HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 27.1. Februari 2023: 53-64

Mitos Bukit Buung Batu Majalan di Desa Adat Pengosekan: Analisis Ekologi Sastra

The Myth of Bukit Buung Batu Majalan in Pengosekan Traditional Village: Literary Ecological Analysis

Ni Putu Novsa Dewi, I Wayan Suardiana, I Nyoman Duana Sutika Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

Email korespondensi: [email protected], [email protected], [email protected]

Info Artikel

Masuk: 2 Desember 2022

Revisi: 28 Desember 2022

Diterima:10 Januari 2023 Terbit: 28 Pebruari 2023

Keywords: myth; pastoral; apocalyptic; ethical.


Kata kunci: mitos; pastoral; apokaliptik; etis.

Corresponding Author:

Ni Putu Novsa Dewi

Email:[email protected] m

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

23.v27.i01.p06


Abstract

This study is entitled "The Myth of Bukit Buung Batu Majalan in Pengosekan Traditional Village: Literary Ecological Analysis". This study aims to describe the literary ecology contained in it. This study uses the theory of literary ecocriticism. The listening method and the speaking method with recording techniques and note-taking techniques as well as using literal and idiomatic translation techniques are used in the data collection stage. The analytical descriptive method is used in the data analysis stage. Informal and formal methods are used in presenting the results of data analysis with deductive and inductive techniques. The results of this study are that this myth contains literary ecology which consists of 1) Pastoral narrative includes bucolic elements, arcadia construction elements, and elements of retreat and return discourse. 2) The apocalyptic narrative includes elements of the hero character, apocalyptic environmental elements, and elements of visions or predictions, and 3) Environmental wisdom values consisting of respect for nature, moral responsibility towards nature, solidarity towards nature, compassion and concern for nature, as well as the attitude of not disturbing natural life.

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Mitos Bukit Buung Batu Majalan di Desa Adat Pengosekan: Analisis Ekologi Sastra”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ekologi sastra yang terdapat di dalamnya. Penelitian ini menggunakan teori ekokritik sastra. Metode simak dan metode cakap dengan teknik rekam, dan teknik catat serta teknik terjemahan harfiah dan idiomatik digunakan dalam tahap pengumpulan data. Metode deskriptif analitik digunakan pada tahap analisis data. Metode informal dan formal digunakan dalam penyajian hasil analisis data dengan teknik deduktif dan induktif. Hasil dari penelitian ini adalah mitos ini mengandung ekologi sastra yang terdiri atas 1) Narasi pastoral meliputi unsur bucolic, unsur konstruksi arcadia, dan unsur wacana retreat dan return. 2) Narasi apokaliptik meliputi unsur karakter pahlawan, unsur

lingkungan apokaliptik, dan unsur visi atau ramalan, dan 3) Nilai kearifan lingkungan yang terdiri atas sikap hormat terhadap alam, tanggung jawab moral terhadap alam, solidaritas terhadap alam, kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, serta sikap tidak mengganggu kehidupan alam.

PENDAHULUAN

Sejak tahun 2000-an isu tentang alam tidak pernah selesai dibahas karena banyaknya hutan yang rusak di berbagai negara termasuk hutan di Indonesia (Openg, 2015:2). Masalah lingkungan merupakan sebuah permasalahan kompleks (Faizah, 2020: 17). Luasnya cakupan masalah lingkungan menghasilkan berbagai upaya pelestarian alam yang telah banyak digencarkan baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Di sisi lain upaya pelestarian lingkungan melalui karya sastra tidak banyak menarik perhatian meskipun masyarakat khususnya pengarang telah banyak mengupayakannya (Endraswara, 2016: 230). Pemanfaatan karya sastra khususnya sastra lisan sebagai gerakan budaya dengan segala potensi dan inspirasinya untuk pelestarian dan penyelamatan lingkungan perlu dioptimalkan. Hal ini karena sastra, lingkungan, dan manusia memiliki hubungan yang sangat erat (Wulandari, 2017: 106 - 107).

Salah satu jenis sastra lisan yang penting diteliti dan dioptimalkan menjadi gerakan budaya dalam melestarikan lingkungan adalah mitos. Mitos berfungsi untuk memberikan gambaran tentang keteraturan alam semesta sebagai pondasi awal untuk mewujudkan hidup yang harmonis (William dalam Kurniawan, 2012: 12). Mitos mengandung nilai luhur yang menjadi pedoman bagi manusia dalam menjalankan kehidupan (Audifax, 2005: 8; Peursen, 1976: 37).

Menurut Simun (2006: 45) sebuah mitos menjadi media mendokumentasikan berbagai peristiwa yang pernah terjadi. Selain memberikan informasi akan hal gaib, mitos juga memberikan petunjuk, mengajarkan

bagaimana cara mencegah, mempelajari, dan berelasi dengannya. Pelestarian mitos penting dilakukan mengingat mitos sebagai cerita lisan hanya tersimpan di dalam ingatan sang empunya cerita yang rentan akan kepunahan. Lenyapnya mitos akibat lemahnya pewarisan akan menyebabkan masyarakat kehilangan nilai-nilai yang menjaga tingkah laku manusia.

Salah satu mitos yang penting untuk diteliti karena mengandung nilai kearifan lokal adalah Mitos Bukit Buung Batu Majalan di Desa Adat Pengosekan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Mitos ini mengisahkan tentang keinginan Ida Bhatari Danu untuk membuat danau dan bukit di Munduk Galang (Desa Adat Pengosekan). Namun karena ada penolakan dari Ida Brahmana Gunung Sari yang merupakan penasehat raja kala itu, danau dan bukit batal terbangun yang dalam bahasa Bali dikenal dengan buung. Pembatalan ini terjadi berkat adanya penggembala bebek yang mengatakan “bukit buung, batu majalan” serta adanya kekuatan mantra dari Ida Bhatara Gunung Lebah yang menyebabkan batu, air, dan kubangan yang rencananya akan dijadikan danau dan bukit berpencar (batu majalan).

Mitos ini belum pernah diteliti sebelumnya. Beberapa hal lain yang menyebabkan mitos ini menarik dan penting untuk diteliti adalah masyarakat yang masih mempercayai rencana pembuatan danau dan bukit di Munduk Galang atau Carik Labak. Kepercayaan masyarakat setempat ditandai dengan ritual ngalih endut danu (ritual memohon lumpur danau) untuk upacara agama Hindu (mendem padagingan) yang bisa dilakukan di sekitar Pura Bukit Mentig dan Pura Bukit Sari (Carik Labak) tanpa

harus pergi ke Danau Batur di Kecamatan Kintamani. Ditambah dengan topografi Carik Labak dengan tanah yang berlumpur dalam (geduh) dan banyak bebatuan tersebar di tempat itu, serta pura yang berada di puncak gundukan tanah menyerupai bukit kecil (mentig). Topografi areal Carik Labak yang demikian diyakini sebagai peninggalan danau dan bukit yang batal terbangun di tempat itu.

Mitos Bukit Buung Batu Majalan mengandung nilai kearifan lingkungan berupa penggagalan upaya alih fungsi lahan yang didukung dengan topografi lokasi mitos dan tradisi masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan mitos ini penting untuk diungkapkan dan dikenalkan kepada masyarakat agar masyarakat tidak kehilangan nilai kearifan lingkungan yang sudah diwarisi sejak dahulu. Terlebih di era sekarang, keberadaan mitos hanya dipahami oleh orang tua atau tokoh masyarakat, sedangkan generasi muda kurang memahaminya.

METODE DAN TEORI

Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu pertama tahap pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik dasar sadap, teknik lanjutan simak bebas libat cakap, teknik rekam dan teknik catat, metode cakap dengan teknik dasar pancing, teknik lanjutan cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat serta menggunakan teknik terjemahan harfiah dan terjemahan idiomatik. Kedua dalam tahap analisis data menggunakan metode deskriptif analitik. Ketiga dalam tahap penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal dengan teknik deduktif dan induktif. Metode informal merupakan metode penyajian hasil analisis data dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan kata-kata atau kalimat biasa (Sudaryanto, 1993: 144).

Penelitian ini menggunakan teori ekokritik sastra yang merupakan pertemuan antara konsep ekologi dengan kritik sastra. Ekokritik sastra merupakan bagian dari ekologi sastra yang berkonsentrasi pada bagaimana hubungan sastra dengan seluruh komponen alam semesta. Teori ekokritik sastra yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas model kajian sastra lingkungan yakni kajian pastoral dan apokaliptik serta model kajian etis.

Pastoral merupakan suatu wujud pelarian diri (retreat) menuju dan kembali (return) ke alam pedesaan atau ke kehidupan masa lalu dengan penggembala menjadi penanda pentingnya. Model kajian narasi pastoral terdiri atas beberapa telaah, yaitu telaah unsur bucolic, telaah unsur konstruksi arcadia (idylls, nostalgia, georgic), dan telaah unsur wacana retreat dan return (Sukmawan, 2016: 14-15).

Sastra apokaliptik merupakan jenis karya sastra yang lahir melalui reaksi terhadap sebuah krisis dan yang berfungsi sebagai kekuatan arus bawah atau arus terpinggirkan. Arus bawah merupakan kelompok yang paling merasakan pengaruh dari adanya kerusakan lingkungan saat ini maupun pengaruh dari kerusakan lingkungan di masa depan (Thompson dalam Sukmawan, 2014: 171). Model kajian narasi apokaliptik juga memiliki beberapa telaah, yaitu telaah unsur karakter pahlawan, telaah unsur lingkungan apokaliptik, dan telaah unsur visi atau ramalan.

Kajian etis berkaitan dengan etiket yang merupakan nilai dan prinsip moral yang menjadi pedoman dan kriteria bertingkahlaku oleh masyarakat tertentu. Etiket salah satunya berwujud etiket lingkungan atau (nilai) kearifan lingkungan. (Keraf, 2010: 14-16). Berdasarkan prinsip-prinsip kearifan lingkungan, model kajian etis terdiri atas beberapa telaah, yaitu telaah sikap

hormat terhadap alam, telaah sikap tanggung jawab moral terhadap alam, telaah sikap solidaritas terhadap alam, telaah sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, dan telaah sikap tidak mengganggu kehidupan alam (Sukmawan, 2016: 17 – 25).

Kajian narasi pastoral dan apokaliptik digunakan untuk mengidentifikasi, mengkonstruksi, serta menganalisis unsur-unsur kearifan lingkungan yang terdapat di dalam Mitos Bukit Buung Batu Majalan. Sementara itu model kajian etis digunakan untuk mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lingkungan yang terdapat dalam mitos. Semua analisis dilakukan berdasarkan macam-macam telaah dari masing-masing jenis kajian di atas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Kajian Narasi Pastoral

Kajian narasi pastoral dalam Mitos Bukit Buung Batu Majalan di Desa Adat Pengosekan yang pertama adalah unsur bucolic atau penggembala. Bucolic selain berarti penggembala juga dapat diasosiakan dengan pekerjaan yang khas dari pedesaan atau pesisir serta dapat diasosiasikan dengan alam yang masih asri (Sulistijani, 2018: 8).

Berdasarkan uraian di atas maka, unsur bucolic yang terdapat dalam Mitos Bukit Buung Batu Majalan di Desa Adat Pengosekan dapat dibagi menjadi dua, pertama adalah unsur bucolic yang berkaitan dengan persona atau profesi yaitu tokoh pangangon bébék dan tokoh pangubu serta kedua adalah unsur bucolic yang berkaitan dengan lingkungan yakni lingkungan di Munduk Galang yang masih asri.

Penggembala bebek dalam Mitos Bukit Buung Batu Majalan merupakan salah satu tokoh yang berperan menggagalkan pembuatan danau dan bukit di Munduk Galang. Hadirnya penggembala bebek tersebut merupakan

wujud kekuasaan Tuhan yang dihadirkan melalui diskusi tokoh Ida Bhatara Gunung Lebah dan Ida Brahmana Gunung Sari untuk memergoki proses pembuatan danau dan bukit agar batal terbangun di Munduk Galang.

Penggembala merupakan seseorang yang bekerja memelihara dan menjaga ternak dengan melepas ternak dalam kurun waktu tertentu di tempat yang menyediakan pakan alam seperti areal persawahan yang telah selesai dipanen (Pangemanan, 2019: 147 - 148). Di Indonesia khususnya di Bali selain terdapat penggembala sapi juga terdapat penggembala bebek yang dikenal dengan nama pangangon bébék dan keberadaannya sangat berkaitan dengan sawah sebagai lokasi menggembala yang masih bisa ditemukan di Bali.

Tokoh penggembala bebek di dalam Mitos Bukit Buung Batu Majalan menunjukkan bagaimana kondisi alam di tempat tersebut kala itu yang masih asri. Hal ini karena pada dasarnya kegiatan menggembala hanya baik dilakukan pada lingkungan dengan kondisi yang belum tercemar karena mampu menyediakan pakan alam yang aman bagi hewan ternak yang sedang digembalakan.

Gambaran unsur bucolic selanjutnya dalam Mitos Bukit Buung Batu Majalan adalah tokoh pangubu merupakan tokoh yang menemukan Pura Bukit Mentig dan Pura Bukit Sari di akhir cerita. Pangubu sendiri berarti orang yang bertempat tinggal di pondok atau orang yang bertempat tinggal di rumah yang berada di kebun atau sawah. Pangubu dapat diasosiasikan dengan bucolic karena pangubu merupakan sosok yang memiliki kedekatan dengan alam. Kedekatan sosok pangubu dengan alam ditunjukkan dengan lokasi tempat tinggalnya yang berada di alam yakni di kebun ataupun di sawah sesuai dengan makna pangubu itu sendiri.

Kedekatan masyarakat dengan alam akan memberikan pengaruh terhadap

sikap dan tingkah laku seseorang dalam bersikap kepada lingkungan. Hal ini karena selain faktor genetik dan pengalaman berinteraksi, sikap manusia juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Porteous dalam Mastutie, 2002: 23 - 24).

Tokoh pangangon bébék dan pangubu dapat dikatan sebagai istilah unsur bucolic-nya orang Bali khususnya bagi wilayah Bali yang memiliki wilayah pertanian ataupun perkebunan tertentu. Mengingat unsur bucolic dapat disesuaikan dengan latar tempat suatu cerita dilahirkan.

Unsur narasi pastoral selanjutnya adalah unsur konstruksi arcadia yang menyangkut tentang gaya atau cara hidup, suasana, lokasi, tempat tinggal ataupun lanskap yang diidealkan (Sukmawan, 2016: 15).

Konstruksi arcadia dalam mitos ini terlihat dari adanya kenyamanan dan kedamaian bekerja secara harmonis dengan alam yang ditunjukkan melalui diskusi antara Ida Brahmana Gunung Sari dengan Ida Bhatara Gunung Lebah untuk menghadirkan penggembala bebek agar memergoki proses pembuatan danau dan bukit. Dalam hal ini kerja sama harmonis terjalin antara Ida Brahmana Gunung Sari sebagai pendeta dengan manifestasi Tuhan yang beliau puja. Melalui kerja sama yang harmonis ini, Ida Bhatara Gunung Lebah memberkati Ida Brahmana Gunung Sari dengan membantu beliau dalam usaha menggagalkan pembuatan danau dan bukit di Munduk Galang.

Selanjutnya, unsur konstruksi arcadia tercermin melalui nostalgia tokoh-tokoh dalam cerita akan keindahan alam di Munduk Galang. Salah satunya adalah tokoh Ida Brahmana Gunung Sari yang tetap merindukan keindahan Munduk Galang meski ia telah mengunjungi banyak tempat lain seperti dalam kutipan berikut:

“Amunika titiang ngrasa mrika-mriki mayoga, drika gén tiang manggihin

tongos mabo miik. Yén anggén genah mayoga, wawu cocok genahé driki. Yén tongos danu driki ten cocok,” kéto biin atur Ida brahmana Gunung Sari kén Ida Bhatara Gunung Lebah" (Wawancara Informan I Wayan Tunjung, 00:12:25)

Terjemahan:

"Sebegitu hamba ke sana dan kemari melakukan yoga, hanya di tempat itu hamba menemukan tempat yang berbau harum. Jika digunakan sebagai tempat beryoga, barulah tempat tersebut tepat," demikian lagi perkataan Ida Brahmana Gunung Sari kepada Ida Bhatara Gunung Lebah.

Wujud kerinduan atau nostalgia juga tercermin dalam salah satu ritual masyarakat di Desa Adat Pengosekan yaitu ritual ngalin endut danu. Ritual ini merupakan salah satu bagian dari upacara keagamaan umat Hindu Bali berupa upacara memohon lumpur danau yang akan digunakan untuk melengkapi sesajen tertentu. Masyarakat Desa Adat Pengosekan mencari lumpur danau cukup sampai di Carik Labak tanpa harus pergi ke Danau Batur di Kintamani. Ritual ini merupakan representasi simbolik pelunasan kerinduan akan peristiwa pembuatan danau dan bukit di Munduk Galang sekaligus sebagai salah satu wujud keyakinan masyarakat setempat akan Mitos Bukit Buung Batu Majalan dan keberadaan danau tak kasat mata di tempat itu.

Sementara unsur wacana retreat dan return dalam Mitos Bukit Buung Batu Majalan tercermin melalui kutipan berikut:

Suud to Raja Peliatan tesan mabisama jak panjak-panjakné sami, “Elingang panjak-panjak Peliatan, sawiréh genahé ring alas krésék nak genah pingit. Lan ajaka kema ngasrama ditu jak onyangan.” (Wawancara Informan I Wayan Tunjung, 00:05:53)

Terjemahan:

Setelah itu Raja Peliatan kemudian menitahkan semua rakyatnya dengan berkata, "Ingatlah wahai semua rakyat Peliatan, karena tempat di hutan krésék merupakan tempat terlarang. Mari kita semua kesana untuk melaksanakan yoga."

Kutipan di atas menunjukkan bagaimana raja yang notabene selalu diwarnai dengan hiruk-pikuk kehidupan melakukan pelarian dengan melaksanakan yoga atau menarik diri dari ikatan duniawi di Munduk Galang sebagai tempat suci dengan alamnya yang masih terjaga. Lingkungan yang bersih dan asri merupakan dambaan bagi setiap orang sekaligus menjadi salah satu unsur utama dalam kesehatan (Jumarsa dkk, 2020: 109-110). Fenomena tersebut menunjukkan adanya aksi untuk melakukan pelarian dari kompleksitas kehidupan kota ke desa.

Model Kajian Narasi Apokaliptik

Kajian narasi apokaliptik yang pertama adalah tokoh pahlawan dalam Mitos Bukit Buung Batu Majalan, yaitu Ida Brahmana Gunung Sari yang merupakan seorang pendeta sekaligus penasehat raja. Disebut sebagai tokoh pahlawan karena beliau telah berjasa untuk menolak rencana Ida Bhatari Danu yang ingin membuat danau dan bukit di Munduk Galang. Akibat penolakan ini keindahan dan keasrian Munduk Galang dapat dipertahankan sebagai tempat yang tepat untuk melaksanakan yoga seperti dalam kutipan berikut:

“Yén dados antuk, sampunang ja makarya danu ring ancut alas kréséké. Tiosan kén driki ja makarya danu. Tiang jek angob tiang kén boon miik tongosé né,” kéto Ida Brahmana Gunung Sari (Wawancara Informan I Wayan Tunjung, 00:11:43)

Terjemahan:

"Jika bisa, janganlah membuat danau di bagian terpencil dari Hutan Krésék. Di tempat lainlah membuat danau.

Hamba sangat terpukau dengan keharuman tempat itu," demikian permohonan Ida Brahmana Gunung Sari

Pemilihan tokoh manusia tertentu dalam sebuah cerita sebagai karakter pahlawan didasari karena manusia yang terpilih tersebut memiliki kelebihan dibandingkan dengan tokoh atau manusia lainnya berupa kekuatan lahir atau batin. Demikian halnya dengan Ida Brahmana Gunung Sari secara lahir dan batin memiliki kelebihan dalam yoganya. Berkat ketaatan beliau dalam memuja Ida Bhatara Gunung Lebah ini Ida Brahmana Gunung Sari mendapatkan bantuan untuk mengagalkan rencana pembangunan danau dan bukit.

Selanjutnya, unsur lingkungan apokalitik yang terdapat dalam Mitos Bukit Buung Batu Majalan adalah adanya pencegahan akhir dunia yakni upaya menggagalkan rencana Ida Bhatari Danu yang ingin mengubah Munduk Galang menjadi danau dan bukit agar menyerupai keadaan alam di Batur, Kintamani dengan menghadirkan bencana hujan dan badai. Meskipun demikian, dalam perspektif apokaliptik bencana alam seperti hujan dan badai tersebut merupakan visi ataupun tanda dari Tuhan Yang Maha Esa untuk membangun kondisi yang lebih baik.

Penolakan rencana pembuatan danau dan bukit menunjukkan adanya kesadaran untuk menolak pemaksakan kehendak kepada alam. Alam bukanlah semata-mata menjadi alat untuk memenuhi kepentingan manusia yang bisa dieksploitasi begitu saja karena alam juga memiliki hak untuk dipelihara. Diperkirakan 25 persen yakni 31.817,75 ha dari total luas seluruh hutan di Bali (127.271,01 ha) telah mengalami konversi fungsi lahan baik karena faktor ulah manusia maupun faktor alami (Putri, 2016:22).

Selanjutnya dalam Mitos Bukit Buung Batu Majalan juga terdapat

penyampaian visi melalui teka-teki atau simbol-simbol lisan yakni adanya ungkapan bukit buung batu majalan yang pertama kali diungkapkan oleh tokoh pangangon bébék seperti dalam kutipan berikut:

"Ngwéntenang pangangon bébék apang ngetarang anaké ané makarya danu, artiné menggagalkan aji munyi bukit buung, batu majalan, ditu tesan pastua" (Wawancara Informan Jero Mangku Pura Taman Limut, 00:00:35).

Terjemahan:

"Menghadirkan seorang penggembala bebek agar memergoki proses pembuatan danau di sana, dalam artian menggagalkan usaha tersebut dengan perkataan bukit buung, batu majalan, di sanalah kemudian dikutuknya."

Ungkapan bukit buung, batu majalan dapat diartikan bukit batal, batu bergerak dalam Bahasa Indonesia. Melalui kata bukit buung dapat ditafsirkan adanya usaha yang bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan dengan membatalkan proses pembuatan danau dan bukit. Sementara itu kata batu majalan menjadi penanda tentang apa akan terjadi jika pembuatan danau dan bukit dibatalkan. Sesuai dengan visi (ungkapan) bukit buung batu majalan, batu-batu, air, dan segala persiapan untuk membuat danau dan bukit pada akhirnya bergerak, berpencar ke segala penjuru (batu majalan) yang menyebabkan pembuatan danau dan bukit di Munduk Galang dapat dibatalkan (bukit buung) sehingga kawasan tersebut dapat bertahan menjadi kawasan untuk melaksanakan yoga.

Visi dalam kajian apokaliptik merupakan tanda dari adanya suatu ketidakharmonisan hubungan di alam semesta. Hadirnya visi baik yang disampaikan melalui mimpi ataupun simbol-simbol tertentu perlu ditafsirkan serta wajib untuk disikapi dengan baik

dan benar agar tidak menimbulkan bencana.

Model Kajian Etis

Sikap Hormat dan Sikap Tidak Menganggu Kehidupan Alam

Sikap hormat terhadap alam didasari atas kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari alam sehingga memiliki kewajiban moral untuk menghormatinya. Manusia tidak akan melakukan tindakan merugikan dan mengganggu kehidupan alam yang berkaitan dengan nilai toleransi dan tenggang rasa (Armstrong dan Botzler dalam Sukmawan, 2016: 21-22). Sikap hormat dan sikap tidak menganggu kehidupan alam terlihat dalam kutipan berikut:

“Titiang miasa driki,” kéto Ida Brahmana Gunung Sari. “Miasang gumié mangda teteg rahayu." (Wawancara Informan I Wayan Tunjung, 00:07:12)

Terjemahan:

“Hamba mengabdikan diri di sini,” demikian jawaban dari Ida Brahmana Gunung Sari. "Mengabdi untuk menjaga dunia agar senantiasa dalam kedamaian."

Ida Brahmana Gunung Sari yang senantiasa mengabdi untuk kesejahteraan dunia secara tidak langsung telah mempertahankan dan menghayati kewajiban untuk tidak merugikan alam. Ida Brahmana Gunung Sari menyadari sebagaimana tujuan dari penciptaan Munduk Galang diyakini sebagai tempat keramat dan stana dari para dewa serta merupakan tempat yang baik untuk melaksanakan yoga. Alam di Munduk Galang disadari memiliki nilai pada dirinya sendiri sehingga penting untuk menghindari segala pemaksaan kehendak untuk melakukan alih fungsi lahan terhadap tempat tersebut. Melalui sikap hormat dan tidak menganggu kehidupan

alam maka, alampun senantiasa tidak merugikan kehidupan manusia.

Pelaksanaan ritual ngalih endut danu merupakan salah satu upaya spiritual yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Pengosekan untuk menghormati alam dengan memberikan pengakuan terhadap keajaiban alam yang diyakini pernah terjadi di wilayahnya. Masyarakat setempat meyakini bahwa ritual ini bisa dilakukan di lingkungan Carik Labak tanpa harus pergi ke Danau Batur, Kintamani seperti dalam kutipan berikut:

"Bukit buung batu majalan, ba lantasang kéto, ngodalin tesan sik umah Nang Tut Ramya, kan nunas raos tesan nak jumah ditu. Apa ba ada di Ngosekan, ngudiang cening ideh-ideh, to batu né lémpéh to, to endut danu to, nak danu totonan, kéto kocap baosé. Angkala danu, bukit buung batu majalan oranga pidan. Ling sik umah Nang Tut Ramya pertama nyumunang, onyangan tesan ditu nunas endut." (Wawancara Informan Jero Mangku Beji, 00:00:02)

Terjemahan:

"Bukit batal, batu bergerak, lalu di rumah Bapak Ketut Ramya melaksanakan upacara agama, orangorang di sana memohon petunjuk. Semua telah ada di Pengosekan, mengapa engkau harus mencari ke sana-kemari, itu batu yang datar, itulah lumpur danau, itu merupakan danau, demikian petunjuk yang didapat. Disebut danau, karena dulu ada ungkapan bukit buung batu majalan. Keluarga di rumah Bapak Ketut Ramya yang memulainya, akhirnya semua warga di sana memohon lumpur."

Ritual ngalih endut danu pertama kali dilakukan di areal Carik Labak karena ada salah seorang warga yang mendapatkan petunjuk ketika hendak melaksanakan upacara. Meskipun ritual ngalin endut danu dilaksanakan di tempat tersebut, upacara yang dilaksanakan tetap

berjalan dengan baik dan lancar. Hingga saat ini masyarakat setempat masih meyakini dan melaksanakan ritual ngalin endut danau cukup sampai di Carik Labak

Ritual ngalih endut danu telah merekam warisan nilai-nilai ekologi yang dirasakan oleh masyarakat setempat terdahulu. Hal ini patut dilanjutkan untuk menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan baik alam fisik maupun metafisik termasuk hubungan harmonis dengan Tuhan. Alam metafisik dijaga melalui pelaksanaan ritual. Sementara itu, secara fisik alam dijaga dengan memberikan aksi nyata untuk melestarikannya.

Sikap Tanggung Jawab Moral terhadap Alam

Prinsip tanggung jawab terhadap alam menuntut manusia untuk bersama-sama melakukan tindakan dan kebijakan nyata untuk menjaga alam semesta beserta dengan isinya. Prinsip ini merupakan tanggung jawab secara kolektif bukan secara individual karena alam merupakan tanggung jawab semua manusia yang hidup di dunia (Sukmawan, 2016: 22).

Sikap tanggung jawab moral terhadap alam salah satunya tercermin dari perilaku Ida Bhatara Gunung Lebah. Ida Bhatara Gunung Lebah yang saat itu tengah membantu proses pembatalan pembuatan danau dan bukit mengambil prakarsa untuk menyeimbangkan kembali kondisi alam di Munduk Galang seperti dalam kutipan berikut:

“Bah yén kéto atur Déwaé, da Déwa sebet. Wak Sida Kumba, suud, suud monto maképu ditu. Bapa jani kal nabdabang,” kéto Ida Bhatara Gunung Lebah. (Wawancara Informan I Wayan Tunjung, 00:14:03)

Terjemahan:

"Jika demikian perkataanmu, janganlah engkau bersedih. Wahai engkau Wak Sida Kumba, berhentilah

berkubang di sana. Ayahandalah yang akan mengaturnya sekarang," demikian perkataan Ida Bhatara Gunung Lebah.

Setelah berbagai usaha dilakukan dalam proses pembuatan danau dan bukit, pertama-tama Ida Bhatara Gunung Lebah menitahkan Wak Sida Kumba untuk berhenti membuat kubangan. Selanjutnya beliau bersama dengan Ida Brahmana Gunung Sari menghadirkan penggembala bebek untuk memergoki proses pembuatan danau dan bukit. Hingga akhirnya Ida Bhatara Gunung Lebah menguncarkan mantra untuk mendatangkan badai agar batu dan air yang sebelumnya akan dijadikan danau dan bukit dapat berpencar. Hal ini merupakan wujud tanggung jawab Ida Bhatara Gunung Lebah yang dilakukan untuk mempertahankan Munduk Galang agar tidak dijadikan danau dan bukit.

Sikap tanggung jawab moral lain dilakukan oleh Ida Bhatara Gunung Lebah bersama Ida Bhatari Danu. Ida Bhatara Gunung Lebah mengajak Ida Bhatari Danu untuk berjanji berstana di Pura Bukit Mentig dan Pura Bukit Sari yang berada di kawasan Munduk Galang agar daerah tersebut senantiasa mendapatkan anugrah meski danau dan bukit batal terbangun di sana.

Tokoh-tokoh yang bertanggungjawab terhadap alam di dalam mitos adalah orang suci serta dewa-dewa. Meskipun demikian, hal ini tetap bisa menjadi media untuk mendorong manusia agar menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari alam sehingga memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab kepada alam.

Pentingnya sikap tanggung jawab terhadap alam di Desa Adat Pengosekan untuk menjaga kawasan Carik Labak (Munduk Galang) dalam wujud larangan dan hukuman dapat dilihat dari adanya keyakinan tidak diperkenankan memindahkan batu-batu yang ada di sana sekaligus keyakinan alih fungsi lahan di

tempat tersebut tidak akan berbuah manis seperti dalam kutipan berikut:

"To naké né ngontrak, né nagih meli tanahé ditu kudang jlema to ba, besik sing ada né rahayu kanti jani. Ada gén né ngaé makalukan, nyak yé sing cocok itungan ajaka né kel belina tanah, nyak macét proyekné, nyak sing maan jalan uli désa. Sing karuan apa, sagét ba ilang, sing ada ortané bin nak-naké to." (Wawancara Informan Jero Mangku Beji, 00:14:23) Terjemahan:

"Itu entah berapa orang yang menyewa, yang ingin membali lahan di sana, satupun tidak ada yang berbuah manis hingga sekarang. Ada saja hal yang membuat tidak lancar, entah itu tidak cocok dengan orang yang akan dibeli lahannya, entah itu proyek pembangunan yang tidak berjalan, entah itu tidak mendapatkan jalan dari desa. Tidak ada kepastian apapun, seketika menghilang, orangorang tersebut tidak ada kabarnya lagi."

Tindakan masyarakat seperti menetapkan tempat-tempat tertentu sebagai tempat suci dan keramat adalah salah satu prakarsa atau strategi efektif untuk melindungi sumber daya alam dari tindakan negatif manusia (Sukmawan, 2016: 196). Apabila manusia tetap melakukan tindakan semena-mena terhadap alam maka, alampun akan menuntut tanggung jawab melalui tanda-tanda peringatan yang dirasakan oleh manusia. Jika manusia tidak menyikapi tanda tersebut dengan memperbaiki perilakunya maka, alampun dapat menghadirkan bencana yang membahayakan hidup manusia. Namun apabila manusia dapat menyikapi tanda peringatan tersebut dengan kewaspadaan yang dikenal dengan mitigasi bencana tentu resiko kebencanaan dapat dikurangi (Susanti, dkk, 2020: 326).

Sikap Solidaritas terhadap Alam

Sikap solidaritas terhadap alam berkaitan dengan perasaan sepenanggungan serta turut merasakan apa yang dirasakan oleh makhluk hidup lainnya. Perasaan ini nantinya dapat menimbulkan prakarsa untuk melindungi alam semesta (Sukmawan, 2016: 23).

Sikap solidaritas terhadap alam dalam mitos ini terlihat dari kutipan berikut:

“Nah kéné, yén dini Déwa kal makarya danu, éngkén kal dadiné jagaté? Nang Déwa matakon malu kén Ida Bhatara di Gunung Lebah,” kéto Ida Brahmana Gunung Sari. (Wawancara Informan I Wayan Tunjung, 00:05:41)

Terjemahan:

"Jadi seperti ini, jika engkau akan membuat danau di tempat ini, akan menjadi apa dunia ini? Cobalah engkau bertanya terlebih dahulu kepada Dewa yang berstana di Gunung Lebah," demikianlah tanggapan Ida Brahmana Gunung Sari.

Ida Brahmana Gunung Sari turut merasakan apa yang dirasakan oleh alam ketika Wak Sida Kumba dan Ida Bhatari Danu menyampaikan rencananya ingin membuat danau dan bukit di Munduk Galang. Hal ini terlihat dari tindakan beliau yang tidak serta merta memberikan ijin kepada Ida Bhatari Danu melainkan beliau memikirkan apa yang akan terjadi di Munduk Galang dan turut merasakan dampak jika nantinya tempat tersebut dijadikan danau dan bukit. Tindakan ini merupakan cerminan sikap solidaritas terhadap alam karena Ida Brahmana Gunung Sari akhirnya juga melakukan usaha untuk menyelamatkan alam dengan menolak rencana Ida Bhatari Danu.

Selain sikap solidaritas terhadap alam yang tertuang di dalam cerita, prinsip solidaritas terhadap alam juga tercermin dari pola menggembalakan di

Carik Labak pada zaman dahulu seperti dalam kutipan berikut:

"Pidan nak lumbaran naké ngangon di Labaké, suud nak manyi mara nglumbar sampi utawi bébék, ba nak masang bulih, suud ba ngangon. Suud nglumbar adané ngerit, sing dadi nake ngangon. Kecuali matekap, dadi nglébang sampi a kejep anggé matekap gén." (Wawancara Informan Jero Mangku Dalem, 00:19:36)

Terjemahan:

"Dahulu penggembala menggembala dengan bebas di Carik Labak, ketika telah selesai masa panen baru kemudian sapi atau bebek dilepas, ketika sudah menanam bibit, maka kegiatan menggembala berakhir. Waktu setelah membebaskan ternak dinamakan masa ngerit, tidak boleh ada yang menggembala. Kecuali untuk membajak sawah, diperbolehkan melepaskan sapi hanya sebentar untuk membajak sawah."

Penggembala yang menggembalakan ternaknya di Carik Labak senantiasa mentaati waktu-waktu yang telah disepakati bersama untuk menggembala. Penggembala dilarang menggembalakan ternaknya ketika pagi-padi sudah mulai di tanam untuk mencegah kerusakan tanaman padi yang beresiko menyebabkan gagal panen. Hal ini merupakan wujud solidaritas terhadap alam dan petani yang ada di sana. Penggembala secara tidak langsung telah memberikan pengakuan sederajat dan setara terhadap lingkungan dengan mencegah perilaku yang bisa merusak padi yang telah di tanam.

Sikap Kasih Sayang dan Kepedulian terhadap Alam

Kasih sayang dan kepedulian terhadap alam timbul dari adanya kenyataan bahwa semua makhluk hidup sebagai anggota komunitas ekologis memiliki hak yang sama untuk

dilindungi, dipelihara, dijaga, dan dirawat (Sukmawan, 2016: 23-24).

Sikap Ida Brahmana Gunung Sari yang senantiasa setia mengabdi dan taat beryoga selain mencerminkan sifat hormat terhadap alam juga sebagai wujud kasih sayang dan kepeduliannya terhadap alam. Hal ini karena beliau telah memelihara dan menjaga alam di Munduk Galang dalam konteks spiritual tanpa mengharapkan imbalan. Wujud lain kasih sayang dan kepedulian alam yang dilakukan oleh Ida Brahmana Gunung Sari ditunjukan dengan menolak rencana Ida Bhatari Danu yang ingin menjadikan Munduk Galang danau dan bukit.

Sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap alam muncul dari adanya kesadaran bahwa semua makhluk hidup memiliki hak untuk dipelihara dan seisi alam semesta diciptakan oleh Tuhan dengan tujuannya masing-masing. Manusia sebagai makhluk hidup yang berakal berkewajiban untuk memeliharanya (Purwati, 2021: 57). Kasih sayang dan kepedulian terhadap lingkungan perlu dipertahankan serta diteladani oleh masyarakat setempat agar usaha pelestarian dapat berjalan secara berkelanjutan.

SIMPULAN

Berdasarkan analisis ekologi sastra dengan menggunakan teori ekokritik, Mitos Bukit Buung Batu Majalan di Desa Adat Pengosekan mengandung unsur kearifan lingkungan yakni sastra pastoral dan sastra apokaliptik serta memuat nilai-nilai kearifan lingkungan yang dilihat melalui kajian etis. Nilai kearifan lingkungan ini terdiri atas sikap hormat terhadap alam, sikap tanggung jawab moral terhadap alam, sikap solidaritas terhadap alam, sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, dan sikap tidak mengganggu kehidupan alam. Hal ini secara keseluruhan tergambar dari perlaku ataupun reaksi tokoh di dalam cerita serta melalui tingkah laku,

kepercayaan, ataupun tradisi masyarakat setempat.

Penelitian ini hanya membahas mengenai ekologi sastra maka, penelitian lanjutan terhadap sastra lisan dengan teori dan pendekatan yang lebih luas dan mendalam sangat penting dilakukan guna mengoptimalkan peran sastra dalam menyelamatkan lingkungan. Penjaminan hukum yang kuat terhadap tradisi lisan dan segala pendukungnya penting digencarkan untuk menjaga eksistensi cerita tersebut yang akan memberikan implikasi positif terhadap pelestarian lingkungan di tempat cerita itu lahir.

DAFTAR PUSTAKA

Audifax. (2005). Mite Harry Potter: Psikosemiotika dan Misteri Simbol di Balik Kisah Harry Potter. Yogyakarta: Jalasutra.

Endraswara, Suwardi. (2016).

Metodelogi Penelitian Ekologi Sastra Konsep, Langkah, dan Penerapan.Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service).

Faizah, U. (2020). Etika lingkungan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Menurut Perspektif Aksiologi. Jurnal Filsafat Indonesia, 3(1), 1422.

https://doi.org/10.23887/jfi.v3i1.22 446

Jumarsa, J., Rizal, M., & Jailani, J.

(2020). Korelasi antara Pengetahuan Lingkungan dengan Sikap Masyarakat dalam Menjaga Kebersihan Lingkungan di Gampong Cot Siren Samalanga Kabupaten Bireuen. Jurnal Biology Education, 8(2), 109 - 121. https://garuda.kemdikbud.go.id/doc uments/detail/2820310

Keraf, Sony A. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kurniawan, A. C. (2012). Mitos Pernikahan Ngalor-ngulon di Desa

Tugurejo Kecamatan Wates Kabupaten Blitar:     Kajian

Fenomenologis. Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Mastutie, F. (2002). Keragaman Pola Perubahan Rumah di Permukiman Nelayan Biringkanaya Makassar. Master Thesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Openg, V. T. K., & Thomas, V. (2015). Mamar Sebagai Kearifan Ekologi Masyarakat Adat Atoin Meto dalam Kaitan Pelestarian Sumber Daya Air di Desa Femnasi, Timor Tengah Utara. Humanis: Journalof Arts and Humanities, 1-8. https://ojs.unud.ac.id/index.php/sast ra/article/view/15640

Pangemanan, S. P., Endoh, E., Rawis, J. O., & Warouw, Z. (2019). Pemeliharaan Itik Sistem Gembala Sebagai Upaya Peternak Itik Petelur dalam Memanfaatkan Sumber Daya Alam di Pesisir Danau Tondano Kabupaten Minahasa. Jurnal MIPA, 8(3), 146 -149.

https://doi.org/10.35799/jmuo.8.3.2 019.26163

Perpustakaan Badan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bali – Indonesia Edisi Ke-3. (2016). Denpasar: Balai Bahasa Bali.

Peursen, V. (1976). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Purwati, N. K. I., & Setiawan, A. (2021). Kepedulian Tokoh terhadap Lingkungan Alam pada Novel Sumur Minyak Air Mata. Alfabeta: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 4(2), 49 - 60. https://doi.org/10.36379/estetika.v2 i1.110

Putri, D. A. E. (2015). Kearifan Ekologi Masyarakat Bayung Gede dalam Pelestarian Hutan Setra Ari-Ari di Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

Humanis, 22-30. https://ojs.unud.ac.id/index.php/sast ra/article/view/21331

Simun, F. (2006). Kebudayaan dan Waktu Senggang. Yogyakarta: Jalasutra.

Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sukmawan, S. (2014). Apokaliptisme Sastra Lisan Lereng Arjuna. Sirok Bastra, 2(2), 169 - 171. http://sirokbastra.kemdikbud.go.id/i ndex.php/sirokbastra/article/view/4 3

Sukmawan, S. 2016. Ekokritik Sastra: Menanggap Sasmita Arcadia. Universitas Brawijaya Press.

Sulistijani, E. (2018). Kearifan Lokal dalam Kumpulan Puisi Kidung Cisadane Karya Rini Intama (Kajian Ekokritik Sastra). Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 13(1),          1          -          15.

https://doi.org/10.14710/nusa.13.1. 1-15

Susanti, E., & Anggara, I. P. (2020). Analisis Mitigasi Penanggulangan Bencana di Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Ilmiah Wahana Bhakti Praja, 10(2), 324 - 332. https://ejournal.ipdn.ac.id/JIWBP/a rticle/view/1374/836

Wulandari, Y. (2017). Kearifan ekologis dalam Mitos “Bujang Sembilan” (asal usul Danau Maninjau). Madah, 8(1), 105 - 114. https://dx.doi.org/10.26499/madah. v8i1.376