Urgensi Pembaharuan Tindak Pidana Penyalahgunaan Senjata Api

I Gede Sayogaramasatya1, I Ketut Mertha2

1ASA Law Office, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 26 Januari 2023

Diterima: 27 Maret 2023

Terbit: 27 Mei 2023

Keywords:

Legal updates; Criminal act;

Firearms


Kata kunci:

Pembaharuan hukum; Tindak

Pidana; Senjata Api

Corresponding Author:

I Gede Sayogaramasatya, Email: [email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2023.v12.i01.

p15


Abstract

The purpose of this paper is to find out the urgency of reforming firearms crimes regarding abuse in the use of firearms in Indonesia today (Ius Constitutum) so that the renewal of criminal law against the use of firearms is in accordance with the aspired law (Ius Constituendum). The research method used in this paper is a normative legal research method. By using a statutory approach (Statute Approach). The search for this legal material is a document study. The results of the study indicate that the regulation of criminal acts of abuse of firearms is currently regulated (ius constitutum) which mentions the revocation of licenses and the seizure of firearms in the event of misuse, the regulation is not clear or it can be said that there is a vagueness of norms. Regarding the renewal of criminal law on the regulation of criminal acts of misuse of firearms in the future (ius constituendum), the author feels that this needs to be done. The reform in question is the need for regulations regarding the misuse of firearms to be regulated in a legal codification in the form of a law. In addition, various cases of misuse of firearms that have occurred so far seem to confirm that legal uncertainty in regulating the use of firearms has disrupted the public's sense of security.

Abstrak

Tujuan tuisan ini adalah mengetahui urgensi pembaharuan tindak pidana senjata api mengenai penyalahgunaan dalam penggunaan senjata api di Indonesia saat ini ( Ius Constitutum) sehingga pembaharuan hukum pidana terhadap penggunaan senjata api sesuai dengan hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum). Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Penelusuran terhadap bahan hukum ini ialah studi dokumen. Hasil penelitian menunjukan bahwa Pengaturan tindak pidana penyalahgunaan senjata api yang diatur saat ini (ius constitutum) yang menyebutkan mengenai pencabutan izin dan perampasan senjata api bilamana terjadi penyalahgunaan, belum jelas pengaturannya atau dapat dikatakan terdapat kekaburan norma. Terkait pembaharuan hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana penyalahgunaan senjata api di masa mendatang (ius constituendum), penulis merasa hal tersebut perlu dilakukan. Pembaharuan yang dimaksud adalah perlunya pengaturan

mengenai penyalahgunaan senjata api ini diatur dalam satu kodifikasi hukum berbentuk Undang- Undang. Selain itu, berbagai kasus penyalahgunaan penggunaan senjata api yang terjadi selama ini seolah-olah menjadi penegas bahwa ketidakpastian hukum dalam pengaturan penyalahgunaan senjata api tersebut mengakibatkan terganggunya rasa aman publik.

  • I.    Pendahuluan

Negara Indonesia telah mengalami masa kemerdekaan kurang lebih selama 77 Tahun, dalam kurun waktu tersebut banyak permasalahan, hambatan, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri telah dihadapi bangsa Indonesia. Melalui segala upaya, kerja keras hambatan dan permasalahan tersebut satu persatu dapat disingkirkan, sehingga melalui tahapan demi tahapan dalam pelaksaan pembangunan mulai terwujud. Salah satu masalah dari dalam yang memprihatinkan dan harus mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah masalah kepemilikan senjata api.1

Senjata api dipergunakan untuk kepentingan perang, akan tetapi kemudian dipergunakan untuk kepentingan yang lain, misalnya salah satu alat /atau instrumen utama dalam pembangunan pertahanan melalui penyediaan kelengkapan sarana persenjataan bagi angkatan bersenjata suatu negara, sebagai sarana untuk mendukung tugas-tugas aparat keamanan dalam melakukan pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat dan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagai sarana kelengkapan.Saat ini peredaran dan penyalahgunaan senpi mulai meningkatkan rasa tidak aman. Bukan hanya itu senapan api acap kali digunakan aparat untuk menakut-nakuti masyarakat /atau sebaliknya sebagai alat perlawanan terhadap penegak hukum. 2

Lembaga monitor hak asasi manusia, imparsial mengkhawatirkan maraknya aksi penembakan dengan senjata api. Eksistensinya, meskipun senjata tajam sangat bermanfaat dan diperlukan dalam hal mempersenjatai diri atau mempertahankan atau membela diri dari halhal yang mengancam jiwa, namun apabila disalahgunakan atau penggunaannya tidak sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku, terlebih lagi dengan banyaknya penjual senjata tajam yang dilakukan secara illegal, maka akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang akhirnya dapat melemahkan ketahanan nasional. 3 Secara umum, arus kejahatan dengan menggunakan ancaman kekerasan maupun dengan senjata tajam

yang terjadi memang sangat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga menimbulkan kekhawatiran di masyarakat.

Kejahatan-kejahatan tersebut pun tidak memandang bulu, semua kalangan dapat mengalami dan merasakannya, mulai dari kalangan masyarakat biasa, hingga aparat sendiri. Penggunaan senjata tajam secara umum kerap digunakan dalam aksi tawuran yang dilakukan baik dalam tingkatan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat, sehingga menyebabkan jatuh korban yang lebih banyak, dan melibatkan aparat Kepolisian untuk mengantisipasinya.Imparsial mencatat bahwa terdapat 41.102 pucuk senjata api legal. Kemudian tingkat kepemilikan senjata api pribadi mencapai 0,5 per seratus orang. Pada 2010, Polri mencatat ada 58 kasus penyalahgunaan senjata api dan beberapa kasus terdapat beberapa pola terkait penyalahgunaan senjata api. 4 Kasus penyalahgunaan senjata api yang sangat mengkhawatirkan dan meresahkan bagi masyarakat dapat dikategorikan, antara lain:5 Pertama, penyalahgunaan oleh aparat negara diluar tugas demi tujuan tertentu; Kedua, penyalahgunaan ketika aparat negara menjalankan tugas secara berlebihan dan tidak proposional; Ketiga, penyalahgunaan senpi oleh masyarakat bersifat legal demi tujuan tertentu semisal aksi kriminalitas; Keempat, penyalahgunaan yang kepemilikannya bersifat illegal demi tujuan tertentu seperti tindakan kriminalitas.

Kepemilikan senjata api untuk masyarakat sipil itu tidaklah dapat selalu dikaitkan dengan tingginya angka kriminalitas oleh pelaku kejahatan yang menggunakan senjata api. Karena belum tentu pelaku kriminal memiliki senjata api secara legal berdasarkan izin kepemilikan senjata api yang dikeluarkan oleh Kepolisian. Peredaran senjata api di Indonesia mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan senjata api di masyarakat.6

Kepemilikan senjata api ilegal sebenarnya sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang undangan. Terdapat ketentuan tersendiri mengenai kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil. Penegakan hukum terhadap tindak pidana merupakan upaya menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum di era modernisasi dan globalisasi ini dapat terlaksana dengan baik, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan nilai aktual di dalam masyarakat bermoral7.

Berdasarkan atas uraian tersebut diatas, sangat jelas adanya kekaburan norma sehingga perlunya pembaharuan terhadap aturan mengenai tindak pidana senjata api. Adapun focus dalam penelitian ini yaitu yang pertama terkait pengaturan senjata api di Indonesia serta yang kedua terkait urgensi pembaharuan tindak pidana penyalahgunaan senjata api di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan

menganalisis terkait urgensi pembaharuan tindak pidana penyalahgunaan senjata api di Indonesia.

Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Yazid Bustomi dan Gelar Ali Ahmad dengan Judul “Urgensi Kriminalisasi Kepemilikan Perolehan Dan Penggunaan Airsoft Gun Tanpa Izin” yang telah publish pada tahun 2022 di Novum : Jurnal Hukum. Penelitian tersebut mengkaji terkait dua peraturan tentang airsoft gun yang tertuang pada Peraturan Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Replika Senjata Jenis Airsoft gun dan Paintball serta Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api untuk Kepentingan Olahraga. Penelitian tersebut menganalisis apakah kedua peraturan yang ada tentang airsoft gun dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk menentukan suatu tindak pidana atau tidak, serta urgensi perlunya dilakukan kriminalisasi pemilikan perolehan dan penggunaan airsoft gun tanpa izin. 8 Adapun yang membedakan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian tersebut mengkaji lebih mengkhusus terkait pengaturan kepemilikan airsoft gun dan dikaitkan dengan urgensi perlunya pengaturan terkait kriminalisasi pemilikan perolehan dan penggunaan airsoft gun tanpa izin, sementara penelitian yang dilakukan oleh penulis memfokuskan dalam pembahasan dan analisis tentang keberadaan urgensi dari pembaharuan hukum pidana terkait penyalahgunaan senjata api yang diberlakukan berdasarkan ketentuan positif di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif karena fokus kajian berangkat dari kekaburan norma 9 . Penelitian hukum normatif ini berawal dari masalah adanya kekaburan norma hukum dalam Pengaturan Senjata Api, khususnya ketentuan yang mengatur tentang kewenangan kepemilikan senjata api. Dalam penelitian ini, jenis pendekatan yang digunakan Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menganalisa undang-undang yang berkaitan dengan senjata api. Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskripsi, evalusasi dan argumentasi, sehingga dapat menguraikan masalah dan menemukan solusi terhadap isu hukum yang diteliti.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Senjata Api di Indonesia

Sebagian besar ketentuan yang diatur dalam UU ini yaitu mengenai tata cara pendaftaran dan kewajiban-kewajiban pemilik izin senjata api. Ketidakjelasan tersebut terletak pada tidak adanya unsur-unsur yang dapat dikategorikan sebagai unsur penyalahgunaan dalam pasal tersebut. Tentunya hal tersebut merupakan kerugian bagi si pemilik izin, karena disatu sisi negara memperbolehkan masyarakat selain yang bukan TNI atau Polisi untuk mendaftarkan dan memiliki izin senjata api, namun disisi

lain negara seolah-olah mempunyai hak prerogatif dalam hal pencabutan izin dan perampasan senjata api dalam hal penyalahgunaan, tanpa memberikan unsur–unsur yang di kategorikan sebagai unsur penyalahgunaan. Ketidakjelasan tersebut tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja karena hal tersebut tidak mengandung kepastian hukum bagi pemilik izin senjata api10.

Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perijinan Yang Diberikan Menurut Perundang-Undangan Mengenai Senjata Api. Apabila dibandingkan dengan UU. No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api, maka esensi substansi dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut tidak berbeda, kecuali pada nomentaltur (penamaan) jabatan dari pejabat yang berwenang. Hal tersebut dikarenakan ketentuan tentang pejabat-pejabat yang diberikan wewenang dibidang perijinan atau penolakan permohonan perijinan oleh perundang-undangan mengenai senjata api, tidak sesuai lagi dengan susunan ketatanegaraan pada saat itu. Namun, melihat dari ketentuan peraturan ini, yang hanya mengganti penamaan jabatan, jelas peraturan ini belum menutupi ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebelumnya. Tentunya pemerintah masih perlu membenahi substansi dalam hal pengaturan yang belum jelas, agas bisa menjamin kepastian hukum.

UU yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 1948 ini dibuat setelah Indonesia merdeka dan dimaksudkan untuk mengatur mengenai pendaftaran dan pemberian izin pemakaian senjata api. Pada pasal 5-8 dalam UU ini, dijelaskan mengenai pendaftaraan senjata api. Adapun penjabaran dari pasal – pasal tersebut, antara lain:

Pasal 5

  • (1)    Senjata api yang berada ditangan orang bukan anggota Tentara atau Polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan (atau Kepala Kepolisian Daerah Istimewa selanjutnya disebut Kepala Kepolisian Karesidenan saja) atau orang yang ditunjukkannya.

  • (2)    Senjata api yang berada ditangan anggota Angkatan Perang didaftarkan menurut instruksi Menteri Pertahanan, dan yang berada ditangan polisi menurut instruksi Pusat Kepolisian Negara

Pasal 6

  • (1)    Senjata api sebagai dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 didaftarkan pada tempat yang ditentukan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan menurut contoh yang ditetapkan oleh Kepala Pusat Kepolisian Negara

  • (2)    Tiap-tiap senjata api yang akan didaftarkan menurut ayat 1 harus dibawa ketempat pendaftaraan untuk diperlihatkan kepada Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang ditunjukkannya

Pasal 7

  • (1)    Mereka yang mendaftarkan senjata apinya menerima tanfa pendaftaran menurut contoh yang di tetapkan oleh Kepala Pusat Kepolisian Negara

  • (2)    Tanda pendaftaran untuk senjata – senjata api yang didaftarkan menurut pasal 6 ayat 1, berlaku sebagai surat ijin pemakaian senjata api untuk sementara waktu, selanjutnya disebut surat ijin sementara

Pasal 8

Dalam waktu 7 hari mulai hari penutupan pendaftaran tersebut dalam pasal 2, Kepala Kepolisian Karesidenan melaporkan hasil pendaftaran kepada Kepala Pusat Kepolisian Negara.

Dilihat dari pasal – pasal tersebut, tentu sudah jelas dinyatakan bahwa setiap orang yang memiliki senjata api baik, masyarakat sipil, maupun aparat penegak hukum (Angkatan Perang dan Polisi) wajib mendaftarkan senjata apinya.

Selanjutnya mengenai kewajiban si pemilik ijin, pengaturannya terdapat pada pasal 912. Adapun pasal 9-12 tersebut, menyatakan sebagai berikut:

Pasal 9

  • (1)    Setiap orang bukan anggota Tentara atau Polisi yang mempunyai dan memakai senjata api harus mempunyai surat ijin pemakaian senjata api menurut contoh yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara

  • (2)    Untuk tiap senjata api harus diberikan sehelai surat ijin

  • (3)    Yang berhak memberi surat ijin pemakaian senjata api ialah Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang ditunjukkannya

Pasal 10

  • (1)    Dalam waktu 16 hari terhitung mulai hari penutupan pendaftaran yang dimaksudkan dalam pasal 2, Kepala Kepolisian Karesidenan, berdasarkan instruksi Kepala Pusat Kepolisian Negara mengambil keputusan tentang pemberian surat ijin pemakaian senjata api untuk senjata api yang didaftarkan kepadanya

  • (2)    Semua senjata api menjadi milik Negara, bilamana sehabis waktu 16 hari terhitung mulai hari penutupan pendaftaran senjata api, senjata api tadi belum mempunyai surat ijin pemakaian senjata api

  • (3)    Untuk tiap-tiap senjata api yang menjadi milik Negara menurut ayat 2, diberikan uang kerugian menurut daftar yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan

  • (4)    Terhadap senjata – senjata api yang menjadi milik Negara menurut ayat 2 Menteri Pertahanan menentukan pemakaiannya

  • (5)    Kepala Pusat Kepolisian Negara memberi kesempatan kepada mereka yang tidak menghendaki surat ijin pemakaian senjata api menurut pasal 9 ayat 3, untuk menyerahkan senjata apinya dengan penerimaan kerugian sebagai ditetapkan dalam ayat 3.

Pasal 11

  • (1)    Barang siapa hendak memindahkan senjata api ketangan lain, untuk mana telah diberikan surat ijin pemakaian senjata api (termasuk juga surat ijin sementara, tersebut dalam pasal 7) oleh Kepala Kepolisian Karesidenan, harus mendapat ijin terlebih dahulu dari Kepala Kepolisian tersebut, meurut contoh yang di tetapkan oleh Kepala Pusat Kepolisian Ne Jikagara

  • (2)    Surat ijin pemakaian senjata api yang telah diberikan oleh Ketua Dewan Pertahanan Daerah kepada orang bukan anggota Tentara atau Polisi (menurut peraturan D.P.N. No.

  • 14    pasal 10 ayat 3 huruf d) harus ditukarkan dengan surat ijin yang baru dari Kepala Kepolisian Karesidenan

Pasal 12

  • (1)    Barang siapa mempunyai senjata api dengan surat ijin pemakaian senjata api yang diberikan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan (termasuk ijin sementara) hendak pindah keluar Karesidenan harus memberitahukan hal ini kepada Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang ditunjukkannya, serta sesampainya ditempat yang baru, pada Kepala Kepolisian Karesidenan dimana tempat itu terletak

  • (2)    Jika senjata api dan/atau surat ijin pemakaiannya hilang, maka pemegang surat ijin pemakaiannya itu harus melaporkan hal ini dalam waktu 7 hari kepada Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang ditunjukkannya

Dilihat dari pengaturan di atas, tertera beberapa kewajiban bagi pemilik ijin senjata api, diantaranya: wajib memiliki surat ijin sementara, aktif melaporkan apabila hendak membawa senjata api ke luar karesidenan yang terdaftar sebelumnya, dan juga aktif dalam melaporkan dalam hal senjata api itu hilang

Dalam hal terjadi penyalahgunaan senjata api, hal tersebut di atur dalam pasal 13. Adapun pasal 13 tersebut menyatakan sebagai berikut:

Pasal 13

Surat ijin pemakaian senjata api (termasuk ijin sementara) dapat dicabut oleh pihak yang berhak memberikannya bila senjata api itu salah dipergunakan dan senjata api tersebut dapat dirampas.

Adapun hukuman bagi penyimpangan terhadap apa yang di atur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 tentang pendaftaran dan pemberian ijin pemakaian senjata api ini, tertera pada pasal 14. Adapun pasal 14 tersebut, menyatakan bahwa:

Pasal 14

  • (1)    Barang siapa dengan sengaja:

  • a.    tidak memenuhi kewajiban yang dientukan dalam pasal 2, atau

  • b.    sehabis waktu 16 hari terhitung mulai hari penutupan pendaftaran mempunyai senjata api tidak dengan surat ijin tersebut dalam pasal 9

  • c.    melanggar larangan tersbut dalam pasal 3 atau pasal 4, dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas ribu rupiah dan senjata apinya dapat dirampas

  • (2)    Barang siapa tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam pasal 12 dihukum kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak banyaknya Sembilan ratus rupiah dan senjata apinya dapat dirampas

  • 1.    Perbuatan termuat dalam ayat 1 dianggap sebagai kejahatan

  • 2.    Perbuatan termuat dalam ayat 2 dianggap sebagai pelanggaran

Dilihat dari pengaturan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran Dan Pemberian Ijin Pemakaian Senjata Api diatas yang terkait senjata api, memang beberapa ketentuan sudah jelas penagturannya. Sebagian besar ketentuan yang diatur dalam UU ini yaitu mengenai tata cara pendaftaran dan kewajiban-kewajiban pemilik ijin senjata api. Namun, pada pasal 13 dalam UU tersebut, yang menyebutkan mengenai pencabutan ijin dan perampasan senjata api bilamana terjadi penyalahgunaan, belum jelas pengaturannya.

Ketidakjelasaan tersebut terletak pada tidak adanya unsur-unsur yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan dalam pasal tersebut. Tentunya hal tersebut merupakan kerugian bagi si pemilik ijin, karena disatu sisi negara memperbolehkan masyarakat yang bukan TNI atau Polisi untuk mendaftarkan dan memiliki ijin senjata api, namun disisi lain negara seolah-olah mempunyai hak prerogative dalam hal pencabutan ijin dan perampasan senjata api dalam hal penyalahgunaan, tanpa memberikan unsur-unsur yang di kategorikan sebagai penyalahgunaan. Ketidakjelasaan tersebut tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja karena hal tersebut tidak mencerminkan kepastian hukum bagi pemilik ijin senjata api.11

Undang – Undang Darurat Republik Indonesia Nomer 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang –Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948. Ketentuan – ketentuan pada UU ini, pada dasarnya adalah merubah ketentuan mengenai ancaman hukuman yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan sebelumnya. Ketentuan yang terkait dengan senjata api, terdapat Pasal 1 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 5 Adapun isi dari Pasal 1 ayat (1), Pasal 3, dan Pasal 5 tersebut adalah sebagai berikut : Pasal 1

  • (1)    Barang siapa yang tanpa hak memasukan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.

  • (2)    …..

Pasal 3

Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum undang-undang darurat ini dipandang sebagai kejahatan

Pasal 5

  • (1)    Barang-barang atau bahan-bahan dengan mana terhadap mana sesuatu perbuatan yang terancam hukuman pada pasal 1 atau 2, dapat dirampas, juga bilamana barang-barang itu tidak kepunyaan si-tertuduh

  • (2)    Barang-barang atau bahan-bahan yang dirampas menurut ketentuan ayat 1, harus dirusak kecuali apabila terhadap barang-barang itu oleh atau dari pihak Menteri Pertahanan untuk kepentingan Negara diberikan suatu tujuan lain

Dilihat dari ketentuan dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 tentang mengubah Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia dahulu Nomor 8 Tahun 1948, sebagaimana yang seperti disebutkan diatas, memang ancaman hukuman yang menimpa seseorang yang menyalahgunkan senjata api sangat berat, yaitu sampai hukuman mati. Namun, perlu dilihat juga bahwa ketentuan mengenai sanksi tersebut

hanya berlaku bagi pemilik senjata api tanpa hak, atau biasa yang disebut dengan istilah illegal. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan pada pasal 1 ayat (1) dalam UU tersebut, yang menyebutkan tentang mengenai seseorang dapat dihukum sampai dengan hukuman mati apabila tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak.

Dilihat dari pengaturan tersebut, Negara terlihat sangat tegas dalam mencegah penyalahgunaan dan peredaran senjata api tanpa hak/atau illegal. Namun, tentu pengaturan mengenai penyalahgunaan senjata api bagi yang memiliki hak/ijin seharusnya diatur juga dengan jelas, agar semua ini pemilik senjata api bisa mendapatkan kepastian hukum dari Negara. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perijinan Yang Diberikan Menurut Perundang-Undangan Mengenai Senjata Api. Peraturan Pemerintah ini terbentuk atas dasar beberapa ketentuan dalam perundang-undangan mengenai senjata api tidak sesuai lagi dengan susunan ketata-negaraan sekarang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini hanya terdiri dari 2 (dua) pasal, yang mengatur mengenai kewenangan untuk mengeluarkan dan menolak permohonan perizinan senjata api diberikan kepada Menteri/Kepala Kepolisian Negara atau pejabat yang dikuasakan. Sedangkan untuk kepentingan dinas angkatan perang, perizinan menjadi kewenangan oleh masing-masing departemen angkata perang.12

Dilihat dari pengaturan yang sebagimana disebutkan diatas, apabila dibandingkan dengan UU No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemaikaian Senjata Api, maka esensi substansi dari kedua peraturan perundang-undang tersebut tidak berbeda, kecuali pada nomentaltur (penamaan) jabatan dari pejabat yang berwenang. Hal tersebut dikarenakan ketentuan tentang pejabat-pejabat yang diberikan wewenang dibidang perijinan atau penolakan permohonan perijinan oleh perundang-undangan mengenai senjata api, tidak sesuai lagi dengan susunan ketata-negaraan pada saat itu. Namun, melihat dari ketentuan peraturan ini, yang hanya mengganti penamaan jabatan, jelas peraturan ini belum menutupi ketidakjelasaan peraturan perundang-undangan sebelumnya. Tentunya pemerintah masih perlu membenahi substansi dalam hal pengaturan yang belum jelas, agar bisa menjamin kepastian hukum.

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Bambang Poernomo, beliau telah membedakan pengertian tindak pidana atau strabaar feit menjadi 2 yaitu:13

  • a.    Definisi menurut teori membedakan pengertian “strabaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahakankan tata hukum menyelamatkan kesejahteraan hukum

  • b.    Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Sejalan dengan definisi yang membedakan anatara pengertian menurut teori dan hukum positif itu, juga dapat dikemukakan pandangan dari J.E.Jonkers yang dikutip dari karya tulisnya Bambang Poenomo, J.E. Jonkers telah membedakan pengertian strafbaar feit menjadi dua pengertian :14

  • a.    Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang

  • b.    Definisi panjang atau yang lebih mendalam memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan.

Berdasarkan definisi-definisi tindak pidana sebagaimana disebutkan para ahli diatas, dapat ditemukan unsur-unsur tindak pidana yaitu unsur perbuatan melawan hukum, unsur dapat dihukum, dan unsur dapat dipertanggungjawabkan. Apabila dikaitkan dengan penyalahgunaan senjata api, unsur-unsur tindak pidana tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:15

  • 1)    Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Dilihat dari perbuatan melawan hukum, tentu penyalahgunaan senjata api ini merupakan perbuatan yang melanggar Undang-Undang. Hal tersebut dapat dilihat dari sampai saat ini sudah terdapat beberapa peraturan yang mengatur mengenai penyalahgunaan senjata api, antara lain seperti: Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Ijin Pemakaian Senjata Api, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Mengubah Ordonnantietidjdelike Bijzondere Strafbepalingan (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948, dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 20 Tahun 1960 Tentang Kewenangan Perijinan Yang Diberikan Menurut UU Senjata Api.

  • 2)    Unsur Dapat Dihukum

Pengaturan yang saat ini paling jelas adalah pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Mengubah Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948, dimana didalamnya terdapat sanksi pidana bagi orang yang meyalahgunakan senjata api, walaupun sanksi tersebut hanya ditujukan pada pemilik senjata api tanpa hak atau illegal.

  • 3)    Unsur Dapat Dipertanggungjawabkan

Dalam pemberian izin senjata api, tentunya terdapat tahapan-tahapan tes yang dilakukan seseorang untuk mendapatkannya, salah satunya tes kejiwaan. Maka dari itu apabila dilihat dari unsur dapat dipertanggungjawabkan, tentu penyalahgunaan senjata api itu dapat dipertanggungjawabkan oleh orang-orang yang sehat jasmani rohani atau dalam keadaan sadar, yang dimana orang tersebut bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, kecuali apabila orang tersebut mengalami gangguan kejiwaan saat ia sudah memiliki izin kepemilikan senjata api.

Berdasarkan penjabaran mengenai unsur-unsur diatas, maka dapat dikatakan bahwa penyalahgunaan senjata api telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana, dan dapat dikatakan sebagai tindak pidana. Namun, terkait pengaturan tindak pidana penyalahgunaan senjata api yang diatur saat ini (ius constitutum), yakni dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Ijin Pemakaian Senjata Api, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Mengubah Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948, dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 20 Tahun 1960 Tentang Kewenangan Perijinan Yang Diberikan Menurut UU Senjata Api, masih terdapat ketidakjelasan aturan (norma kabur) didalamnya.

  • 3.2 Urgensi Terhadap Pembaharuan Aturan Kepemilikan Senjata Api

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorintasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan social, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatah dikatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus di tempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach)16.

Terkait pembaharuan hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana penyalahgunaan senjata tersebut dikarenakan, pengaturan tindak pidana penyalahgunaan senjata api yang di atur saat ini (ius constitutum), yakni dalam undang – undang republik Indonesia nomor 8 tahun 1948 tentang pendaftaraan dan pemberian izin pemakaian senjata api, undang – undang darurat republic Indonesia nomer 12 tahun 1951 tentang mengubah “ordonnantietijdelijke bijzondere strafbepalingen” (stbl 1948 nomer 17) dan undang – undang republic Indonesia dahulu nomer 8 tahun 1948, dan peraturan pemerintah pengganti UU no. 20 tahun 1960 tentang kewenangan perijinan yang diberikan menurut UU senjata api, masih terdapat ketidakjelasaan aturan (norma kabur) didalamnya.

Adapun penjabaran mengenai ketidakjelasaan tersebut adalah sebagai berikut:17

  • 1.    Dilihat dari pengaturan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 tentang pendaftaran dan pemberian ijin pemaikan senjata api, pada pasal 13 dalam UU tersebut, yang meyebutkan mengenai pencabutan izin dan perampasan senjata api bilamana terjadi penyalahgunaan, belum jelas pengaturannya. Ketidakjelasaan tersebut terletak pada tidak adanya unsur-unsur yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan dalam pasal tersebut. Tentunya hal tersebut merupakan kerugian bagi si pemilik izin, karena disatu sisi negara memperbolehkan masyarakat yang bukan TNI atau polisi untuk mendaftarkan dan memiliki izin senjata api, namun disisi lain negara seolah-olah mempunyai hak prerogatif dalam hal pencabutan izin dan perampasan senjata api dalam hal penyalahgunaan, tanpa memberikan unsur-unsur yang dikategorikan sebagai penyalahgunaan.

  • 2.    Dilihat dari Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 tentang mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondoe Starfbepalingen” (stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia dahulu Nomor 8 Tahun 1948, negara terlihat sangat tegas dalam mencegah penyalahgunaan dan peredaran senjata api tanpa hal/illegal. Namun, tentu pengaturan mengenai penyalahgunaan senjata api bagi yang memiliki hak/ijin seharusnya diatur juga dengan jelas, agar semua lini pemilik senjata api bisa mendapatkan kepastian hukum dari negara.

  • 3.    Apabila dibandingkan dengan UU NO. 8 Tahun 1948 tantang pendaftaraan dan pemberian izin pemakaian senjata api, maka esensi substansi dari kedua peraturan perundang-undang tersebut tidak berbeda, kecuali pada nomentaltur (penamaan) jabatan dari pejabat yang berwenang. Hal tersebut dikarenakan ketentuan tentang pejabat-pejabat yang diberikan wewenang dibidang perijinan atau penolakan permohonan perijinan oleh perundang-undangan mengenai senjata api, tidak sesuai lagi dengan susunan ketatanegaraan pada saat itu. Namun, melihat dari ketentuan peraturan ini, yang hanya mengganti penamaan jabatan, jelas peraturan ini belum menutupi ketidakjelasaan peraturan perundangan-undangan sebelumnya. Tentunya pemerintah masih perlu membenahi substansi dalam hal pengaturan yang belum jelas, agar bisa menjamin kepastian hukum. Selain ketidakjelasan aturan yang disebutkan diatas, berbagai kasus penyalahgunaan penggunaan senjata api menjadi menjadi penegas bahwa ketidakjelasaan aturan dalam penggunaan senjata api, hanya akan membuat rasa aman publik terus terganggu.

Berdasarkan ketidakjelasan aturan tersebut, maka penulis rasa perlu segera dilakukan pembaharuan hukum pidana yang nantinya akan menimbulkan implikasi (akibat langsung dari hasil penemuan) yang positif, terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Pembaharuan yang dimaksud adalah perlunya pengaturan mengenai penyalahgunaan senjata api ini diatur dalam satu kodifikasi hukum berbentuk Undang-Undang. Adapun empat implikasi positif yang penulis maksud, berdasarkan analisis penulis, apabila dilakukannya pembaharuan hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana penyalahgunaan senjata api, antara lain sebagai berikut: 18

  • 1.    Terciptanya Kepastian Rasa Aman Masyarakat. Dengan adanya pengaturan yang jelas, tentu akan membuat masyarakat merasa aman, dan tidak perlu takut lagi akan ketidakjelasaan pengaturan yang ada saat ini, karena sudah ada aturan yang mengatur dengan jelas dalam bentuk Undang-Undang.

  • 2.    Terciptanya Kontrol dan Pengawasan Yang Lebih Efektif dan Terstruktur. Dengan adanya pengaturan yang jelas, yang dimana didalamnya terdapat norma mengenai control dan pengawasan penggunaan senjata api, tentu membuat masyarakat tidak lagi berupaya melakukan penyimpangan ataupun penyalahgunaan senjata api.

  • 3.    Terciptanya Pemahaman Yang Lebih Komprehensif Terhadap Masyarakat. Dengan adanya pengaturan yang jelas, masyarakat akan dapat lebih selektif dalam menggunakan senjata api dalam peruntukkannya, termasuk juga dengan yang menyangkut hobi dan kegemaran.

  • 4.    Terciptanya Penegasan Bahwa Ada Pembatasan Kebebasan Bagi Masyarakat Dalam Menggunakan Senjata Api. Dengan adanya pengaturan yang jelas, tentu akan menciptakan suatu kepastian hukum terhadap masyarakat mengenai cara mendapatkan ijin dan sejauh mana batasan senjata api itu dapat digunakan. Dalam artian, disatu sisi Negara mengatur pemanfaatan senjata api dan bahan peledak, namun disisi yang lain Negara juga membatasi kepemilikan dan pemanfaatan senjata api

Dalam perumusan norma pengaturan tindak pidana penyalahgunaan senjata api di masa mendatang, penulis rasa perlu adanya pengaturan klasifikasi pengguna dan teknis penggunaan senjata api. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan membedakan senjata api dari sisi pengguna dengan klasifikasi teknis tertentu.

Adapun klasifikasi yang dapat penulis usulkan, yaitu penulis bagi ke dalam tiga kategori, yaitu:19

  • 1.    Senjata api untuk kebutuhan pertahanan Negara yang dikendalikan oleh pemerintah atau TNI

  • 2.    Senjata api untuk aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya yang dikendalikan oleh pemerintah atau POLRI dan,

  • 3.    Senjata api untuk kebutuhan khusus warga Negara dan korporasi yang dikendalikan oleh pemerintah atau POLRI

Dengan adanya klasifikasi ini, maka pemerintah akan lebih mudah mengatur pengguna dan penggunaan senjata api untuk penyelenggarakan fungsi pertahanan Negara dan juga tidak terkait dengan penyelenggaraan fungsi pertahanan Negara Kendali kepemilikan senjata api ini juga harus dilengkapi dengan mekanisme pengawasan ketat untuk penggunaan senjata api. Untuk klasifikasi 1 dan 2, pengawasan terutama dilakukan sebagai bagian dari pengamanan internal instansi militer, kepolisian, dan penegak hukum. Untuk klasifikasi 3, mekanisme pengawasan sebaiknya dilakukan oleh pemerintah atau POLRI untuk mencegah terjadinya penyalahugunaan kepemilikan senjata api

Selanjutnya, kendali terhadap penyimpanan senjata api juga perlu dirumuskan berdasarkan tiga klasifikasi pemilikan di atas. Penyimpanan senjata api dan bahan

peledak untuk kebutuhan pertahanan Negara sebaiknya dikendalikan oleh pemerintah dan TNI. Penyimpanan senjata untuk fungsi kepolisian dan penegakan hukum dirumuskan dengan mengkombinasikan kebutuhan untuk melakukan pengawasan yang efektif terhadap penggunaan senjata api dengan kebutuhan untuk efisiensi pelaksanaan tugas operasional di bidang kepolisian dan penegakan hukum. Sedangkan untuk mekanisme penyimpanan senjata api untuk pemilikan oleh warga Negara, warga Negara asing, dan korporasi dirumuskan untuk meningkatkan kendali pemerintah terhadap peredaan senjata api, sehingga bisa meminimalisir kemungkinan penyalahgunaan senjata api.

Menurut Duff dan Garland, bagi penganut teori konsekuensialis, suatu pemidanaan merupakan akibat dari suatu perilaku yang mengakibatkan kerugian, untuk itu sudah selayaknya pelaku dikenakan pula suatu kerugian berupa penjatuhan sanksi pidana. Dalam teori ini, pencegahan kejahatan yang terjadi di masa yang akan datang merupakan tujuan utama pemidanaan (forward looking). Sehubungan dengan pandangan kaum konsekuensialis, untuk pembenaran penjatuhan pidana maka perlu dibuktikan apakah:20

  • 1.    Pidana itu membawa kebaikan

  • 2.    Pidana dapat memcegah kejadian yang lebih buruk

  • 3.    Tidak ada alternative lain yang setara baiknya.

Di sisi lain bagi penganut teori non-konsekuensialis menganggap bahwa upaya pembenaran untuk menjatuhkan pidana sebagai suatu respon yang patut (appropriate response) terhadap suatu kejahataan. Pandangan ini dikenal dalam kaum retributive (berpandangan bahwa penjatuhan pidana merupakan balasan atas suatu kejahatan) yang berpendapat bahwa pidana merupakan penderitaan yang harus diberikan kepada pelaku kejahatan (backward looking), namun demikian proporsionalitas (keseimbangan dalam penjatuhan hukuman) tetap diperhatikan oleh penganut non-konsekuensialis

Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis sependapat dengan golongan konsekuensialis yang memandang bahwa suatu pemidanaan merupakan akibat dari suatu prilaku yang mengakibatkan kerugian, untuk itu sudah selayaknya pelaku dikenakan pula suatu kerugian berupa sanski pidana. Dalam hal ini, pencegahan kejahatan yang terjadi dimasa yang akan datang merupakan tujuan utama pemidanaan (forward looking). Selain itu ketentuan pidana dalam pengaturan senjata api dirumuskan karena sanksi pidana yang diancamkan akan membawa kebaikan bagi pelaku, dapat mencegah kejadian yang lebih buruk lagi dalam hal melindungi masyarakat serta tim belum menemukam alternative sanksi yang setara baiknya.

Selanjutnya berkenaan dengan sanksi termasuk sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan yang melanggar pengaturan senjata api akan diterapkan, berupa 21 : Sanksi pidana; Sanksi administrasi; Tuntutan kerugian. Terkait dengan sanksi pidana, maka jenis pidana pokok yang dapat diterapkan antara lain pidana penjara waktu tertentu, dan pidana denda sebagaimana ditentukan dalam pasal 10 kuhap. Adapun pidana

tambahan yang dapat dijatuhkan adalah pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim sebagaimana ditentukan dalam pasal 10 KUHAP.

Untuk sanksi administratif, ancamannya diperuntukan bagi perbuatan pelanggaran perizinan yang sudah diberikan, dalam hal izin ini harus dicabut dan senjata apinya harus disita atau dirampas dan dijadikan milik Negara. Pencabutan izin dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Sanksi pidana dapat dijatuhkan bersama-sama dengan sanksi administrasi dan sanksi denda/ganti rugi. Rumusan tindak pidana penyalahgunaan senjata api ini sebaiknya berjenis kumulatif alternative, yang artinya dalam ancaman pidananya tidak hanya mengatur ancaman minimal khusus untuk pidana penjara dan/atau pidana denda, namun juga mencakup ancaman maksimal khusus bagi pidana penjara dan/atau pidana denda.

Dalam sistematika teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang terdapat pada Lampiran UU. No. 12 Tahun 2011 Tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dinyatakan bahwa ketentuan pidana dapat dirumuskan jika diperlukan sebgai suatu ultimum remedium. Dalam hal ini ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah. Sesuai ketentuan yang terdapat pada pasal 103 KUHAP, ketika merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam buku I KUHP karena ketentuan tersebut berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali jika oleh UU ditentukan lain. Selanjutnya untuk menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarkat serta unsur kesalahan pelaku.

  • 4.    Kesimpulan

Pengaturan tindak pidana penyalahgunaan senjata api yang diatur saat ini (ius constitutum), yakni di dalam UU Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api, yang dimana dalam pasal 13 dalam UU tersebut, yang menyebutkan mengenai pencabutan izin dan perampasan senjata api bilamana terjadi penyalahgunaan, belum jelas pengaturannya atau dapat dikatakan terdapat kekaburan norma. Terkait pembaharuan hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana penyalahgunaan senjata api di masa mendatang (ius constituendum), penulis merasa hal tersebut perlu dilakukan. Pembaharuan yang dimaksud adalah perlunya pengaturan mengenai penyalahgunaan senjata api ini diatur dalam satu kodifikasi hukum berbentuk Undang- Undang. Hal tersebut dikarenakan bahwa, pengaturan tindak pidana penyalahgunaan senjata api yang diatur saat ini (ius constitutum) masih terdapat ketidakpastian hukum didalam pengaturannya. Selain itu, berbagai kasus penyalahgunaan penggunaan senjata api yang terjadi selama ini seolah-olah menjadi penegas bahwa ketidakpastian hukum dalam pengaturan penyalahgunaan senjata api tersebut mengakibatkan terganggunya rasa aman publik.

Daftar Pustaka

Anggoro, Firna Novi. “Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Terhadap Keputusan Dan/Atau Tindakan Pejabat Pemerintahan Oleh PTUN.” Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum 10, no. 4 (2016): 647–70.

Anugrah, Roby, and Raja Desril. “Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Iindonesia.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 3, no. 1 (2021): 80–95.

Arsad, Agus Nur. “Faktor Kriminogen Penyalahgunaan Senjata Tajam Di Muka Umum.” Journal Justiciabelen (JJ) 2, no. 1 (2022): 48–69.

Bagus, Berlian Mahendra. “Peraturan Kepemilikan, Penggunaan Dan Pengawaan Senjata Api.” Jurnal Hukum UII 7, no. 1 (2020): 489–502.

Bustomi, Yazid, and Gelar Ali Ahmad. “Urgensi Kriminalisasi Kepemilikan Perolehan Dan Penggunaan Airsoft Gun Tanpa Izin.” Novum: Jurnal Hukum 9, no. 1 (2022): 21– 30.

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. 2nd ed. Jakarta: Prenada Media Group, 2017.

Hervianto, Imam. “Upaya Polri Dalam Menangani Tindak Pidana Penyalahgunaan Senjata Api Oleh Anggota Polri.,” 2012.

Manuhutu, Philicia, Saartje Sarah Alfons, and Denny Latumaerissa. “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anggota Polri Yang Melakukan Penyalahgunaan Senjata Api.” Sanisa: Jurnal Kreativitas Mahasiswa Hukum 3, no. 1 (2023): 1–13.

Pakpahan, Zainal Abidin. “Pelaksanaan Pemilihan Umum Serentak Pada Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Dan Anggota DPRD Sebagai Implementasi Pelaksanaan Sistem Demokrasi Pancasila.” Jurnal Sosial Ekonomi Dan Humaniora (JSEH) p-ISSN 2461    (2019):    666.

https://doi.org/https://doi.org/10.29303/jseh.v5i2.60.

Parengkuan, Rayner, Debby Antouw, and Fonnyke Pongkorung. “Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Republik Indonesia Terhadap Penyalahgunaan Kepemilikan Ilegal Senjata Api.” Lex Crimen 11, no. 4 (2022).

Pitakasari, Ajeng Ritzki. “Imparsial: Harus Ada UU Kontrol Senjata Api.” Republika.co.id, 2013. https://www.republika.co.id/berita/mrkvf2/imparsial-harus-ada-uu-kontrol-senjata-api.

Poernomo, Bambang. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 2018.

Prasetyo, Allan Hermit. “Kewenangan ANKUM Terhadap Warga Negara Yang Dimobilisasi Dalam Hukum Disiplin Militer.” Udayana Master Law Journal, Bali 5 (2016): 560.

Reksodiputro, Mardjono. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, 2014.

Runturambi, Arthur Josias Simon. Senjata Api Dan Penanganan Tindak Kriminal. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016.

Samsul, A Rahmani, Hasta Sukidi, and Supardin Supardin. “Kewenangan Peradilan Militer Dalam Memeriksa Dan Mengadili Tindak Penyalahgunaan Senjata Api.” Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syari’ah, 2020, 21–29.

Saputro, Eko. “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Anggota Militer Yang Menghilangkan Senjata Api.” Muhammadiyah Yogyakarta, 2018.

Sari, Indah. “Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dalam Hukum Pidana Dan Hukum Perdata.” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 11, no. 1 (2021).

Setiawan, Muhammad Arif. “Kajian Kritis Teori-Teori Pembenaran Pemidanaan.” Jurnal

Hukum Ius Quia Iustum 6, no. 11 (2017): 97–107.

Soniardhi. “Kewenangan Aknum Terhadap Tawanan Perang Dalam Hukum Disiplin Militer.” Jurnal Magister Hukum Udayana 6, no. 4  (2017):  464–77.

https://doi.org/https://doi.org/10.24843/JMHU.2017.v06.i04.p05.

Yulasni, A Hairun, Muhammad Yahya Selma, and K N Sofyan. “Disparitas Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sekayu Kelas II Atas Perkara Tindak Pidana Kepemilikan Senjata Api Rakitan.” Doctrinal 6, no. 2 (2021): 66–83.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api.

Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepulingen” (Stbl. 1948 Nomor 17)

211