HUMANIS


Journal of Arts and Humanities


p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 27.2. Mei 2023: 197-206


Potret Wanita Unggul dalam Karya Sastra Naratif Tradisional


Portrait of Superior Woman in Traditional Narrative Literary Works


I Nyoman Duana Sutika, I Ketut Ngurah Sulibra Universitas Udayana, Denpasar, Bali

Email korespondensi: [email protected], [email protected]


Info Artikel

Masuk:26 Pebruari 2023

Revisi:20 Maret 2023

Diterima:15 April 2023

Terbit:31 Mei 2023

Keywords: portrait of women; superior; narrative literature; traditional


Kata kunci: potret wanita; unggul; sastra naratif; tradisional

Corresponding Author:

I Nyoman Duana Sutika emal : [email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

23.v27.i02.p08


Abstract

The paper wants to inspire and awaken the enthusiasm and potential of women so that they can compete in quality in people's lives. Women have the opportunity to make themselves superior, qualified, and have bargaining values in the life of society and the state, if they develop awareness and a spirit of competition, forming themselves into intelligent, strong and independent women. This is reflected in the figures of Ni Diah Tantri in Tantri Carita, Ni Wayan Puyung Sugih in Geguritan Puyung Sugih, and Dewi Drupadi (Pancali) in the Mahabharata. These three figures are able to show their quality as elected women with adequate self-quality. Women who are able to dominate people of their own kind and even the opposite sex and go through and solve other complicated problems.

Abstrak

Tulisan ini ingin menggugah dan membangkitkan semangat serta potensi kaum wanita agar dapat bersaing secara kualitas di dalam kehidupan masyarakat. Kaum wanita berpeluang menjadikan dirinya unggul, berkualitas, dan mempunyai nilai tawar di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apabila di dalam dirinya tumbuh kesadaran dan semangat bersaing, membentuk diri menjadi wanita cerdas, kuat dan mandiri. Hal ini tercermin pada sosok Ni Diah Tantri dalam Tantri Carita, Ni Wayan Puyung Sugih dalam Geguritan Puyung Sugih, dan Dewi Drupadi (Pancali) dalam cerita Mahabharata. Ketiga tokoh ini mampu menunjukkan kualitas dirinya sebagai sosok wanita terpilih dengan kualitas diri yang memadai. Wanita yang mampu mendominasi kaum sejenisnya bahkan lawan jenisnya dan melewati serta memecahkan persoalan-persoalan rumit lainnya.


PENDAHULUAN

Dalam ilustrasi ideal, wanita banyak digambarkan sebagai sosok yang halus, penyabar, penyayang, pasrah, dan penurut. Dalam berbagai aspek kehidupan wanita dianggap sebagai insan lebih lemah dan diposisikan nomor dua

setelah laki-laki. Menurut Sendratari (2016) perspektif deterministik tentang perempuan sebagai kelas inferior adalah hasil reproduksi kuasa sementara laki-laki adalah determinan yang berkuasa. Sihite (2007) menyebutkan bahwa masih kentalnya budaya patriarki pada sebagian

kehidupan sosial telah menempatkan perempuan pada posisi subordinal. Subordinasi ini dinyatakan Backer (2021) bukan hanya soal pemaksaan (coercion), tetapi juga soal kerelaan (consent). Suharta (2018) bahkan menyebut tubuh perempuan merupakan konstruksi sosial untuk berbagai kepentingan. Konstruksi ini adalah bentukan masyarakat, walaupun Handayani (2006) meyakini hal ini dapat berubah dari masa ke masa.

Norma-norma budaya telah banyak menghambat dan mengikat keleluasaan kaum wanita untuk bersaing dan meningkatkan karirnya. Duana (2017) menyinggung bahwa norma budaya ini sering diciptakan hanya menguntungkan kaum tertentu, sehinggga merugikan kaum lainnya/kaum perempuan. Walaupun demikian, tidak sedikit wanita telah mampu bersaing mengangkat dirinya melampoi kemampuan dan kualitas laki-laki tanpa melangggar norma-norma budaya yang ada. Kualitas wanita seperti itu tidak hanya ada di era modern sekarang ini, tetapi telah ada sejak zaman dulu, hal tersebut tercermin dalam karya-karya sastra naratif tradisional. Wanita dimaksud tertuang dalam karya Tantri Carita (Nandaka Harana) dalam bentuk kidung/sekar madia, Geguritan Puyung Sugih/sekar alit, dan dalam karya epos Mahabharata kakawin.

Ni Diah Tantri dalam Tantri Carita (Nandhaka Harana) hadir sebagai sosok wanita dengan kualitas luar biasa, terpelajar sehingga mampu memberikan pemahaman hidup tentang banyak hal kepada raja Sri Eswarya Dala, melalui gambaran cerita tentang binatang (cerita fabel). Nandaka Harana merupakan cerita mengenai kehidupan binatang dan manusia dalam bentuk pupuh, kidung dan satua. Di dalamnya mengandung ajaran-ajaran etika, kepemimpinan dan kiasan-kiasan yang indah tentang hidup dan kehidupan. Demikian pula Ni Wayan

Puyung Sugih dalam Geguritan Puyung Sugih hadir sebagai sosok wanita istimewa, pernah menikah sebelas kali dan kembali original (perawan) karena tidak satupun suaminya dapat memenuhi syarat larangan sebagai suami yang diisyaratkan. Perkawinan yang dilakukannya sebelas kali selalu berakhir dengan kegagalan. Ni Wayan Puyung Sugih oleh pengarang digambarkan sebagai wanita ideal, selain cantik juga terpelajar dan tangguh di dalam menghadapi keadaan. Dalam bahasa tafsir pengarang mewujud dalam diri Ni Wayan Puyung Sugih untuk menyampaikan pesan dan nilai-nilai kehidupan pada tokoh lainnya. Pada akhir hidupnya Ni Wayan Puyung Sugih menunaikan hidupnya menjadi biksu, wanita dengan kualitas tertinggi di dalam capaian tingkat kehidupan kerohanian.

Sedangkan Dewi Drupadi merupakan salah satu tokoh sentral dalam cerita Mahabharata, satu-satunya tokoh wanita yang tidak mengalami masa kanak-kanak karena ia terlahir langsung dewasa (lahir dari api). Oleh karenanya Dewi Drupadi juga salah satu tokoh kelahiran kedewaan yang ditakdirkan tidak gugur dalam perang Baratayuda. Bahkan Drupadi mengetahui akan kematian anggota keluarganya atas sinyal yang diberitahukan oleh Krisna. Dewi Drupadi, sering disebut Pancali adalah menantu dari Dewi Kunti dan istri dari lima Pandawa, sosok wanita tangguh dalam mempertahankan harga dirinya dan keberaniannya untuk membela diri dan suaminya. Drupadi dikatakan lambang dari kecantikan dan kesempurnaan serta wanita tercantik di seluruh daerah Arya. Wanita dalam gambaran karya sastra di atas adalah imajinasi yang oleh Ratna (2005) dinyatakan tidak lepas dari kemungkinan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, karena hampir secara keseluruhan karya sastra bersumber dalam masyarakat.

Karya sastra adalah realitas imajinatif yang dapat dijadikan potret bagi kehidupan nyata.

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas maka permasalahan dari penelitian ini, yaitu bagaimanakah potret perempuan unggul dalam karya sastra naratif tradisional yang tercermin dalam penokohan Ni Diah Tantri dalam Cerita Tantri, Ni Wayan Puyung Sugih dalam Geguritan Puyung Sugih, dan Dewi Drupadi dalam Cerita Mahabharata?

METODE DAN TEORI

Metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya (Ratna, 2006). Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami. Ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:

  • 1)    penyediaan data dilakukan mulai dari penelusuran dan observasi karya sastra naratif tradisional yang ada di tempat-tempat penyimpanan naskah, seperti perpustakaan, mengunjungi pemilik naskah atau pemerhati sastra di masyarakat. Untuk mendapatkan data yang otentik digunakan teknik wawancara dengan melakukan dialog, rekam untuk mencari informasi tentang objek;

  • 2)    analisis data dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif Moleong (1996), yaitu analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian memahami lebih lanjut gejala sosial budaya yang berada di luar karya sastra tersebut. Pengolahan data dilakukan dengan metode deskriptif analisis, tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Pengolahan data

dibantu dengan metode hermeneutik atau penafsiran untuk memahami teks. Hermeneutika menurut Ricoeur (2006) adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Penafsiran terjadi karena setiap subjek memandang objek melalui horison dan paradigma yang bebeda-beda;

  • 3)    penyajian hasil analisis data, dilakukan dengan metode informal, yaitu penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata yang berisi rincian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993). Teknik informal, dimaksudkan untuk menyajikan laporan penelitian dengan menggunakan ungkapan verbal secara naratif. Metode ini dibantu dengan teknik berpikir deduktif dan induktif atau sebaliknya.

Teori yang digunakan adalah teori resepsi, bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya. Endraswara (2008) mengemukakan bahwa resepsi sastra pada dasarnya merupakan penyelidikan reaksi pembaca terhadap teks, penelitian sastra yang memusatkan pada proses hubungan teks dan pembaca. Senada dengan Junus (1985) bahwa resepsi sastra memberi kebebasan pada pembaca untuk memberikan maknanya kepada suatu teks. Dengan teori resepsi dinyatakan Medera (1990) pembaca menemukan, menafsirkan dan mengkonkretkan apa yang tersurat dan tersirat dalam karya sastra.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berdasarkan hasil penelusuran maka didapatkan gambaran umum tentang potret wanita unggul dalam karya sastra naratif tradisional sebagai berikut. Beberapa teks karya sastra naratif tradisional Bali, di dalamnya banyak mengangkat wanita sebagai tokoh penting yang menentukan jalannya cerita.

Dalam analisis naratif sebagaimana disebut Stokes (2006) bahwa keseluruhan teks diambil sebagai objek analisis berfokus pada struktur kisah atau narasi dan sebuah kisah yang baik selalu menyembunyikan mekanismenya. Dewi Drupadi merupakan salah satu tokoh wanita sentral di dalam cerita Mahabharata, wanita yang lahir dari kedewataan tanpa pernah mengalami masa kanak-kanak. Wanita yang lahir dari upacara api suci, memiliki lima suami Panca Pandawa (Darmawangsa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa). Perjalanan kisah Dewi Drupadi dimulai saat dirinya dicarikan jodoh oleh ayahnya Drupada melalui sayembara yang diikuti oleh para raja dari berbagai pelosok. Sayembara yang akhirnya dimenangkan oleh Arjuna, tetapi karena ikrar kelima Pandawa yang disetujui ibunya Kunti, bahwa apapun yang didapat harus dibagi lima. Oleh karenanya Dewi Drupadi menjadi istri lima Pandawa. Saat kemudian Dewi Drupadi memulai kehidupannya mendampingi Pandawa dengan berbagai macam cobaan. Diawali oleh kekalahan suaminya dalam bermain dadu yang mempertaruhkan dirinya sehingga ia bersama suaminya harus dibuang di hutan selama dua belas tahun. Kehidupan berat dilalui bersama suaminya Panca Pandawa di tengah hutan dan akhirnya mencapai kebebasan serta kemenangan dalam perang Bharatayuda.

Selain itu Ni Diah Tantri, dalam Tantri Carita juga merupakan tokoh wanita utama, seorang wanita yang lahir dari seorang rakrian patih Bandeswarya dan istrinya bernama Diah Pinatih. Cerita diawali oleh keinginan raja Sri Eswaryadala untuk menikah setiap hari dengan wanita (gadis) yang berada di bawah kekuasaannya. Oleh karena itu ia memerintahkan patihnya Bandeswarya agar setiap hari mempersembahkan seorang gadis untuk dinikahinya. Keinginan raja ini awalnya selalu dapat

dipenuhi oleh patih Bandeswarya yang akhirnya tinggal satu- satunya Ni Diah Tantri anaknya sendiri yang masih tersisa. Keadaan ini yang membuat patih Bandeswarya sedih dan bingung. Di sinilah Ni Diah Tantri menunjukkan peran serta kualitas dirinya sebagai anak “suputra” seorang anak yang selalu berusaha mewujudkan keinginan dan harapan orang tua. Ia bersedia dipersembahkan kepada raja untuk menjadi pendamping raja. Selain memenuhi harapan orang tuanya, ternyata raja Eswaryadala merasa sangat kagum terhadap Ni Diah Tantri yang mampu memberikan pencerahan hidup melalui cerita tentang binatang.

Ni Wayan Puyung Sugih juga merupakan wanita unggul meskipun berasal dari kelahiran orang biasa yang mampu menunjukkan kualitas dirinya terutama pengetahuan tentang kerohanian. Dalam sebelas kali perkawinannya ia mampu mewujudkan kaul orang tuanya melalui tindakan, ujaran dan prilaku yang mampu mendominasi, menuntun dan membimbing serta mencerahkan tokoh lain (suaminya). Dalam sebelas kali perkawinannya selalu diakhiri dengan kegagalan/perceraian seperti yang diharapkan karena syarat larangan membentuk pasangan suami istri harmonis yang diharapkan oleh Ni Wayan Puyung Sugih tidak pernah dapat terpenuhi. Syarat larangan tersebut, seperti suami tidak boleh berbohong, marah, mabuk-mabukan, sombong, berjudi, selingkuh, memfitnah, serakah, berkata kasar, pelit, malas dan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan lainya. Suami ideal yang diharapkan oleh Ni Wayan Puyung Sugih tidak pernah dapat terwujud, kecuali dirinya yang kemudian menjadi seorang biksuni, seorang wanita dengan tingkat kerohanian tertinggi.

Pembahasan

Wanita unggul adalah wanita yang mempunyai kelebihan dari wanita umumnya, seperti tercermin pada tokoh Dewi Drupadi, Ni Wayan Puyung Sugih, dan Di ah Tantri. Dalam gambaran Sudjiman (1986) potret wanita unggul dapat dinilai dari tindakannya, ujarannya, pikirannya, penampilan fisiknya, dan juga tentang apa yang dikatakan serta dipikirkan tokoh tentang dirinya. Selain itu wanita unggul oleh Egri (dalam Sukada, 1987) ditandai oleh tiga aspek meliputi; aspek fisiologis, yang meliputi jenis kelamin, tampang, dan sebagainya, aspek sosiologis yang meliputi pangkat, agama, lingkungan, kebangsaan, kaya atau miskin, ideologi, dan sejenisnya dan aspek psikologis yang meliputi cita-cita, ambisi, kecakapan, senang, tempramen dan sejenisnya.

Demikian tergambar dalam diri beberapa tokoh wanita dalam karya sastra naratif tradisional. Endraswara (2008) menyebut bahwa gambaran tokoh dan peristiwa dalam karya sastra mungkin memuat peristiwa-peristiwa kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh-tokoh imajiner pun tokoh faktual lainnya. Demikian pula Dewi Drupadi merupakan salah satu tokoh wanita unggul karena perannya yang sangat penting di dalam cerita Mahabharata. Ia lahir dari api pengorbanan yang dilakukan raja Drupada berbarengan lahirnya dengan saudaranya Drestajumena dan Srikandi. Dewi Drupadi juga disebut wanita yang lahir dari kedewataan tanpa pernah mengalami masa kanak-kanak seperti wanita umumnya. Selain itu Dewi Drupadi merupakan simbol wanita setia terutama terhadap kelima suaminya Panca Pandawa dan tahan terhadap berbagai cobaan. Creese (2012) menyatakan bahwa Drupadi adalah inkarnasi dari wanita brahmana yang menerima anugerah dari Dewa Siwa bahwa dalam

inkarnasi berikutnya dia akan memiliki lima suami. Ia lahir sebagai putri raja Pancala dengan kecantikannya yang mempesona, cerdas, tangkas, pemberani dan juga berbudi luhur, sabar, serta bijaksana.

Aspek fisikologis Dewi Drupadi diilustrasikan mempunyai mata hitam, dan lebar, kulit gelap dan mengkilap, alis matanya tajam, dan kecantikannya tiada banding. Dewi Drupadi memang terkenal dengan kecantikannya. Dalam gambaran pengarang (pangawi) disuratkan bahwa satu tatapan Drupadi cukup membuat para Pandawa saling menoleh satu sama lain, dan ketika duduk mereka hanya mampu memikirkan Drupadi. Pendit (1980) secara tersirat melukiskan gambaran kecantikan Drupadi sebagai berikut.

Dengan wajah segar setelah tersiramkan air kematian dan mengenakan pakaian putri mahkota dengan sutra berjulai-julai, Drupadi tersipu-sipu memandang rakyat yang berjejal-jejal berdiri di sepanjang pintu gerbang masuk ruangan sayembara.Alangkah jelita, anggun serta agungnya putri mahkota Draupadi ketika ia turun dari punggung gajah, lalu masuk dan naik ke panggung upacara.

Wajah mempesona Dewi Drupadi membuat para raja peserta sayembara kalang kabut, tertarik untuk memilikinya. Menurut Simmel (dalam Kasiyan, 2008), mata merupakan indra kecantikan perempuan dalam banyak hal mengungkapkan: diri, watak, suasana hati dan jiwa. Dalam berbagai peristiwa kecantikan Dewi Drupadi yang mempesona diungkap, yang membuat para lelaki terkagum- kagum. Kecantikan dan keunggulan yang dimiliki Dewi Drupadi ini justru menjadi petaka bagi Kicaka karena mabuk kepayang ingin menguasai dan memilikinya, walaupun

Dewi Drupadi telah terus terang mengatakan dirinya telah bersuami. Kicaka tidak pantang menyerah dan tidak memperdulikannya, bahkan dengan segala upaya berusaha merayu, mencari cara, agar mendapatkan belas kasih Drupadi (Sairandri).

Secara sosiologis Dewi Drupadi merupakan sosok wanita unggul yang lahir dari api suci atas permohonan raja Pancala bernama Drupada. Dewi Drupadi adalah salah satu dari beberapa tokoh Mahabharata yang lahir dari kedewataan dengan tokoh-tokoh lainnya. Dewi Drupadi sangat paham bagaimana ia harus melayani suami, dan mengurus mertua agar selalu memuaskan perasaannya tanpa pernah mendahulukan ego pribadi. Sebagai istri yang berpoliandri, Dewi Drupadi mampu memberikan rasa adil kepada kelima suaminya, dan tentu ini menjadi teladan terutama bagi wanita yang melakukan poliandri lainnya.

Secara psikologis tokoh Dewi Drupadi merupakan pribadi paling menonjol terutama pada keberanian, sikap, idealisme, serta keteguhan hatinya di dalam menghadapi segala persoalan dan konflik bhatin yang menimpa dirinya. Bukan perkara mudah ketika Dewi Drupadi mengalami penyiksaan bhatin dalam peristiwa tragis yang menimpa dirinya saat ia dijadikan taruhan judi dadu oleh suaminya Yudistira yang berakhir dengan penistaan dirinya. Dewi Drupadi tanpa dosa diseret, dipaksa datang di balairum dan ditarik pakaiannya oleh Dusasana di depan para pembesar kerajaan Hastinapura. Sungguh perbuatan yang biadab dan tidak berprikemanusiaan sehingga Dewi Drupadi tidak sempat berpikir lagi kecuali mengumpat penuh keberanian untuk menyampaikan kekesalannya dan menunjukkan jati dirinya di depan para pembesar kerajaan.

Dengan berbesar hati Dewi Drupadi tidak malu dan tidak takut lagi untuk mengungkapkan sakit hatinya di depan para pembesar kerajaan karena penyiksaan terhadap dirinya. Ia mengatakan bahwa orang-orang yang bermoral tinggi dari Kuru sudah hancur dan kehilangan wibawa serta kekuatannya, karena hanya mampu terpana diam melihat penyiksaan dirinya. Tatapan Drupadi terasa lebih menyakitkan daripada kehilangan gelar bagi lima suaminya. Ini menandakan Dewi Drupadi bukan wanita lemah yang tidak berdaya, tetapi ia tunjukkan keberaniannya dan idealismenya sebagai seorang istri (permaisuri). Di sinilah Dewi Drupadi menunjukkan kualitas dirinya menjadi wanita unggul, wanita yang tidak begitu saja menyerah, tetapi selalu berjuang dalam norma-norma ideal bagi sebuah penyelesaian hidup dan kehidupan.

Sikap Drupadi yang berani berargumen dan melawan disaat para raja dan tetua memilih diam menunjukkan kualias diri seorang wanita. Dia berani menolak perintah Duryadana yang berujung diseretnya ia ke balairum dengan paksa oleh Dusasana. Pelajaran dasar penggalan kisah permainan dadu ini, karena Yudistira tidak mampu menghadapi kelemahannya sendiri yang paling mendasar sekalipun ia sang maha bijaksana. Maka segala penghinaan terhadap dirinya, saudaranya, istrinya, hilangnya seluruh harta, kehormatan dan akhirnya mereka hidup menggelandang dua belas tahun di hutan adalah harga yang harus dibayar untuk semacam kebodohan itu.

Demikian pula halnya ketika Dewi Drupadi harus menjadi pelayan Dewi Sudisna, permaisuri negeri Wirata dalam penyamarannya setahun menjelang tahun ke dua belas pembuangannya. Ia mampu mengendalikan dirinya untuk berpura-pura menjadi pelayan selama setahun

untuk bersembunyi bersama kelima suaminya demi komitmen yang mereka pegang. Hari-hari dilaluinya dengan penuh kesabaran melayani permaisuri Sudisna agar selalu memuaskan dan tidak mengecewakan. Betapa menyakitkan seorang wanita yang sehari-harinya terbiasa dilayani, tetapi dalam kesempatan lain memaksa ia harus menjadi pelayan, tunduk dan menjadi pelayan tuannya.

Demikian pula dengan sosok Ni Diah Tantri dalam Tantri Carita (Nandaka Harana) menunjukkan bahwa wanita mampu menundukkan kaum lainnya atas kecerdasan yang melekat pada dirinya. Teks Tantri Carita (TC) merupakan transformasi teks Tantri Kamandaka Jawa Kuna yang sampai saat ini dijadikan ikon menarik di antara sederetan karya sastra Bali dalam bentuk prosa (satua). Menurut Suarka (2007) seiring runtuhnya kerajaan Majapahit, kebudayaan Jawa lama termasuk agama, kesenian dan kesusastraan dipindahkan dan berkembang di Bali, di dalamnya termasuk teks tantri, baik dalam tradisi lisan maupun tulisan. Dalam Tantri Carita tokoh Ni Diah Tantri lahir dari seorang rakrian patih Bandeswarya dan istrinya bernama Diah Pinatih.

Dalam gambaran pengarang, sosok Ni Diah Tantri merupakan wanita yang sangat ideal sebagai wanita yang mempunyai kelebihan yang luar biasa dibandingkan dengan tokoh lainnya. Secara fisiologis sosok Ni Diah Tantri digambarkan sebagai sosok unggul sebagai wanita yang berwajah cantik rupawan tiada tandingannya, seperti dalam kutipan (Tantri Carita /TC 16.a) berikut:

Wiakti tan wenten nyaihin, banggeang te sebeten langit, indik kawigunan pangawruh, ring kapradnyanan satsat Sang Hyang Saraswati. Ring kaayon satsat Sang Hyang Giriputri tan patandingan tur

kasayangin ring jagate. Sane mapesengan Ni Diah Tantri,…

Terjemahan:

Tidak ada yang menandingi, wanita yang ada di bumi, pintar dalam segala hal, menguasai ilmu pengetahuan seperti Sanghyang Saraswati. Kecantikannya menyamai Sang Hyang Giriputri dan disayangi oleh semua mahluk,…

Kutipan di atas mengilustrasikan tentang sosok Ni Diah Tantri sebagai wanita yang nyaris sempurna secara fisik, tentu tidak hanya isapan jempol dalam kutipan lain disebutkan (TC 16.a) “nenten sue rauh sang kadi bulan ring taman ” artinya tidak lama kemudian datanglah Ni Diah Tantri yang wajahnya menyerupai bulan. Demikian gambaran kesempurnaan wajah Ni Diah Tantri lahir sebagai wanita ideal yang dikagumi oleh semua orang. Kecantikan wajah merupakan salah satu ilustrasi yang mendukung gambaran tentang wanita ungggul.

Secara sosiologis sosok Ni Diah Tantri lahir dari keluarga terpandang (ningrat), anak dari seorang maha patih Bandeswarya yang mempunyai kedudukan tinggi di wilayah kerajaan atau jagat Patali dengan istri Dyah Pinatih. Ini menandakan dalam diri Ni Diah Tantri telah melekat darah kebangsawanan dan hidup serba berkecukupan dalam segala hal. Keadaan ini mendukung Ni Diah Tantri untuk mendapatkan pendidikan yang layak sehingga mampu menempa dirinya menjadi wanita yang berkualitas sebagai wanita unggul. Dengan berbekal dasar-dasar pengetahuan yang ia miliki Ni Diah Tantri tahu persis tata etika untuk menghargai, menghormati dan juga menyenangkkan orang tuanya.

Secara psikologis Ni Diah Tantri memiliki kepekaan dan kecerdasan luar

biasa melebihi wanita umumnya. Ni Diah Tantri dapat begitu cepat memahami keadaan bahwa, ketika ayahnya patih Bandeswarya dilanda kebingungan dan sedih karena merasa tidak bisa lagi mempersembahkan gadis sesuai yang diinginkan raja. Keadaan ini diketahui oleh istrinya Diah Pinatih dan menyuruh anaknya untuk mendekati ayahnya.

Di sisi lain raja Eswaryadala sangat senang mendengar bahwa Ni Diah Tantri bersedia menjadi istrinya meskipun telah mengetahui kelakuan dirinya sebelumnya telah mengawini banyak wanita. Di balik semua itu sesungguhnya secara diam-diam raja Eswaryadala hanya mengharapkan Ni Diah Tantri menjadi permaisurinya, karena ditutupi oleh rasa malu untuk mengutarakan langsung kepada patihnya.

Kepiawaian merangkai cerita menunai kepuasan dan keterlenaan raja untuk mendengarkan cerita demi cerita yang disampaikan oleh Ni Diah Tantri. Banyak filosofi kehidupan yang diperoleh raja dari cerita yang disampaikan oleh istrinya melalui tokoh-tokoh binatang di dalamnya. Cerita yang disampaikan oleh Ni Diah Tantri kepada raja Eswaryadala ini disebut cerita tantri atau dalam versi Bali disebut tantri carita (satua tantri). Raja Eswaryadala merasa sangat kagum akan Ni Diah Tantri karena selain cantik, ia mampu memberikan penyadaran akan makna sebuah kehidupan melalui cerita (satua) tentang kehidupan binatang. Sejak itulah raja menghentikan petualangan cintanya dan Ni Diah Tantri menjadi istri (permaisurinya) yang terakhir yang memang diharapkan oleh raja Eswaryadala.

Begitu pula halnya dengan Ni Wayan Puyung Sugih dalam Geguritan Puyung Sugih menandai seorang wanita dengan segala kelebihan yang menonjol dalam berbagai bidang dibandingkan dengan tokoh lainnya. Dalam skripsi

Duana (1992) menyebukan bahwa suatu realitas yang amat jarang bahkan mungkin tidak pernah terjadi dalam kenyataan, seorang wanita kawin sebelas kali tanpa dilandasi cinta kasih, walaupun juga bukan atas dasar pakssaan. Dari aspek fisiologis Ni Wayan Puyung Sugih digambarkan sebagai wanita rupawan ditambah oleh keyakinan masyarakat Bali tentang kelahirannya di bulan purnama memperkuat imaji akan seorang wanita yang kecantikannya nyaris sempurna, seperti dalam gambaran kutipan puh berikut.

Lamine tan kaucapang, bobotane sampun mangkin, nuju purnamaning kapat, keblos ngoeng sampun metu, I Puyung nyaup ngimangang, kaget istri, ayune mangayang-ayang (puh Ginada I. 12)

Ayune mangayang-ayang, asing nyingak pada asih, raga gemuh adeg lanjar, kasor i gadung mulati, watek istri pada lilih,…(puh Sinom IV. 4)

Terjemahan:

Lama kehamilannya tidak dikatakan, lalu sekarang, tepat di bulan purnama sasih kapat (sekitar bulan oktober), telah lahir, I Puyung (ayahnya) sigap mengambil, lahir seorang anak perempuan, wajahnya cantik rupawan

Wajah molek rupawan, setiap yang melihat merasa penuh kasih, tubuh selaras semampai, mengalahkan keasrian bunga gadung dan bunga melati, semua wanita merasa kalah,…

Secara fisik gambaran tentang kecantikan Ni Wayan Puyung Sugih tidak diragukan lagi, menjadi salah satu kreteria yang diisyaratkan sebagai wanita unggul. Secara sosiologis Ni Wayan Puyung Sugih lahir dari keluarga pada umumnya namun ia mempunyai

idealisme yang cukup tinggi, ketika ia harus menerima pasangan hidupnya dengan syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi oleh hampir setiap lelaki. Syarat larangan yang disampaikan Ni Wayan Puyung Sugih kepada setiap calon pasangan hidupnya (suaminya) sekaligus memagari dirinya agar dapat melepaskan diri dari ikatan perkawinan yang dilakukannya. Secara psikologis Ni Wayan Puyung Sugih mampu menunjukkan kelebihan dirinya terutama kecakapan dan pengetahuan tentang kerohanian. Diimplementasikan oleh tindakan, ujaran dan prilaku yang mampu mendominasi, menuntun dan membimbing serta mencerahkan tokoh lainnya (suaminya).

SIMPULAN

Potret wanita unggul merupakan gambaran tentang wanita yang mempunyai segala kelebihan, keunggulan, dan keutamaan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh wanita pada umumnya. Wanita yang mampu menggugah dan membangkitkan potensi kaum wanita untuk menunjukkan kualitas dirinya, yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Wanita dimaksud tercermin dalam karya sastra naratif tradisional, seperti Ni Diah Tantri dalam Tantri Carita, Ni Wayan Puyung Sugih dalam Geguritan Putung Sugih, dan Dewi Drupadi (Pancali) dalam cerita Mahabharata. Ketiga wanita tersebut dapat dijadikan teladan terutama bagi kaum wanita untuk memacu motivasi dan mengembangkan kualitas dirinya di dalam kehidupan bermasyarakat. Kaum wanita sebagaimana tercermin dalam karya sastra naratif tradisional berpeluang menjadikan dirinya unggul, berkualitas, dan mempunyai nilai tawar di dalam kehidupan masyarakat, apabila di dalam dirinya tumbuh kesadaran dan semangat berjuang serta bersaing, membentuk diri menjadi wanita cerdas, kuat dan mandiri.

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris dan Emma A. Jane. 2021.

Kajian Buudaya Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Creese, Helen. 2012. Perempuan Dalam Dunia Kakawin, Perkawinan dan Seksualitasdi Istana Indic Jawa dan Bali. Denpasar:   Pustaka

Larasan.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra, Teori Langkah dan Penerapannya. Yogyakarta: Medpress.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Medpress.

Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2006. Konsep dan Teknik Penelitian Geender. Malang: UMM Press

Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.

Kasiyan. 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan. Yogyakarta: Obmak

Medera, Nengah. 1990.   Nitisastra

Sebuah kakawin Tuntunan Etika dan Moral Jawa Kuna. Laporan Penelitian.     Fakultas     Sastra

Universitas Udayana.

Moleong, Lexi J. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Pendit, Nyoman S. 1980. Mahabharata Sebuah Perang Dahsyat di Medan Kurukshetra. Jakarta:   Bhratara

Karya Aksara.

Ratna, Nyoman Kuta. 2005. Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kuta. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:    Pustaka

Pelajar.

Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial.     Yogyakarta:     Kreasi

Wacana.

Sendratari, Luh Putu. 2016. Membongkar Jaring Kuasa, Kekerasan dan Resistensi di Balik Perkawinan Ngamaduang         (Poligami).

Denpasar: Pustaka Larasan.

Sihite, Romany. 2007. Perempuan, Kesetaraan, & Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.

Stokes, Jane. 2006. How To Do Media and Cultural Studies, Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka.

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar:  Pustaka

Larasan

Sudaryanto. 1993. Metode dan Analisa Bahasa. Jakarta: Duta Wacana University Press.

Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.

Suharta, I Wayan. 2018. “Erotisasi Tubuh Perempuan Dalam Joged Goyang Ngebor di Bali” (dalam Dari Desain Kebaya Hinggga Masyarakat Adar Raja Ampat Budaya-budaya di Indonesia dalam Tegangan Negosiasi Global-Lokal, Budiawan & I Ketut Ardhana, ed., Yogyakarta: Ombak, hlm. 2433).

Sukada, Made. 1987. Beberapa aspek Tentang Sastra. Denpasa: Kayumas &Yayasan Ilmu dan Seni Lesiba.

Sutika, I Nyoman Duana. 2017. “Perkawinan Gandarwa Dalam Perspektif Masa Kini :Refleksi Perkawinan Dusmanta-Sakuntala Dalam Mahabrata”    (dalam

Prosiding Seminar    Nasional

Sastra dan Budaya II, hlm 237246)

Sutika, I Nyoman Duana. 1992. “Geguritan Puyung Sugih Kajian

Amanat dan Penokohan” (Skripsi, Universitas Udayana Denpasar)

Warna, I Wayan. dkk. 1986. Tantri Carita (Nandaka Harana) Teks  dan

Terjemahan dalam Bahasa Bali

(terj.). Dinas Pendidikan   dan

Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.