HUMANIS


Journal of Arts and Humanities


p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 27.2. Mei 2023: 207-216

Pola Keletakkan Masjid di Kalimantan Bagian Selatan

Layout Pattern of Mosques in Southern Kalimantan

Ega Putri Febriani, I Wayan Srijaya, Zuraidah Universitas Udayana, Denpasar, bali, Indonesia Email korespondensi: [email protected], [email protected], [email protected]

Info Artikel

Masuk:6 Pebruari 2023

Revisi:3 Maret 2023

Diterima:30 Maret 2023

Terbit:31 Mei 2023

Keywords: Kalimantan;

Mosque; river culture


Kata kunci: budaya sungai;

Kalimantan; Masjid

Corresponding Author:

Ega Putri Febriani, [email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

23.v27.i02.p09


Abstract

The mosque is a place of worship for Muslims. The existence of the mosque helps in the spread of Islamic teachings. In the Kalimantan region, there are mosques that are used as a place of worship as well as a means of spreading Islam, namely the Sultan Suriansyah Mosque, Kyai Gede Mosque, and Pusaka Banua Lawas Mosque. These three mosques are located in southern Kalimantan. The aim of this research is to find out the pattern of inclination towards the three mosques. This study used a qualitative type with observational data collection at the Sultan Suriansyah Mosque and a literature review at the Kyai Gede Mosque and the Banua Lawas Heritage Mosque. The analysis used in this research is Site Catchment Analysis or Site Coverage Analysis according to Roper (1979) in this analysis there is a relationship between site location and site function. Data analysis was carried out in this study to compare the positions of the three mosques. The results of this study obtained a picture of the layout of the three mosques which were influenced by river culture. In addition, river culture also influences settlement patterns, economic centers, government centers, and the spread of Islam

Abstrak

Masjid meurupakan saran ibadah bagi umat Islam. Adapun keberadaan masjid turut membantu dalam penyebaran ajaran Agama Islam. Pada wilayah Kalimantan terdapat masjid yang digunakan sebagai sarana ibadah sekaligus sarana untuk penyebaran agama Islam yakni Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Kyai Gede, dan Masjid Pusaka Banua Lawas. Ketiga masjid ini berletak di Kalimantan bagian Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pola keletakkan terhadap ketiga masjid pada bentang lahan khususnya sungai. Penelitian ini menggunakan jenis kualitatif dengan pengumpulan data secara observasi pada Masjid Sultan Suriansyah dan telaah pustaka pada Masjid Kyai Gede serta Masjid Pusaka Banua Lawas. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yakni Site Catchtment Analysis atau Analisis Cakupan Situs menurut Roper (1979) dalam analisis tersebut terdapat hubungan antara lokasi situs dengan fungsi situs. Analisis data yang dilakukan terhadap penelitian ini untuk membandingkan posisi dari ketiga masjid tersebut. Adapun hasil penelitian ini memperoleh bahwa keletakkan ketiga masjid yang dipengaruhi oleh budaya sungai. Kemungkinan letak masjid berpengaruh pada kebudayaan sungai karena dari ketiga masjid terdapat persamaan letaknya dekat dengan sungai. Keletakkan masjid dekat dengan sungai dipengaruhi faktor pola pemukiman, pusat perekonomian, pusat pemerintahan, dan sarana penyebaran ajaran agama Islam.

PENDAHULUAN

Islam merupakan agama rahmatan li al-‘alamin yang mana ajaran agama yang mudah dimengerti karena ajarannya mengenai syariah, akhlak, dan aqidah. Islam juga mulai memajukan ilmu pengetahuan dalam bidang astronomi, geografi, fisika, kimia, matematika, kedokteran, dan sosiologi. Semua bidang tersebut didasarkan pada dalil Al-Qur’an. Islamisasi merupakan proses mengajak umat kepercayaan lain untuk memeluk atau mengikuti agama Islam (Eliza dan Hudaidah, 2021). Maka dari itu, Islamisasi dilakukan melalui saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf, seni bangunan, dan seni ukir (Poesponegoro & Notosusanto, 2009). Semenjak abad ke-7 dan 8 Masehi, Islam masuk ke wilayah Nusantara. Tetapi, perkembangan dakwah baru betul-betul dimulai kala abad ke-11 dan 12 (Mujib, 2021).

Terdapat 5 teori masuknya Islam di Nusantara menurut Achmad Syahrizal. Pertama, menurut Teori Arab bahwa Islam berkembang di wilayah Nusantara berlangsung pada abad ke-7/8 Masehi melalui jalur perdagangan. Kedua, menurut Teori Cina menjelaskan bahwa etnis Cina Muslim memiliki peran penting dalam menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah Nusantara berbarengan dalam satu jalur perdagangan serta hubungan Arab Muslim dan Cina sudah terjadi pada Abad pertama Hijriah (Syahrizal, 2015). Ketiga, menurut Teori Persia, aspek bahasa menunjukkan bahwa Islam masuk ke Nusantara dan bahasanya berasimilasi (Syahrizal, 2015). Keempat, menurut Teori India Islam datang ke Nusantara tidak langsung dari Arab, melainkan dari India pada abad ke-13. Kelima, Teori Turki menjelaskan orangorang Kurdi dan Turki turut dalam menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah Nusantara. Arkeologi Islam, juga dikenal sebagai Islamic Archaeology, adalah

studi arkeologi mengenai masyarakat Islam sebelumnya berdasarkan artefak, feature, ekofak berasal dari masa sejarah di mana masyarakatnya telah mengenal tulisan (Tjandrasasmita, 2009).

Pulau Kalimantan juga mengalami Islamisasi sebagaimana pada wilayah Nusantara lainnya. Perlu didiskusikan asal muasal, pengusung dan periode masuknya Islam di wilayah tersebut. Diperkirakan, Islam datang di wilayah Kalimantan berkisar abad ke-7 hingga abad ke-11 mengingat letaknya di perlintasan jalur perdagangan dan pelayaran. Hal tersebut memungkinkan karena di wilayah Sumatera ditemukan komunitas Muslim pada abad ke-7 yang terletak di Baros dan di Jawa Timur berletak di wilayah Gresik terdapat makam Fatimah Binti Maimun pada abad ke-11 (Rahmadi, 2020).

Menurut hasil kajian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin, terdapat makam yang diperkirakan dari pertengahan abad ke-15 di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang merupakan peninggalan tertua dari masa perkembangan agama Islam di Kalimantan (Atmojo, 2012). Kompleks pemakaman tersebut diberi nama Keramat Tujuh dan Keramat Sembilan oleh masyarakat setempat. Namun, berdasarkan tuturan tradisi lisan mengisahkan bahwa tokoh-tokoh yang dimakamkan merupakan ulama penyebar agama Islam dari Majapahit.

Menurut Atmojo (2012) terjadi perkembagan agama serta budaya Islam di wilayah Kalimantan setelah abad ke-15. Tidak ada indikasi tahun ketika budaya dan agama Islam berkembang di Banjarmasin maupun Kutai pada Hikayat Banjar dan Salasilah Kutai. Diperkirakan Islam masuk pada awal abad ke-16 M, ketika Pangeran Samudera meminta dukungan kepada Kerajaan Demak guna membantu dalam peperangan melawan pamannya sendiri, yakni Pangeran

Tumenggung dalam mempertahankan hegemoni kekuasaan di wilayah Banjar. Karena, peperangan dimenangkan oleh Pangeran Samudera, maka beliau masuk Islam dan bergelar Sultan Suriansyah. Setelah memasuki abad ke-16 M, muncul kerajaan-kerajaan bercorak Islam di wilayah Kalimantan seperti Kerajaan Banjar pada tahun 1526.

Demi melancarkan penyebaran ajaran Islam di wilayah Kalimantan, maka dibangun sebuah surau/masjid. Menurut KBBI, masjid merupakan rumah atau bangunan tempat beribadah umat Islam. Masjid dibangun untuk melancarkan kegiatan penyebaran ajaran agama Islam. Masjid berasal dari kata “sajada” dalam bahasa Arab yang memiliki arti tempat sujud tahu tempat orang bersembahyang menurut aturan Islam. Selain sebagai tempat bersembahyang, masjid juga digunakan sebagai sarana untuk pendidikan agama dan aktivitas lain seperti urusan peradilan, pernikahan, serta perayaan-perayaan hari besar Islam pada kegiatan yang bernafaskan Islam lainnya.

Pesatnya perkembangan ajaran agama Islam di wilayah Kalimantan mengakibatkan banyak didirikan masjid di berbagai daerah. Pada zaman dahulu, masjid-masjid yang dibangun mempunyai ciri khas tersendiri yakni memiliki arsitektur tradisional dengan atap tumpang yang terbuat dari kayu seperti kayu lanan, kayu ulun, kayu balangiran, dan kayu kapur naga.

Penempatan masjid juga memperhatikan kondisi lingkungan sekitar. Hal tersebut menarik dianalisis dikarenakan pada masa tersebut penduduk sekitar bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Maka dari itu, tulisan ini akan membahas pola keletakkan dan peranan masjid dalam budaya sungai di Kalimantan bagian selatan. Adapun pola keletakan masjid yang akan dibahas meliputi dari Masjid Sultan Suriansyah di

Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan, Masjid Kyai Gede di Kabupaten Kotawaringin Barat Provinsi Kalimantan Tengah, dan Masjid Pusaka Banua Lawas di Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan.

Alasan mengambil objek Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Pusaka Banua Lawas, dan Masjid Kyai Gede dikarenakan ketiga masjid tersebut mendapatkan pengaruh dari Kerajaan Demak. Kerajaan Demak turut membantu dalam menyebarluaskan ajaran agama Islam di wilayah Kalimantan bagian selatan. Berdasarkan catatan sejarah, Masjid Sultan Suriansyah serta Masjid Pusaka Banua Lawas mendapatkan pengaruh yang sama yakni, Khatib Dayyan. Sedangkan Masjid Kyai Gede mendapatkan pengaruh ulama dari Kerajaan Demak, yakni Kiai Gede.

METODE DAN TEORI

Penelitian ini dirancang menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan cara mendeskripsikan kembali secara tertulis dari hasil survei, studi pustaka maupun lapangan tentang kondisi objek penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Cakupan Situs atau Site Catchment Analysis merupakan analisis mengenai tingkah laku manusia degan budayanya terhadap kondisi lingkungan biofisik yang tidak seragam, baik secara iklim dan musimnya maupun secara spasial. Roper (1979) hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara lokasi situs dengan fungsi situs dalam analisis cakupan situs, atau dengan kata lain, bahwa situs dapat mencerminkan fungsi situs.

Pengumpulan data dengan observasi dilakukan pada Masjid Sultan Suriansyah. Sementara, pada kedua masjid lainnya, yakni Masjid Kyai Gede dan Masjid Pusaka Banua Lawas dilakukan studi pustaka. Terdapat

perbedaan metode pengumpulan data dikarenakan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh peneliti. Sehingga, telaah pustaka terhadap Masjid Pusaka Banua Lawas dan Masjid Kyai Gede dilakukan dengan membaca laporan penelitian terdahulu. Observasi dilakukan dengan memperhatikan letak masjid pada bentang alam dan plotting GPS untuk mendapatkan letak astronomisnya. Analisis data dilakukan dengan membandingkan posisi atau letak ketiga masjid terhadap bentang lahan khususnya sungai. Selanjutnya, dilakukan sintesa dengan menghubungkan pola keletakkan masjid dengan budaya sungai yang berkembang di Kalimantan bagian selatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Adapun masjid bersejarah khususnya di Kalimantan bagian selatan yakni Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Pusaka Banua Lawas, dan Masjid Kyai Gede.

Masjid Sultan Suriansyah Kota Banjarmasin

Masjid Sultan Suriansyah merupakan masjid yang pertama kali dibangun pada masa Kerajaan Banjar yang berlokasi di Jalan Kuin Utara RT 5, Kelurahan Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan sejarah masjid dibangun saat Pangeran Samudera memeluk agama Islam kemudiam bergelar Sultan Suriansyah. Masjid dibangun pada tahun 1526 yang berlokasi di tepi Sungai Kuin. Alasan diberi nama Sultan Suriansyah karena dibangun atas usulan dan di masa pemerintahan Sultan Suriansyah.

Sejarah Masjid Sultan Suriansyah bermula di Kerajaan Negara Daha, Maharaja Sukarama mengumumkan bahwa yang akan meneruskan tahtanya adalah Raden Samudra. Namun, pernyataa tersebut mendapatkan protes

dari anak beliau dan Pangeran Tumanggung sangat menentang keras dengan keputusan tersebut. Ketika Raden Samudra berumur tujuh tahun Maharaja Sukarama meninggal dunia menimbulkan kebingungan besar muncul dan ada banyak gangguan. Maharaja Sari Kaburungan telah memberikan peringatan, dengan segera membawa Raden Samudra ke perahu, serta dibekali dengan kebutuhan dan menyuruh dirinya melarikan diri ke hilir. Raden Samudra tidak pernah tinggal lama di lokasi yang sama dan hidup dengan memancing ikan. Patih Masih mendapat kabar bahwa cucu dari Maharaja Sukarama yang menghilang pada kematiannya dan juga tentang pemuda yang muncul di sana-sini sekitaran daerah tersebut. Beliau mengirimkan orang-orang untuk melihat Raden Samudra dan ketika ditemukan, membawanya ke Bandjar.

Di Bandjar, beliau memanggil kepala distrik tetangga Patih Kuwin, Patih Muhur, Patih Balit, dan Patih Belitung. Beliau memperkenalkan Raden Samudra pada mereka serta mengusulkan bahwa mereka harus mengenalinya sebagai raja, sehingga mereka tidak lagi bergantung pada pusat pemerintahan sebelumnya di hulu sungai. Usulan tersebut di terima dan Raden Samudra menjadi raja Bandjar diberi gelar Pangeran Samudra.

Langkah utama yang dilakukan Raden Samudra dalam usaha merebut Kerajaan Daha yakni menjalin hubungan dengan Kerajaan Islam Demak. Beliau meminta bantuan terhadap Kerajaan Islam Demak untuk membantu peperangan melawan Pangeran Tumenggung. Permintaan diterima dengan syarat Pangeran Samudra beserta pengikutinya harus memeluk agama Islam. Menurut Mahin (dalam Hindarto, 2009) Raden Samudra menerima permintaan tersebut dan kemudian rombongan dari Kerajaan Demak yang

dipimpin oleh Khatib Dayan bertolak ke Banjarmasin

Kemenangan Pangeran Samudra dalam peperangan melawan Pangeran Tumenggung menjadikan beliau masuk agama Islam dan meresmikan agama Islam sebagai agama di kerajaannya dan mengganti namnaya dengan gelar Sultan Suriansyah (Tim Peneliti, 2003). Dibangun sebuah masjid pada tahun 1526 M dengan nama Masjid Sultan Suriansyah. Masjid tersebut dibangun untuk melancarkan kegiatan penyebaran Islam di wilayah Kalimantan Selatan.

Gambar (1) Masjid Sultan Suriansyah Sumber: Ega Putri Febriani

Masjid Kyai Gede Kabupaten Kotawaringin Barat

Masjid Kyai Gede terletak di tepi Sungai Lamandau, Jl. Merdeka, Kelurahan Kotawaringin Hulu, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Masjid tersebut dibangun pada tahun 1615, yang mana awalnya masjid ini diberi nama “Masjid Jami Kutaringin/Kotawaringin”. Namun, sekitar tahun 1985 nama tersebut diubah menjadi Masjid Kiai Gede yang dianggap sebagai ulama di Kotawaringin Lama. Sosok Kiai Gede menurut Hikayat Banjar merupakan seorang ulama yang berasal dari Kerajaan Demak.

Berdasarkan hasil kajian oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur, sejarah Masjid Kyai Gede bermula Kiai Gede meninggalkan Demak (Jawa) menuju Kerajaan Banjar melalui

Pelabuhan Gresik. Tiba di Banjar, beliau menemui Sultan Mustainnu Billah untuk dapat bergabung dengan kerajaan tersebut. Sultan kemudian memerintahkannya untuk membuka wilayah baru di bagian barat wilayah Kerajaan Banjarmasin. Kiai Gede menyanggupi perintah tersebut dan berlayar sampai ke Sungai Lamandau, dan tertahan di tempat bernama Tanjung Pangkalan Batu. Sesampainya, beliau kemudian menyampaikan amanah dari Sultan dengan tujuh orang Demang di wilayah tersebut. Setelah amanah Sultan disampaikan, Beliau kembali ke Kerajaan Banjar untuk bertamu dengan Sultan. Sultan Mustainnu Billah mengutus putranya yakni Pangeran Adipati Antakesuma yang didampingi oleh Kiai Gede untuk membangun dan memimpin kerajaan di wilayah Pangkalan Batu yang kemudian diberi nama Kutaringin/Kotawaringin. Pangeran Adipati Antakesuma menjadi raja pertama dan mengangkat Kiai Gede sebagai Mangkubumi di Kotawaringin.

Pada masa pemerintahan Pangeran Adipati Antakesuma, dibangunlah sebuah surau untuk melancarkan aktivitas keagamaan dan menyebarkan agama Islam. Namun, surau tersebut lambat laun tidak memadai lagi karena perkembangan agama Islam yang cukup pesat sehingga dibutuhkan tempat yang lebih luas lagi. Akhirnya, dibangun sebuah masjid di sebelah hulu oleh Pangeran Penghulu (Sultan VI) pada tahun 1711-1725 M. Namun, saat pembangunan masjid belum selesai, Pangeran Penghulu mengundurkan diri dari tahtanya dan digantikan oleh putranya bernama Sultan Balladudin dengan gelar Ratu Begawan. Putranya meneruskan pembangunan masjid hingga selesai dan diresmikan pada 20 Dzulhijjah 1148 H atau sekitar tahun 1728 M dan diberi nama “Masjid Jami Kutaringin” yang sekarang bernama Masjid Kyai Gede, gambar 2.

Gambar (2) Masjid Kyai Gede Sumber: Badan Riset dan Inovasi

Nasional

Masjid Pusaka Banua Lawas Kabupaten Tabalong

Masjid Pusaka Banua Lawas yang berlokasi di tepi Sungai Tabalong, Desa Banua Lawas, Kecamatan Banua Lawas, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur, berdasarkan tradisi lisan menyatakan bahwa Khatib Dayan mendirikan Masjid Pusaka Banua Lawas bersama dengan tokoh Dayak Maanyan seperti Datu Rangganan, Datu Kartamina, Datu Sari Panji, Datu Sari Nagara serta datu lainnya yang masuk Islam bersamaan dengan pendirian Masjid Pusaka Banua Lawas pada tahun 1625. Dilihat dari namanya, kemungkinan Datu Sari Panji dan Datu Sari Nagara sebelumnya menganut agama Hindu atau kemungkinan juga beliau masih menganut kepercayaan lama dan membantu saudara-saudara yang telah masuk agama Islam dalam pembangunan Masjid Pusaka Banua Lawas, gambar 3.

Gambar (3) Masjid Pusaka Banua Lawas Sumber: BPK XIV

Masjid Dalam Konteks Budaya Sungai di Kalimantan Bagian Selatan

DAS atau Daerah Aliran Sungai atau istilah asing disebut dengan catchment area, watershed, atau river basin yang secara topografi merupakan wilayah daratan yang dibatas dengan punggung-punggung bukit yang menyimpan dan menampung air hujan. Selanjutnya, menyalurkan hujan yang jatuh di atasnya baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan, aliran bawah tanah ke sungai, dan berakhir bermuara ke danau atau laut (Hamidah, et al, 2014).

Keletakkan Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Kyai Gede, dan Masjid Pusaka Banua Lawas memiliki persamaan yakni letaknya dekat dengan sungai. Keletakkan tersebut dapat dilihat pada gambar 4,5 dan 6.

Gambar (4) Letak Masjid Sultan Suriansyah

Sumber: Google Earth


Gambar (5) Letak Masjid Kyai Gede Sumber: Google Earth

Gambar (6) Letak Masjid Pusaka Banua Lawas

Sumber: Google Earth

Pada konteks kehidupan masyarakat, keberadaan sungai mempengaruhi kehidupan masyarakatnya. Sungai juga berperan sebagai lalu lintas antar dan intra sungai-sungainya. Berikut merupakan peran sungai dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan.

Pertama sebagai pusat pemukiman, menurut Rochgiyanti (2011) dalam hasil kajiannya menjelaskan bahwa daerah tepian sungai sangat subur akibat dari endapan lumpur yang dipengaruhi oleh pasang surut air sungai. Sehingga, kesuburan yang dihasilkan dari endapan lumpur tersebut menjadikan tempat yang cocok untuk di tinggali oleh manusia. Selain itu, daerah tepian sungai membangun sosialisasi. Menurut Koentjaraningrat (dalam Rochigyanti:2011) proses sosialisasi berhubungan dengan proses belajar kebudayaan bersangkutan dengan sistem sosialnya. Pada sepanjang pinggiran

sungai, pada umumnya rumah dibentuk seperti rumah panggung dengan tiang ulin yang memiliki pola pemukiman yang dibangun mengelompok. Hal ini membuktikan, bahwa masyarakat setempat bisa beradaptasi dengan lingkungan setempat. Setiap rumah terdapat batang, sejenis dengan rakit terbuat dari bambu sebagai tempat mencuci dan mandi, serta dijadikan sebagai tempat jamban dan dermaga kecil untuk tambatan perahu. Lokasi pemukiman umumnya berada pada pertemyan dua buah sungai. Pemilihan lokasi tersebut mempertimbangkan faktor kemudahan aksesibilitas transportasi dari satu tempat ke tempat yang lain (Fajari: 2017).

Kedua, sebagai pusat perekonomian. Kegiatan jual beli barang dilakukan di atas sungai dengan menggunakan jukung/perahu. Demikian pula letak pasar yang bertepatan di persimpangan, merupakan tempat bertemunya dua sungai. Sungai juga membantu pendistribusian barang dari pusat ke daerah pedalaman yang ada di Kalimantan. Selain itu, para pedagang juga menyinggahi rumah-rumah yang di tepian sungai menawarkan barang dagangan tersebut kepada masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai. Hal ini membuktikan bahwa peran sungai sangat membantu dalam kegiatan perekonomian. Selain itu, di kawasan pusat dibangun sebuah pelabuhan untuk meningkatkan kegiatan perekonomian terhadap masyarakat luar dari Kalimantan.

Ketiga, sebagai pusat pemerintahan. Menurut sejarahnya letak keraton tidak berjauhan dengan masjid, pelabuhan atau bandar, dan alun-alun. Menurut Sartono Kartodirjo (dalam Hendraswati & Jamalie, 2015), salah satu dari tiga unsur yang digunakan dan selalu dibangun oleh kesultanan-kesultanan bertepatan dekat dengan tepian sungai atau di sepanjang

sungai dan pesisir pantai guna mengembangkan pusat-pusat perdagangan, pelabuhan, dan pemerintahan bagi rakyatnya.

Keempat sarana penyebaran agama Islam, seperti kita ketahui bahwa ketiga masjid yang telah dijelaskan letaknya dekat dengan sungai. Pada beberapa masyarakat, air sungai dianggap sebagai pembersih dari kotoran-kotoran yang terkait dengan kegiatan religi (Hindarto, 2009). Dapat disimpulkan, bahwa masjid merupakan sebagai sarana untuk melaksanakan kegiatan religi yakni menyebarkkan ajaran agama Islam. Sebagaimana pula, sumber air dianggap pula sebagai kawasan yang sakral (Hindarto, 2009)

Berdasarkan dari peta yang sudah ditampilkan, letak ketiga masjid tersebut berada di bantaran sungai. Empat unsur peran sungai sebagai pusat pemukiman, pusat perekonomian, pusat pemerintahan, dan sarana penyebaran agama Islam. Menandakan bahwa budaya sungai memang sangat erat sekali dalam kehidupan terutama masyarakat yang tinggal di Kalimantan. Letak masjid di tepi sungai ini merepresentasikan kebudayaan masyarakat setempat khususnya di wilayah Kalimantan. Menurut Kertodipoepo (dalam Rochgiyanti, 2011) tentang sungai dan pemukiman penduduk di pahuluan (orang yang berasal dari desa) Kalimantan, dengan rumah dibangun di atas tiang dan menghadap ke sungai serta tiap rumah memiliki batang-batang kayu atau titian. Disebutkan juga kampung-kampung pada sepanjang tepian sungai juga sebuah “stasiun”, dan menghubungkan satu kampung dengan kampung lainnya. Setiap warga yang melintasi bisa menyinggahi. Hal tersebut berlaku dengan masjid, yang mana dibangun di atas sungai sebab masyarakat dari dahulu memanfaatkan sungai sebagai jalannya kehidupan mereka. Dengan akal dan budi

yang dimiliki oleh masyarakat menyebabkan adanya adaptasi dengan kondisi geografis setempat serta mengembangkan berbagai macam sistem tindakan demi keperluan hidupnya. Melalui pembelajaran kultural atau cultural learning membuat manusia berproses untuk menyesuaikan serta membangun dan mengembangkan kehidupan pada ekologi tertentu.

SIMPULAN

Masjid merupakan sarana ibadah untuk umat Islam sekaligus sebagai tempat untuk melancarkan penyebaran ajaran agama Islam khususnya di wilayah Kalimantan. Namun, terdapat persamaan pola keletakan masjid yakni dibangun dekat dengan sungai. Alasan masjid dibangun dekat dengan sungai menyesuaikan kondisi lingkungan sekitar.

Adapun masjid yang dibangun dekat dengan sungai yakni, Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Kyai Gede, dan Masjid Pusaka Banua Lawas.

Keberadaan sungai sangat penting bagi masyarakat sekitar. Pasalnya, keberadaan sungai membantu para masyarakat sekitar untuk mengembangkan kegiatan sehari-hari seperti pemukiman, pemerintaha, ekonomi, dan penyebaran ajaran agama Islam. Daerah tepian sungai sangat subur sekali sehingga cocok sebagai pemukiman bagi masyarakat sekitar. Rumah-rumah dibangun dengan tiang-tiang kayu. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat bisa beradaptasi dengan leingkungan sekitar dengan menggunakan akal dan budinya,

Kegiatan ekonomi juga bergerak di sungai karena para masyarakat melakukan transaksi jual beli di atas sungai dengan menggunakan jukung/perahu. Selain itu, para pedagang juga menawarkan barang dagangan mereka dari satu rumah ke rumah yang

lain. Didukung juga adanya pelabuhan yang membantu para pedagang dari pusat ke daerah pedalaman di Kalimantan.

Kegiatan pemerintahan seperti letak keraton, masjid, alun-alun, dan lain-lain berdekatan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat dan mengembangkan interaksi masyarakat sekitar serta memudahkan mobilitas masyarakat untuk melalukan interaksi sosial antara satu dengan yang lain. Serta memudahkan aksesantara satu tempat dengan tempat yang lain. Terutama lokasi pasar yang berada     dipersimpangan     sungai

memudahkan aksesibilitas.

Peran sungai juga membantu dalam penyebaran ajaran agama Islam. Sumber air juga dianggap sebagai kawasan yang sakral sehingga masjid dibangun dekat dengan sungai.

DAFTAR PUSTAKA

Atmojo, B.S.W. (2012). Situs-Situs

Keagamaan di Kalimantan.

Naditira Widya, 52-64.

Atmojo, B.S.W. (2012). Tinggalan Arkeologi Islam Sebagai bagian Perkembangan Sejarah Budaya di Kalimantan. Naditira Widya, 53

59.

Eliza &  Hudaidah.  (2021). Proses

Islamisasi dan Perkembangan islam di    Kesultanan Banjarmasin.

Heuristik:   Jurnal Pendidikan

Sejarah, 54-62.

Fajari, N.M. (2017). Karakteristik SitusSitus Arkeologi Kalimantan Selatan Berdasarkan Lokasi Geografis. Naditira Widya, 61-79.

Hadinata, I.Y, & Muchamad, B.N.

(2018). Studi Penyusunan dan Penentuan Sempadan Sungai di Kota     Banjarmasin.     Jurnal

Kebijakan Pembangunan, 1-7.

Hamidah, N., Rijanta, R., Setiawan, B.,

& Marfai, M.A. (2014). Model Permukiman Kawasan Tepian Sungai Kasus: Permukiman Tepian

Sungai      Kahayan      Kota

Palangkaraya. Jurnal Permukiman, 17-27.

Hartatik, Wasita, Sunarningsih, & Susanto, N.N. (2021). Toleransi dan Keberagaman dari Leluhur di Kotawaringin. Banjarbaru: Balai Arkeologi  Provinsi  Kalimantan

Selatan.

Hendraswati & Jamalie,  Z. (2015).

Peranan Pelabuhan Sungai dalam Persebaran Islam di Kalimantan Selatan. Yogyakarta: Kepel Press.

Hindarto, I. (2009). Dikotomi Budaya Sungai Pada Awal Masa Perkembangan Budaya Islam di DAS Barito. Naditira Widya, 185194.

Mentayani, I. (2019). Identitas dan Eksistensi Permukiman Tepi Sungai di Banjarmasin. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masayarakat,          Universitas

Lambung Mangkurat, (hal. 497502).

Mujib, A. (2021). Sejarah Masuknya Islam dan Keragaman Budaya Islam di Indonesia. Dewantara, 117-124.

Noerwidi, S. (2013). Analisis Cakupan Situs-Situs Permukiman Neolitik di Banyuwangi Selatan. Berkala Arkeologi, 13-30.

Poesponegoro, M.D, & Notosusanto, N. (2009). Sejarah Nasional III. Jakarta: Balai Pustaka.

Rass, J.J. (1991). Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Siti Hawa Saleh dengan judul Hikayar Banjar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Kementerian Pendidikan.

Rochgiyanti. (2011). Fungsi Sungai Bagi Masyarakat di Tepian Sungai Kuin Kota Banjarmasin Komunitas, 3(1), 51-59.

Roper, D.C. (1979). The Method and Theory of Site Catchment Analysis: A Review. Advances in Archaeological Method and Theory, 119-140.

Susanto, N.N. (2016). Peninggalan Arkeologi dan Tradisi di Daerah Aliran Sungai Barito, Kabupaten Barito Selatan dan Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Kindai Etam, 51-68.

Syahrizal, A. (2015). Sejarah Islam Nusantara. Islamnua, 236-252.

Tim Peneliti. (2003). Sejarah Banjar. Banjarmasin:              Badan

Pengembangan dan Penelitian Daerah Propinsi Kalimantan Selatan

Tim Peneliti. (2017). Laporan Monitoring Perlindungan Cagar Budaya Masjid Pusaka Banua Lawas di Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Samarinda: Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur.

Tim Peneliti. (2018). Laporan Kegiatan Zonasi Kawasan Astana Alnursari Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah. Samarinda: Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur.

Tjandrasasmita, Uka. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).