Kedudukan Terhadap Wanita yang Tidak Kawin dalam Hukum Waris di Bali

Kadek Sumarni1, Anak Agung Oka Parwata2, Anak Agung Istri Ari Atu Dewi3

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

3Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]

Info Artikel

Masuk: 20 Januari 2023

Diterima: 25 Mei 2023

Terbit: 27 Mei 2023

Keywords:

Heir; Bali Womane; marry


Kata kunci:

Ahli Waris; Wanita Bali;

Kawin


Corresponding Author: Kadek Sumarni, E-mail : [email protected]


DOI:

10.24843/JMHU.2023.v12.i01. p16


Abstract

  • I.    Pendahuluan

Pelaksanaan kebiasaan, adat istiadat, dan juga kebudayaan yang ada di Indonesia ini terus berkembang mengikuti perkembangan jaman dan keadaan. Pribadi manusia yang memiliki akal sehat yang diberikan oleh Tuhan yang mempengaruhi perkembangan terhadap kebiasaan, adat istiadat, dan juga kebudayaan tersebut.1 Asas kekeluargaan dalam Hukum Adat adalah bagian utama yang terpenting dalam pewarisan. Di Indonesia hukum waris memiliki sifat majemuk. Hal tersebut disebabkan karena di Indonesia sendiri Undang-undang mengenai. Hukum Waris Nasional masih belum diatur dan belum berlaku bagi seluruh rakyat di Indonesia. Keanekaragaman hukum ini semakin terlihat karena hukum waris adat yang berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam mengikuti bentuk masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia. Dalam buku waris testamenter, sebelum harta peninggalan itu dibagikan, para ahli waris keturunan terlebih dahulu mendapat legitiemepostie yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan.

Hukum waris merupakan salah satu hukum yang ada dalam masyarakat dan menjadi perhatian dari berbagai pihak. Hukum waris juga merupakan hukum yang mengatur kepentingan masyarakat umum. Salah satu ahli yaitu Perangin, menyatakan bahwa secara umum hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal serta akibatnya bagi ahli waris. Hukum waris di Indonesia memiliki bentuk dan juga sistem yang beranekaragam. Hal ini dipengaruhi dari latar belakang masyarakat Indonesia yang heterogen serta kondisi geografis negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan.2

Hukum waris pada masyarakat adat Bali juga terkesan mengandung sifat diskriminatif pada kaum perempuan, karena ada perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam hal waris. Sedangkan status laki-laki dan perempuan sebagai anak dalam sebuah keluarga seharusnya mempunyai hak yang sama dalam hal memperoleh harta warisan dari orang tuanya, namun hal ini tidak berlaku dalam sistem pewarisan adat Bali, yang mengesampingkan keberadaan anak perempuan. Anak perempuan tidak dibenarkan ikut campur terhadap harta warisan orang tuanya.3

Sebagai pulau Dewata, Bali mempunyai begitu banyak kebudayaan dan adat yang dipegang kukuh oleh masyarakatnya. Adat Bali yang dimaksud meliputi nilai, norma dan perilaku dalam masyarakat Bali. Adat inilah yang membuat beberapa orang Bali mempunyai pikiran kolot tentang adanya anak perempuan di tengah-tengah keluarga mereka. Anak Agung Istri Atu Dewi menyatakan Daha Tua di Bali secara empiris atau kenyataan sebenarnya dalam konteks hukum itu berkaitan dengan keberadaanya di dalam sebuah keluarganya. Namun pada kenyataanya seorang Daha Tua selalu dikesampingkan, dipinggirkan bahkan tidak pernah dilibatkan dalam urusan keluarga. Karena di Bali menganut system purusa, artinya uang berhak sebagai ahli waris adalah

laki-laki, Wanita tidak berhak atas apapun. Seorang Daha Tua inilah yang akhirnya dibebankan pekerjaan untuk mengerjakan untuk mengurus orang tuanya.4

Salah satu contoh Putusan Mahkamah Agung Nomor 4766K/Pdt/1998 tertanggal 16 November 1999 yang menyatakan bahwa anak perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris. Namun seperti tidak memperdulikannya beberapa masyarakat Bali masih saja menggunakan dalih Hukum adat untuk menginkari Hukum yang berlaku di negara ini. Kedudukan anak laki-laki sebagai ahli waris juga telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan antara lain dalam Putusan MA No.32 K/Sip/1971 tanggal 24 Maret 1971, yang menetapkan bahwa ahli waris menurut Hukum Adat Bali adalah keturunan atau anak laki-laki. Sedangkan menurut Gde Panetja menjelaskan dalam tulisannya menyatakan bahwa anak wanita mempunyai hak waris terbatas.

Ahli waris kaum perempuan merupakan ahli waris terbatas, artinya kaum perempuan hanya berhak atas bagian harta warisan guna kaya orangtuanya. Berdasarkan permasalahan yang diatas menyebutkan bahwa terjadi konflik norma dimana dalam pasal 384 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa seorang ahli waris berhak untuk menuntut supaya segala apa yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan hak sebagai ahli waris. Dibali yang berhak menjadi ahli waris adalah kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan tidak berhak mewarisi. Namun dalam Persamuan Agung III pada 15 oktober 2010. Dalam keputusan dengan Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 disepakati dengan adanya hak waris bagi perempuan.

Dari uraian diatas dapat digunakan teori sebagai pisau pembelah yaitu menggunakan 3 teori yang pertama teori The living law. the living law adalah hukum yang hidup dan sedang aktual dalam suatu masyarakat, sehingga tidak membutuhkan upaya reaktualisasi lagi. The living law bukan sesuatu yang statis, tetapi terus berubah dari waktu ke waktu.5 The living law adalah hukum yang hidup di dalam masyarakat, bisa tertulis bisa juga tidak. Secara sosiologis, the living law senantiasa akan hidup terus dalam masyarakat.6 The living law merupakan aturan-aturan yang digunakan di dalam hubungan-hubungan kehidupan yang sedang berlangsung dan bersumber dari adat istiadat atau kebiasaan.7 Yang kedua Teori Resepsi/ Penerimaan, seperti kita ketahui bahwa pelaksanaan adat disebagian besar wilayah di negara kita tentunya tidak terlepas dari dasar agama atau kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat adat dimana adat itu berlaku dan berkembang sehingga secara terus-menerus tetap diikuti

dan dilestarikan. 8 Dalam teori Receptio in Compleksu atau teori penerimaan, Hal ini berarti bahwa hukum adat suatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaan secara penuh dari ajaran agama golongan masyarakat dimaksud.9 Dan yang terakhir adalah Teori Prularisme, Hukum pluralisme hukum secara umum dimaknai sebagai suatu situasi dimana dua atau lebih system hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih system pengendalian sosial dalam suatu bidang kehidupan sosial.10

Adapun permasalahan pada kajian ini yaitu Pertama, Bagaimana kedudukan hak waris Wanita Bali yang tidak kawin? serta Bagaimana bagian yang dapat di terima wanita bali yang tidak kawin dalam menikmati warisan? Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis kedudukan hak waris Wanita Bali yang tidak kawin serta untuk mengkaji dan menganalisis terkait bagian yang dapat di terima wanita bali yang tidak kawin dalam menikmati warisan. Penelitian terdahulu yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah yang pertama, telah dilakukan oleh I Gusti Ngurah Bayu Pratama Putra, Abdul Rachmad Budiono, Hariyanto Susilo yang telah dilaksanakan pada tahun 2020 dengan judul “Hak Mewaris Anak Luar Kawin Berdasarkan Pengangkatan oleh Kakeknya menurut Hukum Waris Adat Bali” telah publish pada Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Adapun penelitian tersebut mengkaji terkait kedudukan аnаk luаr kаwin yаng diаngkаt sebаgаi аnаk oleh kаkeknya menurut hukum wаris аdаt bаli serta hаk mewаris аnаk luаr kаwin berdаsаrkаn pengаngkаtаn oleh kаkeknyа menurut hukum waris adat Bali. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengangkatan anak luar kawin oleh kakeknya adalah sah menurut hukum adat Bali setelah melalui beberapa tahapan yang diatur hukum adat sehingga kedudukan anak luar kawin yang diangkat oleh kakeknya adalah sama dengan anak kandung. Hukum negara hanya berperan untuk menguatkan hukum adat yang berlaku. Hak mewaris anak luar kawin yang diangkat oleh kakeknya sama dengan anak kandung, termasuk warisan hak dan kewajibannya baik sebagai seorang anak maupun sebagai anggota masyarakat desa adat.11

Penelitian terdahulu yang kedua telah dilakukan oleh Firnanda Arifatul Cahyani dan Dia Aisa Amelda dengan Judul “Kedudukan Perempuan Hindu dalam Sistem Pewarisan Menurut Hukum Waris Adat Bali” yang telah publish pada Jurnal Hukum Lex Generalis pada tahun 2022. Penelitian tersebut mengkaji terkait perkembangan Perempuan Bali yang masih tidak mendapatkan haknya sebagai ahli waris di dalam sistem Adat Bali serta perkembangan Perempuan Bali dapat menempuh beberapa

upaya untuk mendapatkan hak warisnya. 12 Hasil dari penelitian tersebut adalah Kedudukan perempuan Hindu dalam pewarisan hukum Adat Bali ditentukan oleh statusnya sebagai sentana rajeg atau purusa. Dengan diperolehnya status sebagai sentana rajeg, makap erempuan Hindu dalam pewarisan adat Bali dapat memperoleh harta waris dan melanjutkan kewajiban dari pewaris. Namun apabila perempuan hindu Bali tersebut bukan merupakan sentana rajeg,maka hanya berhak menikmati harta guna orang tuanya sebagai penunjangkelangsungan hidup hingga anak perempuan tersebut dipinang oleh laki-laki Hindu Bali lainnya. Adapun hal yang membedakan dua penelitian terdahulu tersebut diatas dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian yang dilakukan oleh penulis mengkaji terkait kedudukan hak waris Wanita Bali yang tidak kawin serta bagian yang dapat di terima wanita bali yang tidak kawin dalam menikmati warisan.

  • 2.    Metode Penelitian

Sesuai dengan masalah yang sedang diteliti, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif.13 Dimana penelitian hukum normatif ini metode yang juga dikenal dengan metode penelitian hukum kepustakaan, Setiap bahan hukum yang digunakan mengacu pada sistem norma yang berkaitan dengan rumusan pasal ataupun undang undang itu sendiri. Penelitian hukum normatif terdiri dari pendekatan perundang-undangan atau statute approach , pendekatan konseptual atau conceptual approach , pendekatan sejarah hukum atau Historical approach, pendekatan kasus atau case approach, dan pendekatan perbandingan atau comparative approach. 14 Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), serta pendekatan konseptual (conseptual approach). Teknik memperoleh bahan hukum digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini ada dua yaitu studi kepustakaan. Metode yang digunakan yaitu metode analisis diantaranya, teknik diskripsi, komparatif, evaluasi, argumentasi. Sumber dan bahan hukum dalam penelitian normative ini berupa bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Kedudukan Hak Waris Wanita Bali Yang Tidak Kawin

Wanita bali yang tidak kawin disebut Daha Tua. Hal yang substandi wanita dikatakan menjadi daha tua karena statusnya yang tidak melaksanakan perkawinan mencapai batas umur untuk kawin dengan adanya tanda berakhirnya kemampuan reproduksi. Jadi daha tua dapat dikatakan seorang wanita yang telah dewasa yang memiliki rentang

usia dari 50 tahun hingga telah meninggal dengan status belum pernah menikah atau kawin.15

Menurut Kamus Besar Bahasa Bali, kata Daha, berarti wanita remaja, wanita dewasa, akil balig sedangkan Tua berarti sudah tua. Dalam tradisi yang ada di Bali, wanita mempunyai peranan penting untuk memelihara ajegnya budaya-budaya di Bali yang didasari oleh ajaran agaa Hindu baik dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat.16

Berbagai kalangan di masyarakat terkadang melihat gender hanya sebatas pada perbedaan identitas seksual antara laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, gender tidak melihat perbedaan antara seksualitas laki-laki dan perempuan melainkan melihat pada kapasitas seseorang dalam melakukan kewajiban sehingga jika berbicara berkaitan dengan gender maka konsepsi gender bersifat begitu dinamis yang dikarenakan gender tidaklah dapat terlepas dari kultur masyarakatnya dalam melihat kedudukan laki laki dan perempuan.17

Masyarakat bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan berbeda-beda, mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Sistem kekerabatan tersebut berpengaruh pada sistem pewarisan masyarakat adat juga. Pembagian harta waris pada masyarakat Bali, masih sangat berkaitan dengan sistem pewarisan adatnya. Adapun secara umum sistem pewarisan yang dikenal dalam hukum adat ada tiga, yaitu: Sistem pewarisan individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan di mana setiap ahli waris mendapatkan bagian waris untukdikuasai dan dimiliki menurut bagiannya masing-masing. Kelebihan dari sistem pewarisan individual antara lain ialah bahwa denganpemilikan secara pribadi maka ahli waris dapat bebas manguasai dan memiliki harta warisan bagiannya tanpa dipengaruhi anggota keluarga yang lain. Sedang kelemahannya ialah pecahnya harta warisan dan merenggangnya tali kekerabatan yang dapat menimbulkan rasa ingin memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri; Sistem pewarisan kolektif adalah sistem kewarisan yang menentukan para ahli waris untuk mewarisi harta peninggalan secara bersama- sama, sebab harta peninggalan yang diwarisi tidak dapat dibagi kepemilikannya kepada masing-masing ahli waris. Kelebihan sistem ini adalah harta waris yang ada dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup para ahli waris untuk sekarang dan masa mendatang dan menumbuhkan sikap tolong menolong antara satu dengan yang lain. Kelemahan sistem ini adalah dapat menimbulkan rasa kesetiaan pada kerabat bertambah luntur. karena para kerabat tidak dapat bertahan mengurus kepentingan bersama itu dengan baik; Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu mayorat laki-laki (anak laki-laki

sulung sebagai ahli waris tunggal) dan mayorat perempuan (anak perempuan tertua sebagai ahli waris tunggal.

Seorang Wanita bali yang tidak kawin berkedudukan yaitu sama-sama harus melaksanakan sebagai warga Desa dalam berbagai kewajiban seperti ngayah mejejaitan, gotong royong dan ayahan lainnya. Meski demikian Wanita bali yang tidak menikah tetap mengikuti upacara di Pura.

Umumnya hukum adat bersumber dari kebiasaan yang sudah ada sejak turun temurun dan diterapkan oleh masyarakat dari jaman dahulu sampai sekarang dan merupakan suatu aturan guna untuk mengontrol tindakan masyarakat yang secara umum tidak diitulis oleh masyarakatnya tetapi bersifat memaksa dan mempunyai sanksi bagi masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan hukum adat itu sendiri.18 Salah satu hukum adat yang berlaku di Bali adalah awig-awig.

Dari awig-awig yang memuat tentang warisan untuk Wanita yang tidak kawin tidak dapat dikatakan sebagai ahli waris. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya pengaturan yg tetap dalam pasal di awig-awig. Tidak ada Wanita yang tidak kawin atau Daha tua untuk menjadi ahli waris akan tetapi tidak ada larangan bagi orang tua untuk memberikan warisan untuk anak wanitanya karena hal itu tentu dibalikan kepada orang tua masing-masing bila mana ada yang memberi warisan.

Wanita yang tidak kawin dalam kasus seperti ini bisa disebut sebagai purusa, karena sebagai pelanjut tanggung jawab dan kewajiban (swadharna) pada keluarga dan masyarakat. Apabila Wanita yang tidak kawin berstatus sebagai purusa, maka hak warisnya sejajar dengan laki-laki dan wanita yang berkedudukan sebagai purusa. Hal ini disebabkan oleh karena kewajibannya yang sama dengan laki-laki dan wanita yang berstatus purusa.

Dalam hukum adat Bali, anak perempuan/daha tua bukanlah ahli waris, hal ini sejalan dengan sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat adat Bali, yaitu Patrilineal atau kepurusa, dimana kewajiban anak laki-lakilah yang melanjutkan segala kewajiban tersebut baik yang berhubungan dengan tempat pemujaan/persembahyangan yang sering disebut dengan merajan/sanggah, segala kewajiban pawongan (kemanusiaan) lainnya dalam kaitannya dengan keluarga sebagai bagian dari masyarakat adat, serta berbagai kewajiban yang lainnya, yang berhubungan dengan orang tua/ leluhur. Perempuan dianggap kurang patut untuk mendapatkan warisan, kurang lebih karena kedudukannya tidak sebagai purusa, karena kewajiban yang dilakukan oleh perempuan/daha tua terhadap keluarga dan masyaraka ttidak seperti laki-laki yang berkedudukan sebagai purusa, sudah sewajarnyalah perempuan/ daha tua tidak mendapatkan warisan sama seperti purusa.

  • 3.2    Bagian Yang Dapat Di Terima Wanita Bali Yang Tidak Kawin Dalam Menikmati Warisan

Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri alam

pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam dalam beberapa corak. Dikatakan oleh Soepomo, bahwa hukum adat waris muat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan dan mengoperkan barangbarang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immnateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Kedua batasan tentang hukum adat waris tersebut di atas dapat dilihat adanya satu prinsip bahwa pewarisan itu terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, akan tetapi apabila diperhatikan lebih jauh, prinsip tersebut mengalami perwujudan yang berbeda manakala dihubungan dengan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat.

Masalah waris erat kaitannya dengan sistem kekeluargaan atau kekerabatan yang dianut masyarakat. Terkait hal itu, menurut Bushar Muhammad, di Indonesia dikenal tiga sistem kekerabatan yaitu sistem kekerabatan Patrilinial, Matrilineal dan Pariental. Sistem kekerabatan yaitu sistem kekerabatan patrilinel dimana system kekerabatab yang dianut masyarakat Bali yakni sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki.19 Sistem kekerabatan matrilineal yakni sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis perempuan dan sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garuis keturunan dari garis laki-laki dan perempuan. Hal senada juga dikemukakan oleh Oemarsalim, bahwa di Indonesia terdapat beragam sistem kekerabatan yakni sifat kebapaan (patriarchaat). Sifat keibuan (matriarchaat), dan sifat ke bapak-ibuan (parental)

Pada umumnya yang berhak mewarisi di Bali itu adalah anak laki-laki, karena anak laki-laki ini merupakan penerus keturunan dari ayahnya dan pewarisan di Bali mengenal istilah lempeng ke purusa yang artinya pewarisan itu hanya di tujukan kepada laki-laki dan sistem pewarisannya bersifat patrilinial. Dalam pemberian warisan kepada anak laki-laki di Bali, selain warisan benda-benda materiil dan ada juga warisan berupa imateriil seperti halnya keanggotaan masyarakat hukum adat, keanggotaan sebagai krama subak, keanggotaan dan ayahan krama adat, banjar dan lain-lain.20

Walaupun anak perempuan bukanlah merupakan ahli waris, akan tetapi ia berhak menikmati atas bagian dari harta warisan selama tidak putus haknya. Kehilangan hak menikmati dari harta warisan itu terjadi apabila anak perempuan kawin keluar. Jadi, jika kemudian anak pwanita kawin keluar, bagian yang dinikmati itu harus diserahkan kembali kepada keluarganya dan harta warisan ini tidak boleh dibawa serta masuk ke perkawinan kedudukan perempuan/daha tua juga dapat dilihat pada keputusan pengadilan sejak jaman Raad Kertha (Raad Kertha Singaraja Tanggal 19 Juli 1937 Nomor 41/Sipil) sampai jaman setelah Pengadilan negeri terbentuk (Keputusan Pengadilan Negeri Negara tanggal 29 Juni 1953 Nomor 20/Sipil), yang isinya menyatakan bahwa anak Wanita yang selama hidupnya tidak melakukan perkawinan (daha tua), haknya

untuk menikmati harta warisan tetap berlangsung selama ia masih hidup. Dengan demikian, anak wanita berhak atas bagian harta warisan keluarga, bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai barang yang dinikmati. Bagian yang berhak diterima anak wanita adalah satu berbanding dua dibandingkan dengan bagian yang diterima anak laki-laki.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya diperoleh kesimpulan bahwa untuk wanita yang tidak kawin tidak dapat dikatakan sebagai ahli waris. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya pengaturan yg tetap dalam pasal di awig-awig. Tidak ada Wanita yang tidak kawin atau Daha tua untuk menjadi ahli waris akan tetapi tidak ada larangan bagi orang tua untuk memberikan warisan untuk anak wanitanya karena hal itu tentu dibalikan kepada orang tua masing-masing bila mana ada yang memberi warisan. Dalam hukum adat Bali, anak perempuan/daha tua bukanlah ahli waris, hal ini sejalan dengan sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat adat Bali, yaitu Patrilineal atau kepurusa, dimana kewajiban anak laki-lakilah yang melanjutkan segala kewajiban. Walaupun anak perempuan bukanlah merupakan ahli waris, akan tetapi ia berhak menikmati atas bagian dari harta warisan selama tidak putus haknya. Kehilangan hak menikmati dari harta warisan itu terjadi apabila anak perempuan kawin keluar. Wanita yang selama hidupnya tidak melakukan perkawinan (daha tua), haknya untuk menikmati harta warisan tetap berlangsung selama ia masih hidup. Dengan demikian, anak wanita berhak atas bagian harta warisan keluarga, bukan sebagai pemilik.

Daftar Pustaka

Arta, I Komang Kawi, Ketut Sudiatmaka, and Ratna Artha Windari. “Realisasi Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali Terhadap Pewarisan Anak Perempuan Bali Aga Di Kabupaten Buleleng.” Jurnal Komunitas Yustisia 1, no. 1 (2018): 33–44.

Bija, I.G.N. Ratma, and Ni Nyoman Sukerti. “Hak Waris Anak Perempuan Pada Hukum Adat Bali Dalam Perspektif Gender.” Kertha Desa 9, no. 4 (2021): 42–54.

https://doi.org/ttps://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthadesa/article/view/6983 2.

Cahyani, Firnanda Arifatul, and Dia Aisa Amelda. “Kedudukan Perempuan Hindu Dalam Sistem Pewarisan Menurut Hukum Waris Adat Bali.” Jurnal Hukum Lex Generalis 3, no. 6 (2022): 448–59.

Dewi, Anak Agung Galuh Ratna Chyntia, I Wayan Wesna Astara, and I Ketut Sukadana. “Kedudukan Wanita Bali Yang Daha Tua (Tidak Menikah) Terhadap Hak Warisan Di Desa Adat Abianbase Kabupaten Gianyar.” Jurnal Konstruksi Hukum 1, no. 1 (2020): 26–31.

Dewi, Anak Agung Istri Ari Atu. “Soroti Ketimpangan Gender Daha Tua, Agung Atu: Perempuan Bali Harus Berpendidikan Tinggi.” Tribun Bali, 2019. https://bali.tribunnews.com/2019/05/18/soroti-ketimpangan-gender-daha-tua-agung-atu-perempuan-bali-harus-berpendidikan-tinggi?page=2.

Dewi, Ni Kadek Lia Listia, I Wayan Wesna Astara, and I Made Sepud. “Legitimasi Jiwa Dana Anak Perempuan Menurut Hukum Waris Adat Bali (Studi Kasus Di Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung).” Jurnal Analogi Hukum 5, no.

1 (2023): 14–20.

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. 2nd ed. Jakarta: Prenada Media Group, 2017.

Dwijanata, Anak Agung Bagus Cahya, and Ni Made Ayu Yuliartini Griadhi. “Kedudukan Hukum Anak Perempuan Yang Ninggal Kedaton Pasca Perceraian Dalam Perspektif Hukum Adat Bali.” Kertha Desa 8, no. 3 (2019): 1–15.

https://doi.org/https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthadesa/article/view/547 08.

Hadi, Syofyan. “Hukum Positif Dan The Living Law (Eksistensi Dan Keberlakuannya Dalam Masyarakat).” DiH: Jurnal Ilmu Hukum 13, no. 26 (2017).

Hadziq, Sahran. “Pengaturan Tindak Pidana Zina Dalam KUHP Dikaji Dari Perspektif Living Law.” Lex Renaissance 4, no. 1 (2019): 25–45.

Hernowo, Wempy Setyabudi, Zaid Zaid, and M Aufar Saputra Pratama Erawan. “Peran Sociological Jurisprudence Dalam Menciptakan Keefektivitasan Hukum Melalui Living Law.” Legalitas: Jurnal Hukum 13, no. 1 (2021): 44–52.

Irmawati. “Teori Belah Bambu Syarizal Abbas: Antara Teori Reception in Complexu, Teori Receptie Dan Teori Receptio a Contrario.” Petita 2, no. 30 (2017).

Putra, I Gusti Ngurah Bayu Pratama, Abdul Rachmad Budiono, and Hariyanto Susilo. “Hak Mewaris Anak Luar Kawin Berdasarkan Pengangkatan Oleh Kakeknya Menurut Hukum Waris Adat Bali.” Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan 5, no. 1 (2020): 75–84.

Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan. Bandung: Alfabeta, 2015.

Suryanata, I Wayan Ferry. “Hukum Waris Adat Bali Dalam Pandangan Kesetaraan Gender.” Belom Bahadat 11, no. 2 (2021): 46–64.

Trisnawijayanti, A A Istri Agung Nindasari, and I Dewa Gede Dana Sugama. “Mediasi Penal Sebagai Penyelesaian Perkara Alternatif Dalam Malpraktik Di Bidang Kedokteran.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9, no. 3 (2020): 1–16.

Wahid, Shinta Nuriyah Aburrahman. Perempuan Dan Pluralisme. LKIS PELANGI AKSARA, 2021.

Zulkarnain, Ilham. “Pelaksanaan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Di Keraton Surya Negara Kelurahan Ilir Kota Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau.” Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan 3, no. 4 (2015).

Peraturan Perundang-Undangan

Putusan Mahkamah Agung Nomber 4766k/Pdt/1998/1998 tertanggal 16 November 1999 tentang anak perempuan di bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris

Putusan MA No,32 K/Sip/1971 Tanggal 24 Maret 1971 Menetapkan bahwa ahli waris menurut Hukum Adat Bali adalah laki-laki.

Persamuan Agung pada tanggal 15 oktober 2010 putusan 01/KEP/PSM-3/MDP/Bali/x/2010 disepakati adanya hak waris bagi perempuan

221