HUMANIS


Journal of Arts and Humanities


p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 27.2. Mei 2023: 217-226

Kajian Linguistik Forensik Dalam Penyidikan Kasus PembunuhanEngeline

Forensic Linguistic Studies in the Investigation of the Engeline Murder Case

Luh Sitta Devi Wicaksana, I Wayan Pastika, Made Sri Satyawati Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

Email korespondensi: sittadevi97@gmail.com, wayanpastika@unud.ac.id, srisatyawati@unud.ac.id

Info Artikel

Masuk:6 Pebruari 2023

Revisi:3 Maret 2023

Diterima:30 Maret 2023 Terbit:31 Mei 2023

Keywords:

forensic linguistics;

context of sitiation;

cooperation principal; ideology; investigators; suspect; witness


Kata kunci: Linguistik

Forensik;

Konteks Situasi; Prinsip

Kerjasama; Ideologi; Penyidik;

Tersangka; Saksi

Corresponding Author: Luh

Sitta Devi Wicaksana, email: sittadevi9@gmail.com,

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.202

3.v27.i02.p10


Abstract

This study discusses the study of forensic linguistics in the investigative stage. The purpose of this study is to provide a general understanding of the role of linguistics in legal investigations. This study uses a Forensic Linguistics approach which is supported by three theories, namely the context of the situation, the cooperation principle, and the meaning of ideology. The context of the situation in the discourse includes three dimensions, namely the field of discourse, the tenor of discourse, and mode of discourse. The field of discourse in the text discusses the details of the chronology of events in which there are a witness, suspect, and investigators as tenor in the discourse. Mode of disourse has an oral form. In the principle of cooperation, the witness and suspect violate the maxim of quantity and quality due to doubts in disclosing facts. The meaning of ideology contained in the police reports is that the final decision is determined by the police because of the ideology of power they have.

Abstrak

Penelitian ini membahas mengenai kajian linguistik forensik dalam tahap penyidikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman umum mengenai peranan ilmu linguistik dalam penyidikan hukum. Penelitian ini menggunakan pendekatan Linguistik Forensik yang ditunjang oleh tiga teori, yakni konteks situasi, prinsip kerja sama, serta makna ideologi. Konteks situasi dalam wacana mencakup tiga dimensi, yakni medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Medan wacana dalam teks yakni membahas tentang detail kronologi kejadian yang terdapat saksi, tersangka, serta penyidik sebagai pelibat wacana. Sarana dalam wacana yakni bersifat wacana lisan yang ditulis. Dalam prinsip kerja samanya, saksi dan tersangka melanggar maksim kuantitas dan kualitas dikarenakan adanya keraguan dalam mengungkap fakta. Makna ideologi yang terdapat dalam BAP yakni keputusan akhir ditentukan oleh pihak kepolisian karena adanya ideologi kuasa (power) yang dimiliki.

PENDAHULUAN

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri dan berkomunikasi merupakan salah satu cara untuk bertahan hidup. Melalui bahasa, seseorang dapat mengekspresikan diri serta berkomunikasi dengan orang lain. Selain digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari, bahasa juga dapat berperan penting dalam membantu penelitian kasus atau fenomena di berbagai bidang ilmu seperti hukum. Hukum adalah suatu sistem atau aturan yang bersifat mengikat orang-orang yang menjadi obyek penerapannya. Hukum biasa disajikan dalam bentuk tulisan dan dibakukan menurut ketentuan yang berlaku di suatu wilayah.

Dalam bidang hukum, bahasa dapat digunakan sebagai alat bukti kasus hukum karena kasus-kasus hukum tidak hanya meninggalkan bukti-bukti fisik, seperti proyektil, senjata, jejak kaki, gen, namun juga bahasa. Seperti misalnya pada kasus bunuh diri yang meninggalkan bukti tertulis berupa surat wasiat. Dari surat wasiat yang ditinggalkan itu, dapat diketahuipenyebab bunuh diri atau dapat juga diketahui apakah seseorang tersebut murni bunuh diri atau dibunuh. Sebagai alat bukti, bahasa dapat membantu mengungkap maksud dari perkataanpelaku atau korban sehingga dapat diputuskan apakah pelaku bersalah atau tidak serta seberapa berat hukuman yang akan diterima pelaku.

Kajian yang menghubungkan bahasa dengan hukum adalah kajian linguistik forensik. Istilah forensik berasal dari Bahasa Yunani forensis yang artinya publik atau forum. Dalam tradisi politik Romawi, forum merupakan ruang publik yang menjadi tempat didiskusikan dan diperdebatkan isu-isu politik dan kebijakan (Mahsun, 2018:24). Dalam proses penegakan hukum, saksi dan tersangka pada sebuah kasus harus melalui penyidikan atau interogasi terlebih dahulu. Dalam ranah hukum,

interogasi adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi maupun tersangka yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut mengenai suatu kasus agar kasus tersebut dapat diselesaikan.

Artikel ini membahas mengenai kasus pembunuhan seorang anak bernama Engeline yang melibatkan MCM sebagai tersangka dan ATHM sebagai saksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman umum mengenai peranan ilmu linguistik dalam kasus hukum serta menemukan konteks situasi, prinsip kerja sama, serta makna ideologi yang tercermin dalam percakapan antara penyidik dengan tersangka serta tersangka dengan saksi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Sugiyono (2010:1) menyatakan bahwa penelitian kualitatif sering pula disebut penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah. Kemudian, penelitian ini mengacu pada jenis penelitian kualitatif yang menekankan pada studi kasus (case study). Cresswell (1998:36-37) menyebut bahwa studi kasus haruslah mengidentifikasi sebuah kasus yang pengumpulan datanya harus menggunakan banyak sumber.

METODE DAN TEORI

Sumber data untuk penelitian ini adalah teks BAP berupa teks tanya jawab secara tertulis yang dilakukan penyidik terhadap tersangka yang didapatkan dari Polda Bali. Adapun pengumpulan data menggunakan metode observasi yang dilakukan dengan mencari BAPberbentuk teks tanya jawab secara tertulis dari proses penyidikan di Polda Bali. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan beberapa langkah sesuai teori Miles dan Huberman (1992:15-19) yaitu menganalisis data dengan empat langkah: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan

(verifikasi). Hasil analisis data dalam penelitian ini akan disajikandalam bentuk formal, yaitu dengan menggunakan tabel dan diagram dan dalam bentuk informal, yaitu dengan mendeskripsikan dalam bentuk kalimat dan paragraf (Creswell, 2014:74)

Penelitian ini merujuk pada dua artikel yang terkait. Ini penting dilakukan guna menyusun landasan atau kerangka teori serta berfungsi pula untuk mengetahui kedudukan penelitian di samping penelitian lain yang memiliki relevansi. Waljinah (2016) dalam penelitiannya yang berupa sebuah artikel jurnal berjudul “Linguistik Forensik Interogasi: Kajian Implikatur Percakapan dari Perspektif Makna Simbolik Bahasa Hukum” mengidentifikasi bentuk dan analisis implikatur dalam interogasi di kepolisian dari perspektif maknasimbolik bahasa hukum. Artikel tersebut dinilai relevan dilihat dari pendekatan analisis yang menitikberatkan pada linguistik forensik dalam interogasi. Kemudian, Fitri (2019) dalam penelitiannya yang berupa sebuah artikel jurnal berjudul “The Textual Structure of the Jessica-Mirna Judicial Text: An Forensic Linguistic Approach” mengaplikasikan pendekatan linguistik forensik dan teori struktur teks generik yang menfokuskan mengenai teks peradilan dimana Jessica sebagai pelaku dan Mirna sebagai korban. Kontribusi artikel tersebut yakni melihat struktur tekstual dari teks hukum yang mana teks hukum yang dalam hal ini adalah BAP digunakan dalam penelitian ini.

Dalam mendukung pendekatan linguistik forensik yang digunakan dalam penelitian ini, terdapat 3 teori yang digunakan, diantaranya teori konteks situasi oleh Halliday, teori prinsip kerja sama oleh Grice, dan teori makna ideologi, oleh Martin. Konteks situasi menurut Halliday (1989:12) terbagi tiga, yakni: medan wacana yang merujuk pada apa yang terjadi, pelibat wacana yang

merujuk pada orang yang terlibat, serta sarana wacana yang merujuk pada peran bahasa dalam percakapan tersebut. Kemudian teori kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah prinsip kerjasama sendiri dicetuskan oleh Grice (1989:26) yang terbagi atas empat jenis maksim, yakni: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim hubungan, dan maksim cara. Maksim kuantitas mengharapkan penutur untuk memberikan informasi yang cukup dan informatif, maksim kualitas mengharapkan penutur menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur, kemudian maksim hubungan mengharapkan penuturnya untuk dapat memberikan kontribusi yang relevan (sesuai) tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu dan maksim cara mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas dan tidak kabur. Teori ketiga yang digunakan yakni makna ideologi. Martin (1992:507) memandang bahwa terdapat dua perspektif ideologi, sinoptis dan dinamis. Dilihat secara sinoptik, ideologi merupakan sistem orientasi pengkodean yang membentuk suatu budaya. Seperti yang disarankan oleh Bernstein (1971, 1973, 1975, 1990), orientasi pengkodean dimanifestasikan melalui gaya semantik spesifik kontekstual yang terkait dengan kelompok penutur dari generasi, jenis kelamin, etnis, dan kelas yang berbeda. Ketiga teori tersebut berkontribusi dalam hal penggunaan bahasa saksi dan tersangka terhadap topik pembunuhan yang dapat mengungkap fakta dalam proses penyidikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konteks Situasi dalam Berita Acara Pemeriksaan

Konteks situasi adalah situasi yang terdapat dalam teks. Bagian ini akan membahas secara spesifik konteks situasi

dari teks penyidikan penyidik dan tersangka serta penyidik dengan saksi. Halliday (1989:12) menyebut konteks situasi meliputi medan wacana, pelibat wacana, serta sarana wacana. Medan wacana membahas tentang aktivitas sosial yang terjadi, pelibat wacana membahas mengenai orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa ini, dan sarana wacana membahas tentang penggunaan bahasa dalam penyidikan kasus ini.

Medan Wacana

Dari hasil analisis yang dilakukan, ditemukan bahwa medan wacana dalam Berita Acara Pemeriksaan di tanggal 10 Juni, 13 Juni, 24 Juni, serta 7 Juli 2015 secara garis besar berbicara tentang detail kejadian yang dilakukan oleh penyidik selaku orang-orang yang bertanggung jawab dalam proses pemeriksaan di kepolisian terhadap tuduhan pembunuhan seorang anak perempuan bernama Engeline. Ini salah satunya dapat terlihat dalam percakapan penyidik dan saksi berikut.

Penyidik: Pada tanggal 16 Mei 2015, pagi hari jam berapa saudara bangun tidur dan apa yang saudara lakukan? Jelaskan?

Saksi: Pada tanggal 16 Mei 2015 saya bangun pagi sekitar jam 07.00 wita. Baru bangun tidur saya langsung memberikan makan ayam dan Engeline dengan menggunakan daster warna putih ada gambar bunga satu warna dan memakai sandal jepit warna kuning semua.

(Berita Acara Pemeriksaan, 10 Juni 2015)

Dari percakapan di atas dapat terlihat bahwa penyidik menanyakan kronologi yang dimulai dari menanyakan jam berapa saksi bangun serta aktivitas yang dilakukan setelahnya. Ini dilakukan untuk mengetahui apakah yang dilakukan saksi

ada indikasi pidana atau tidak. Nantinya, akan dikaitkan aktivitas tersebut dengan kejadian pembunuhan.

Adapun topik pembicaraan membahas hal-hal pribadi secara umum terlebih dahulu yang dimaksudkan untuk mengetahui latar belakang korban, saksi, dan tersangka. Pertanyaan mengenai latar belakang saksi dan tersangka adalah untuk mengetahui atau memastikan bahwa orang yang diperiksa saat itu dalam keadaan sehat jasmani maupun rohani. Kemudian mengerucut ke hal-hal spesifik seperti detail kejadian dan orangorang terkait yang dapat dijadikan sebagai saksi tambahan untuk memperkuat keterangan dari tersangka dan saksi utama. Hal pribadi yang dimaksud adalah mengenai hubungan antar tersangka, saksi dengan korban. Seperti pada percakapan-percakapan berikut:

Penyidik: Apakah saudari kenal dengan korban atas nama Engeline dan apa hubungan saudari dengan korban? Jelaskan?

Tersangka: Saya tidak bersedia memberikan keterangan.

(Berita Acara Penolakan, 7 Juli 2015)

Penyidik: Coba saudara jelaskan kapan dan di mana saudara mengenal korban Engeline serta apa hubungan saudara dengan korban? Jelaskan?

Saksi: Saya kenal dengan Engeline, saya kenal dengan Engeline setelah sehari saya bekerja. Saya tahu Engeline karena saat saya diantar oleh Adi, Adi sempat mengatakan bahwa Engeline adalah anak dari BT.”

(Berita Acara Pemeriksaan 10 Juni 2015)

Dalam wacana ini terlihat bahwa penyidik menanyakan hubungan antar

pelibat yakni dengan menanyakan mengenai hubungan tersangka dengan korban serta korban dan saksi. Tujuan penyidik menanyakan pertanyaan-pertanyaan di atas adalah untuk mengetahui motif serta keterkaitan antar pelibat. Penyidik menanyakan mengenai Engeline dan ATHM kepada tersangka untuk mengetahui seberapa dekat hubungan mereka sehingga dari sanalah terlihat motif awal atau motif sebenarnya. Halliday (1989) menyebut bahwa relasi antar pelibat penting ada dalam wacana. Sebab, semakin erat relasi emosi antara pelibat satu dengan yang lain, semakin kecil tindak kejahatan dilakukan.

Pelibat Wacana

Pelibat dalam wacana menunjukkan hubungan antar orang dalam wacana. Dilihat dari unsur pelibatnya, dalam keempat teks BAP, terdapat tiga peserta utama interaksi, yakni penyidik, tersangka, serta saksi. Di antara penyidik dan tersangka tidak memiliki hubungan yang intens ataupun keterlibatan emosi, karena penyidik dalam hal ini kepolisian bertindak sebagai sebuah institusi yang hanya bersifat profesional sehingga terdapat jarak antara penyidik dengan tersangka dan saksi dikarenakan adanya kontak yang tidak intens. Kontak hanya terjadi saat proses penyidikan berlangsung. Selain itu, kuasa yang dimiliki penyidik tidak sejajar apabila dibandingkan dengan dua pelibat lainnya. Hal ini dikarenakan penyidik dalam hal ini yang memeriksa dan membuat keputusan.

Sarana Wacana

Sarana dalam teks BAP dapat dilihat dari sarana yang digunakan dalam perwujudan bahasa. Penyidikan diwujudkan dalam bentuk lisan namun juga dimaksudkan untuk diketik dan dibaca sebagai bahan pertimbangan untuk proses penyelidikan lebih lanjut. Saat ditulis dan dibaca, teks ini tidak

kehilangan ciri khususnya sebagai bahasa lisan. Bentuk tertulis dipilih agar menjadi sebuah dokumen yang mana nantinya dapat dirujuk sewaktu-waktu bagi yang membutuhkannya dan disimpan sebagai arsip oleh pihak kepolisian. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teks BAP yang ditulis akan disimpan sebagai dokumentasi yang mana dalam hal ini dalam bentuk salinan keras. Adapun aspek teks yang terdapat dalam BAP salah satunya ialah referensi anaforik yang mengekspresikan ketersinambungan monolog. Seperti pada kata “anak” dan suffiks -nya pada dialog sebelumnya serta pula banyaknya penggunaan konjungsi yang menghubungkan satu klausa dengan yang lainnya sehingga membentuk kalimat-kalimat kompleks.

Ketika saya mau masuk kamar Ibu MCM, pintu dalam keadaan tertutup…..”

“Yang ada di rumah saat itu adalah saya, Ibu MCM, Engeline, Susiani, dan Pak Handono, namun pada malam hari Ibu Rohana dan seorang perempuan…..” (Berita Acara Pemeriksaan, 13 Juni 2015)

Hal ini terjadi karena dalam menjelaskan sesuatu, dibutuhkan kalimat-kalimat kompleks.

Prinsip  Kerjasama  dalam Berita

Acara Pemeriksaan

Prinsip kerjasama adalah situasi yang terdapat dalam teks. Bagian ini akan membahas secara spesifik pelanggaran pada prinsip kerjasama dari teks penyidikan penyidik dan tersangka serta penyidik dengan saksi yang meliputi maksim-maksim percakapan yang dikemukakan Grice.

Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas mengharuskan penutur untuk memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan

seinformatif mungkin. Dalam Berita Acara Penolakan Tanda Tangan BAP tersangka, tersangka MCM melakukan pelanggaran maksim kuantitas dengan tidak memberikan informasi apapun yang dibutuhkan penyidik.

Penyidik: Apa hubungan saudari dengan ATHM als A?

Tersangka:   Saya tidak bersedia

memberikan keterangan.

(Berita Acara Penolakan, 7 Juli 2015)

Tuturan di atas melanggar maksim kuantitas.     Penyidik     melontarkan

pertanyaan dengan harapan akan dijawab oleh tersangka. Namun tersangka melanggar maksim kuantitas dengan menolak memberikan informasi kepada penyidik. Terbukti dari keterangan tersangka yang mengatakan, “saya tidak bersedia memberikan keterangan”. Hal ini tentunya tidak memberikan kepastianapapun kepada penyidik sehingga dikeluarkan Berita Acara Penolakan oleh tersangka pada tanggal 7 Juli 2015.

Maksim Kualitas

Penyidik: Pada tanggal 16 Mei 2015, pagi hari jam berapa saudara bangun tidur dan apa yang saudara lakukan? Jelaskan?

Saksi: Pada tanggal 16 Mei 2015 saya bangun pagi sekitar jam 07.00 wita. Baru bangun tidur saya langsung memberikan makan ayam dan Engeline dengan menggunakan daster warna putih ada gambar bunga satu warna dan memakai sandal jepit warna kuning semua.

(Berita Acara Pemeriksaan, 10 Juni 2015)

Pada tanggal 16 Mei 2015 jam 06.00 wita seperti biasa saya memberikan

ternak makan sampai jam 09.00 wita, sedangkan Engeline MM alias Engeline memberikan makan ayam yang berada di depan pintu kamar, beberapa saat kemudian ketika saya melihat Engeline memegang kertas putih di depan mobil….”

(Berita Acara Pemeriksaan, 24 Juni 2015)

Dari dua keterangan saksi di atas yang diambil dari dua BAP berbeda, dapat dilihat bahwa saksi melanggar maksim kualitas karena keterangan yang berubah-ubah. Pada BAP di tanggal 10 Juni, tersangka mengatakan bahwa ia bangun pagi sekitar pukul 07.00 wita, kemudian pada penyidikan selanjutnya di tanggal 24 Juni 2015, saksi mengatakan bahwa ia memberi makan ternak pada pukul 06.00 wita. Ini menandakan sumbangan informasi yang diberikan oleh saksi adalah informasi ragu-ragu yang kebenarannya tidak bisa dipastikan. Kemungkinan keraguan ini disebabkan oleh saksi yang gugup saat ditanyakan atau saksi yang memberikan informasi palsu. Tujuan penyidik menanyakan hal tersebut adalah untuk mengetahui kronologi kejadian pada tanggal tersebut.

Ideologi dalam Berita Acara Pemeriksaan

Bahasa dan ideologi memiliki hubungan yang bersifat hierarkis dengan urutan bahasa, register, genre, dan ideologi      (Wiratno,     2018:364).

Pembentukan makna ideologi ditentukan oleh adanya field (medan), tenor (pelibat), mode (sarana) (Martin, 1992). Namun, unsur yang paling berperan dalam pembentukan ideologi adalah pelibat wacana. Pelibat wacana dapat mengungkap makna ideologi melalui interaksi verbal di ruang penyidikan. Lebih lanjut, analisis ideologi dalam penelitian ini berfokus terhadap ideologi yang dipandang sebagai produk

(sinoptis), mengingat penelitian ini melihat berdasarkan perspektif teks, dan tidak melihat keterkaitannya dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat (dinamis).

Ideologi pada Field

Ideologi pada field berkaitan dengan teks sebagai representasi pengalaman seperti jenis kegiatan serta bagaimana kejadian tersebut terjadi di mana hal ini tentunya mencerminkan ideologi tertentu yang diyakini oleh pelibat teks. Terbentuknya BAP sebagai sebuah teks didasari oleh pengetahuan para pelibat teks, dalam hal ini tersangka dan saksi untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya atas kasus pembunuhan Engeline. Ideologi dalam field memerlukan sistem pemaknaan berlapis, seperti makna denotasi, makna konotasi, dan makna ideologi.

No

Data Struktur Pclibat

Analisis Ideologi

Makna

Denotasi

Makna

Konotasi

Makna

Ideologi

1.

Penyidik J.I.N Pandie, SH dengan penyidik pembantu Ni Nym Eny Perimawati, S.Kom, SH, G.A.A Udayani Addi, SH.H. SIK, Penyidik Endy Winanto, tersangka bennisial MCM, saksi bennisial ATHM-

Keterangan dari masing-masing tersangka dan saksi

Penyidik Iiieniyelidiki dan menilai keterangan tersangka dan saksi.

Keputusan akhir ditentukan oleh pihak kepolisian.

Tabel di atas menjelaskan keterkaitan hubungan antar pelibat satu dengan yang lain. Dijelaskan pula lebih lanjut mengenai sistem lapisan makna pada medan wacana. Makna denotasi menggambarkan kesaksian dari tersangka dan saksi melalui keterangan yang diberikan tersangka dan saksi di ruang penyidikan. Makna konotasi berasal dari penyelidikan dan penilaian penyidik kepolisian melalui keterangan tersangka dan saksi yang diberikan di ruang penyidikan. Kemudian makna ideologi

diperoleh dari pengumpulan bukti keterangan tersangka dan saksi yang kemudian menghasilkan keputusan akhir di tahap penyidikan. Keputusan akhir dimaksud kekuasaan dan kewenangan penyidik dalam menemukan tersangka dari peristiwa pidana ini agar menjadi jelas untuk selanjutnya dilanjutkan ke tahap penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.

Ideologi pada Tenor

Ideologi pada tenor (pelibat) teks berkaitan dengan bagaimana teks membentuk makna interpersonal. Analisis ideologi pada tenor berkaitan dengan ideologi pada field (medan) karena terdapat partisipan atau pelibat pada setiap medan yang memiliki perbedaan kedudukan, status, dan peran. Partisipan berperan penting dalam penyusunan teks karena informasi dalam teks berasal dari pengetahuan para partisipan atau pelibat teks.

Pada masing-masing BAP, disebutkan pelibat yang wajib muncul yakni penyidik dengan saksi ATHM dan penyidik dengan tersangka MCM als BT. Dijelaskan pula pelibat-pelibat yang boleh muncul yakni pelibat-pelibat yang disebutkan oleh penyidik maupun tersangka serta saksi pada saat proses interogasi berlangsung tanpa adanya kehadiran para pelibat tersebut di lokasi. Pelibat teks BAP memiliki ciri ideologi yang tampak yaitu adanya kuasa (power). Ideologi ini tampak dari kewenangan yang dimiliki penyidik dan otoritas dalam menginterogasi tersangka dan saksi.

No

Teks

Pelibat Teks

Penutur

Mitra Tutur

• Penyidik

pelibat yang

SaksiATHM

wajib muncul

Kandokang Madik

Markus Jawa Milaata

1.

BAP 10

Renggita

Juni

2015

pelibat yang

boleh muncul

Ndoru

Ibu Mangipati

Cici Pumama Ninggrun

Pak Nyoman Suwedi

Adi

BT

Engelinc

Bu Susiani

pelibat yang

Pak Handono

• Penyidik

Saksi AHTM

BAP 13

wajib muncul

Engeline

2.

MCM

Juni

pelibat yang

Yvon

2015

boleh muncul

Ibu Rohanah

Ibu Susiani

pelibat yang

Pak Handono.

• Penyidik

Saksi AHTM

wajib muncul

IbuMCM

BAP 24

V

Engeline

3.

Juni2015

Yvon

pelibatyang

Ibu Susiani

boleh muncul

Pak Handono

pelibatyang

Ibu Rohana

Tersangka MCM als BT

BAP 7

wajib muncul

4.

Juli

♦ Penyidik

Engeline

pelibat yang

2015

boleh muncul

ATHM

Ibu Susiani

Pak Handono

Menteri Menpan

Frangky Alexader

Maringka

Siska

Bu Rohana

Ideologi pada Mode

Penggunaan bahasa tulis dalam teks BAP menggunakan Bahasa Indonesia. Ideologi dalam mode dapat dilihat dari pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam penggunaan klausa, yakni dalam metafungsi tekstual yang terealisasi melalui sistem Tema-Rema. Tema merupakan struktur teks bagian depan, kemudian Rema berperan sebagai pelengkap (Halliday, 2014).

Teks BAP 1-4

Apa

yang Saudara lakukan saat saudara mendengar Engeline menangis? Jelaskan? (BAP 1, 10 Juni 2015)

Bagaimana

cara Saudara membawa bungkusan yang didalamnya ada tubuh Engeltne?

(BAP 2, IOJuni 2015)

Bagaimana

perlakuan MCM terhadap Engeline untuk sehari-harinya? (BAP 2, 13 Juni 2015)

Darimana

Sdr. mengetahui sehingga Sdr dapat menjelaskan seperti tersebut di atas? (BAP 2, 13 Juni 2015)

Apakah

saat ini Saudara dalam keadaan sehat jasmani dan rohani? (BAP 3, 24 Juni 2015)

Kenapa

Keterangan Sdr. selalu berubah-ubah dari awal sampai sekarang ini? (BAP 3, 24 Juni 2015)

Apakah

Siska sebelumnya sudah pernah ke Bali atau ke tempat Saudari?

Jelaskan? (BAP 4, 7 Juli 2015)

Mengapa

Saudari sampai memukul mulutnya Engeline saat itu? Jelaskan? (BAP 4, 7 Juli 2015)

Interpersonal

Tema

Rema

Pada BAP 1-4 terlihat ada kesamaan struktur Tema, yakni sama-sama mengandung unsur 5W+1H atau ‘wh-’ dan ‘how’ seperti what (apa), where (di mana), who (siapa), why (mengapa) dan how (bagaimana) yang menandakan pertanyaan. Masing-masing memiliki makna denotatif menanyakan tentang sesuatu atau seseorang sedangkan makna konotatifnya tentang atau mengenai hal yang dibahas pada masing-masing teks. Melalui susunan Tema, dapat diketahui fokus bahasan yang akan dibahas dalam teks. Adapun struktur Rema memberikan informasi mengenai orang-orang yang mungkinterlibat di dalamnya.

Berkaitan dengan Tema yang dibicarakan dalam teks, Tema interpersonal merupakan Tema yang dominan digunakan karena teks BAP ini mengandung tanya jawab yang mengharuskan interaksi interpersonal di

dalamnya. Hal ini juga menunjukkan adanya suatu keharusan bagi tersangka dan saksi untuk menjawab pertanyaan. Oleh karena itu, ideologi yang tercermin pada mode adalah ideologi kuasa (power) yang ditunjukkan oleh penanya, dalam hal ini penyidik, dalam menyampaikan pesan yang terkandung dalam teks. Hal tersebut tercermin dari penggunaan bentuk-bentuk klausa yang memiliki makna memberikan suruhan kepada tersangka dan saksi untuk menyampaikan jawaban yang sesuai dengan fakta.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis terhadap ketiga masalah, dapat disimpulkan bahwa dari segi konteks situasi, ditemukan bahwa medan wacana dalam BAP secara garis beras berbicara tentang detail dan kronologi kejadian. Pelibat utama dalam wacana yaitu penyidik, tersangka, dan saksi yang mana ketiganya tidak memiliki hubungan yang intens maupun keterlibatan institusi. Sarana dalam wacana diwujudkan dalam bentuk lisan namun juga dimaksudkan untuk diketik dan dibaca sebagai bahan pertimbangan untuk proses penyelidikan lebih lanjut. Kemudian dari segi prinsip kerjasama, maksim kuantitas dan maksim kualitas ditemukan dalam BAP. Hal ini disebabkan oleh tersangka dan saksi yang ingin menyembunyikan fakta. Pelanggaran maksim kuantitas dibuktikan dengan tersangka yang enggan menjawab pertanyaan penyidik dan pelanggaran maksim kualitas dibuktikan dengan adanya keterangan saksi yang berubah-ubah sehingga diragukankebenarannya.

Ideologi dalam wacana dijelaskan berdasarkan konteks situasi. Makna ideologi dalam field adalah keputusan akhir yang ditentukan oleh pihak kepolisian. Kemudian dalam ideologi tenor, ideologi yang tampak yakni adanya kuasa (power). Selanjutnya, ideologi mode berkaitan dengan sistem Tema-Rema. Tema yang paling sering

dibicarakan dalam teks, yakni Tema interpersonal.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, K. (2004). Semiotik Visual. Yogyakarta: Penerbit BukuBaik.

Coulthard, M. dan Johnson, A. (2010). The Routledge Handbook of Forensic  Linguistics.  Abingdon:

Routledge.

Fitri, N., Artawa, K., Sri Satyawati, M., dan Sawirman. (2019). The Textual Structure of the Jessica-Mirna Judicial Text:    A Forensic

Linguistic Approach. E-Journal of Linguistics, 13(1), 174-188.

Grice, P. (1991). Studies in the Way of Words.     Massachusetts/London:

Harvard University Press.

Halliday, M.A.K. dan Hasan, R. (1989). Language, Context and Text: Aspects of Language in a Social Semiotic Perspective. Oxford: Oxford University Press.

Halliday, M.A.K. dan Hasan, R. (1994). Bahasa Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (Terjemahan Asruddin Barori Tou). Yogyakarta: UGM Press.

Halliday, M.A.K dan Matthiessen, C. (2014). Introduction to Functional Grammar. London/New York: Routledge Taylor & Francis Group.

Mahsun. (2018). Linguistik Forensik: Memahami Forensik Berbasis Teks dengan Analogi DNA. Depok: Rajawali Pers.

Mappiare, A. (2009). Dasar-dasar Metodologi Riset Kualitatif Untuk Ilmu Sosial dan Profesi. Malang: Jenggala Pustaka Utama.

Martin, J.R. (1992). English Text: System and                      Structure.

Philadelphia/Amsterdam:     John

Benjamins Publishing Company.

Miles dan Huberman. (2014). Qualitative Data Analysis, A Methods Sourcebook,  3rd Edition. USA:

Sage Publications.

Moleong, L. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Olsson, J dan Luchjenbroers, J. (2014). Forensic Linguistics. London/New York: BloomsburyAcademic.

Pastika, I.W. (2018). Peran Konteks dalam Penentuan Makna Tersirat Teks: Kasus Tiga Teks Forensik Bahasa Indonesia. Simposium ke-49 Himpunan              Peneliti

Indonesia Seluruh Jepang, Nanzan University, Nagoya, Jepang.

Surbakti, E. (2019). “Kajian Linguistik Forensik terhadap Gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi     Elektronik     dari

Universitas    Sumatera   Utara”

(disertasi). Medan: Program Studi Doktor Linguistik, Universitas Sumatera Utara.

Suryabrata, S. (1987). Metode Penelitian. Jakarta: Rajawali.

Waljinah, S. (2016). Linguistik Forensik Interogasi:    Kajian Implikatur

Percakapan dari Perspektif Makna Simbolik    Bahasa     Hukum.

International Seminar Prasasti III: Current Research in Linguistics.

Waskita, D. (2014). Transitivityin

Telephone Conversation Ina

Bribery Case in Indonesia:A

Forensic Linguistic Study. Jurnal Sosioteknologi Institut Teknologi Bandung, 13 (2), hlm. 91-100.

Yanthi, Y.P., Sedeng, I.N., Suardhana, I.W. (2017). Context of Situation in Code Switching Found in the Movie Entitled Check-In Bangkok. Jurnal Humanis Fakultas Ilmu Budaya Unud, 19 (1), hlm. 215221.

Yuliastini, D. (2016). Flouting of Cooperative Principle in “Diary of a Wimpy Kid: Dog Days”. E-Jurnal Humanis, Fakultas Sastra dan Budaya Unud, 14 (1), hlm. 23-29.