Panggung Politik Bali Kuno Pada Masa Pemerintahan Sri Maharaja Jayapangus
on

HUMANIS
Journal of Arts and Humanities
p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X
Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022
Vol 27.3. Agustus 2023: 314-327
Panggung Politik Bali Kuno Pada Masa Pemerintahan Sri Maharaja Jayapangus
The Political Stage of Ancient Bali during the Reign of Sri Maharaja Jayapangus
I Wayan Srijaya, Kadek Dedy Prawirajaya R.
Universitas Udayana, Denpasar, Bali
Email korespondensi: wayan_srijaya@unud.ac.id, dedyprawirajaya@unud.ac.id
Info Artikel
Masuk:19 Januari 2023
Revisi: 4 Juni 2023
Diterima: 20 Juli 2023
Terbit: 31 Agustus 2023
Keywords: inscriptions; Old
Balinese; socio-political; king
Kata kunci: prasasti; Bali kuno; sosial politik; raja
Corresponding Author:
I Wayan Srijaya, emal:
DOI:
Abstract
Inscriptions are a cultural heritage found in Java, Bali and Sumatra. They were written using stone, metal, clay and palm leaves. Judging from the language and letters used, there are inscriptions written in Old Balinese letters and languages, Old Javanese letters and languages, Old Malay letters and languages and a mixture of Pre-Negari and Sanskrit letters. This research aims to explain the political history during the reign of King Sri Maharaja Haji Jayapangus in Bali during the XII century. The data sources in this research are ancient Balinese inscriptions issued by King Jayapangus during his reign, in the XII century. The data were collected using interview and literature study methods and analysed using a descriptive analitical method. The results show that the inscriptions generally contain aspects of Balinese society and important past events. The reason for selecting the inscriptions issued during the reign of King Jayapangus is because the king is known to be very active in documenting various events in the form of inscriptions. According to records, no less than 44 inscriptions were issued by the king. One of the aspects mentioned in his inscriptions is the socio-political life. This aspect is important for further study, because it concerns the continuity of the government system that took place at that period.
Abstrak
Prasasti merupakan warisan budaya yang banyak ditemukan di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera. Prasasti-prasasti itu dituliskan dengan menggunakan media batu, logam, tanah liat, dan daun lontar. Dilihat dari Bahasa dan huruf yang digunakan, ada prasasti yang ditulis dengan memakai huruf dan Bahasa Bali Kuno, huruf dan Bahasa Jawa Kuno, huruf dan Bahasa Melayu Kuno serta campuran huruf Pre-Negari dan Bahasa Sansekerta. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah politik pada masa pemerintahan raja Sri Maharaja Haji Jayapangus di Bali abad XII. Sumber data dalam penelitian ini adalah prasasti Bali kuno yang diterbitkan oleh raja Jayapangus pada masa kekuasaannya, abad XII. Data dikumpulkan menggunakan metode wawancara dan studi
pustaka. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kulitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prasasti pada umumnya berisi tentang aspek-aspek masyarakat Bali dan peristiwa-peristiwa penting di masa lalu. Pemilihan prasasti masa pemerintahan raja Jayapangus karena raja ini diketahui sangat aktif menuliskan berbagai peristiwa dalam bentuk prasasti. Menurut catatan, tidak kurang dari 44 buah prasasti dikeluarkan oleh raja ini. Salah satu aspek yang disebutkan dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkannya adalah aspek kehidupan sosial politik. Aspek ini penting untuk dikaji secara lebih mendalam, karena menyangkut kesinambungan sistem pemerintahan yang berlangsung pada saat itu.
PENDAHULUAN
Sejarah politik mewarnai perjalanan sistem kerajaan pada masa Bali Kuno. Oleh karena itu, sejarah politik pada masa pemerintahan raja Sri Maharaja Haji Jayapangus penting untuk di publikasikan kepada khalayak umum sehingga dapat dipahami oleh masyarakat secara luas.
Politik sebagaimana dipahami, merupakan pintu masuk menuju kekuasaan. Apapun alasan orang terjun ke kancah politik praktis, maka tujuan akhirnya adalah bagaimana mendapatkan kekuasaan. Oleh karena itu, dalam laku berpolitik pun terkadang keluar dari etika politik santun, sehingga yang mengemuka adalah bagaimana meraih kekuasaan itu (Astra, 1997: 50). Inilah yang mewarnai perpolitikan dewasa ini, sehingga dalam berpolitik tidak mengenal istilah teman yang abadi tapi yang ada adalah kepentingan. Jika ini yang mengemuka, maka muncullah apa yang disebut dengan politik kotor. Dikatakan kotor, karena mereka yang memerankan tidak mengedepankan sopan santun, melainkan bagaimana dia mencapai tujuan yang diinginkan dengan berbagai cara (Srijaya & Prawirajaya R., 2022: 3) Itulah sebabnya kemudian memunculkan narasi dengan sebutan politik identitas, politisasi agama, dan sebagainya. Penggunaan narasi politik identitas atau politisasi agama, untuk saat ini paling
mudah menarik simpatisan pemilih yang mayoritas belum memahami esensi demokrasi itu. Dengan politisasi agama, masyarakat sangat mudah digiring pada satu tujuan tanpa mempertimbangkan baik buruknya.
Namun tidak demikian halnya dengan perpolitikan yang terjadi dimasa lalu. Para raja mendapatkan kekuasaannya dengan cara dipersiapkan oleh raja. Calon pengganti biasanya disebut dengan istilah putra mahkota. Pemerintahan dengan sistem kerajaan ini cenderung otoriter dalam menjalankan kekuasaannya. Inilah yang harus dihindari di negara yang menjunjung demokrasi. Panggung perpolitikan nusantara dimulai sejak abad ke-4 M. Hal ini diketahui dari adanya prasasti yang tertua yang ditemukan di Nusantara. Berdasarkan bukti-bukti tertulis yang ditemukan kancah perpolitikan Nusantara diawali dengan datangnya pengaruh peradaban India dengan membangun kerajaan bercorak Hindu pertama di Kalimantan Timur, yaitu kerajaan Kutai dengan rajanya Bernama Mulawarman (Soemadio, 2010: 30). Pasca kerajaan Kutai, kemudian muncul kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat abad ke-5 M, dengan rajanya Purnawarman, selanjutnya kerajaan Sriwijaya di Palembang abad ke-7-13 M. Kerajaan-kerajaan tersebut di atas tidak banyak memberikan informasi tentang struktur
birokrasi yang dikembangkan untuk dapat diketahui. Hal ini disebabkan karena prasasti yang menjadi bahan untuk mengungkapkan sejarah kuno dan sejarah politik saat itu tidak banyak menyuratkan tentang jabatan-jabatan yang ada.
Kerajaan Mataram Kuno yang awalnya berpusat di Jawa Tengah kemudian pindah ke Jawa Timur diketahui dari prasasti yang dikeluarkan oleh raja baik yang dituliskan pada batu, maupun tembaga. Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur diawali dengan munculnya dinasti baru yaitu dinasti Isana. Selanjutnya muncul kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit. Pada era kerajaan Mataram Kuno, berdasarkan prasasti yang ditemukan diketahui telah memiliki struktur pemerintahan yang memadai dan dijumpai nama-nama seperti jabatan rakryan mapatih I hino, rakryan mapatih I halu, rakryan mapatih I sirikan, rakryan mapatih I wka, samgat bawang, samgat tiruan, samgat manghuri, rake halaran, rake palarhyang atau panggilhyang, rake welahan, samgat daliman, pangkur, tawan, tirip, samgat lampi, samgat wadihati, dan samgat makudur (Boechari, 2012: 3233).
Raja menjadi pemegang otoritas dalam menjalankan roda pemerintahannya. Namun untuk dapat menjalankannya, ia dibantu oleh sejumlah pejabat dan penasehat raja. Jadi dalam mengambil keputusan raja selalu meminta pertimbangan pejabat kerajaan dan penasehat raja. Gambaran ini tersirat dan tersurat dalam prasasti yang dikeluarkan. Suatu hal yang menjadi ciri sistem kerajaan adalah pergantian penguasa yang didasarkan pada garis keturunan. Namun sering pula pergantian itu terjadi akibat balas dendam. Artinya, seorang penguasa bisa diambil alih kekuasaannya apabila ada pihak yang tidak puas. Hal ini dapat disejajarkan dengan tindakan kudeta yang dilakukan
oleh kelompok yang tidak puas terhadap raja yang sah. Sistem seperti ini telah melahirkan pemerintahan yang tidak stabil sebagaimana dibuktikan pada masa kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit. Karena sering terjadinya pengambil-alihan kekuasaan secara tidak wajar, akibatnya kerajaan menjadi lemah dan berdampak pada kemunduran bahkan lenyap.
Aspek politik merupakan salah satu bagian dari perjalanan sejarah Bali Kuno. Oleh karena itu, penting untuk memahami aspek ini melalui kajian prasasti. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana struktur birokrasi berdasarkan rekaman prasasti yang dikeluarkan oleh raja Sri Maharaja Haji Jayapangus Arkaja Cihna/Lancana (Astra, 1977: 65). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur pemerinatahan pada masa pemerintahan Raja Jayapangus berdasarkan prasasti yang dikeluarkan. Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang gambaran struktur pemerinatahan yang berlangsung pada pada masa pemerintahan raja Jayapangus sebagaimana tersurat dalam prasasti-prasastinya.
METODE
Dalam penelitian ini, data yang digunakan untuk mengungkapkan aspek sosial politik pada masa Bali Kuno adalah prasasti. Prasasti sebagaimana diketahui menjadi sumber utama dalam merekonstruksi sejarah Bali Kuno termasuk di dalamnya aspek sosial politik. Dalam hubungan ini, prasasti-prasasti yang digunakan adalah prasasti dikeluarkan oleh raja Jayapangus (Astra, 1977: 10). Dengan menggunakan prasasti sebagai bahan kajian, maka setidaknya dapat membantu upaya merekonstruksi politik kekuasaan yang ada saat itu serta bagaimana hubungan penguasa/raja dengan pejabat-pejabat di bawahnya dan
lain sebagainya.
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data (Sugiyono, 2005: 72). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu studi pustaka dan wawancara. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam menganalisis permasalahan yang dirumuskan, maka digunakan sumber prasasti. Prasasti yang digunakan adalah prasasti yang dikeluarkan oleh raja Sri Haji Jayapangus yang keseluruhannya sudah dialihaksarakan dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Prasasti yang sudah dialihaksarakan ini dapat meringankan proses penafsiran masalah sosial politik yang menjadi kajian ini guna melengkapi data yang dikumpulkan melalui studi pustaka serta hasil wawancara. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan terhadap masyarakat yang memahami isi prasasti dari masa pemerintahan raja Jayapangus. Mereka yang dijadikan informan adalah tokoh masyarakat dan peneliti atau akademisi.
Data yang telah dikumpulkan, kemudian dianalisis secara kualitatif deskriptif dan komparatif. Analisis kualitatif deskriptif merupakan analisis data non statistik. Analisis ini diterapkan terhadap prasasti yang sudah dialihaksarakan dan diterjemahkan (Aris Kristianti, 2016: 25). Prasasti yang sudah dialihaksarakan dan diterjemahkan, selanjutnya dianalisis secara intern untuk mengetahui isi yang disebutkan dalam prasasti itu. Apabila tahapan-tahapan tersebut sudah dilalui, kemudian diakhiri dengan penafsiran data untuk menjawab masalah yang dirumuskan, yang dalam hal ini adalah aspek sosial politik. Analisis komparatif digunakan untuk mengadakan perbandingan terutama dengan salah satu penguasa sebelumnya, kemudian akan diperoleh gambaran apakah pada abad XII struktur politik
masih sama atau mengalami pengurangan bahkan sebaliknya ada penambahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pandangan Kosmologi Tentang Negara
Sebelum menjelaskan perpolitikan masa Bali Kuno, akan dijelaskan mengenai kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Untuk itu perlu
memperhatikan pandangan sarjana terkemuka yang Bernama Robert Heine-Geldern. Menurut Robert Heine-Geldern (1982: 27), kerajaan-kerajaan kuno di
Asia Tenggara memiliki landasan kosmologi, yaitu kepercayaan tentang adanya suatu keserasian antara dunia manusia ini (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Berdasarkan kepercayaan ini dikatakan bahwa manusia selalu berada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang terpancar dari bintang-bintang dan planet-planet. Kekuatan-kekuatan itu dapat membawa kebahagiaan, kesejahtraan, dan
perdamaian atau bencana kepada manusia, tergantung dari dapat atau tidaknya individu, kelompok-kelompok sosial, terutama kerajaan, menyerasikan hidup dan semua kegiatannya dengan gerak alam semesta. Orang dapat memperoleh keserasian itu dengan mengikuti petunjuk-petunjuk astrologi, alamat-alamat yang akan menunjukkan akan datangnya keberuntungan atau bencana, dan perlambang-perlambang yang lain (Soemadio, 2010: 223).
Kerajaan dapat memperoleh keserasian dengan alam semesta jika ia disusun sebagai bayangannya, sebagai kosmos dalam bentuk kecil, demikian dinyatakan oleh Geldern.
Heine–Geldern (1982: 15)
menjelaskan bahwa menurut ajaran agama Hindu, alam ini terdiri atas suatu benua pusat berbentuk lingkaran, yang bernama Jambudwipa. Benua ini dilingkari oleh tujuh lautan dan tujuh
daratan, dan semuanya itu dibatasi oleh suatu pegunungan yang tinggi. Di tengah-tengah Jambudwipa berdiri Gunung Meru sebagai pusat alam semesta. Matahari, bulan, dan bintang-bintang bergerak mengelilingi Gunung Meru itu. Di puncaknya terdapat kota dewa-dewa yang dikelilingi oleh tempat tinggal ke delapan dewa penjaga mata angin (lokapala).
Berbeda halnya dengan gambaran dalam ajaran agama Hindu, menurut ajaran agama Budha terdapat gambaran yang agak berbeda mengenai alam ini, namun pada dasarnya ada juga persamaannya. Persamaannya yaitu bahwa sebagai pusat alam semesta tetap Gunung Meru. Ia dilingkari oleh tujuh lautan dan tujuh pegunungan. Di luar deretan pegunungan yang ketujuh terdapat samudra yang melingkar dan disini terdapat empat benua yang terletak di empat penjuru mata angin. Benua yang disebelah selatan disebut Jambudwipa, tempat tinggal manusia keseluruhan itu dilingkari oleh deretan pegunungan yang tinggi, yang disebut cakrawala. Di puncak Meru terdapat surga 33 dewa-dewa dengan kota Sudarsana, tempat dewa Indra bersemayam sebagai raja sekaligus dewa. Di lereng Meru terdapat penjaga surga yang terendah, tempat tinggal Catur Lokapala (empat dewa penjaga mata angin). Di atas surga para dewa masih ada lagi surga-surga yang lain, yang jumlahnya berbeda-beda dalam perbagai sumber. Pada umumnya disebut 24 surga (Soemadio, 2010: 223).
Apa yang digambarkan Geldern di atas, rupanya tidak seutuhnya dapat diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di Nusantara. Contohnya pada masa Mataram Kuno tidak ada satupun naskah tentang teori ketatanegaraan disebutkan. Namun demikian, ada juga petunjuk tentang adanya konsepsi kosmologis yang melandasi struktur kerajaan Mataram Kuno. Prasasti Canggal yang merupakan prasasti tertua dari kerajaan Mataram Kuno, menjelaskan tentang raja
Sanjaya bahwa ia sebagaimana Raghu, telah menaklukkan raja-raja tetangga yang mengelilinginya. Selama ia memerintah dunia ini, yang berikat-pinggangkan Samudra dan berdada gunung-gunung, rakyat dapat tidur di tepi-tepi jalan tanpa merasa takut akan pencuri dan bahaya-bahaya yang lain. Ungkapan circles of neighbouring rules dan gambaran bahwa dunia berikat-pinggangkan Samudra dan berdada-dada gunung mengingatkan akan gambaran alam semesta yang melukiskan Jambudwipa yang dikelilingi oleh lautan dan deretan pegunungan. Dapat juga dikembalikan kepada doktrin mandala yang diuraikan secara terperinci di dalam kitab Kautilya Arthacastra (Soemadio, 2010: 225; Wiguna, 2008: 105).
Sumber lainnya adalah berita Cina dari Dinasti T’ang. Di dalam Hsin T’ang-shu dikatakan tentang kerajaan Ho-ling atau She-p’o bahwa raja tinggal di kota She-p’o (She-p’o-tch-eng), tetapi leluhurnya Bernama Ki-yen memindahkan pusat kerajaannya ke timur, ke Po-Iu-kia-sseu. Di sekelilingnya ada 28 kerajaan-kerajaan kecil dan tidak ada satu di antaranya yang tidak tunduk. Ada 32 pejabat tinggi kerajaan dan yang terutama di antaranya adalah ta-tso-kan-hiung. Angka 28 dan 32 itu tentulah angka-angka simbolis yang disesuaikan dengan adanya 7 daratan yang melingkari Jambudwipa, yang dinyatakan dengan 7 x 4, yaitu 7 kerajaan disetiap penjuru mata angin dan 32 pejabat tinggi kerajaan disesuaikan dengan 32 dewa-dewa bawahan Indra (Soemadio, 2010: 225).
Demikian pula dengan kerajaan Bali kuno khususnya pada masa pemerintahan raja Sri Maharaja Haji Jayapangus bersama kedua permaisurinya dilandasi oleh pemikiran kosmologis di atas sebagaimana disebutkan dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan. Untuk lebih jelaskan dikutipkan pandangan kosmologis sebagaimana disebutkan dalam prasasti Bugbug dan prasasti Paleg
yang berangka tahun sama 1103 Saka. Prasasti Bugbug lembar 1b.7 dan lembar 2a.1-3 disebutkan sebagai berikut.
1b. 7. dŗiwyahajyanya, hana pwa kanitijñān pāduka śrī mahārāja huningā rumêngő pőhning manawa kamandaka, guṇagrahi kumingkin ri kaśwasṭha nikang rāt rina
2a. 1. kṣanira, makadonira pagêha nikang sapta nagara, apan swabhawani kadi sira prabhu cakrawartti rājādirāja, sekarājya raja lakṣmi, pinaka ta patra
-
2. ning bhuwana, matangnyan tinalatafi pāduka śrī mahārāja, sakwefini padŗwyahajyan nikang karāman i bugbug sasamarmanya tan pawiruddha tka ri hlêm dlahaning
-
3. dlaha, yata kāraṇanya winefi makmitan sanghyang rajā praṣaṣti agêm-agêm makātma rakṣanyan umagêhakên sarintênya atunggu karāman, maka ra
-
4. sa wineśeṣan pāduka śrī mahārāja, sakwefini padŗwyahajyanya, lwirnya kadyanggāning pasudang, pabhojana mwang pamuṇdut haryyan watun palbur, … (Rema et al., 202: 140)
Artinya:
-
7. pajak negara. Adapun kebijaksanaan Paduka Śri Maharaja dan oleh karena baginda telah tahu serta mendengar isi hati sari manawa kamandaka dalam melenyapkan ksesedihan demi keselamatan negara yang diperintah baginda
2a.1. agar supaya tetap kukuh sapta negara beliau karena kewibawaan baginda sebagai raja besar, penguasa diantara para raja (cakrawarti), raja penganugrah kebahagiaan serta
-
2. pelindung dunia, oleh karenanya dinyatakan dengan tegas oleh Paduka Śri Maharaja sejumlah masalah
perpajakan penduduk desa Bugbug dengan tujuan agar tidak diubah sampai kelak
-
3. kemudian hari. Itulah sebabnya mereka diberikan menjaga sang hyang raja prasasti sebagai pegangan, bagaikan menjaga jiwa, guna mengokohkan dirinya sendiri selama menjaga ketertiban desa,
-
4. inti kebijaksanaan Paduka Śri Maharaja, berkenaan dengan sejumlah pajak kekayaan negara, seperti misalnya masalah pasudang, makanan dan pamundut haryyan, watun palbur, ….. (Wiguna, 2008: 135).
Ungkapan yang serupa juga ditemukan dalam prasasti Paleg lempeng 2a dan 2b sebagai kutipan berikut.
Lempeng 2a
-
4. rumĕṅӧ pĕfi manakamanḍaka. gunagrahi kuminkin kaswastha nikaŋ rat rinakṣa nira. makadona ri pagĕha nikaŋ
-
5. sapta nagara. swabawani kadi sira prabu cakrawṛtti rajādiraja seka rajya rajā lakṣmi pinaka ta patra niŋ buwā-
-
6. na satuṅ(ka)n balidwipamaṇḍala. mataṅyan tinalatafi. paduka ṡri
maharaja. sakwefini padṛwya hajya nikaŋ (Rema et al., 2021: 145)
artinya:
-
4. Setelah mendengar (mengetahui) isi kitab Manawakamandaka dan mengambil bagian- bagian yang berguna dan berusaha keras untuk kesejahteraan negara yang diperintah oleh beliau demi tetap tegaknya
-
5. sapta nagara, dan menjaga kewibawaan baginda sebagai
penguasa dunia, raja utama (Cakrawarti) di antara para raja dari suatu kerajaan yang makmur, sebagai pelindung dunia
-
6. di seluruh wilayah Pulau Bali. Itulah sebabnya diterangkan oleh paduka ṡri maharaja segala padṛwyahajyan;
Lempeng 2b
-
1. karamani panijoyan sapañjiŋ tani. samarmmanya tan pawiruddha tka (ri) hla(m) dlaha niŋ dlaha. ya ta winefi makmī-
-
2. tan saŋ hyaŋ raja praṣaṣṭi agĕmagĕm makātmarakṣanya numagĕhakĕn
sarintĕnya tuṅgu karaman. winefi
swatrarī (Rema et al., 2021: 145)
artinya:
-
1. masyarakat Panijoyan sewilayah desanya, dengan maksud agar tidak dipertentangkan sampai kelak di kemudian hari. Itulah sebabnya mereka diberi menjaga
-
2. sang hyang raja prasasti sebagai pegangan dan tuntunan dalam bertindak dan harus dijaga seperti menjaga jiwanya untuk mengokohkan dirinya dan menunggui masyarakat. Ia diberikan sebagai wilayah otonom (swatantra)
Berdasarkan kedua kutipan prasasti di atas, kiranya gambaran kosmologis kerajaan Bali Kuno menyiratkan adanya kesesuaian dengan teori ketatanegaraan yang diungkapkan oleh Geldern walaupun tidak sepenuhnya sama. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa pada masa Bali Kuno khususnya pemerintahan raja Jayapangus tersirat bagaimana posisi beliau sebagai penguasa seluruh daratan pulau Bali serta membawahi tujuh kerajaan lainnya.
Raja dan Birokrasi pada Masa
Pemerintahan Sri Haji Jayapangus
Pasca prasasti yang tidak mencantumkan nama raja ini, lalu keluarlah prasasti-prasasti yang
menyertakan nama raja maupun unsur
penanggalannya. Sejak itulah di Bali muncul kekuasaan dengan dinasti baru, yaitu dinasti warmadewa. Kehadiran dinasti ini, maka mulailah babakan baru dalam panggung perpolitikan di Bali. Prasasti tertua yang menyebutkan nama raja sebagai penguasa di Bali yaitu prasasti Blanjong Sanur (835 Saka/913 M) dan yang terakhir adalah prasasti Langgahan (1259 Saka/ 1337 M). Penguasa pertama adalah Sri Kesari Warmadewa dan penguasa terakhir sebelum ditaklukkan oleh Gajah Mada adalah Sri Astasuraratnabhumibanten. Raja-raja yang pernah berkuasa tidak semua berasal dari keturunan dinasti warmadewa.
Berdasarkan prasasti yang ditemukan dalam rentang waktu 424 tahun, terdapat 22 penguasa atau raja di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu itu pemerintahan berlangsung sangat dinamis, artinya pergantian penguasa bisa terjadi mengikuti garis keturunan atau faktor lainnya. Perlu digaris bawahi, walaupun terjadi pergantian kekuasaan tanpa mengikuti garis keturunan, tidak ditemukan adanya konflik kekuasaan sebagaimana sering terjadi pada masa kerajaan Mataram Kuno maupun Kediri hingga Majapahit. Setelah kekuasaan raja Sri Astasuraratnabhumibanten ini di Bali muncul dinasti baru, yaitu dinasti kepakisan dengan raja pertana Dalem Sri Kresna Kepakisan. Berbeda halnya dengan masa Bali Kuno, pada masa Gelgel pergantian kekuasaan sering diwarnai oleh konflik sehingga menyebabkan pemerintahan kurang stabil (Ardika et al., 2013: 261).
Di antara 22 orang penguasa kerajaan Bali Kuno yang terekam dalam prasasti, diketahui bahwa raja Jayapangus yang bergelar Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus Arkaja Cihna/Lancana merupakan penguasa yang paling produktif dalam mengeluarkan prasasti (Budiastra, 1980: 17; Goris, 1948: 15). Sampai saat ini telah ditemukan 44 buah prasasti atas nama beliau baik prasasti yang lengkap maupun yang kurang
lengkap. Prasasti tertua yang sudah ditemukan adalah prasasti Mantring A beratarikh Saka 1099/1177 Masehi dan menjadi satu-satunya prasasti yang angka tahunnya berbeda dengan prasasti lainya. Sisanya yang berjumlah 43 buah prasasti menggunakan angka tahun sama, yaitu 1103 Saka/1181 Masehi. Berdasarkan prasasti yang sudah ditemukan raja ini memegang tapuk kekuasaan hanya 4 tahun saja dan memerintah setelah raja Ragajayatahun 1077 Saka/1155 Masehi. Raja yang digantikan diketahui hanya mengeluarkan satu buah prasasti dan itu artinya Ketika Jayapangus menjadi penguasa terdapat masa kosong dengan rentang waktu antara 1155 Masehi - 1177 Masehi atau sekitar 22 tahun.
Jika mengikuti sumber prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus, yaitu prasasti tertua Mantring A tahun 1099 Saka/1177 Masehi dan prasasti lainnya yang berangka tahun sama 1103 Saka/1181 Masehi, maka itu berarti ia hanya menjadi penguasa selama 4 tahun. Selanjutnya ia digantikan oleh raja Ekajaya Lancana dengan gelar Sri Maharaja Haji Eka Jaya Lancana. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, ia didampingi oleh ibundanya yang bergelar Sri Maharaja Sri Arjayadengjaya Ketana sebagaimana tersurat dalam prasasti Kintamani E dan prasasti Kintamani F yang berangka tahun 1122 Saka/1200 Masehi (Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2008: 15). Berdasarkan prasasti-prasasti yang dikeluarkan raja Jayapangus, yang menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja besar (rajadhiraja) yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan seperti raja penguasa penjuru mata angin (prabhu cakrawarthi) yang menguasai seluruh wilayah pulau Bali (satungkeb Balidwipa mandala) dengan tujuh negara bawahan (sapta negara) dan juga disebutkan sebagai titisan dewa matahari/surga (arkaja) yang selalu didampingi oleh dua permaisurinya yang disebut sebagai titisan Dewi
Ratih/Bulan (induja sasangkaja) hanya memegang kekuasaan selama 4 tahun. Penjelasan di atas mengingatkan pada konsep kosmologi yang dianut di Asia Tenggara termasuk juga di Pulau Jawa ketika kerajaan Mataram Kuno mencapai kejayaannya.
Struktur pemerintahan pada masa pemerintahan Jayapangus dapat dijelaskan bahwa berdasarkan sumber prasasti yang dikeluarkan terdapat jabatan tingkat pusat dan jabatan tingkat desa. Kedua struktur pemerintahan ini tersirat dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh sang raja. Struktur seperti ini membedakan dengan struktur pemerintahan yang dikenal dalam masyarakat modern. Dalam masyarakat modern seperti di Indonseia pasca kemerdekaan terdapat tatanan kenegaraan yang terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah daerah tingkat satu (provinsi) sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah dan pemerintah daerah tingkat dua. Jabatan tingkat pusat pada masa pemerintahan raja Jayapangus yang kewenangannya diakui oleh seluruh wilayah kekuasaannya adalah (1) raja/maharaja/haji, (2) Senapati, (3) samgat, dan (4) mpungku (Wiguna, 2008: 18).
-
1. Raja/Maharaja/Haji
Dalam struktur pemerintahan tradisional kedudukan raja merupakan lapisan yang paling tinggi dari seluruh struktur kekuasaan. Raja dipandang sebagai tokoh yang sangat mulia dan patut dijadikan panutan dalam berperilaku. Pandangan ini sering ditemukan dalam sumber-sumber sastra manupun prasasti. Berdasarkan penjelasan dalam kitab Manawa Dharmasastra, bahwa seorang raja atau penguasa punya kewajiban kepada rakyat sebagai pelindung, menjaga keamanan, dan ketertiban, menjaga serangan dari musuh baik dari dalam maupun dari luar seperti tugas dari para dewa. Oleh karena itu, seorang raja
dituntut agar selalu dekat dengan rakyatnya. Seorang raja selain menjadi pelindung, juga harus menjadi sahabat dengan rakyat dan bertingkah laku arif dan bijaksana seperti tabiat seorang pendeta utama. Dalam kitab Silasasana Prabhu diuraikan sebagai berikut ”…sang prabhu juga maka kanti, apan umawak sadasiwa….” Artinya “….raja hendaknya sebagai sahabat, dan karena berbadan sadasiwa…” selanjutnya dikatakan “….apan sang amawa bhumi rumawak sang pandita putus….” Artinya “… karena yang menjaga dunia (raja) berbadan/berperilaku sebagai seorang pendeta utama….” (Tara Wiguna, 2008: 20).
-
2. Senapati
Selain raja sebagai penguasa tertinggi, pejabat yang termasuk ke dalam lembaga pakira-kira I jro makabehan adalah jabatan senapati (Ardika et al., 2013: 141). Kata senapati berasal dari Bahasa Sansekerta sena dan pati. Sena berarti tantara sedangkan pati berarti raja. Dengan demikian senapati mengandung arti raja atau pemimpin tantara (Atmodjo, 1980: 269; Goris, 1954). Jabatan senapati dalam kerajaan Bali Kuno dapat disetarakan dengan punggawa pada masa pemerintahan kerajaan Gelgel dan Klungkung yang juga pemutus suatu perkara. Perintah yang diturunkan raja diterima langsung oleh senapati yang selanjutnya diteruskan kepada para tanda rakryan (“……umajar I para Senapati, umingsor tanda rakryan ri pakira-kiran I jro makabehan……”). Adapun jumlah pejabat ini berdasarkan sumber prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus setidak-tidaknya 8 jabatan. Jabatan senapati tersebut antara lain adalah senapati Dinda dijabat oleh Pu Anakas selanjutnya digantikan oleh Pu Hitawasana, untuk selanjutnya Pu Anakas dipercaya untuk menjabat Senapati Balimbunut (Tara Wiguna,
2008: 25).
Penjelasan tentang jabatan senapati ditemukan pada semua prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus, tetapi dalam penelitian ini hanya dikutip dari 2 prasasti, yaitu prasasti Dalung dan Prasasti Bugbug. prasasti Dalung, lembar Va 4-6 dan lembar Vb 1-6 disebutkan jabatan-jabatan di atas sebagai kutipan berikut.
-
4. syakěn ri sanmuka tanda rakryan ri pakirakiran ni jro makehhan makadi parasenapati, mpungkuing
sewasogota, anakala
-
5. samangkana sang senapati balěm-bunut pu anatas, sa(ng) senapati dinganga pu dasina, sang senapati maniringin pu hamwrulung, sang senapati kutura
-
6. n pu nijasa, sang senapati geddha pu hawit daya, sang senapati blakbasa pu hanggonan, sang senapati sarba pu hanuraga, sang senapati sotěr (Tara Wiguna, 2008: 135)
Artinya:
-
4. di hadapan para pejabat tinggi kerajaan anggota dewan Majelis Permusyawaratan Paripurna kerajaan, para senapati, para pendeta dari kelompok agama Siwa dan Buddha, yang hadir pada saat itu
-
5. Sang Senapati Balem Bunut bernama Pu Anatas, Sang Senapati Dinganga bernama Pu Daksina, Sang Senapati Maniringin Bernama Pu Hamwrulung, Sang Senapati Kuturan
-
6. bernama Pu Niyasa, Sang senapati Geddha bernama Pu Hawit Daya, Sang Senapati Blakbasa bernama Pu Hanggonan, Sang Senapati Surba bernama Pu Hanuraga, Sang Senapati Soter
-
3. Samgat
Kata samgat mengingatkan kepada istilah sang pamegat (Zoetmulder, 1982 dalam Ardika et al., 2013: 142). Kata
pamgat atau pamegat berarti “pemutus”. Berdasarkan pengertian tersebut maka samgat berarti jabatan yang bertugas memutuskan sesuatu. Pada masa memerintahan raja Jayapangus terdapat tujuh samgat. Ketujuh jabatan yang ada pada masa pemerintahan raja Jayapangus bersama kedua permaisurinya di antaranya adalah samgat manuratang ajna I Hulu di jabat oleh Madatambringeh atau Madatambwringeh (Tara Wiguna, 2008: 26).
Jabatan samgat ditemukan dalam semua prasasti yang dikeluarkan, namun untuk melengkapi penjelasan penelitian ini maka dikutipkan dari prasasti Bugbug lempeng Xa. sebagai berikut.
-
5. sang senāpati dênda pu anakas, sang senāpati sarbha pu singsifi, samgat cakṣu kāraṇapura sarwwa samgat mañuratang ajñā i hulu mada tambringeh,
-
6. samgat mañuratang ajñā i tngafi matadara, samgat mañumbul tulang wṣi, samgat mañuratang ajñā i wuntat tyagarāga, samgat pituha anut cātra (Rema et al., 2020: 150: Tara Wiguna, 2008: 145)
Artinya:
-
5. Sang Senapati Denda Pu Anakas, Sang Senapati Sarbwwa Pu Singsih, Samgat Caksu Karaṇapura Sarwwa, Samgat Mañuratang Ajñā I Hulu Madatambringêh Samgat Mañuratang Ajñā i
-
6. Tngafi Matadara, samgat mañumbul tulangwṣi, Samgat Manuratang ajñā I Wuntat Tyagaraga, Samgat Pituha Anutcatra
Selain kedua jabatan di atas, para pemuka agama Siwa dan Buddha mendapat tempat yang utama di antara mereka (Ardika et al., 2013: 145). Dalam beberapa prasasti yang dikeluarkan raja Jayapangus, disebutkan dengan pernyataan karuhun mpungku sewasogata artinya: terutama beliau para mpungkwing (tuanku di), yaitu merupakan jabatan yang mempunyai tugas dan kewenangan mengatur bidang keagamaan di suatu bangunan suci (Tara Wiguna, 2008: 27-28). Jabatan ini diisi oleh para pemuka agama Siwa dan Budha. Para pendeta Siwa disebut dengan Kasewan dan para pendeta Budha disebut dengan Kasogatan. Sementara para pendeta ini menggunakan gelar dang acaryya untuk pendeta Siwa dan dang upaddhyaya untuk pendeta Budha. Jumlah pendeta Siwa dan Budha yang dipercaya tidaklah sama. Berdasarkan prasasti yang dikeluarkan raja Jayapangus pejabat Kasewaan di antaranya adalah Mpungkuwing Hyang Padang dijabat oleh Dang Acaryya Agreswara yang kemudian diganti oleh Dang Acaryya Ananaguna (Tara Wiguna, 2008: 28).
Sementara pemukan agama Budha yang menjabat di antaranya adalah Mpungkuwing Kadhikaran semula dijabat oleh Dang Upadhayaya Sarwwatha kemudian secara berturut-turut diganti oleh Dang Upadhyaya Antaraga, dang Upadhayaya Sarwathaja (Sarwwarja) (Tara Wiguna, 2008: 28).
Uraian mengenai pemuka agama atau sering disebut dalam prasasti sebagai kasewasogatan merupakan posisi penting dalam struktur birokrasi pemerintahan kerajaan Bali Kuno. Peran mereka begitu penting terutama dalam memberikan pertimbangan kepada raja dalam mengambil keputusan. Oleh karena kedudukannya yang penting itulah setiap kali persidangan yang dihadiri pejabat kerajaan penasehat raja yang berasal dari
dua agama besar saat itu selalu dihadirkan. Untuk memberikan gambaran mengenai pemuka agama ini dikutipkan dari Prasasti Dalung dan prasasti Bugbug.
Dalam prasasti Dalung disebutkan seperti kutipan berikut ini.
-
2. ntat hamudamudag, samgat caksu karana pura talabasa, samgat kampituha pugung, sireng sakasewan mpungkwi hyang padang dang acaryya anagrathwara, mpungkwi
-
3. pasaban dang acaryya hamaredwaja, mpukwi binor dang acaryya hlahla, mpungkwi makarun dang acaryya huriwangsa, mpungkwi puspadata dang acaryya ha
-
4. yogiҫwara widana, sira kasogatan mpungkwi kutri anar dang upadyaya sarbwa wija, mpungkwi bajra sikara dang upadyaya widada mpungkwi pu
-
5. ngkwi punagara dang upadyaya
agoreswara, mpungkwi baranasi
dang upadyaya, anut daya mpungkwi haji nagara dang upadyaya harudara
-
6. daya, mpungkwi burwa barabawu dang upadyaya hawitiyajna, samgat juru wadwa dang acaryya maredra, samgat mangirengiren wandami
jitaraga (Purwadita: 2022; Tara
Wiguna, 2008).
Artinya:
-
2. bernama Hamudamudag, Samgat Caksu Karanapura bernama Talabasa, Samgat Kapituha bernama Pugung, beliau dari kelompok Siwa Mpungku di Hyang Padang bernama Dang Acaryya Anagratwara, Mpungku di
-
3. Pasaban bernama Dang Acaryya Hamaredwaja, Mpungku Binor bernama Dang Acaryya Hlahla, Mpungku Makarun bernama Dang Acaryya Hariwangsa, Mpungku
Puspadata bernama Dang Acaryya
-
4. Yogi wara Widana, beliau dari kelompok Buddha Mpungku di Kutri
Anar bernama Dang Upadhayaya Sarbwa Wija, Mpungku di Bajrasikara bernama Dang Upadhyaya Widada
-
5. Mpungku Punagara bernama Dang Upadhayaya Agreswara, Mpungku Baranasi bernama Dang Upadhayaya Anut Daya, Mpungku Haji Nagara bernama Dang Upadhayaya Harudara
-
6. Daya, Mpungku Burwa Bara Bawu bernama Dang Upadhyaya
Hawitiyajna, Samgat juru wadwa bernama Dang Acaryya Maredra, Samgat Mangirengin Wandami bernama Jitaraga.
Disamping pejabat tingkat pusat, terdapat pula pejabat tingkat desa/daerah. Jabatan ini tentunya mempunyai kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan pejabat yang termasuk ke dalam lembaga pemerintah pusat. Tugas dan wewenangnya juga terbatas hanya pada wilayah desa yang merupakan unit terkecil dari suatu kerajaan. Unit terkecil dalam prasasti disebut dengan thani, wanua/banua, desa dan
penduduk/warganya disebut karaman atau anak thani/anak wanua.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa struktur politik kekuasaan khususnya pada masa pemerintahan raja Jayapangus setidak-tidaknya terdiri atas raja, Senapati, samgat, sireng kasewasogatan yang berfungsi sebagai pejabat pusat. Selain itu, ada lagi pejabat desa rama, sang mathani, manyuratang dan krta desa serta jabatan fungsional. Pejabat-pejabat tingkat pusat sering terjadi mutasi atau pergantian antar waktu pejabat terutama jabatan Senapati dan samgat. Mutasi dan pergantian antar waktu pejabat ini tersurat dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan raja Jayapangus.
Konsep Dewa Raja dalam
Menjalankan Pemerintahan
Dalam sistem pemerintahan
kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara termasuk kerajaan Bali Kuno mempunyai
kedudukan dan kekuasaan yang sangat tinggi. Raja dalam masyarakat tradisional pada dasarnya merupakan tokoh yang sangat dimuliakan dan agung sehingga patut dijadikan panutan dalam bertingkah laku. Dalam kitab Manawa Dhramasastra buku VII:1-8 disebutkan sifat raja sama dengan sifat- sifat para dewa dan kekuasaan raja sama dengan kekuasaan para dewa. Itu berarti bahwa kekuasaan raja melebihi kekuasaan mahluk hidup lainnya. Selanjutnya dalam ayat 6, kitab tersebut menegaskan bahwa sifat dan kekuasaan seorang raja ibarat sinar matahari, tidak dapat ditatap dengan mata. Artinya,bahwa kekuasaan raja tidak dapat ditentang dan segala perintahnya harus ditaati oleh rakyatnya (Puja & Sudharta, 1977: 356), sehingga jika dihubungkan dengan sistem pelapisan sosial maka raja berada pada lapisan atas.
Kekuasaan raja yang mutlak maka haruslah memiliki sifat dan kekuatan seperti kekuatan para dewa penjaga penjuru mata angin. Sifat dan kekuatan para dewa dimaksud adalah Agni (dewa api), Bayu (dewa angin) Surya (dewa matahari), Candra (dewi bulan), Dharma (dewa keadilan), Kuwera (dewa kekayaan), Waruna (dewa air atau laut) dan Indra (dewa perang). Selain sifat-sfat tersebut, seorang raja harus menjalankan tingkan laku (brata) seperti dewa-dewa tersebut agar disegani dan menjadi idola dimata rakyatnya. Dalam kitab Ramayana, tipe pemimpin yang diidolakan disebut dengan istilah Asta Brata, yaitu delapan azas atau laku utama yang harus dilaksanakan oleh seorang raja/pemimpin, yaitu Indra Brata, Yama Brata, Surya Brata, Candra Brata, Bayu Brata, Danada Brata, Baruna Brata, Agni Brata (Moertono, 1985; Ardika et al., 2013: 135).
Pada masa Kediri-Majapahit serta Bali Kuno, raja merupakan inkarnasi atau titisan dari dewa tertentu. Pandangan seperti ini dimaksudkan untuk mempertinggi kedudukan raja yang sah,
juga dipakai untuk melegitimasi bagi perampas kekuasaan. Sebagai contoh Airlangga yang berkuasa di Jawa Timur abad XI M dianggap sebagai inkarnasi Dewa Wisnu. Setelah wafat ia diarcakan dalam wujud Wisnu mengendarai Garuda. Demikian pula Ken Arok yang menjadi cikal bakal raja-raja kerajaan Majapahit dalam kitab Pararaton disebutkan sebagai inkarnasi dewa Wisnu dan putra dari dewa Brahma. Selanjutnya Kertarajasa sebagai pendiri kerajaan Majapahit diarcakan dalam wujud Hari-hara yaitu arca setengah Wisnu dan Siwa. Bahkan Kertanegara sebagai penguasa Singosari dianggap sebagai ingkarnasi Dewa Siwa dan Dhyani Budha Aksobya (Heine–Geldern, 1982).
Bagaimana halnya dengan raja-raja Bali Kuno, bahwa bukti-bukti tertulis mengindikasikan sebagai titisan dewa Wisnu. Kenyataan ini mulai terlihat jelas pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu sebagaimana disebutkan dalam prasasti Dawan 975 Saka/1053 Masehi. Lembar IIb: 3-4 “….karunatma sakuat niran hari murti, nityasa nira kumingking sakaparipurnakna nikanang rat rinaksanira…”. Artinya: “…..belas kasihan (raja) terhadap jiwa (rakyat) bagaikan dewa Hari (Wisnu) yang selalu memikirkan kesempurnaan atau kesejahtraan dunia yang dikuasainya….” (Ardika et al., 2013). Disamping itu, raja Anak Wungsu juga disebut sebagai penjelmaan dewa Dharma atau Yama sebagai dewa keadilan. Dalam prasasti disebutkan “….tuhu-tuhu dharmmamurti saksat dharmmamurti….” Artinya “…seakan-akan sebagai penjelmaan Dhrmma….”, serta dinamakan “…..saksat dharmmaatmajamurti…..” artinya “… seakan-akan penjelmaan sejati dari putra Dharmma” (Ardika et al., 2013: 134).
Pandangan bahwa raja adalah inkarnasi dewa khususnya Dewa Wisnu, sudah muncul sejak pemerintahan raja Anak Wungsu, kemudian berlanjut pada
masa pemerintahan raja Jayapangus (Soemadio, 2010: 328). Raja Jayapangus juga dianggap sebagai titisan dewa. Dikatakan demikian dapat diketahui dari gelar yang dikenakan, yaitu arkaja yang berarti “putra matahari”. Kedua permaisurinya, yaitu parameswari dan mahadewi juga diberikan gelar induja/sasangkaya yang berarti “putri bulan”, sehingga pasangan raja dengan kedua permaisurinya merupakan pasangan suami istri yang ideal, yakni melambangkan dewa matahari. Surya disertai dengan dewi bulan/Ratih karena itu cihna, lancana, dan ketana mempunyai arti “lambang”, “tanda” (Tara Wiguna, 2008: 22; Zoetmulder, 1982). Pemakaian gelar seperti itu, mengandung pengharapan agar raja mempunyai sifat seperti dewa Matahari?Surya yang setiap saat dapat menyinari kehidupan rakyat baik lahir maupun batin. Demikain pula gelar yang dikenakan oleh kedua permaisurinya diharapkan memberi kesejukan lahir batin kehudupan rakyatnya.
Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus Arkajacihna adalah penguasa yang bijaksana dan mengasihi rakyatnya. Ia berkuasa mulai tahun 1099 Saka sampai 1103 Saka (Ardika & Beratha, 2015: 3; Goris, 1948: 14). Sebagai penguasa kerajaan Bali Kuno yang wilayahnya meliputi seluruh daratan pulau Bali (satungkeb balidwipa mandala) yang terdiri atas 7 negara bahawan (sapta nagara), ia selalu memikirkan kesejahteraan dan ketentraman rakyatnya, mendengarkan keluhan-keluhan rakyatnya, dan keajegan dan keutuhan kerajaan menjadi perioritas utama dalam masa kekuasaannya. Sesuai dengan sifat-sifat kedewaan yang ada pada dirinya, tersurat dalam prasastinya sebagai berikut: “…..kumingkin ri kaswatha rat rinaksanira, makadona ri pageh nikang saptanagara, swabhawaning kadi sira prabhu cakrawarthi, rajadhiraja, sekarajyaraja
laksmi, pinaka patraning bhuwana satungkab bali dwipa mandala…..” artinya: “…..(raja) berusaha keras mewujudkan keselamatan dunia yang diperintahnya, dengan tujuan menjaga keutuhan ketujuh negara (sapta nagara), sesuai dengan kewibawaan beliau sebagai raja penguasa dunia, raja yang termegah dan tertinggi dari sebuah kerajaan tunggal, yang bagaikan pelindung dunia diseluruh wilayah pulau Bali (balidwipa mandala).
SIMPULAN
Berdasarkan prasasti yang ditemukan masa Bali Kuno berlangsung dalam rentang waktu 424 tahun, terdapat 22 penguasa/raja. Para penguasa ini memiliki masa jabatan yang yang berbeda-beda, ada yang berlangsung singkat tetapi ada pula yang cukup lama. Diantara 22 orang raja BaliKuno, Sri Haji Jayapangus yang memerintah bersama kedua permaisurinya menjadi penguasa yang paling banyak mengeluarkan prasasti, yaitu 44 buah, namun 43 buah di antaranya memiliki angka tahun yang sama. Ia memegang tapuk pemerintahan hanya 4 tahun berdasarkan prasasti Mantring A tahun 1099 Saka-1103 Saka. Berdasarkan jumlah prasasti yang ditemukan mengindikasikan bahwa raja Sri Maharaja Haji Jayapangus merupakan penguasa yang begitu memperhatikan ketentraman dan kesejahteraan masyarakatnya. Ini ditunjukkan oleh prasasti-prasasti yang dikeluarkannya Sebagian besar berisikan tentang tingginya perhatian raja terhadap kesejahtraan dan ketentraman Masyarakat. Dalam menjalankan pemerintahannya terdapat jabatan tingkat pusat dan tingkat desa. Jabatan tingkat pusat adalah raja, senapati, samgat, dan kasewasogatan serta pejabat tingkat desa, yaitu anak thani, anak banua/wanua.
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I. W., Paramartha, I. G., &
Wirawan, A. A. B. (2013). Sejarah Bali dari Zaman Prasejarah Hingga Modern. Udayana Press.
Aris Kristianti, N. M. (2016). Analisis Prasasti Tumbu (Kajian Epigrafi) [Skripsi]. Universitas Udayana.
Astra, I. G. S. (1977). Jaman Pemerintahan Maharaja Jayapangus di Bali (1178-1184). In Lembaga Pengkajian Budaya. Fakultas
Sastra Universitas Udayana.
Astra, I. G. S. (1997). Birokrasi
Pemerintahan Pada Masa Bali Kuno [Disertasi]. Universitas Gadjah Mada.
Atmodjo, M. M. S. K. (1980). Struktur Pemerintahan Jaman Jayasakti (Uraian Singkat). In Pertemuan Ilmiah Arkeologi 1. Pusat Penelitian Purbakala dan
Peninggalan Nasional.
Boechari. (2012). Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Kepustakaan Populer Gramedia.
Budiastra, P. (1980). Prasasti Pengotan. Museum Bali.
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. (2008). Terjemahan Prasasti-Prasasti Bali Abad XII Ke dalam Bahasa Indonesia.
Goris, R. (1948). Sejarah Bali Kuno.
Goris, R. (1954). Prasasti Bali I. NV. Masa Baru.
Heine–Geldern, R. (1982). Konsepsi Tentang Negara & Keduduka Raja di Asia Tenggara. Rajawali Press.
Puja, I. G., & Sudharta, T. R. (1977). Manawa Dharmasastra (Manu Dharamasastra) atau Weda Smrti. C.V Junisko.
Rema, I. N., Suarbhawa, I. G. M., Srijaya, I. W., & Wardi, I. N.
(2021). Perekonomian Masyarakat
Karangasem Abad XI-XIV: Studi Epigrafi. In Bunga Rampai Hasil Penelitian Arkeologi Terkini di Kepulauan Sunda Kecil. PT. Pustaka Obor Indonesia.
Soemadio, B. (2010). Sejarah Nasional Indonesia Jilid II Edisi Pemuthakiran. Balai Pustaka.
Srijaya, I. W., & Prawirajaya R., K. D. (2022). Aspek Sosial Politik Pada Masa Bali Kuno Abad XII. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.
Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. CV. Alfabeta.
Wiguna, I. G. N. T. (2008). Terjemahan Prasasti-Prasasti Bali Abad XII Ke Dalam Bahasa Indonesia. Dinas Kebudayaan Bali.
Zoetmulder, P. J. (1982). Kamus Jawa Kuna-Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Discussion and feedback