JitUfeVIeMS HUMANIS


Journal of Arts and Humanities



p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 27.1. Februari 2023: 75-89

Gender dan Ekologi dalam Pendidikan Indonesia Masa Orde Baru dan Pasca Reformasi: Perspektif Ekofeminisme

Gender and Ecology of Indonesia Education in The New Order and Post-Reform Period: Ecofeminism Perspectives

Radius Setiyawan1, Holy Ichda Wahyuni2 1Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia 1, 2Universitas Muhammadiyah Surabaya, Surabaya, Indonesia Email korespondensi: [email protected], [email protected]

Info Artikel


Masuk: 1 Desember 2022

Revisi: 24 Januari 2023

Diterima: 9 Pebruari 2023

Terbit: 28 Pebruari 2023

Keywords: Gender; Ecology; education; new orde; reformation


Kata kunci: Gender; Ekologi;

Pendidikan; Orde Baru;

Reformasi

Corresponding Author:

Nama: Radius Setiyawan

Email:

[email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

23.v27.i01.p08


Abstract

Gender and ecological issues are still a serious problem in Indonesia. This is evidenced by the high rate of violence against women and natural damage that occurs. Education is one sector that has the task of building gender and ecological awareness for every generation. Education has a periodization in the course of Indonesian history. This study aims to examine the value of ecological and gender education in the implementation of education during the New Orde and after reform eras. These two periods directly had a significant impact on gender and ecological education in Indonesia. The methodology in this study uses the library method using an ecofeminism perspective. This study is deliberately limited to only two periods of power, New Order and the Reformation Order. This was done so that this study could be focused and in-depth. The study in this paper will focus on explaining how gender and ecological awareness in education in Indonesia was socialized and internalized, both during the New Orde and after reformation eras.

Abstrak

Persoalan gender dan sekaligus ekologis masih menjadi persoalan yang serius di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan masih banyaknya kerusakan alam yang terjadi. Pendidikan adalah salah satu sektor yang mempunyai tugas membangun kesadaran gender dan ekologi kepada setiap generasi. Pendidikan memiliki masa periodesasi dalam perjalanan sejarah Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah nilai pendidikan ekologi dan gender pada pelaksanaan pendidikan masa orde baru dan pasca reformasi. Kedua masa tersebut secara langsung mempunyai dampak yang signifikan terhadap pendidikan gender dan ekologis di Indonesia. Metodelogi dalam kajian ini menggunakan metode kepustakaan dengan menggunakan perspektif ekofeminisme,. Kajian ini sengaja dibatasi hanya pada dua masa kekuasaan yakni orde baru dan orde reformasi. Hal tersebut dilakukan agar kajian ini

bisa fokus dan mendalam. Kajian dalam tulisan akan berfokus untuk menjelaskan bagaimana kesadaran gender dan ekologi dalam pendidikan di Indonesia disosialisasi dan diinternalisasikan, baik pada masa orde baru maupun pasca reformasi.

PENDAHULUAN

Persoalan yang hingga kini masih relevan untuk dibahas dalam konteks Indonesia, adalah terkait kesadaran gender dan ekologi. Kesadaran gender mengarah pada pembahasan sikap dan pandangan ketidakadilan atas dasar perbedaan jenis kelamin dan preferensi seks (Evans, 2015). Sementara kesadaran ekologis mengarah pada sebuah metode dalam revitalisasi relasi antara manusia dan alam (King, 1989).

Istilah gender dan ekologis menjadi satu keterkaitan dalam upaya pemeliharaan alam semesta. Oleh sebab pertautan tersebut, relasi gender dinilai memberikan kontribusi yang cukup signifikan di dalam mewujudkan perlindungan lingkungan hidup. Sebuah kajian yang dilakukan oleh Karen J. Warren tentang "perempuan telah dialamkan” dan “alam telah diperempuankan” menunjukkan sebuah cara berpikir patriarki yang hierarkis, dualistik, dan berdasarkan logika dominasi, cara pandang tersebut telah merugikan alam dan perempuan (Tong, 2009).

Alam yang diperempuankan, seperti dalam istilah-istilah "lingkungan diperkosa", "hutan perawan" dan "Ibu Bumi". Sementara istilah perempuan telah dialamkan bisa dilihat dari istilah bitch dalam bahasa Inggris yang berarti anjing betina maupun perempuan pekerja seksual. Istilah "ayam kampus" juga familiar terdengar yang dimaknai sebagai mahasiswi yang juga berprofesi sebagai pekerja seksual. Istilah “jinak-jinak merpati" sejak dulu cukup terkenal di masyarakat yang merujuk pada perempuan kalem namun sesungguhnya liar.

Hal ini seolah tampak biasa saja, namun jika ditilik kembali muncul

anggapan bahwa feminisasi alam ataupun perempuan yang dialamkan dapat menjadi klaim bahwa perempuan, melalui analogi ini bisa menjadi satu kategori dengan alam sebagai pihak yang dapat dikuasai. Sederhananya, apa yang bisa dilakukan terhadap alam, bisa juga dilakukan terhadap perempuan.

Salah satu metafor yang secara jelas mengaitkan antara perempuan dan alam

adalah metafor “Ibu berpendapat bahwa penyebab munculnya Bumi” yakni ibu

Bumi”. Gaard terdapat dua metafora “Ibu diekspektasikan


menjadi pihak yang tidak mementingkan dirinya sendiri, pihak yang murah hati dan pihak yang memelihara, serta bumi yang dianggap feminin sangat bergantung pada manusia yang maskulin.

Merujuk pada konteks sejarah

Indonesia, persoalan gender dan ekologis masih menjadi persoalan yang serius, baik dalam konteks kebijakan maupun budaya. Di Indonesia, kedua persoalan tersebut muncul salah satunya karena didorong oleh cara pandang negara dalam konteks pembangunan (develomentalisme) pada masa orde baru yang dianggap menegasikan gender dan alam. Dalam konteks budaya saja, karya sastra pada masa itu menggambarkan peranan dan keberadaan perempuan cenderung terabaikan. Hasil kajian yang dilakukan Junus pada tahun 1984 tentang perkembangan karya sastra di Indonesia hingga tahun 1970-an, menunjukkan tidak terdapat pembahaasan tentang seniman perempuan beserta karya-karyanya, terutama dalam sastra tertulis seperti novel (Apriyani & Karimah, 2022).

Dibandingkan dengan masa orde lama, catatan tentang persoalan gender dan ekologis terutama dalam dunia pendidikan relatif susah ditemukan. Meskipun begitu bukan berarti di masa tersebut tidak terdapat gagasan yang mengaitkan antara alam dan perempuan. Seokarno dalam bukunya menjelaskan titik hubung yang menemukan antara hubungan perempuan dan alam. Soekarno bahkan mengindikasikan alam dengan kesamaan-kesamaan reproduksional misalnya mother earth (ibu bumi), pertiwi, dan sebagainya. Soekarno menggambarkan betapa dekatnya kuasa dan pengelolaan lahan awalnya diperankan oleh perempuan. Pada zaman purba perempuan merupakan penentu dalam pengelolaan lahan dan alam yang ditujukan bagi kebutuhan keluarga atau koloninya (Soekarno, 1951).

Sebenarnya di sebagian daerah, peranan perempuan di luar sektor domestik sudah mulai ada, meski jarang disorot dan ditampakkan. Seperti pada masa revolusi fisik di Bali. Pergolakan pada masa revolusi tersebut bukan hanya melibatkan golongan elite pemuda pejuang, dari organisasi kemiliteran dan organisasi sipil sosial politik, tetapi juga melibatkan kaum perempuan yang menempati posisi-posisi vital dan startegis (Sukiada et al., 2021).

Implikasi dari hal tersebut adalah perempuan seringkali menjadi korban utama dari kerusakan alam. Kajian klasik Ester Boserup dalam bukunya berjudul Women’s Role in Economic Development menyatakan bahwa pembangunan seringkali berdampak negatif terhadap perempuan (Boserup, 1984). Kerusakan alam menjadi penyebab dalam menghasilkan kembali ketidaksetaraan ekonomi, politik, dan sosial berdasarkan gender (Haug et al., 2017). Meningkatnya ketidaksetaraan gender tercermin dari bagaimana perempuan dibatasi haknya dalam

mengakses kontrol atas tanah, air dan uang, serta statusnya dalam komunitas yang menurun. Hal tersebut disebabkan oleh perempuan yang lebih banyak ditempatkan di ranah domestik.

Gambaran atas kerusakan alam dan ketimpangan gender dapat diperbaiki salah satunya melalui penghargaan pada perempuan yang memiliki kecenderungan untuk merawat bumi. Dengan menghormati perempuan, implikasi kehidupan alam lestari, aman, dan berkesinambungan dengan dapat tercapai. Upaya untuk memberi penghormatan dan penghargaan pada perempuan dan alam salah satunya melalui pendidikan ekologi dan gender di sekolah. Apa yang terjadi atas alam dan relasi gender harus diakui berkaitan erat dengan bagaimana pendidikan di sebuah negara. Selain negara membuat kebijakan yang tepat, melalui pendidikan gender dan ekologis, karakter warga negara atas alam dan gender akan ditumbuhkan.

Pendidikan adalah media strategis dalam upaya-upaya membangun kesadaran. Freire memberikan gambaran bahwa kesadaran dan penyadaran merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan. Freire juga menggagas pendidikan pembebasan bagi mereka-mereka yang tertindas melalui konsepsi dialog, komunikasi dan analisa kritis realita (Freire, 2010).

Salah satu contohnya adalah pada penelitian yang memperlihatkan rasa empati anak pada ekologi cenderung meningkat setelah mengikuti pelatihan REDE (The Respekt Empati Djur Etik). Penelitian ini dilakukan di Swedia. REDE adalah sebuah program untuk mengembangkan empati anak, dan kepedulian terhadap sesama, serta menghargai binatang dan alam (Angantyr et al., 2016). Apa yang terjadi di Swedia menjadi contoh tentang pentingnya pendidikan ekologi secara khusus. Oleh karena itu, pendidikan ekologi, dan

sekaligus juga gender, dapat memainkan peran penting dalam mempengaruhi sikap dan dan perilaku masyarakat terhadap perempuan dan lingkungan.

Masa orde baru menunjukkan bagaimana kondisi lingkungan yang kerapkali dieksploitasi secara besar-besaran tanpa memperhatikan dampak kerusakan ekologis. Mansour Faqih pada tahun 2019 menyuarakan bahwa orde baru terang-terangan mengadopsi gagasan modernitas ala W. W. Rostow dengan the stages of economic growth, yang kemudian dituangkan dalam kebijakan Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Konsekuensi dari diadopsinya gagasan modernitas tersebut adalah dikembangkannya industri dalam skala masif. Dalam rangka mendukung kebijakan tersebut, berbagai sumber daya alam dieksploitasi sedemikian rupa demi pesatnya industrialisasi (Fakih, 2006).

Merujuk pada konteks pendidikan ekologi masa orde baru tahun 1978, di tingkat dasar dan menengah membahas tentang hubungan kepadatan penduduk dan dampaknya pada lingkungan. Bahwa, peningkatan jumlah penduduk dikaitkan pada penyebab utama kemiskinan (Nomura, 2009). Buku yang memuat panduan lingkungan hidup untuk guru sekolah dasar juga mulai diterbitkan. Dibentuk pula Pendidikan Pertumbuhan Penduduk mulai tahun 1976 dan dinamai kembali sebagai populasi dan proyek pendidikan lingkungan tahun 1978 dan ternyata produk orde baru tersebut direproduksi kembali tahun 2004. Bahkan hingga saat ini, pendidikan lingkungan masih belum menjadi mata pelajaran independen dan masih terintegrasi dengan mata pelajaran lain serta ekstrakurikuler kepanduan (pramuka).

Memasuki era pasca reformasi, persoalan ekologis dan gender masih belum banyak berubah. Siahaan dalam sebuah penelitian mengambarkan bagaimana negara mempolitisasi gender

secara intensif dengan cara mereproduksi citra 'perempuan yang baik' hanya sebagai ibu dan istri dalam kebijakan dan strategi pembangunannya. Di era awal reformasi, warisan ideologi gender orde baru belum banyak berubah. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks eksploitasi alam (Siahaan, 2003)

Era pasca reformasi sejak runtuhnya orde baru dengan desentralisasi politik diragukan membawa dampak positif terhadap eksploitasi alam. Pada kurun waktu periode reformasi 1998 hingga tahun 2015, diketahui angka deforestasi masih sangat tinggi, yaitu 3,52 juta hektar/tahun pada periode 1997-2000; dan 1,09 juta hektar/tahun pada tahun. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai penyumbang emisi gas karbon terbesar keenam di dunia (Indonesia, 2018).

Pendidikan gender era pasca reformasi harus diakui terjadi perubahan. Orde baru yang sebelumnya miskin representasi gender ketika reformasi mulai mengakomodasi identitas perempuan. Hal paling tampak adalah representasi figur dalam buku teks kurrikulum 2013 yang bukan hanya didominasi oleh laki-laki (Republika, 2014). Namun hal tersebut masih bersifat simbolik, bukan paradigmatik.

Berangkat dari penjelasan di atas atas, penelitian ini akan mencoba melihat keterkaitan antara ekologi dan gender dalam pendidikan di Indonesia dari masa orde baru hingga pasca reformasi. Dengan menggunakan perspektif ekofeminisme, gambaran kondisi kesadaran gender dan ekologis dalam pendidikan akan diurai dalam penelitian ini. Kedua masa tersebut catatan tentang gender dan ekologis dalam dunia pendidikan mudah kita temukan jika dibanding dengan masa orde lama. Atas dasar hal tersebut kajian ini hanya berfokus pada masa orde baru dan pasca reformasi.

METODE DAN TEORI

Metode kajian dalam penelitian ini menggunakan metode kepustakaan. Beberapa dokumen dan kajian terdahulu yang berkaitan dengan tema berusaha dihimpun dalam tulisan. Kajian ini berfokus pada gender, ekologi dalam pendidikan di Indonesia dengan menjadikan masa orde baru dan pasca reformasi (1998-2020) sebagai lokus kajiaannya. Dokumen yang relevan dalam kajian ini diidentifikasi secara kritis melalui pendekatan perspektif feminisme. Data sekunder dikumpulkan dengan mengidentifikasi jurnal, buku, makalah atau artikel dan atau informasi terkait yang relevan. Adapun langkah yang diambil ialah dengan identifikasi umum dari sumber yang berkaitan, literatur yang relevan dan sumber lain yang saling menguatkan.

Zed menjelaskan bahwa sebuah kajian yang menggunakan metode studi pustaka setidaknya ada empat ciri utama yakni: Pertama, peneliti bersentuhan langsung dengan teks atau data angka, bukan dengan pengetahuan langsung di lapangan. Kedua, data pustaka bersifat “siap pakai” artinya peneliti tidak terjun langsung ke lapangan. Ketiga, bahwa data pustaka umumnya adalah sumber sekunder, peneliti memperoleh bahan atau data dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari data pertama di lapangan. Keempat, bahwa kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu (Zed, 2003). Data ditafsirkan dan dianalisis secara deskriptif, prosesnya melibatkan kutipan dan pemrosesan data untuk memberikan tinjauan secara utuh dengan mengaitkan antara gender, ekologis dan pendidikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pendidikan Masa Orde Baru: Bias Gender dan Tidak Ramah Ekologis

Bagian ini akan menjelaskan secara detail bagaimana kondisi pendidikan gender dan ekologi di masa orde baru.

Orde baru memiliki ciri khas totaliter dalam mengorientasikan semua hal pada pembangunan. Nisbet dalam tulisannya menjelaskan bahwa pembangunan atau yang lebih dikenal dengan paham developmentalisme sebagai buah gagasan tentang perubahan sosial. Perubahan sosial ala developmentalisme ini baru mulai dikenal pasca Perang Dunia II, yaitu dengan dikeluarkannya doktrin Truman. Dengan adanya doktrin tersebut maka mulailah terjadi polarisasi konsep antara negara maju dan juga negara terbelakang. (Nisbet, 2004).

Indonesia sebagai negara berkembang termasuk menjadikan pembangunan sebagai orientasi utama. Dalam konteks pembangunan di masa itu, tidak ada negara yang benar-benar otonom. Ketergantungan kepada pihak luar begitu besar. Ketergantungan ini kemudian harus diperkuat dengan lembaga internasional yang mendukung seperti WTO, IMF dan World Bank. Pembangunan dimaknai sebagai upaya perubahan masyarakat dari tradisional menuju masyarakat modern, sehingga orientasi pembangunan hanyalah pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung tuntutan pertumbuhan ekonomi ini, pemerintah kemudian melakukan eksploitasi berbagai sumber daya alam yang dimiliki.

Contoh eksploitasi yang terjadi di sektor kehutanan, adalah pengelolaan hasil hutan dan penebangan di Indonesia sampai dengan awal tahun 1980-an dijual dalam bentuk kayu gelondongan. Angkanya juga cukup tinggi yakni mencapai lebih dari 70% total hasil kayu hutan Indonesia. Pendapatan Indonesia dari penjualan kayu log tersebut juga menunjukkan hasil yang fantastik. Pada tahun 1966 menghasilkan 6 juta US dolar dan pada tahun 1974 bertambah menjadi 564 juta US dolar. Bahkan mencapai 2,1 miliar US dolar di penghujung tahun 1979 (Indonesia, 2018).

Akibat dari hal tersebut adalah ekploitasi hutan secara membabi buta. Berdalih pembangunan hal tersebut menjadi sesuatu hal yang wajar dan negara turut memberi legitimasi. Tentu saja hal ini tanpa pertimbangan jangka panjang terhadap keberlangsungan alam.

Kondisi pada masa orde baru tersebut didukung oleh iklim pendidikan sebagai sistem yang kurang kritis terhadap kondisi yang terjadi. Dalam konteks pendidikan sebagai sistem, masih menganut cara pandang developmentalisme. Cara pandang tersebut selanjutnya disesuaikan dengan menghadirkan prinsip link and match (kesesuaian dan kesepadanan). Kiblat sistem pendidikan pada masa orde baru di Indonesia hanya bergantung penuh dan mutlak dari kebijakan pemerintah. Perspektif kritis diabaikan. Perspektif kritis hakikatnya memiliki peranan sebagai counter-hegemony dari sistem (kebijakan) yang diterapkan oleh pemerintah yang sama sekali tidak mempertimbangkan aspek sosial dan budaya dari manusia yang menjalani kebijakan tersebut (Wahyono, 1997).

Hal tersebut menegaskan bahwa sistem sistem pendidikan pada masa itu memiliki andil melanggengkan kebijakan pemerintah yang tidak ramah terhadap lingkungan. Pendidikan hanya menjadi instrument pemerintah untuk memproduksi lahirnya aktor-aktor sebagai alat kepentingan rezim pembangunan. Seperti yang tertuang dalam MPRS No XXIIMPRS/1966 yang menandai berubahnya pendidikan nasional dari Orde Lama menuju ke Orde Baru. Tap MPRS ini membentuk pola dan ciri khas dalam pendidikan nasional yang berorientasi pada pembentukan manusia secara pancasilais sejati pasca Gerakan 30 September atau 1 Oktober. Kemudian yang kedua adalah mengubah mental masyarakat yang penuh doktrin-doktrin Manipol USDEK, yang merupakan kebijakan orde lama,

khususnya dalam sektor pendidikan (Rifa’e, 2011).

Pendidikan sebagai sebuah sistem dan pranata yang selama ini dianggap netral dan suci seharusnya banyak bersuara terhadap persoalan pelestarian lingkungan. Jika pendidikan abai terhadap pentingnya pelestarian lingkungan maka bisa dipastikan akan terjadi ekploitasi alam yang membabi buta dan tidak bertanggungjawab.

Pendidikan sebagai institusi yang mampu menumbuhkan kesadaran ekologis dan menjadi institusi kritis atas kebijakan pemerintah dalam masa orde baru terbukti gagal dalam menjalankan fungsinya. Secara empiris pendidikan pada masa orde baru memang terkesan reduksionis terhadap nilai-nilai pelestarian ekologis.

Fakta lain dipaparkan oleh Lyn Parker, dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa pada tahun 1970 saat orde baru berkuasa, kesadaran pentingnya menjaga lingkungan sudah muncul di kampus. Mahasiswa saat itu membentuk gerakan lingkungan. Mereka membentuk Pusat Studi Lingkungan, berkolaborasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mulai terbentuk juga disiplin-disiplin baru di beberapa departemen dan kajian akhir mahasiswa, baik dari ruang lingkup sains dan humaniora, banyak pula yang berpusat membahas isu lingkungan. Namun di lapangan motor utama gerakan lingkungan tersebut bukanlah dari institusi perguruan tinggi melainkan LSM (Parker, 1993).

Pemerintah masa Soeharto sengaja melibatkan LSM yang saat itu anggotanya terdiri dari mantan aktivis mahasiswa dan masyarakat sipil. Namun negara tetap membatasi pergerakan mereka. Masalah pelanggaran lingkungan oleh salah satu perusahaan merebak, namun ironisnya protes para aktivis ini dalam pencabutan izin menuai kegagalan (Parker, 2018).

Gambaran tersebut menegaskan bahwa pendidikan lingkungan pada masa orde baru tidak bisa berjalan optimal dan cenderung simbolik. Pembatasan-pembatasan dilakukan demi visi pembangunan yang telah dicanangkan.

Selain persoalan ekologi, implikasi dari cara pandang negara yang berorientasi pembangunan adalah peminggiran terhadap perempuan. Boserup dalam bukunya menegaskan hal tersebut (Boserup, 1984). Pembangunan mempunyai dampak yang negatif terhadap perempuan. Hal tersebut disebabkan oleh pembagian kerja yang tidak proporsional.

Hal tersebut juga mempunyai implikasi terhadap pendidikan di Indonesia. Kesadaran gender dalam dunia pendidikan masa orde baru relatif rendah. Dalam sebuah penelitian dijelaskan bahwa ideologi negara pada masa orde baru juga memunculkan istilah bapak-ibuisme yang menempatkan “bapak” sebagai sumber kekuatan primer kekuasaan dan “ibu” sebagai perantara kekuasaan tersebut. Bapakisme memimpin kekuasaan formal, sementara ibuisme memimpin kekuasaan informal.

Menurut Julia, dalam negara berideologi, perempuan didefinisikan seturut relasinya dengan laki-laki: sebagai istri, ibu, atau keduanya. Julia Suryakusuma menyebut state ibuism menitikberatkan paham paternalistik dan memposisikan laki laki sebagai elemen utama dari negara sementara perempuan merupakan elemen sekunder yang cukup berkiprah di dalam keluarga dan digambarkan jauh dari kehidupan politik yang berkenaan dengan kebijakan negara (Suryakusuma, 1996).

Hal tersebut diperkuat Hatley bahwa orde baru mengembangkan kebijakan depolitisasi sistematis peran dan posisi perempuan Indonesia. Soeharto menempatkan diri sebagai bapak pembangunan dan pengabdian kaum perempuan baik sebagai ibu maupun istri

dalam pembangunan menjadi sebuah keharusan (Barbara, 1997).

Kondisi tersebut tentunya mempunyai implikasi terhadap pendidikan Indonesia kala itu. Shiraishi dalam bukunya menegaskan bahwa pendidikan pada era orde baru menempatkan Soeharto sebagai supreme father Indonesia. Laki- laki dianggap lebih superior. Hal tersebut bisa dilihat dari kebijakan hingga konten-konten dalam buku pelajaran di sekolah pada masa itu (Shiraishi, 1997).

Akbar dalam penelitiannya menjelaskan hal yang serupa. Tergambar bahwa orde baru memfasilitasi pengetahuan yang mereduksi peran perempuan ke ruang domestik, anti-kesetaraan gender, dengan menampakkan eksploitasi tubuh, komodifikasi tubuh perempuan, dan legitimasi perempuan sebagai properti. Orde baru juga melanggengkan dominasi laki-laki yang berada di garda depan, pada ruang publik. Sehingga, dominasi laki-laki pada masa orde baru itu menjadi ideologi yang tercermin dalam berbagai ekpresi kebudayaan termasuk gambar dan artefak media yang diejawantahkan dalam buku pelajaran dan (poster) film (Akbar, 2021).

Gambaran di atas menegaskan bahwa pendidikan pada masa orde baru memposisikan perempuan dalam level yang tidak setara. Sistem sekolah nasional digunakan untuk menanamkan gagasan negara tentang feminitas dan maskulinitas pada siswanya. Gadis-gadis muda berorientasi pada karir masa depan mereka sebagai ibu dan istri (Parker, 1993). Kendati demikian, terdapat program pendidikan yang diluncurkan pemerintah orde baru melalui program Sekolah Dasar Inpres (SDI) di daerah terpencil pada pertengahan tahun 1970 serta dicanangkannya wajib belajar minimal 6 tahun pada tahun 1973. Sehingga, melalui program tersebut, paling tidak pendidikan masa orde baru

masih memberikan aksesibilitas pendidikan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Sehingga rata rata tingkat pendidikan untuk perempuan umur 7 sampai 12 tahun mengalami peningkata dari 83% pada tahun 1980 menjadi 94% pada tahun 1995 (Shiraishi, 1997).

Gambaran kondisi pendidikan orde baru di atas, diketahui persoalan ekologis dan gender secara langsung berkaitan erat dalam konteks pengabaian negara terhadap eksistensi keduanya. Kedua persoalan tersebut merupakan buah dari cara pandang pembangunan (developmentalisme) orde baru.

Cara berpikir dominan yang cenderung eksploitatif terhadap alam dan merugikan perempuan pada masa orde baru, menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana transformasi nilai yang mengawetkan paham tersebut. Braidotti melakukan kritik yang kuat terhadap konstruksi sains yang dianggap sangat reduksionis. Dia beranggapan bahwa perempuan lebih dekat pada sumberdaya alam ketimbang laki-laki. Mereka memandang adanya suatu hubungan antara dominasi laki-laki terhadap sumberdaya alam dengan dominasi laki-laki terhadap sumberdaya perempuan. Itu sebabnya dalam ekofeminisme ada dua dikotomi. Yakni alam dan kebudayaan. Laki-laki dihubungkan dengan kebudayaan dan perempuan dihubungkan alam (Braidotti et al., 1994). Cara pandang tersebut menguatkan bahwa antara alam dan gender mempunyai keterkaitan.

Fakta lain, menunjukkan bahwa pembangunan telah terbukti membuat kedua hal di atas (perempuan dan alam) mengalami eksklusi. Hal tersebut diperkuat oleh Shiva (1989) yang menyatakan bahwa pembangunan didominasi oleh model pembangunan barat, seperti yang terjadi di Indonesia masa orde baru. Dengan sistem patriarki yang dilandaskan pada sistem sains dan

teknologi yang reduksionis dalam menciptakan pasar global telah menghancurkan perempuan, alam dan orang-orang non-barat (Wulan, 2007).

Pendidikan yang seharusnya mampu membangun kesadaran kritis atas kondisi sosial malah berfungsi sebaliknya pada masa orde baru. Pendidikan menjadi alat negara untuk menciptakan penghancuran terhadap alam dan perempuan. Warren dalam Wulan yang menjelaskan bahwa masyarakat kita dibentuk oleh nilai, kepercayaan, tingkah laku dan pendidikan. Dalam konteks ekofeminisme, Warren menspesifikasi lebih jauh asumsi dasar dari keterkaitan antara gend(Warren, 1996)er dan ekologi. Di antaranya: (1) Ada keterkaitan penting antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. (2) pemahaman terhadap alam dalam keterkaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. (3) teori dan praktik feminis harus memasukkan perspektif ekologi, dan (4) pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminis (Warren, 1996).

Asumsi dasar Warren di atas dalam konteks Indonesia bisa kita lihat melalui ideologi pembangunan yang memposisikan alam dan perempuan dalam posisi terpinggirkan. Ketika alam diekploitasi sedemikian mungkin dan bencana terjadi. Maka dalam konteks kerentanan, perempuan adalah subjek yang paling dirugikan. Hal tersebut bisa kita buktikan dalam banyak penelitian.

Salah satunya dalam sebuah penelitian dijelaskan bahwa jika kemajuan pendidikan terhambat maka bisa berakibat peningkatan korban jiwa 20% per decade dalam bencana alam. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa memperluas akses ke pendidikan lebih efektif dalam mengatasi efek perubahan iklim daripada investasi di bidang infrastruktur seperti proyek

dinding laut dan sistem irigasi. Pendidikan kaum perempuan mengurangi korban jiwa terkait bencana alam telah terbukti efektif. Masyarakat yang menghadapi risiko paling besar dari peristiwa yang berkaitan dengan iklim umumnya hidup di negara dengan tingkat pencapaian pendidikan rendah dan tidak setara (UNESCO, 2016).

Relasi yang tidak setara dalam konteks gender berakibat langsung kepada korban jiwa, terutama anak dan perempuan. Selain itu juga, keterkaitan antara alam dan perempuan menjadi relevan mengingat faktor penyebabnya yang berakar dari dominasi yang tidak setara. Yakni cara pandang antroposentris maupun patriarkal. Indonesia melalui ideologi pembangunan terbukti memposisikan alam dan perempuan secara tidak adil. Keterkaitan tersebut yang membuat menghadirkan perspektif ekologis dan feminis secara bersamaan menjadi relevan dan penting untuk memperoleh gambaran masalah yang komprehensif.

Pendidikan Pasca Reformasi (19982020) dan Kondisi yang Tidak Jauh Berubah

Setelah orde baru jatuh, kondisi sosial masyarakat tidak berubah secara signifikan. Terutama terkait pendidikan ekologi dan gender. Dalam konteks makro kebijakan ekologis, cara pandang negara tidak terlalu jauh berubah. Catatan Walhi di tahun 2018 menyebutkan bahwa pemerintah memang melakukan perubahan pola pengelolaan lingkungan dengan menetapkan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemunculan UU ini diyakini akan lebih peduli pada lingkungan. Namun, persoalan yang sama muncul ketika terjadi asinkronisasi antara Peraturan Daerah atau kebijakan Pemerintah Daerah dengan UU tersebut. Contohnya orientasi pembangunan yang tetap

mengedepankan pencapaian pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan membuat spirit UU No. 32 tahun 2009 menjadi tidak bermakna.

Munculnya persoalan antara aspek kelestarian lingkungan dan aspek ekonomi, dapat dipastikan bahwa pertimbangan utama yang digunakan adalah ekonomi. Maka, tidak mengherankan jika kondisi tersebut kemudian memicu timbulnya konflik di masyarakat. Berdasarkan data Walhi, pada tahun 2017 lima urutan teratas pemicu konflik di masyarakat adalah problem pencemaran, pertambangan, kehutanan, perikanan, dan perkebunan (Walhi, 2018).

Kebijakan pendidikan lingkungan berdasarkan temuan Parker menuai fakta bahwa pendidikan lingkungan atau environmental education (EE) di Indonesia berjalan lambat, tidak memuaskan dan hanya bersifat sementara. EE lebih cenderung bersifat politis dan sangat tidak efektif (Parker, 2018).

Penelitian yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia ini menjadi catatan penting untuk pendidikan lingkungan di Indonesia yang masih mengkhawatirkan. Perubahan kekuasaan tidak secara cepat merubah kesadaran ekologis, terutama dalam sektor pendidikan. Selain itu juga, Parker dalam penelitian yang lain menjelaskan bahwa program eco school, adiwiyata dan pendidikan lingkungan telah membentuk kesadaran para pelajar dan identitas mereka yang membuat diri mereka mengindentifikasikan diri sebagai aktor pro lingkungan atau environmentalist sebanyak 90 %.

Survei ini dilakukan di dua lokasi, yakni Surabaya dan Yogyakarta dengan 1.000 responden. Para pelajar ini mengangap masalah utama yang dihadapi secara lokal adalah sampah sedangkan pada level nasional dan internasional adalah polusi. Studi ini lebih jauh

menunjukkan bahwa bagi para pelajar yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan krisis ini di tingkat lokal hingga global, adalah masyarakat bukan pemerintah (Parker, 2018).

Cara pandang tersebut tentunya menjadi persoalan serius dalam konteks pendidikan ekologis. Persoalan yang harusnya menjadikan negara sebagai salah satu variable penting ternyata tidak disebutkan. Nalar berfikir kritis kepada negara tidak jauh bergerak dari cara pandang orde baru. Fakta empiris tersebut menjelaskan bagaimana kondisi kesadaran lingkungan di Indonesia belum terlalu signifikan mengalami perubahan.

Selain persoalan ekologis, persoalan gender juga tidak banyak berubah. Negara melalui kurikulum 2013 menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia ingin keluar dari dominasi ideologi orde baru. Contoh yang paling nampak bisa kita lihat pada buku tematik Sekolah Dasar (SD) yang menunjukkan upaya menghadirkan perempuan secara setara dengan laki-laki.

Habibullah dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kehadiran perempuan dalam buku teks sekolah kurrikulum 2013 banyak mengakomodasi perempuan. Tetapi tetap saja relasinya tidak setara, perempuan banyak menjadi pelengkap dalam narasi buku tersebut (Habibullah, 2015).

Hal yang sama ditemukan pada buku teks bahasa Inggris yang mengalami kemajuan karena telah merepresentasikan perempuan lewat beragam profesi tetapi dominansi aktor utama dalam teks diperankan oleh laki-laki (Maufiroh & Lukmana, 2020). Dalam penelitian yang lain, Assadullah menemukan bahwa bias gender ditemukan pada buku pelajaran di sekolah Indonesia. Penelitian tersebut dilakukan di empat negara mayoritas muslim, seperti: Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Bangladesh. Buku pelajaran di Indonesia memang

menampilkan kedua gender secara lebih setara dibandingkan ketiga negara lainnya, terutama Pakistan dan Bangladesh, tetapi dalam relasinya masih menunjukkan banyak bias terkait peran gender yang ditampilkan (Islam & M. Niaz, 2018). Perempuan tetap mengalami domistifikasi dan eksklusi.

Hal tersebut senada dengan penelitian Setiyawan, Lestari (2020) dalam konteks cerita sastra yang banyak digunakan di sekolah. Cerita anak yang bergenre folklore nusantara seperti Sangkuriang, Timun Emas, Bawang Merah Bawang Putih memiliki tendensi untuk menanamkan karakter tidak adil gender. Perempuan cenderung digambarkan berdasarkan standar kecantikan tertentu serta selalu mendapatkan domestifikasi (Setiyawan & Lestari, 2020).

Cerita tersebut merupakan cerita yang popular sejak orde baru dan tetap saja tidak mengalami perubahan yang berarti setelah bertahun-tahun reformasi. Kondisi tersebut menjelaskan bahwa kesadaran gender pada masa reformasi hingga kini belum ada perubahan yang signifikan. Beberapa kajian di atas memang lebih banyak menjadikan buku teks sekolah sebagai subjek penelitian. Hal tersebut relevan karena buku teks sekolah buatan pemerintah merupakan alat ideologisasi yang efektif. Buku teks sekolah merupakan Ideological State Apparatus (ISA).

Gambaran di atas tentunya memberikan gambaran bahwa pendidikan ekologi dan gender era pasca reformasi juga belum berjalan secara maksimal. Pendidikan ekologi dan gender seharusnya mempunyai orientasi membentuk karakter yang tidak eksploitatif dan diskriminatif. Dalam konteks tersebut ekofeminisme sebagai perspektif kritis menjadi relevan digunakan untuk membangun kesadaran gender dan ekologis dalam sektor pendidikan. Kondisi aktual tentang

gender dan ekologis yang mengkhawatirkan tersebut penting untuk mendapatkan perhatian dari banyak pihak.

Merujuk pada konteks sejarah, Shiva dan Mies (2005) menjelaskan bahwa ekofeminisme menjadi perspektif yang popular pada 1980. Hal tersebut terjadi karena adanya pengerusakan lingkungan dan terjadinya bencana alam. Di Three Mile Island melakukan konferensi di Amerika Serikat pada kaum perempuan untuk ikut terlibat dalam konferensi kaum ekofeminisme pertama. Konferensi ini dilakukan pada bulan Maret 1980 di Amherst. Dalam konferensi tersebut membahas tentang kaitannya dengan feminisme, militerisasi, pemulihan, dan ekologi (Shiva, V & Mies, 2005).

Ekofeminisme masuk seiring dengan kesadaran akademisi akan perspektif feminisme. Ekofeminisme banyak digunakan sebagai perspektif kritis untuk menganalisa sebuah karya sastra. Korelasi ekofeminisme dengan sastra kemudian dikenal dengan green literature atau sastra hijau, salah satunya digagas oleh komunitas Raya Kultural (Suryaman et al., 2017).

Gerakan ini memang lebih lambat dari gerakan sastra hijau di dunia yang justru dimulai sejak munculnya komunitas akademis Association for the Study of Literature and Environment (ASLE) telah lebih dulu memulainya pada tahun 1992 Gaard (2009). Istilah ini erat kaitannya dengan munculnya perspektif ekokritisme yang memiliki landasan rasa cinta pada bumi sebagai alat menyusun narasinya. Secara penyusunan bahasa, sastra hijau memiliki berbagai kriteria di antaranya: (a) mengandung diksi ekologis, melawan ketidakadilan atas perlakuan sewenang-wenang terhadap bumi, dan ide pembebasan bumi dari kehancuran. Dengan kata lain, sastra hijau menjadi media untuk merawat alam dan isinya termasuk sebagai pengingat atas

ketamakan manusia mengeksploitasi alam (Gaard, 2009).

Kondisi menggambarkan belum memuaskan dalam konteks kesadaran gender dan ekologis dalam pendidikan Indonesia. Sudah saatnya Indonesia memperhatikan bagaimana pendidikan ekologi dan gender didesign dalam kebijakan pemerintah. Mies dan Shiva menawarkan perspektif subsistensi sebagai kunci untuk menghentikan semua praktik dan sistem yang mengancam keberlangsungan hidup bumi. Persepektif tersebut relevan dikaitkan dengan kurikulum pendidikan di Indonesia. Kerangka perspektif yang disebut ekofeminis sosial-transformatif tersebut mempunyai 10 langkah guna mengembangkan gaya hidup subsistensi:

  • 1.    Manusia menjual hasil alam hanya untuk memenuhi kebutuhan fundamental, bukan untuk memenuhi keinginan yang bersifat tidak terbatas.

  • 2.    Manusia menggunakan alam hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan, bukan untuk menghasilkan uang,

  • 3.    Setiap laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan perhatiannya terhadap orang lain,

  • 4.    Pengembangan pendekatan masalah yang “multidimensional dan sinergis,

  • 5.    Menggabungkan ilmu pengetahuan, teknologi dan pengetahuan kontemporer dengan kearifan, tradisi dan spiritual,

  • 6.    Menghancurkan batas antara kerja dan bermain, ilmu pengetahuan dan seni, jiwa dan benda,

  • 7.    Memandang air, udara, bumi dan semua sumber alam sebagai milik komunitas dan bukan milik perorangan,

  • 8.    Laki-laki dan perempuan harus mengadopsi pandangan prespektif subsistensi,

  • 9.    Laki-laki dan perempuan harus menumbuhkan nilai-nilai feminin

tradisional (peduli, bersimpati, dan merawat),

  • 10.    Manusia harus menyadari arti dari berkecukupan adalah yang harus mendapatkan semuanya (Tong, 2009).

Gambaran di atas menjadi semacam rekomendasi atas kondisi aktual. Nilai-nilai di atas relevan dengan cita-cita pendidikan Indonesia. Sebuah usaha membangun Indonesia yang adil dan sadar akan keberlangsungan bumi. Gaya hidup subsistensi di atas perlu ditanamkan dalam pendidikan. Anak tidak hanya diajari teori ilmu eksakta dan humaniora, sementara teori dan praktik berekologi dianggap sebagai materi pelengkap atau tempelen. Padahal keberlangsungan bumi sangat ditentukan oleh cara pandang manusia terhadap alam.

Kesadaran ekologis yang rendah dalam pendidikan, tidak menutup berimbas pada pendidikan yang akan berpotensi menciptakan manusia exploitatif. Atas dasar hal tersebut kurikulum berwawasan ekologi dan gender menjadi relevan. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan perlu kiranya memperhatikan nilai-nilai kesadaran ekologis dan gender secara berkesinambungan.

Di Indonesia, tampaknya kurikulum pendidikan ekologi dan gender belum mendapat perhatian yang serius. Beberapa kali kurikulum pendidikan berganti, namun nilai-nilai kesadaran ekologis dan gender tidak diakomodasi dengan serius. Kedua hal tersebut masih dipandang sebagai pendidikan yang amat sekunder dan bisa didapatkan di mana saja, bukan hanya di sekolah. Padahal pengembangan kedua hal tersebut dapat diaktualisasikan melalui komponen komponen kurikulum mulai dari tujuan, isi, metode dan evaluasinya.

Sebagai contoh, bahwa muatan kesadaran ekologi dan gender idealnya dapat tercermin dalam bahan ajar yang dipergunakan di sekolah. Menempatkan

kesetaraan peranan perempuan dan laki-laki dalam bebagai sektor. Di sisi ekologi, sistem pendidikan yang ada bahkan belum menjadikan pembelajaran lingkungan hidup atau pendidikan ekologi sebagai mata pelajaran yang independent.

Kurikulum yang disusun harus terkait dengan kondisi aktual yang terjadi. Persoalan gender dan ekologis adalah agenda mendesak dalam pendidikan Indonesia. Salah satu bagian penting dari pendidikan adalah sekolah. Sebuah institusi yang menjadi miniatur kecil dari masyarakat. Sekolah memiliki peran penting untuk merubah pola pikir siswa terutama perilaku-perilaku yang terkait dengan relasi gender dan ekologi. Sekolah menjadi ruang yang strategis untuk mewujudkan satuan pendidikan berwawasan gender dan ekologi.

Berdasarkan uraian di atas, menjadi penting pembentukan kurikulum berwawasan gender dan ekologi. Kurikulum pada dasarnya mencakup beberapa aspek, yaitu tujuan pendidikan, isi pendidikan, pengalaman belajar dan penilaian. Beberapa aspek tersebut diupayakan untuk saling bersinergi untuk mencapai tujuan pendidikan. Selain itu, kesesuaian antara tujuan, isi, proses pembelajaran dan penilaian juga sangat menentukan dalam mengagendakan rencana pengembangan kurikulum. Hal tersebut ditekan oleh Michael F.D Young (dalam Hidayat) yang menjelaskan bahwa peran kurikulum adalah memutuskan apa yang harus dilakukan sekolah atau tidak dilakukan. Kurikulum harus menjadi praksis, yaitu harus lebih fokus menyelesaikan masalah sosial ekonomi yang berkembang di masyarakat (Hidayat, 2011).

Atas dasar hal tersebut maka diperlukan mekanisme teknis untuk proses transformasi nilai adil gender dan ekologi yang kesemuanya diatur dalam kurikulum. Secara teknis mengikuti beberapa poin, diantaranya: Pertama,

memastikan bahan pembelajaran (buku teks, modul, infografis dan media pembelajaran lainnya) terbebas dari nilai-nilai bias gender dan ekploitasi terhadap alam. Kedua, mendorong terciptanya lingkungan sosial yang sehat di sekolah. Sehat dalam konteks bebas dari prilaku diskriminastif, ekploitatif dan prilaku disktruktif lain yang berkaitan dengan gender dan alam. Implementasinya bisa berupa kebijakan, penyediaan fasilitas dan aturan teknis lain yang mengikat warga sekolah. Ketiga, memastikan guru di sekolah memimiliki wawasan gender dan ekologis yang mumpuni. Secara berkala sekolah memberikan pelatihan atau workshop terkait wawasan gender dan ekologis dalam interaksi sosial, khususnya selama di sekolah.

SIMPULAN

Artikel dalam penelitian ini menegaskan bahwa kesadaran ekologi dan gender dalam konteks Indonesia belum terbangun secara baik. Perubahan kekuasaan dari orde baru ke masa pasca reformasi tidak secara signifikan merubah cara pandang negara terhadap perempuan dan alam. Dalam praktiknya perempuan dan alam kerap mengalami ekslusi, terutama dalam dunia pendidikan.

Salah satu hal yang menyebabkan rendahnya kesadaran ekologis dan gender pada masa orde baru adalah cara pandang yang berorientasi pembangunan atau developmentalisme. Semua sektor diarahkan kepada hal tersebut, termasuk pendidikan. Ideologi pembangunan secara sistematis diinternalisasikan dalam pendidikan melalui sekolah. Praktik Ideological State Apparatus berjalan secara masif sebagai alat represi negara melalui pendidikan. Akibatnya cara pandang antroposentris dan patriarkal terlihat kuat dalam pendidikan Indonesia di masa itu.

Ketika orde baru jatuh, ada upaya keluar dari cara pandang orde baru.

Tetapi faktanya hal tersebut tidak berubah secara signifikan. Meskipun dibeberapa hal terjadi kemajuan, tetapi era pasca reformasi dalam konteks paradigmatik tetap saja mewarisi cara pandang orde baru. Pendidikan Indonesia era reformasi hingga sekarang ini masih kuat nuansa bias gender dan tidak ramah ekologis.

Adapun rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah telaah terhadap nilai ekologi dan gender pada pelaksanaan pendidikan abad ke-21 dengan segala kemajuan teknologi dan modernisasi. Harapannya, hasil dari penelitian dapat dijadikan asesmen atau evaluasi dan rekomendasi bagi penyelenggara pendidikan agar lebih memperhatikan nilai-nilai kesetaraan gender dan ekologi dalam ruang lingkup pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, M. . (2021). Representasi Perempuan dalam Rezim Wacana Orde Baru. Journalism, Public Relation and Media Communication Studies Journal.

Angantyr, M., Hansen, E. M., Eklund, J.

H., & Malm, K. (2016). Reducing Sex Differences in Children’s Empathy for Animals Through a Training Intervention. Journal of Research in Childhood Education, 30(3).

Apriyani, T., & Karimah, A. (2022). Aktualisasi Perempuan dalam Novel My Lecturer My Husband karya Gitlicious. Humanis, 26(4), 377-385.

doi:10.24843/JH.2022.v26.i04.p07

Barbara, H. (1997). Nation, “Tradition,” and Constructions of the Feminine in the Modern Indonesian Literature. In Imagining Indonesia: Cultural Politics and Political Culture. Centre fo International Studies, Ohio University.

Boserup, E. (1984). Peranan wanita dalam Perkembangan Ekonomi. Gama Press.

Braidotti, R., Charkiewicz, E., Hausler, S., & Wieringa, S. (1994). Women, the Environment and Sustainable Development: Towards a Theoretical Synthesis. Zed Books.

Evans, R. C. (2015). Critical Approaches to Literature: Feminist. Salem Press.

Fakih, M. (2006). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Pustaka Pelajar dan Insist Press.

Freire, P. (2010). Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES.

Gaard, G. (2009). Children’s environmental literature: From ecocriticism   to ecopedagogy.

Neohelicon,    36(2), 321–334.

https://doi.org/10.1007/s11059-009-0003-7

Habibullah, H. (2015). Refleksi Gender Dalam Pembelajaran Kurikulum 2013; Studi Terhadap Hasil Belajar Ips Siswa Kelas Model Di Solok, Sumatera Barat. Kafa`ah: Journal of Gender Studies, 4(2), 232. https://doi.org/10.15548/jk.v4i2.10 5

Haug, M., Rössler, M., & Grumblies, A. T. (2017). Rethinking power relations in Indonesia. Transforming the    margins.

Routledge.

Hidayat, R. (2011). Pengantar Sosiologi Kurikulum. Rajawali Press.

Indonesia, F. W. (2018). Deforestasi Tanpa Henti: Potret Deforestasi di Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara. Forest Watch Indonesia.

Islam, K. M. M., & M. Niaz, A. (2018). Gender stereotypes and education: A comparative content analysis of Malaysian, Indonesian, Pakistani and Bangladeshi school textbooks. PLoS ONE, 13(1), 1–24.

King, Y. (1989). the Feminism of

Ecology. Healing the Wounds: The Promise of Ecofeminism. https://libcom.org/files/King-Ecology of Feminism.pdf

Maufiroh, I. M., & Lukmana, I. (2020). Gender Representation in the Tenth EFL Textbook in Indonesian Senior High School: Systemic Functional Linguistic. Jurnal Penelitian Pendidikan,     20(1),     42–51.

https://doi.org/10.17509/jpp.v20i1. 24552

Nisbet, R. A. (2004). The Idea of Progress, The Online Library of Liberty,Liberty Fund Inc. libertyfund.org/Essays?Bibliograph ical/Nisbet 0190/Progress.html#1f-essay004lev2sec01

Nomura, K. (2009). A Perspective on

Education     for     Sustainable

Development:           Historical

Development  of  Environmental

Education      in      Indonesia.

International Journal of Educational Development, 29(6).

Parker, L. (1993). Gender and school in Bali (Gender Rel). Australian National University.

Parker, L. (2018). Environmentalism and education for sustainability in Indonesia. Indonesia and the Malay World, 46(136), 235–240. https://doi.org/10.1080/13639811.2 018.1519994

Republika. (2014). Tak Ada Lagi Budi di Buku SD. Republika. https://www.republika.co.id/berita/ pendidikan/eduaction/14/05/29/n6c a07-m-nuh-tak-ada-lagi-budi-di-buku-sd [diunduh 19 November 2019].

Rifa’e, M. (2011). Sejarah Pendidikan Nasional: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Ar-Ruzz Media.

Setiyawan, R., & Lestari, S. (2020). Patriarchal Discourse in Nusantara Classic Children Literature. Journal of Critical Reviews, 7(8), 2716–2725.

Shiraishi, S. S. (1997). Young Heroes: The Indonesian Family in Politics. Southeast Asia Program Publications.

Shiva, V & Mies, M. (2005). minism Prespektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan. IRE Press.

Siahaan, A. Y. (2003). The Politics of Gender and Decentralization in Indonesia. Open Society Institute, 1–38.

Soekarno, D. I. (1951). Sarinah. Yayasan Pembangunan Jakarta.

Sukiada, I., Girindrawardani, A., & Rahayu, N. (2022). Pergulatan Perempuan Kusamba di Sentra Pengelolaan Ikan. Humanis, 26(4), 361-368.

doi:10.24843/JH.2022.v26.i04.p05

Suryakusuma, J. I. (1996). The State and Sexuality in New Order Indonesia. In Fantasizing the Feminine in Indonesia. Duke University Press.

Suryaman, M., Swatikasari, E., & Pustaka, C. (2017). Ekofeminisme: Kritik Sastra Berwawasan Ekologis Dan Feminis. Cantrik Pustaka.

Tong, R. (2009). Feminist thought: a more comprehensive introduction. Westview Press.

UNESCO. (2016). Pendidikan bagi Manusia dan Bumi: Menciptakan Keberlanjutan Bagi    Semua.

UNESCO Publisher.

Wahyono, B. (1997). Renungan Pendidikan Nasional: Pasang-surut Humaniora. Kompas.

Walhi. (2018). Hasil laporan Walhi yang berjudul “Tinjauan Lingkungan Hidup.

Warren, K. J. (1996). Ecological Feminist Perspective. Indiana University Press.

Wulan, T. R. (2007). Ekofeminisme Transformatif: Alternatif Kritis Mendekonstruksi Relasi erempuan

dan Lingkungan. Jurnal.Ipb.Ac.Id, 01(01),                  105–130.

http://jurnal.ipb.ac.id/index.php/sod ality/article/view/5935

Zed, M. (2003). Metode Penelitian Kepustakaan. yayasan Obor Indonesia.