HUMANIS


Journal of Arts and Humanities


p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 27.2. Mei 2023: 189-196


Identitas Nasional dan Konstruksi Pasif dalam Bahasa Indonesia


National Identity and Passive Construction in Indonesian

I Wayan Teguh

Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia Email korespondensi: [email protected]


Info Artikel

Masuk: 17 Januari 2023

Revisi: 30 April 2023

Diterima: 10 Mei 2023

Terbit: 31Mei 2023

Key Words: passive construction; function of language; national identity


Abstract

Bahasa Indonesia have many functions. One of the functions is as the symbol of the national identity. This function is closely connected with the statement that “language is the mirrors of the nation”. This means that that the way of thinking of the nation can be learned through is language. This further means that language affects the way of thinking of the community as well as the way they perceive their environment. In connection to this, in this article is discussed one of the mirrors of the national identity, which is the bahasa Indonesia, particularly the passive construction in this language. This considered of significance because in the passive construction the agent or the actor rule is not given.


Kata kunci: konstruksi pasif; fungsi bahasa; identitas nasional

Corresponding Author: I

Wayan Teguh, email:

[email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

23.v27.i02.p07


Abstrak

Bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi. Salah satu di antaranya adalah bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang identitas nasional. Fungsi ini berkaitan erat dengan pernyataan “bahasa cermin bangsa”. Hal tersebut berarti bahwa pola pikir bangsa dapat dipahami melalui bahasanya. Dalam hal ini cara berpikir masyarakat dan cara masyarakat melihat lingkungannya dipengaruhi oleh bahasa. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam tulisan ini dibicarakan salah satu cermin identitas nasional melalui bahaasa Indonesia, yaitu konstruksi pasif. Hal ini dipandang penting karena di dalam konstruksi pasif tidak ditonjolkan agen atau pelaku.


PENDAHULUAN

Pada hakikatnya penetapan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia hanya merupakan pengesahan. Dikatakan demikian karena jauh sebelum itu bahasa perhubungan antarsuku di Indonesia dilakukan dengan bahasa Melayu. Artinya, bahasa Melayu telah merupakan bahasa lingua franca, khususnya untuk

pergaulan hidup sehari-hari dan perdagangan (Muhadjir, 1992:1). Hal itu berarti bahwa sejak dahulu bahasa Melayu telah digunakan di Malaka di samping tersebar di banyak wilayah Nusantara.

Setelah bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa nasional dan benar-benar harus menjalankan fungsinya, disadari

dan semakin dirasakan perlunya berbagai ragam bahasa. Pentingnya berbagai ragam bahasa itu berkaitan dengan tuntutan dan tugas-tugas yang semakin berkembang. Oleh karena itu, bahasa nasional Indonesia (yang bersumber dari bahasa Melayu) yang semula sebagai wahana komunikasi antaretnis saja, akhirnya mempuyai fungsi yang lebih kompleks.

Hal itu mengakibatkan perlu dibentuk konstruksi baru dalam bahasa Indonesia. Pembentukan konstruksi baru dipandang penting supaya sesuai dengan perkembangan masyarakat yang modern. Masyaarakat modern adalah masyarakat yang mempunyai wawasan sesuai dengan zamannya. Semua itu mungkin tidak diduga oleh para penggagas pada waktu penetapan bahasa Melayu sebagai bahasa bahasa nasional di Indonesia (Kridalaksana, 1992:1). Salah satu konstruksi yang dibentuk adalah konstruksi pasif. Sehubungan dengan itu, berikut dibahas konstruksi pasif dalam bahasa Indonesia dikaitkan dengan identitas nasional (Indonesia).

Kerangka teori yang digunakan dalam pembahasan konstruksi pasif bahasa Indonesia yang dikaitkan dengan identitas nasional ini, yakni teori sintaksis, khususnya sintaksis struktural. Dalam hal ini pembahasan ditekankan pada masalah bentuk, susunan, dan hubungan antarkonstituen bahasa. Artinya, dalam teori ini secara eksplisit diperhatikan unsur-unsur kebahasaan yang merupakan suatu sistem atau struktur. Jadi, fenomena yang diamati adalah perilaku sintaksis di samping aspek semantik. Di sini kemungkinan perubahan makna yang terjadi akibat perubahan struktur kalimat dilihat berdasarkan aspek semantik.

Penganalisisan konstruksi pasif bahasa Indonesia terkait dengan identitas nasional ini ditekankan pada ciri, cara pembentukan, dan tipe kontruksi pasif.

Artinya, perbedaan tipe konstruksi pasif yang ada dilihat terutama dari segi strukturnya. Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui ciri dan fungsi kontruksi pasif sebagai identitas nasional (Indonesia).

METODE

Dalam tulisan ini digunakan metode deskriptif. Maksudnya, konstruksi pasif dalam bahasa Indonesia dianalisis dan dipaparkan sebagaimana adanya. Pendeskripsian yang dilakukan didasarkan atas fakta empiris. Oleh karena itu, hasil pembahasan berupa deskripsi yang mencerminkan fakta dan/atau data secara sistematis. Hal ini seperti diungkapkan oleh Sudaryanto (1988:62); Djajasudarma (1993:8—9).

Pada tahapan pengumpulan data lisan digunakan metode simak dan metode cakap (Sudaryanto, 1993:132). Metode simak direalisasikan dengan teknik dasar berupa teknik sadap. Teknik sadap sebagai teknik dasar dibantu dengan teknik lanjutan, yaitu teknik simak libat cakap dan teknik catat. Di samping metode simak, dalam pengumpulan data juga digunakan metode cakap. Metode cakap dapat digunakan karena penulis merupakan penutur (asli) bahasa Indonesia. Dalam pengumpulan data metode cakap dioperasionalkan dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Teknik pancing. ini juga dibantu dengan teknik lanjutan, yaitu teknik cakap semuka dan teknik rekam. Sebaliknya, data tulis dikumpulkan dengan mengamati sumber data yang telah ditentukan. Artinya, penulis dibantu oleh intuisi kebahasaan yang dimiliki untuk menetapkan bahwa suatu konstruksi merupakan konstruksi pasif atau bukan.

Penganalisisan data yang telah terkumpul dan terklasifikasi dilakukan dengan metode agih atau metode disribusional (Sudaryanto, 1982:13;

1985:5). Dalam hal ini fenomena-fenomena kebahasaan pada bahasa yang dianalisis (bahasa Indonesia) dihubung-hubungkan (Djajasudarma, 1993:60). Pertimbangan yang mendasari penggunaan metode agih atau metode distribusional ini adalah bahwa unsur-unsur bahasa saling berkaitan. Di samping itu, juga dari setiap unsur yang berkaitan akan terbentuk suatu kesatuan yang padu (de Saussure dalam Djajasudarma, 1993:60). Pada tahap akhir, yaitu penyajian hasil analisis data digunakan metode informal dan metode formal (Sudaryanto, 2015:72).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Chung (dalam Nirwanto, 1997:66), bahasa Indonesia memiliki dua tipe konstruksi pasif. Kedua tipe pasif itu adalah pasif di- (pasif kanonis) dan pasif bukan di-(pasif nol/0). Pada awalnya Chung mengasumsikan bahwa pasif kedua (pasif nol/0) merupakan konsruksi pengedepanan objek, tetapi asumsi itu tidak terbukti. Dengan demikian, pada salah satu bagian tulisannya disimpulkan bahwa konstruksi pasif kedua, yaitu pasif nol atau (0) merupakan operasi sintaksis yang berbeda dengan pasif pertama, yaitu pasif kanonis. Sehubugnan dengan konstruksi pasif tersebut, di bawah ini dikemukakan pandangan yang diungkapkan oleh sejumlah tata bahasawan.

Alisyahbana (1978) menyatakan bahwa dalam pasif di- bahasa Indonesia, prefiks di- terikat pada fungsi objek. Selain terikat pada fungsi objek, prefiks di- juga terikat pada peran pelaku orang ketiga. Apabila objek pelaku berupa pronomina persona pertama dan/atau pronomina persona kedua, prefiks di-tidak boleh dipakai. Pada tipe pasif ini objek pelaku bersatu atau bergabung dengan predikat (verba).

Contoh (1):

  • a.    Pelaku penganiayaan itu telah diborgol oleh Rizky (dia, -nya).

  • b.    Pelaku   penganiayaan   itu   telah

kuborgol.

  • c.    Pelaku   penganiayaan   itu   telah

kauborgol.

Menurut Alisyahbana (1978), di antara pelaku pasif dengan pelaku pronomina persona pertama dan pelaku pronomina persona kedua tidak dapat disela oleh kata atau unsur lain.

Contoh: (2)

*a.Pelaku  penganiayaan  saya  telah

borgol.

*b.Pelaku  penganiayaan  Anda  telah

borgol.

Jika di antara pelaku pasif pronomina persona pertama dan pronomina persona kedua disela kata atau unsur lain, akan terbentuk konstruksi yang tidak gramatikal, seperti (2a) dan (2b) di atas. Sebaliknya, konstruksi itu akan gramatikal apabila diubah menjadi (3a) dan (3b) di bawah ini.

Contoh (3)

  • a.    Pelaku penganiayaan telah saya borgol. b.Pelaku penganiayaan telah Anda borgol.

Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1993:391—395) juga dibahas konstruksi pasif bahasa Indonesia. Pada buku itu dinyatakan terdapat dua cara pembentukan konstruksi pasif bahasa Indonesia. Cara pertama adalah (a) pengisi objek dipertukarkan dengan pengisi subjek, (b) prefiks meng- pada predikat ditanggalkan dan diganti dengan prefiks di-, dan (c) kata oleh diletakkan di depan pelaku (semula subjek aktif). Cara pertama ini dipakai kalau subjek kalimat diisi oleh nomina atau frasa nomina. Sebaliknya, apabila subjek kalimat aktif diisi oleh pronomina persona (pertama dan/atau kedua), kaidah pasif yag dipakai adalah kaidah pasif cara yang kedua. Adapun cara yang kedua, yaitu (a) objek kalimat aktif dipindahkan ke awal kalimat sebagai subjek kalimat

pasif, (b) prefiks meng- pada predikat ditanggalkan, dan (c) pelaku (pronomina yang semula subjek) dipindahkan ke depan verba (predikat) jika terdapat kata lain mendahului verba. Baik kaidah pasif cara yang pertama maupun cara yang kedua, dapat dilihat di bawah ini. Kaidah pasif cara yang pertama tampak pada (4b), (5b), dan (6b), sedangkan kaidah pasif cara yang kedua dapat dilihat pada contoh (7b) di bawah ini.

  • (4)    a. Rendy menjual laptop yang rusak.

  • b. Laptop yang rusak dijual oleh Rendy.

  • (5)    a. Siska memberhentikan seorang asisten rumah tangga.

  • b. Seorang asisten rumah tangga diberhentikan (oleh) Siska.

  • (6)    a. Riani harus menata posisi peralatan kecantikannya dengan segera.

b.Posisi   peralatan kecantikannya

harus ditata dengan segera oleh Riani.

*c.Posisi peralatan kecantikannya harus ditata dengan segera Riani.

  • (7)    a. Kami akan membalas surat Anda.

  • b.    Surat Anda akan kami balas.

  • *c . Surat Anda akan dibalas (oleh) kami.

Identitas dapat dipahami sebagai kesadaran psikologis yang mendasari rasa diri seseorang dalam suatu kelompok etnis atau masyarakat. Kesadaran itu terbentuk      berdasarkan kesamaan

kebiasaan, nilai-nilai, sejarah, bahasa, dan ras. Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, identitas dapat diartikan sebagai ciri khas pemilik bahasa Indonesia. Artinya, ciri khas bahasa yang diperoleh pertama kali atau bahasa ibu. Di pihak lain pemilik bahasa Indonesia juga mempunyai identitas bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang disebut sebagai identitas sosiologis. Oleh karena itu, dalam hal tertentu bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional akan diwarnai oleh identitas individual penutur bahasa Indonesia.

Djajasudarma (1992:1) menyatakan bahwa budaya inovatif menandai peradaban modern. Hal tersebut dimulai dari diadopsinya kosakata untuk peristiwa dan/atau benda yang dapat diamati. Dalam hal ini suatu bangsa memungut suatu budaya melalui bahasa. Pemungutan budaya tersebut terlihat dari beberapa nama benda/peristiwa yang tidak dapat diketahui asalnya, terutama pada era globalisasi.

Menurut Halim (1976), kebijakan tentang hubungan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dengan bahasa daerah di Indonesia sudah ditegaskan dalam Politik Bahasa Nasional. Namun, lintas bahasa Indonesia deengan bahasa asing, terutama pada era globalisasi tidak mudah diatur dengan kebijakan. Artinya, penutur bahasa Indonesia hendaknya memahami era globalisasi sebagai suatu kondisi “berpikir global, tetapi bertindak lokal” (Djajasudarma, 1992:11). Dalam hal ini modern hendaknya dipahami sebagai suatu keadaan, yaitu manusia berpikir secara universal, tetapi harus memperhitungkan lingkungan, terutama budaya termasuk bahasa lokal ketika bertindak. Lingkungan yang dimaksud di sini adalah bahasa Indonesia yang merupakan identitas, ciri, dan jati diri bangsa (Indonesia).

Dilihat dari segi kedudukannya, seperti dinyatakan dalam Politik Bahasa Nasional (Halim, 1976) bahasa Indonesia mempunyai dua kedudukan, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara. Kedudukan sebagai bahasa nasional dimiliki sejak 28 Oktober 1928, sedangkan sebagai bahasa negara diakui sejak 18 Agustus 1945. Dalam hubungan ini Kridalaksana (1984) menyatakan bahwa eksistensi bahasa Indonesia dianggap lahir dan diterima secara sosiologis sejak 28 Oktober 1928 dan secara yuridis diakui sejak 18 Agustus 1945. Hal tersebut berarti bahwa eksistensi bahasa Indonesia sebagai

identitas nasional bangsa (Indonesia) dimiliki dan diakui sejak 28 Oktober 1928.

Penegasan bahasa Indonesia sebagai identias nasional terdapat pada Pasal 36, Bab XV, Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai landasan konstitusional sebagqi bahasa negara Indonesia dengan penutur bangsa Indonesia. Selanjutnya, pengembangan bahasa Indonesia menjadi sangat luas sejalan dengan pengembangan peradaban di     Indonesia.     Dalam     upaya

pengembangan ini bahasa Indonesia mempunayi dan menjalankan fungsi yang sangat penting.

Halim (1980:23) menyatakan bahwa fungsi sebagai lambang identitas nasional berarti bahwa bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa Indonesia berkaitan erat dengan pernyataan “bahasa cermin bangsa”. Berdasarkan hal itu dapat dikaji lebih luas bahwa pola pikir bangsa dapat dipahami melalui bahasanya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir masyarakat. Selain itu, bahasa juga memengaruhi cara masyarakat melihat lingkungan atau masyarakat sekelilingnya.

Identitas nasional bangsa Indonesia yang dapat dilihat dalam bahasa Indonesia adalah konstruksi pasif. Konstruksi pasif berhubungan dengan pola pikir yang tidak menonjolkan pelaku atau agen (Djajasudarma, 1986:13). Contoh:

  • (8)    Sudahkah diberikan upah tukang kayu itu?

  • (9)    Sudahkah Anda berikan upah tukang kayu itu?

  • (10)    Sudahkah kita berikan upah tukang kayu itu?

Konstruksi pasif seperti itu juga sering digunakan dalam karya ilmiah. Artinya, dalam karya ilmiah sering

muncul konstruksi pasif seperti di bawah ini.

  • (11)    Di dalam tesis ini dibahas ….

  • (12)    Di dalam tesis ini saya kemukakan

Apabila kelima konstruksi di atas, yaitu (8—12) dicermati, penutur bahasa Indonesia akan memilih (8) dibandingkan dengan (9) karena konstruksi (8) lebih hemat. Selain itu, kalau ditinjau dari sudut pandang budaya, tampak konstruksi (8) tidak menonjolkan agen atau pelaku. Hal tersebut disebabkan oleh prefiks di- cenderung menginklusifkan pelaku. Di pihak lain konstruksi (10) jarang muncul dalam tuturan bahasa Indonesia. Sebaliknya, konstruksi (11) lebih sering muncul dibandingkan dengan (12). Akan tetapi, konstruksi (12) lebih sering muncul atau frekuensi pemakaiannya lebih tinggi dengan kaidah pronomina persona pertama + verba dasar, terutama dalam transformasi aktif pasif (Djajasudarma, 1986:17) seperti di bawah ini.

  • (13)    Saya sudah mengirim surat itu.

Apabila dipasifkan, konstruksi aktif (13) akan menjadi sebagai berikut. (14) Surat itu sudah saya kirim.

Konstruksi (14) ini dapat divariasikan sekaligus dibandingkan dengan konstruksi berikut.

  • (15)    Surat itu telah dibaca *(oleh saya).

Menurut Djajasudarma (1986:19), dalam penggunaan bahasa Indonesia konstruksi (15) lebih sering dipakai daripada konstruksi (14). Hal ini berarti bahwa pelaku sering dilesapkan. Di samping itu, seolah-olah pelaku yang diisi oleh pronomina persona pertama diinklusifkan oleh prefiks di- dalam konstruksi tersebut. Lebih lanjut dinyatakan oleh Djajasudarma, 1986:21) bahwa selain konstruksi pasif seperti di atas, kecenderugnan pola pikir bangsa Indonesia melalui bahasa (Indonesia) yang mencerminkan identias bangsa

Indonesia dapat diperhatikan dalam konstruksi frasa.

Semula frasa dalam bahasa Indonesia umumnya       bertipe diterangkan-

menerangkan   (D-M)   saja seperti

dinyatakan oleh Djajasudarma (1986:25). Akan tetapi, kenyataannya dalam bahasa Indonesia juga terdapat konstruksi M-D (menerangkan-diterangkan).      Dalam

hubungan ini pola frasa bahasa Indonesia umumnya dipertimbangkan dari segi DM. Namun, juga dapat dipertimbangkan dari segi pola urutan M-D. Pola-pola atau konstruksi frasa tersebut dapat diperhatikan pada contoh berikut.

  • (16)    siswa cerdas

D M

  • (17)    rumah pejabat

D   M

Konstruksi (17) menunjukkan hubungan termilik (T), yaitu rumah dan pemilik (P), yaitu pejabat. Di pihak lain konstruksi (16) menunjukkan hubungan anteseden (siswa) dan kualifier (cerdas). Hubungan posesif yang lebih kompleks (dipahami dari pandangan Djajasudarma, 1986) tampak pada konstruksi di bawah ini.

  • (18)    kebun sekolah kami

T    P    P

T      P

Konstruksi frasa dengan susunan MD cenderung terdapat pada urutan numeralia (Num)-nomina (N). Tipe M-D ini tampak pada contoh (19) seorang istri. Pola frasa (19) menunjukkan frasa bahasa Indonesia yang menyatakan jumlah. Jumlah yang tercermin pada frasa seperti itu adalah pola sistem tunggal-jamak-tak tentu. Dengan demikian, konstruksi bahasa Inggris two or more people harus ditrjemahkan sesuai dengan pola frasa bahasa Indonesia menjadi konstruksi (20) dua orang atau lebih, bukan konstruksi *(21) dua atau lebih orang (Djajasudarma, 1986:28).

Pada tipe yang lebih kompleks dapat ditemukan kostruksi seperti di bawah ini. (22) sebuah vila direktur bank

M D D M D M

Tipe bahasa Indonesia, terutama dalam hal pola urutan frasa ternyata memengaruhi konstruksi baru pada peradaban dunia modern, misalnya dalam penerjemahan business women (diadaptasi dari Djajasudarma, 1986). Konstruksi itu diterjemahkan menjadi konstruksi (23) wanita pengusaha. Konstruksi (23) dapat dibandingkan dengan konstruksi (24). Dalam konstruksi (24) dimungkinkan muncul dua pola, yaitu (a) pola D-M dan (b) pola M-D, seperti di bawah ini.

  • (24)    pengusaha wanita

  • a.    D M

  • b.    M D

Masalah yang dapat dipahami dari konstruksi (23) dan (24) adalah konstruksi (23) menunjukkan pola D-M. Pola ini merupakan konstruksi hasil terjemahan dan sesuai dengan pola bahasa Indonesia. Selain itu, konstruksi (23) juga dapat dikatakan sebagai usahawati (sebagai padanan wanita pengusaha). Di pihak lain konstruksi (24) muncul sebagai akibat peradaban modern. Konstruksi ini dapat dipahami sebagai pengusaha wanita sama dengan usahawati (pada 24a) dengan pola D-M. Akan tetapi, juga dapat dipahami sebagai usahawan pada (24b) dengan objek usaha, yaitu wanita (Djajasudarma, 1986:33). Artinya, konstruksi (24) dapat menimbulkan penafsiran ganda.

Masalah lain yang cenderung dipertimbangkan dalam pemakaian bahasa Indonesia sebagai identitas nasional adalah status teman bicara dan hal yang dibicarakan. Pertimbangan ini muncul sebagai pengaruh kehidupan sosial, terutama dalam etika berbahasa. Hal tersebut dapat dipahami melalui pilihan kata yang terbatas, seperti beliau

dan berkenan. Selain itu, masalah yang sering dipertimbangkan dalam pemakaian bahasa adalah upaya untuk memperhalus makna. Dalam hal ini digunakan eufemisme sebagai upaya mempertimbangkan kemanusiaan, seperti pramuwisma dan lembaga pemasyarakatan (Djajasudarma, 1986:35). Kedua bentuk eufemisme tersebut dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya, yaitu pembantu (untuk pramuwisma) dan tahanan (untuk lembaga pemasyarakatan).

Dalam bahasa Indonesia juga terdapat konstruksi dengan makna yang berhubungan dengan status sosial. Hal ini umumnya terdapat dalam bentuk satuan lingual yang bersinonim, seperti pelayan, pembantu, dan asisten. Di antara ketiga bentuk tersebut, asisten memiliki makna dengan status sosial lebih tinggi daripada pelayan dan pembantu. Upaya memperhalus makna dalam pemakaian bahasa (Indonesia) didasari pertimbangan semantik. Adapun tujuannya adalah agar partisipan yang terlibat dalam tuturan tidak tersinggung atau rendah diri.

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Globalisasi hendaknya tidak menghilangkan tradisi yang bersifat positif. Artinya, unsur bahasa yang merupakan jati diri atau identitas masyarakat bahasa harus dipertahankan. Dengan demikian, unsur pengungkap diri secara lengkap dan alami biasanya dimiliki oleh bahasa yang merupakan jati diri atau identitas. Sehubungan dengan hal itu, dari ungkapan “bahasa cermin bangsa” dapat dipahami bahwa pola pikir masyarakat (bangsa) dapat dianalisis berdasarkan bahasa. Artinya, cara berpikir masyarakat dipengaruhi oleh bahasa. Selain itu, cara masyarakat memahami lingkungan atau dunia sekelilingnya juga dipengaruhi oleh

bahasa yang digunakan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa konstruksi pasif merupakan salah satu identitas bangsa Indonesia melalui bahasa Indoneisia. Hal tersebut disebabkan oleh konstruksi pasif berhubungan dengan pola pikir bangsa (Indonesia) yang tidak menonjolkan agen atau pelaku.

Pada era glabalisasi bahasa Indonesia hendaknya dapat memenuhi kepentingan peradaban modern, yaitu mampu berperan sebagai pengungkap gagasan, pikiran, dan kreativitas penutur secara efektif. Akan tetapi, fungsi sebagai jati diri atau identitas nasional (bangsa Indonesia) harus dipertahankan. Adapun tujuannya adalah agar fungsi bahasa Indonesia sebagai identitas nasional tidak hilang akibat globalisasi. Memang disadari bahwa tantangan bahasa Indonesia sebagai asas peradaban modern adalah dalam hal keberadaan bahasa Indonesia sebagaimana adanya (das Sein) dan yang seharusnya (das Sollen) seperti dikemukakan oleh Djajasudarma (1986). Sehubungan dengan itu, dituntut kemampuan bahasa Indonesia untuk memenuhi kebutuhan peradaban modern. Artinya, hal yang harus dipertimbangkan, dipertahankan, dan ditempuh dalam penentuan kebijakan mengenai lintas bahasa Indonesia dan bahasa asing adalah fungsi bahasa Indonesia sebagai identitas nasional (bangsa Indonesia).

DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, Sutan Takdir. (1978). Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Alwi, Hasan dkk. (1993). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ardhana, I Ketut, F.X. Soenaryo, Sulandjari, dan I Putu Suwitha. (2012). Komodifikasi Identitas Bali Kontemporer. Denpasar: Pustaka Larasan.

Astawa, Nyoman Sidi. (2011). “Transformasi Identitas Keyakinan Keagamaan

Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah”. Jurnal Agama Hindu, IX (11), hlm. 1—15.

Beratha, N.L. (2012). “Frasa Bahasa Bali Kuna dan Perkembangannya ke Bahasa Bali Modern”. Jurnal Kajian Bali.

Djajasudarma, T.   Fatimah. (1986).

“Melalui    Bahasa    Manusia

Membudaya”.  Dalam Majalah

Koridor.    Bandung:    Fakultas

Pascasarjana           Universitas

Padjadjaran.

Djajasudarma, T. Fatimah. (1993). Metode Linguistik (Ancangan Metode Penelitian dan Kajian). Bandung: Eresco.

Fokker, A.A. (1980). Pengantar Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.

Gunawan, Ida Bagus Made Sadu, I Gusti Agung Paramita, I Gusti Ngurah Saputra, dan I Gusti Ngurah Teguh Arya. (2020). “Jamali: Identitas Hindu di Dusun Bongso Wetan dan Kulon, Desa Pengalangan, Gresik, Jawa Timur”. Jurnal Dharmasmrti, hlm. 61—66.

Halim, Amran. (1980). Politik Bahasa Nasional II. Jakarta: Balai Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti. (1984). “Tata Bahasa     Deskriptif     Bahasa

Indonesia:    Sintaksis”.   Jakarta:

Pusat      Pembinaan      dan

Pengembangan Bahasa.

Lampe, Ilyas. (2010). “Identitas Etnik dalam Komunikasi Politik”. Jurnal Ilmu    Komunikasi,    8    (3),

September—Desember 2010, hlm. 299—313.

Maarif, Syafii Ahmad. (2012). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme      Kita.      Jakarta:

Democracy Project.

Muhadjir, Noeng. (1992). Bahasa Indonesia.   Yogyakarta:   Rake

Sarasin.

Mulyana, Deddy. (2009). “Perubahan Identitas Etnik:   Suatu Telaah

Kepustakaan”. Dalam Komunikasi Antarbudaya           Panduan

Berkomunikasi dengan OrangOrang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nirwanto, P.B. (1997). Antipasif dalam Bahasa    Indonesia”.     Jurnal

Linguistika: Wahana Pengembang Cakrawala Linguistik. Denpasar: Program Magister (S-2) Linguistik, Universitas Udayana.

Parera, Jos Daniel. (1985). “Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah Dilihat          dari          Segi

Sosiopolitikolinguistik”. Jakarta: Pusat      Pembinaan      dan

Pengembangan Bahasa.

Putra, I Made Ardana. (2002). “Budaya Lokal dalam Konteks Global”. Poestaka:    Jurnal Ilmu-Ilmu

Budaya, III (3), hlm. 1—15.

Santoso, Budi. (2017). “Bahasa dan Identitss Budaya”. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan. 1 (1), hlm.

44—49.

Sudaryanto. (1991). Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryanto. (2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.