disebut sebagai sebuah negara hukum "Rechtsstaat,"yaitu suatu negara yang berlandaskan atas hukum untuk mewujudkan keadilan bagi rakyatnya. Konsep demikian, selaku penciri dari sebuah konsep negara hukum modern ataupun yang lebih dikenal dengan sebutan Welfare State. Patuhnya negara terhadap hukum, berlaku juga terhadap bermacam sendi-sendi kehidupan negara, diantaranya adalah urusan penyusunan rencana tata ruang dan penanggulangan terhadap potensi bencana.4 Melalui peran negara, maka perlu adanya pengaturan yang sistematis terkait upaya pencegahan untuk mengurangi dampak risiko bencana. Merujuk pada Pasal 1 angka 9, Undang-Undang

Penanggulangan Bencana memberikan pengertian terkait mitigasi sebagai suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk meminimalisir risiko bencana, baik itu melalui proses pembangunan fisik ataupun dengan usaha peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk merespon adanya ancaman dari suatu bencana. Salah satu instrumen hukum yang dapat digunakan sebagai sarana mitigasi terhadap ancaman potensi bencana yaitu dengan membuat suatu aturan terhadap zonasi kawasan yang dinilai rawan bencana dalam kaitannya dengan penataan ruang yang termuat dalam suatu Perda RTRW. Adanya peran negara dalam menetapkan aturan terhadap zonasi kawasan yang dinilai rawan bencana juga berkaitan dengan program penanggulangan dan mitigasi terhadap bencana, sebagai wujud program pemerintah yang berfokus terhadap peran dari pemerintah dengan tujuan utamanya adalah demi meminimalisir, mengatasi dan mencegah adanya dampak potensi bencana yang terjadi.5

Melaksanakan pengaturan mitigasi bencana yang merupakan tanggung jawab negara dalam menanggulangi terjadinya suatu bencana, merupakan bagian dari amanat UUD 1945. Penanggulangan bencana dapat dikatakan sebagai sebuah kewajiban negara dalam menjalankan amanat konstitusi negara untuk melindungi seluruh tumpah darah rakyat Indonesia.6 Selain itu, disebutkan juga di Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, bahwa menjamin penegakan, perlindungan, pemajuan serta pemenuhan atas HAM bagi warga negaranya, merupakan tanggung jawab negara. Pengaturan terhadap mitigasi bencana dipandang sangat penting, mengingat bahwa perlindungan warga negara dari adanya bencana juga tergolong sebagai HAM yang mesti dilindungi oleh negara. Adanya ketentuan tersebut, mencerminkan bahwa konstitusi Indonesia telah mengamanatkan kepada negara untuk melindungi segenap bangsa, yang dalam hal ini adalah melindungi dari ancaman potensi bencana yang dapat terjadi melalui program penanggulangan bencana. Ditegaskan kembali dalam rangkuman Pasal 9 ayat (1), (2), hingga (3) di dalam Undang-Undang HAM, bahwa hak untuk hidup dan meningkatkan taraf hidup masing-masing individu merupakan hak yang dijamin negara untuk seluruh warga negaranya. Selain itu, hak atas rasa aman, damai, kesejahteraan serta kebahagiaan spiritual dan material merupakan hak bagi setiap orang. Serta disebutkan pula, memiliki hak untuk untuk dapat hidup di lingkungan yang sehat dan nyaman adalah hak setiap rakyat Indonesia. Implikasi dari ketentuan tersebut adalah ketika terjadi bencana maka akan berdampak pada meningkatnya risiko pelanggaran hak untuk hidup, termasuk adanya potensi penurunan taraf hidup masyarakat. Karena mungkin dulunya masyarakat bisa hidup nyaman dan nyaman, tetapi ketika terjadi bencana alam, keadaan berubah sehingga menyebabkan hilangnya tempat tinggal, harta benda, dan sumber nafkah hidup, yang dapat menurunkan taraf kehidupan mereka.7 Oleh karena itu, keberadaan risiko dan potensi bencana,

sebagaimana ditentukan oleh kerentanan yang ada, harus diperhitungkan oleh negara untuk menerapkan langkah mitigasi bencana yang semaksimal mungkin.

Terkait dengan hubungan antara penanggulangan bencana, khususnya terkait mitigasi bencana dengan penataan ruang, dapat disimak korelasinya dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juncto UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang selanjutnya disebut Undang-Undang Penataan Ruang, menyatakan pelaksanaan dari penataan terhadap ruang wilayah Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional yang tujuannya adalah demi terwujudnya ruang nasional yang aman, nyaman, efisien, serta berkelanjutan. Adanya peraturan ini juga menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan perencanaan tata ruang memiliki harapan agar tercipta lingkungan aman dan nyaman, sehingga masyarakat dapat bekerja lebih efisien dan dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik dengan menekankan ekonomi berkelanjutan. Selain itu, Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Penataan Ruang juga menerangkan bahwa pemerintah menjalankan kegiatan perencanaan ruang di Indonesia perlu untuk memperhatikan kondisi fisik kawasan yang rawan terhadap potensi bencana. Sehingga perencanaan penataan ruang dapat menjadi alat mitigasi bencana yang memiliki landasan yuridis, mengingat bahwa potensi ancaman bencana alam di Indonesia yang tergolong sebagai wilayah yang rawan bencana. Apabila merujuk Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Penataan Ruang, dalam penerapan suatu rencana tata ruang wilayah, berfokus untuk meminimalisir potensi terjadinya suatu bencana dengan memperhatikan pengaturan rencana tata ruang wilayah, mengecek standar keamanan. dan formulasi sanksi bagi pelanggarnya. Dengan demikian, dengan adanya peraturan ini jelas terlihat adanya korelasi yang sangat erat dan konsisten antara aspek penanggulangan bencana dan perencanaan tata ruang.

Berpedoman pada Pasal 5 Undang-Undang Penanggulangan Bencana, mengatur bahwa pemerintah pusat dan daerah berkewajiban dan bertanggung jawab atas penanggulangan bencana. Perlu dipahami bahwa dalam Pemerintahan di Indonesia terbagi menjadi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.8 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah teruntuk aspek pelaksanaan penanggulangan terhadap bencana diatur di dalam Lampiran I Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren dan dalam Bagian E Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Ketentraman dan Ketertiban Umum serta Perlindungan Masyarakat dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juncto UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk aspek penanggulangan terhadap bencana terbagi menjadi urusan Penanggulangan Bencana Nasional dengan Pemerintah Pusat sebagai pelaksananya, serta Penanggulangan Bencana Provinsi yang dijalankan oleh Pemprov, dan Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota oleh Pemkab/Pemkot..

Apabila merujuk pada Perda RTRW Kabupaten Jembrana, maka substansi penyelenggaraan program mitigasi bencana, khususnya terkait dengan bencana alam, telah diatur dan memuat beberapa pengaturan mitigasi dari beberapa jenis bencana. Oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana, pengaturan mitigasi bencana telah disinkronisasikan dengan Perda RTRW Kabupaten Jembrana dengan menetapkan daerah rentan terjadi bencana alam, daerah yang rentan terjadi bencana geologi,

termasuk kawasan lindung yang termasuk dalam bagian pola ruang wilayah kabupaten. Muta’ali menjelaskan Hubungan antara penataan ruang dan risiko bencana meliputi 2 (dua) aspek, yaitu hubungan antara pola ruang dengan risiko bencana dan juga hubungan antara wilayah kerawanan bencana dengan risiko bencana.9 Pola ruang dengan risiko bencana memiliki hubungan yang berkaitan, yakni pada dasarnya adalah sejauh mana dampak, kerugian, dan risiko bencana didasarkan pada model peruntukan ruang yang sebelumnya telah direncanakan. Sedangkan hubungan antara wilayah rawan bencana dan risiko bencana adalah bahwa wilayah rawan bencana adalah wilayah yang sangat memungkinkan untuk terjadinya suatu bencana. Namun, perlu dicatat bahwa kawasan rawan bencana bukanlah kawasan yang harus bersih tanpa adanya aktivitas manusia. Dalam memprediksi tingkat risiko bencana di setiap wilayah yang terkena kerawanan bencana, jika alokasi ruang dikhususkan untuk kegiatan lain, maka akan dikelompokkan ke dalam banyak jenis risiko yang akan dihadapi. Tingginya risiko terjadinya bencana di suatu wilayah dibedakan menjadi risiko tinggi, risiko sedang/menengah, risiko rendah, dan risiko sangat rendah. Oleh karena itu, adanya kawasan rawan bencana dapat mempengaruhi seberapa besar risiko bencana yang dapat terjadi di wilayah tersebut.

Apabila dikaitkan dengan mitigasi bencana di Kabupaten Jembrana, maka dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana diklasifikasikan sebagai wilayah dengan kerentanan bencana dan wilayah dengan kerentanan bencana alam geologi. Menurut Pasal 38 ayat (1) Perda RTRW Kabupaten Jembrana, terdapat beberapa jenis bencana yang sering terjadi di kawasan rawan bencana, yaitu: a. longsoran tanah; b. gelombang naik pasang; dan c. banjir. Sedangkan yang diatur dalam kawasan rawan bencana geologi, berdasarkan Pasal 39 ayat (2) Perda RTRW Kabupaten Jembrana yaitu mencakup: a. getaran seismik/gempa bumi; b. pergerakan tanah; c. gelombang Tsunami; d. abrasi pantai. Adanya pengaturan mitigasi bencana dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana, menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana telah peka dalam mengimplementasikan isu mitigasi bencana ke dalam aspek tata ruang wilayah melalui adanya Perda RTRW Kabupaten Jembrana. Namun masih terdapat kelemahan dalam perda tersebut, yakni dari semua jenis bencana yang diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana, belum terdapat pengaturan mitigasi bencana Likuifaksi yang seharusnya diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana

Bencana Likuifaksi adalah suatu bencana yang mengakibatkan hilangnya ketahanan tanah akibat guncangan seismik gempa bumi yang terjadi di suatu wilayah pada skala tertentu.10 Bencana likuifaksi yang biasanya terjadi setelah adanya gempa dengan magnitudo besar, dicirikan oleh pergerakan tanah secara horizontal, munculnya rembesan air dari patahan-patahan di dalam tanah, pergerakan struktur miring atau runtuh, penurunan permukaan tanah, dan munculnya longsor pada tanggul dan lereng.11 Dampak bencana Likuifaksi dapat berdampak buruk pada

permukaan tanah, mulai dari kerusakan dengan skala lokal hingga kerusakan dalam skala besar/luas. Bencana Likuifaksi dapat memberikan dampak yang beragam pada lapisan permukaan tanah, mulai dari munculnya sandblasting di permukaan tanah, hilangnya air dalam sumur tanah, hingga dikombinasikan dengan pergerakan permukaan tanah. Ancaman potensi bencana likuifaksi menjadi penting untuk segera dilakukan pengaturan mitigasinya, mengingat bahwa wilayah Kabupaten Jembrana yang memiliki potensi terjadinya bencana likuifaksi mencakup wilayah strategis provinsi yang berada di wilayah Kabupaten Jembrana.

Menurut penelitian dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia Pengurus Daerah Bali pada tahun 2019 telah berhasil memetakan beberapa daerah di Bali yang yang memiliki potensi bencana Likuifaksi, yaitu seperti di daerah Perancak Kabupaten Jembrana, daerah Gerokgak dan Seririt di Kabupaten Buleleng dan daerah Teluk Benoa di Kabupaten Badung.12 Senada dengan penelitian tersebut, maka dalam data yang dirilis oleh Badan Geologi, Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Kemen ESDM, melalui publikasi Atlas Zona Kerentanan Likuefaksi Indonesia Tahun 2019, memberikan data sebaran ancaman potensi bencana Likuifaksi di Indonesia. Untuk di Provinsi Bali sendiri, terdapat 6 kabupaten/kota yang memiliki ancaman potensi bencana Likuifaksi yaitu Denpasar, Karangasem, Klungkung, Jembrana, Badung serta Buleleng. Untuk di wilayah Jembrana sendiri, cakupan area rawan bencana likuifaksi mencakup kawasan strategis provinsi yang berada di wilayah Kabupaten Jembrana. Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan di awal, maka permasalahan terkait kekosongan norma pengaturan mitigasi bencana likuifaksi yang seharusnya termuat dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana, mesti segera diatur dalam revisi Perda RTRW Kabupaten Jembrana yang terbaru.

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ida Bagus Oka Agastya dan kawan-kawan pada tahun 2019 dengan judul artikel penelitian "The Potential of Liquefaction in Bali Based on Geology and Its Relation to Earthquake Events" yang disampaikan dalam kegiatan the 49th IAGI Annual Convention & Exhibition Lombok, December 15-18th 2020 membahas mengenai potensi likuifaksi di Pulau Bali dan kaitannya dengan kejadian gempa yang pernah terjadi di Bali. Hasil kajian menunjukkan bahwa 4 wilayah di Bali berpotensi terjadi bencana likuifaksi, yaitu di daerah Seririt, dan Gerokgak di Kabupaten Buleleng, daerah Perancak di Kabupaten Jembrana, dan Teluk Benoa di Kabupaten Badung.13 Selanjutnya menurut penelitian oleh Muhamad Fadillah, Dewi Kania Sugiharti dan Abi Ma’ruf Radjab dalam jurnal berjudul "Peranan Pemerintah dalam Pelaksanaan Mitigasi Bencana" yang dipublish pada tahun 2020 melalui jurnal Magistra Law Review, menyampaikan bahwa bentuk mitigasi bencana terbaik yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yaitu dengan melakukan perencanaan, pelaksanaan penataan ruang dan tata bangunan, penyediaan infrastruktur pendukung mitigasi bencana, serta menyelenggarakan pendidikan serta penyuluhan.14

Berdasarkan hasil penelitian prosiding dan jurnal yang telah disampaikan sebelumnya, terdapat urgensitas pengaturan aspek mitigasi bencana likuifaksi di Kabupaten Jembrana, mengingat daerah Perancak di Kabupaten Jembrana tergolong

sebagai wilayah dengan potensi terjadinya bencana likuifaksi dengan jumlah kepadatan penduduk yang cukup tinggi, ditambah juga dengan aspek pengaturannya dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana yang belum diatur secara maksimal. Oleh karena itu, kajian penelitian dalam jurnal ini berfokus mengkaji hubungan antara pengaturan zonasi kawasan rawan bencana yang diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana dengan pengaturan mitigasi potensi bencana likuifaksi di Kabupaten Jembrana yang seharusnya diatur dalam produk hukum daerah, khususnya dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana. Sehingga dapat diketahui secara komprehensif terkait bagaimana sejatinya aspek pengaturan mitigasi bencana likuifaksi yang seharusnya diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana. Diharapkan melalui penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan rekomendasi bagi pihak pemangku kepentingan dalam mengatur aspek mitigasi bencana likuifaksi di Kabupaten Jembrana.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penulisan jurnal ini, berfokus untuk mengangkat tema pembahasan terkait hal-hal meliputi:

  • 1)    Bagaimana pengaturan zonasi kawasan rawan bencana yang diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana?

  • 2)    Mengapa perlu adanya pengaturan mitigasi bencana Likuifaksi dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana?

  • 1.3    Tujuan

Mengetahui pengaturan zonasi kawasan rawan bencana yang diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana dan memberikan rekomendasi terkait perlu adanya pengaturan mitigasi bencana Likuifaksi dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana.

  • 2.    Metode Penelitian

Model penelitian dalam tinjauan jurnal ini berfokus pada model penelitian yuridis normatif, dengan fokus kajian suatu peraturan, berkaitan dengan permasalahan yang dibahas melalui pendekatan konseptual dan teori-teori terkait dalam ilmu hukum.15. Problematika pada penelitian ini berfokus pada isu hukum berupa kekosongan norma dalam pengaturan substansi mitigasi bencana likuifaksi yang seharusnya diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana dengan minimal memuat peta rawan bencana likuifaksi di Kabupaten Jembrana yang sama sekali belum diatur dalam perda ini. Melalui model penelitian ini, selanjutnya dapat menerangkan ketentuan umum terkait mitigasi bencana di wilayah Jembrana yang tertuang dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana serta ditemukan adanya kekosongan norma dalam pengaturan mitigasi bencana likuifaksi di Kabupaten Jembrana. Penelitian dalam tinjauan ini bersifat analitik, memberikan konsep masalah yang dibahas dengan menganalisis ketentuan hukum yang relevan untuk memberikan jawaban atas masalah penelitian.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Zonasi Kawasan Rawan Bencana yang Diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana

Pengaturan zonasi kawasan rawan bencana dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana berkaitan erat dengan pengaturan rencana pola ruang yang diatur di Pasal 26 ayat (1) Perda RTRW Kabupaten Jembrana. Ketentuan ini mengatur bahwa penataan ruang wilayah yang merujuk pada kesesuaian pola spasial di Jembrana, mencakup wilayah konservasi/lindung dan wilayah untuk budidaya. Terkait pembagian dalam wilayah lindung, menurut Pasal 27 Perda RTRW Kabupaten Jembrana membagi menjadi beberapa bagian, antara lain:

  • a.    hutan konservasi lindung;

  • b.    wilayah lindung untuk perlindungan area di bawahnya;

  • c.    wilayah lindung lokal;

  • d.    cagar alam dan cagar budaya;

  • e.    daerah rawan bencana alam;

  • f.    wilayah geologi yang dilindungi; serta

  • g.    wilayah lindung lainnya.

Adanya zonasi kawasan rawan bencana erat kaitannya dengan kawasan lindung yang tingkat kerentanan lingkungannya dapat terdiri dari parameter hutan lindung, hutan alam, hutan bakau/mangrove, semak belukar, dan rawa.16 Sebuah kawasan lindung mencakup penataan wilayah rawan bencana alam dan wilayah rawan bencana geologi yang di kedua area tersebut memiliki ketentuan zonasi rawan terhadap bencana. Sehingga, pengaturan zonasi kawasan rawan bencana dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana meliputi zonasi wilayah rawan bencana alam dan rawan bencana alam geologi.

Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 38 ayat (1) Perda RTRW Kabupaten Jembrana yang menyatakan bahwa wilayah rawan bencana alam meliputi wilayah rentan longsoran tanah; wilayah rentan gelombang naik pasang; dan wilayah rentan tergenang banjir. Sebaran lokasi zonasi wilayah rentan bencana alam, termasuk wilayah rawan longsor, diatur dalam Pasal 38 ayat (2) Perda RTRW Kabupaten Jembrana yang menyatakan bahwa sebaran wilayah rentan longsoran tanah terdapat di Area Hutan Konservasi/Lindung wilayah Desa Manggissari di Kec. Pekutatan, wilayah Desa Berangbang di Kec. Negara, serta wilayah Desa Yehsumbul di Kec. Mendoyo. Sebaran daerah rentan bencana alam akibat gelombang naik pasang diatur di dalam Pasal 38 ayat (3) yang tersebar di wilayah pesisir pantai Kabupaten Jembrana dengan rincian yaitu:

  • a.    Wilayah pesisir di Desa Tuwed, Desa Melaya, Desa Candikusuma, serta Kelurahan Gilimanuk Kelurahan Gilimanuk, yang berlokasi di Kecamatan Melaya;

  • b.    Wilayah pesisir di Desa Pengambengan, Desa Cupel, Desa Baluk, Desa Tegalbadeng Barat dan Desa Banyubiru yang terletak di Kec. Negara;

  • c.    Wilayah pesisir di Desa Yehembang, Desa Yehsumbul, Desa Yehembang Kauh, Desa Penyaringan Desa Yehembang Kangin serta Desa Delodberawah di Kec. Mendoyo; serta

  • d.    Wilayah pesisir di Desa Pengragoan, Desa Pekutatan, Desa Pulukan, Desa Gumbrih dan Desa Medewi di Kec.Pekutatan.

Sebaran untuk lokasi zonasi kawasan rawan bencana banjir juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 38 ayat (4) dengan cakupan luas kawasan mencapai 200 Ha (dua ratus hektar) yang melingkupi wilayah Kawasan Lingkungan Koprahan dan Desa Pangyangan di Kec. Pekutatan, akibat kondisi sungai Banjar Yeh Lebah yang sering meluap ketika terjadi hujan lebat di wilayah hulu sungai; serta Kawasan seputaran Desa Pegambengan dan Kelurahan Lelateng, Loloan Barat serta Baler Bale Agung, akibat drainase kawasan yang tidak lancar dalam menyalurkan aliran air ketika terjadi hujan lebat. Terkait sebaran wilayah rentan bencana geologi di wilayah Jembrana, pengaturannya terdapat dalam Pasal 39 ayat (2), yaitu kawasan bencana alam geologi meliputi: a. wilayah rawan guncangan seismik/gempa bumi; b. wilayah rawan pergerakan tanah; d. wilayah rawan gelombang Tsunami; dan e. wilayah rawan abrasi pantai. Potensi guncangan seismik akibat gempa bumi di wilayah Jembrana termasuk dalam potensi sedang dengan sebaran wilayah area rawan gempa bumi dengan luas total kurang lebih 6.755 Ha (enam ribu tujuh ratus lima puluh lima hektar) termasuk di wilayah Mendoyo dengan luas area 2.021 Ha (dua ribu dua puluh satu hektar), untuk wilayah Pekutatan seluas 83 Ha (delapan ratus tiga puluh empat hektar), wilayah Negara seluas 2.473 (dua ribu empat ratus tujuh puluh tiga hektar), serta seluas kurang lebih 1.427 Ha (seribu empat ratus dua puluh tujuh hektar) terletak di wilayah Melaya. Untuk wilayah rawan longsoran tanah termasuk daerah dengan kondisi fisik berupa perbukitan terjal yang terletak di wilayah Pekutatan, Mendoyo dan Melaya. Zonasi rawan bencana gelombang Tsunami membentang di sepanjang garis pantai di wilayah Jembrana meliputi pantai-pantai di sepanjang wilayah Pekutatan, Melaya, Mendoyo, Jembrana dan juga di Negara dengan tingkat kerentanan potensi sedang. Hal serupa juga terjadi dengan persebaran zonasi wilayah rentan abrasi pantai juga tersebar menyeluruh di wilayah pesisir pantai Jembrana yang mencakup 5 (lima) kecamatan. 3.2 Pentingnya Pengaturan Mitigasi Bencana Likuifaksi dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana

Pengaturan aspek mitigasi bencana di Kabupaten Jembrana melalui penetapan zonasi kawasan rawan bencana, memperlihatkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana telah mengimplementasikan dan menyinkronkan aspek mitigasi bencana ke dalam aspek tata ruang wilayah melalui adanya Perda RTRW Kabupaten Jembrana. Akan tetapi, masih terdapat kelemahan dalam perda tersebut, yakni dari semua jenis bencana yang diatur, belum terdapat pengaturan terkait mitigasi bencana Likuifaksi yang seharusnya diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana. Oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana, seharusnya dapat menambah daftar jenis bencana serta penambahan pengaturan zonasi kawasan rawan bencana terkait bencana Likuifaksi yang dapat digolongkan ke dalam jenis bencana alam geologi dengan diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana.

Secara umum, bencana Likuifaksi merupakan bencana alam lanjutan yang diakibatkan oleh gempa bumi dengan skala magnitudo besar yang mengguncang suatu wilayah. Selain akibat skala magnitudo gempa bumi yang besar, kondisi geologi dan morfologi suatu wilayah juga sangat berperan tinggi dalam mempengaruhi tingkat bencana Likuifaksi yang terjadi.17 Untuk mengetahui potensi ancaman bencana Likuifaksi di suatu wilayah, secara lebih lanjut dapat dilakukan pengujian di lapangan yang dilakukan dengan menggunakan metode CPT (Cone Penetration Test), uji lubang

bor, dan pengamatan muka air tanah. Bencana Likuifaksi biasanya merupakan bencana lanjutan setelah terjadinya gempa dengan magnitudo besar, dengan ciri pergerakan tanah ke arah horizontal, munculnya air yang merembes dari celah-celah tanah, pergerakan bangunan miring atau roboh dan terjadinya penurunan tanah. Menurut Marcuson (1978) mendefinisikan bencana Likuifaksi sebagai fenomena transformasi material granular suatu tanah dari wujud padat ke cair sebagai akibat dari peningkatan tekanan pori dan tegangan efektif yang hilang secara tiba-tiba, sehingga dapat menyebabkan struktur tanah menjadi gembur dan menyebabkan bangunan di atasnya runtuh.18

Gambar 1. Peta Zona Kerentanan Likuifaksi di Provinsi Bali

Sumber Gambar: Atlas Zona Kerentanan Likuefaksi Indonesia, Badan Geologi Kemen ESDM, 2019.

Ancaman potensi bencana likuifaksi menjadi penting untuk segera dilakukan pengaturan mitigasinya, mengingat bahwa wilayah Kabupaten Jembrana yang memiliki potensi terjadinya bencana likuifakasi, meliputi wilayah penting dan strategis milik provinsi serta wilayah penting dan strategis milik Kabupaten Jembrana. Menurut penelitian dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia Pengurus Daerah Bali pada tahun 2019

telah berhasil memetakan beberapa daerah di Bali yang yang memiliki potensi bencana likuifaksi seperti di daerah Perancak Kabupaten Jembrana, daerah Gerokgak dan Seririt di Kabupaten Buleleng dan daerah Teluk Benoa di Kabupaten Badung. Senada dengan penelitian tersebut, maka dalam data yang dirilis oleh Badan Geologi, Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Kementerian Kemen ESDM, melalui Atlas Zona Kerentanan Likuefaksi Indonesia Tahun 2019 memberikan data sebaran ancaman potensi bencana Likuifaksi di Indonesia. Untuk di Provinsi Bali sendiri, terdapat 6 kabupaten/kota yang memiliki ancaman potensi bencana Likuifaksi yaitu Klungkung, Buleleng, Jembrana, Badung, Denpasar dan Karangasem. Melalui data Peta Zona Kerentanan Likuifaksi di Provinsi Bali menunjukkan sebaran lokasi yang memiliki ancaman potensi bencana likuifaksi dengan warna kuning melambangkan sebaran lokasi zona kerentanan likuifaksi sedang, serta warna ungu melambangkan sebaran lokasi dengan zona kerentanan likuifaksi tinggi.

Gambar 2. Peta Zona Kerentanan Likuifaksi di Kabupaten Jembrana

Sumber Gambar: Atlas Zona Kerentanan Likuefaksi Indonesia, Badan Geologi Kemen ESDM,

Untuk di Kabupaten Jembrana sendiri, cakupan kawasan rawan bencana likuifaksi mencakup kawasan strategis provinsi yang berada di wilayah Kabupaten Jembrana yaitu mencakup: 1. Perkotaan Negara di wilayah Kec. Jembrana dan Kec. Negara; 2. Pelabuhan Laut Nasional Gilimanuk di wilayah Kec. Melaya; 3. Pelabuhan Laut Khusus Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan di Kec. Negara; 4. Kawasan Daya Tarik Pariwisata Pesisir Perancak yang mencakup sebagian dari wilayah Kec. Pekutatan, Kec. Mendoyo, serta Kec. Jembrana; 5. Kawasan Daya Tarik Khusus Bendungan Palasari dengan lokasi di Kec. Melaya; 6. Kawasan Daya Tarik Khusus Gilimanuk yang berada di Kec. Melaya; 7. Wilayah Khusus Industri di wilayah Pengambengan, Kec. Negara; dan Wilayah di sepanjang Jalan Nasional Ruas Denpasar-Gilimanuk sebagai jalan arteri primer yang juga sebagian melewati kawasan rawan bencana likuifaksi.

Wilayah di Kabupaten Jembrana yang memiliki ancaman potensi bencana likuifaksi tergolong berada pada kawasan yang strategis dengan cakupan yang cukup luas, serta dengan tingkat kerentanan sedang hingga kerentanan tinggi. Menurut Buku

Atlas tentang Zona Kerentanan Likuefaksi Indonesia yang dipublikasikan oleh Badan Bidang Geologi, Kemen ESDM tahun 2019, menyatakan bahwa zona kerentanan likuifaksi sedang merupakan jenis daerah rawan yang dapat mengalami bencana likuifaksi secara tidak langsung, karena struktur tanahnya sering rusak. Selain itu, jenis kerusakan struktur tanah yang terjadi dapat berupa perpindahan horizontal, perpindahan vertikal dan fenomena semburan pasir. Sedangkan untuk zona rawan likuifaksi dengan potensi tinggi didefinisikan sebagai kawasan yang dapat mengalami bencana Likuifaksi secara merata, dengan kerusakan dan kehancuran struktural yang parah. Untuk zona kerentanan likuifaksi tinggi, memiliki tipe kerusakan destruktif pada struktur tanah yang juga berupa flow liquefaction, horizontal displacement, vertical displacement dan sand boil.

Kehadiran Negara dalam penanggulangan bencana sangat penting, mengingat bahwa adanya suatu bencana merupakan suatu ancaman terhadap kelangsungan hidup rakyat, dan dengan kata lain berkaitan dengan keamanan rakyat.19 Sesuai dengan yang arahan Undang-Undang Penanggulangan Bencana, maka diharapkan pelaksanaan penanggulangan bencana, baik di pusat dan daerah dapat ditingkatkan, karena berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah terkait pelaksanaan penanggulangan bencana. Merujuk pada konsep manajemen bencana, maka rangkaian fase penanggulangan bencana meliputi fase mitigasi, fase persiapan kesiapsiagaan, fase tanggap darurat, dan fase pemulihan.20 Menurut Pasal 33 Undang-Undang Penanggulangan Bencana, menyatakan bahwa dalam penanggulangan bencana mencakup 3 (tiga) siklus alur tahapan yang berjalan secara terarah dan berkesinambungan, yang mencakup tahap sebelum terjadinya bencana, tahap tanggap darurat bencana, dan tahap pasca terjadinya bencana. Sebagai bagian siklus penanggulangan bencana, ketiga fase tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan. Aspek mitigasi bencana ini termasuk dalam periode pra bencana, dimana tujuan utamanya adalah untuk meminimalisir risiko bencana, yang dilakukan dengan memperbaiki pembangunan aspek sarana fisik serta membangun kesadaran untuk peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Peningkatan ketahanan terhadap bencana dapat dimulai dengan peran pemerintah dalam mengembangkan regulasi yang berfokus pada bencana untuk mengurangi ancaman potensi bencana. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa peran pemerintah, dalam hal ini adalah pemerintah di daerah, memegang peranan penting dalam melaksanakan penanggulangan bencana di daerah, termasuk juga dengan beberapa aspek penting penanggulangan bencana.21 Tanggung jawab pemerintah daerah dalam pelaksanaan penanggulangan bencana meliputi beberapa aspek seperti pengembangan penanggulangan bencana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dengan penjabaran

kebijakan, strategi dan kegiatan penanggulangan bencana sesuai dengan kebijakan nasional.22

Senada dengan hal tersebut, dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Cipta Kerja, membagi urusan pemerintahan menjadi urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. 23Selain itu, untuk urusan pemerintahan wajib, sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Cipta Kerja, menyatakan bahwa urusan wajib pemerintah meliputi urusan pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Berdasarkan prespektif penanggulangan bencana, tergolong sebagai urusan pemerintah konkuren, yaitu urusan yang diamanatkan pemerintah terkait dengan pelayanan dasar. Pengaturan lebih lanjut terkait pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam proses penyelenggaraan penanggulangan bencana diatur lebih lanjut dalam Bagian Lampiran I Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, dalam Bagian E terkait Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Ketentraman dan Ketertiban Umum serta Perlindungan Masyarakat dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah juncto Perpu Cipta Kerja.

Begitu pula dengan pengaturan penanggulangan bencana di tingkat daerah, khususnya di wilayah Kabupaten Jembrana, telah terdapat aturan hukum tentang aspek mitigasi terhadap bencana, melalui regulasi Perda Kabupaten Jembrana No. 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jembrana Tahun 20122032 Perda Kabupaten Jembrana No. 3 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Bencana. Kedua perda tersebut merupakan landasan yuridis bagi Pemerintah Kabupaten Jembrana dalam mengatur aspek mitigasi bencana, khususnya mitigasi bencana Likuifaksi, yang untuk saat ini masih terjadi kekosongan norma/belum diaturnya substansi tersebut. Pasal 39 ayat (1) Perda Penanggulangan Bencana di Kabupaten Jembrana menyatakan secara jelas pelaksanaan penanggulangan bencana dalam situasi non-bencana, yang salah satunya meliputi: perencanaan penanggulangan bencana; pengurangan risiko bencana; pelaksanaan mitigasi; integrasi dan perencanaan pembangunan; dan implementasi dalam menegakkan rencana peruntukan ruang yang telah diatur. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana, pada Pasal 9 huruf j menyatakan bahwa penyempurnaan kawasan yang lestari dan hijau sebagai aspek fundamental dalam melestarikan lingkungan di Pulau Bali, sebagai salah satu aturan penataan terhadap ruang wilayah di tingkat kabupaten demi mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah, dicapai dengan mengembangkan manajemen bencana terpadu dan sistem mitigasi yang disertai dengan perencanaan rute dan lokasi evakuasi. Begitu juga dengan Pasal 80 ayat (1) dan Pasal 81 ayat (1) menunjukkan implementasi mitigasi bencana di Kabupaten Jembrana dengan menetapkan zonasi kawasan bencana alam dan zonasi bencana alam geologi. Adanya sinkronisasi aturan yang telah ada, diharapkan dapat mempercepat usaha Pemerintah Kabupaten Jembrana agar segera memasukkan substansi pengaturan mitigasi bencana

Likuifaksi ke dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana. Sehingga, adanya potensi bencana Likuifaksi dapat segera diminimalisir, demi melindungi kepentingan masayarakat luas, khususnya bagi masyarakat di Kabupaten Jembrana.

  • 4.    Kesimpulan

Secara umum, pengaturan bencana alam Likuifaksi di wilayah Jembrana masih belum diatur secara jelas dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana. Saat ini, Perda RTRW Kabupaten Jembrana hanya memuat substansi terkait pengaturan zonasi untuk wilayah rawan bencana yang terdiri dari zonasi wilayah untuk bencana alam dan zonasi bencana alam geologi. Perlu diapresiasi bahwa pengaturan aspek mitigasi bencana di Kabupaten Jembrana melalui penetapan zonasi kawasan rawan bencana, memperlihatkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana telah mengimplementasikan dan menyinkronkan aspek mitigasi bencana ke dalam aspek tata ruang wilayah melalui adanya Perda RTRW Kabupaten Jembrana. Akan tetapi, masih terdapat kelemahan dalam perda tersebut, yakni dari semua jenis bencana yang diatur, belum terdapat pengaturan terkait mitigasi bencana Likuifaksi yang seharusnya diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana. Pemerintah Kabupaten Jembrana wajib untuk mengatur substansi mitigasi bencana Likuifaksi dalam Perda RTRW Kabupaten Jembrana karena termasuk tanggung jawab pemerintahan dalam urusan konkuren yang tergolong sebagai pelayanan fundamental bagi rakyat atau dengan kata lain yaitu menyangkut keselamatan publik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amri, Mohd. Robi., Yulianti, Gita., Rampangilei, Willem., and dkk. Risiko Bencana Indonesia (Jakarta, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2016).

BPS Kabupaten Jembrana. Kabupaten Jembrana dalam Angka 2021 (Negara, CV Bhineka Karya, 2021).

Buana, Taufiq., Hermawan, Wawan., dkk. Atlas Zona Kerentanan Likuefaksi Indonesia (Bandung, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2019).

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum (Jakarta, Kencana, 2016).

Muta’ali, Lutfi. Perencanaan Pengembangan Wilayah berbasis Pengurangan Risiko Bencana (Yogyakarta, Badan Penerbit Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, 2014).

Jurnal

Agastya, Ida Bagus Oka, Putu Ari Wijaya, dkk. “The Potential of Liquefaction in Bali Based on Geology and its Relation to Earthquake Events.” Proceedings The 49th IAGI Annual Convention & Exhibition. Lombok. December 15-18th. 2020. URL: https://www.academia.edu/44824799/The_Potential_Of_Liquefaction_In_B ali_Based_On_Geology_And_Its_Relation_To_Earthquake_Events

Chaerunisa, Anida dan Asriana. “Analysis on Soil Liquefaction Potential in Pangandaran Coastal Area West Java.” Proceedings of International Conference: Problem, Solution and Development of Coastal and Delta Areas. Semarang, Indonesia. September 26th.   2017 Paper No. C-51. URL:

http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/ICCDA/article/view/2041/1564

Fadillah, Muhamad., Dewi Kania Sugiharti, Abi Maaruf Radjab. “Peranan Pemerintah dalam Pelaksanaan Mitigasi Bencana.” Jurnal Magistra Law Review 1, No. 2. (2020): 137-150. DOI: http://dx.doi.org/10.35973/malrev.v1i2.1604

Heryati, Sri. “Peran Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana.” Jurnal Pemerintahan dan Keamanan Publik 2, No. 2.    (2020):    142. DOI:

https://doi.org/10.33701/jpkp.v2i2.1088

Hijri, Yana Syafriyana, Wahyudi Kurniawan, Yusuf Adam Hilman. "Praktik Penyusunan Peraturan Desa (Perdes) sebagai Penguatan Desa Tangguh Bencana di Kabupaten Malang." Amalee: Indonesian Journal of Community Research and Engagement 1, No. 1.    (2020):    5. DOI:

https://doi.org/10.37680/amalee.v1i01.131

Isngadi dan Mufti Khakim. "Efektivitas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Fikih Kebencanaan terhadap Perilaku Warga Muhammadiyah (Studi Kasus Covid-19)." Jurnal Komunikasi Hukum 7, No.1. (2021): 202. DOI: https://doi.org/10.23887/jkh.v7i1.31470

Muttalib, Abdul dan Mashur. “Analisis Dampak Sosial Ekonomi Masyarakat Pasca Bencana Gempa Bumi di Kabupaten Lombok Utara (KLU).” Jurnal Ilmiah Mandala     Education     5,     No.     2.     (2019):     89.     DOI:

http://dx.doi.org/10.36312/jime.v5i2.785

Pande, I Made Bhasudewa Krisna Narotama, Ibrahim.R, dan I Ketut Sudiarta. “Pengaturan Sistem Penanggulangan Bencana dalam Penataan Ruang di Kabupaten Klungkung.” Jurnal Kertha Negara 6, No. 1. (2018): 3. URL:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/37256?articles BySameAuthorPage=6

Pradnyana, I Made Fajar dan Nengah Suharta. “Dampak Urusan Pemerintahan Konkuren sejak Mulai Diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014.” Jurnal     Kertha    Negara     7,     No.     2.     (2019):     2.     URL:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/48031

Sinarta, I Nengah dan I Wayan Ariyana Basoka. “Liquefaction Disaster Potential Based on Geology, CPT, and Data Borehole on The Island of South Bali.” Journal of Applied Engineering Science 17, No. 4.   (2019):   535. DOI:

https://doi.org/10.5937/jaes17-20794

Sukmana, Oman. “Proses Pemulihan Pascabencana berdasarkan Model Permukiman Sosial.” Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial 15, No. 4. (2016): 308. DOI: https://doi.org/10.31105/jpks.v15i4.1367

Warman, Hendri dan Dwifitra Y Jumas. “Kajian Potensi Likuifaksi Pasca Gempa dalam Rangka Mitigasi Bencana di Padang.” Jurnal Rekayasa Sipil 9 No. 2. (2013): 3. DOI: https://doi.org/10.25077/jrs.9.2.1-19.2013

Wilade, Jessica Intansari, Sofie Pengemanan dan Ismail Summpow. “Peran Pemerintah Daerah dalam Penaggulangan Bencana Alam Gunung Api Karangetang di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.” Jurnal Eksekutif 3, No. 3. (2019):                                  2.                                  DOI:

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnaleksekutif/article/view/23864 /23517

Yusdianto. “Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.”  Padjajaran

Jurnal    Ilmu    Hukum    2    No.    3.    (2015):    485.    DOI:

https://doi.org/10.22304/pjih.v2n3.a4

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingakt II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor -)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841)

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4828)

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6633)

Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jembrana Tahun 2012-2032, (Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2012 Nomor 27)

Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Bencana, (Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2013 Nomor 34)

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 8 Tahun 2022 hlm 797-814

814