Reformulasi Undang-Undang Narkotika Sebagai Proyeksi Persoalan Overcrowding Rutan di Indonesia
on

Reformulasi Undang-Undang Narkotika Sebagai Proyeksi Persoalan Overcrowding Rutan di Indonesia
Ramadan Tabiu1, David Hardiago2
1Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 3 Agustus 2022
Diterima: 26 Mei 2023
Terbit: 27 Mei 2023
Keywords:
Reformulation, Narcotics, Overcrowding
Kata kunci:
Reformulasi, Narkotika, Overcrowding
Corresponding Author:
David Hardiago, E-mail: [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i01.
p14
Abstract
This legal research aims towards analyzing and presenting prognosis in order to answer the problems on prison overcrowding in indonesia which is carried out through the reformulation of Law Number 35 of 2009 on Narcotics. As a normarice legal research, this research uses several approaches, those include statutory approach, conceptual approach, and comparative approach. This research concluded that excessive imprisonment towards narcotics abuser and prison overcrowding have a causal relationship. Therefore, alternative punishment that involved no jail time is deemed necessary. Furthermore, for this alternative punishment to be effective, it is important to form a special task force aimed towards supervising the enforcement of the punishment so that it is adequetly executed.
Abstrak
Penelitian hukum ini bertujuan untuk menganalisis dan memberi proykesi dalam rangka menjawab permasalahan overcrowding rutan/lapas di Indonesia yang dilakukan dengan mekanisme reformulasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan diantaranya statute approach, conceptual approach, dan comparative approach. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa mekanisme pemidaan yang berlebih terhadap pengguna narkotika memiliki hubungan yang kasual dengan terjadinya overcrowding rutan di Indonesia. Sehingga, reformulasi alternative pidana non-pemenjaraan terhadap beberapa jenis tindak pidana narkotika penting untuk diperhitungkan. Selain itu, guna efektifitas pelaksanaan alternative pidana selain pemenjaraan tersebut, penting kirannya untuk dilakukan pembentukan divisi khusus yang bertujuan mengawasi pelaksanaan pidana tersebut agar dapat berjalan secara efektif.
-
I. Pendahuluan
Van Bemmelen dan van Hattum sebagaimana yang dikutip Eddy O.S Hiariej, pada intinya menyatakan bahwa “hukum pidana dewasa ini barulah mencapai suatu tahap tertentu di dalam sejarah perkembanganya, meskipun titik akhirnya itu sudahlah jelas belum tercapai”.1 Hal tersebut kiranya dipahami mengingat ungkapan usang dalam Bahasa Belanda “Het recth hinkt achter de feiten aan” yang berarti hukum itu selalu tertinggal dari peristiwanya.2 Hukum pidana yang dapat dinamakan sebagai ilmu tentang hukumnya kejahatan,3 perlahan namun pasti mulai berusaha untuk dapat mengantisipasi kebutuhan akan hukum oleh masyarakat dengan tujuan hukum umum untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai,4 serta tujuan khusus dari hukum pidana yang ditujukan untuk menegakan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum.5
Perkembangan hukum khususnya pranata hukum pidana Indonesia, kirannya tidak saja terkait dengan perkembangan tujuan hukum pidana melaikan, yang berkaitan pula dengan tujuan pemidanaan. Dalam dimensi sejarah hukum kaitannya dengan tujuan pemidanaan, sejatinya telah lama bergeser kearah yang tidak lagi bersifat retributive (absolut) melainkan menuju kearah yang lebih bersifat relative (alternative dan gabungan).6 Secara nyata, pergeseran tujuan pemidanaan sebagaimana dimaksud dapat diperhatikan dari perubahan sistem pemenjaaraan yang merupakan tujuan hukum pidana pada aliran klasik,7 menjadi sistem pemasyarakatan yang lebih modern dan mengakui pemenuhan hak-hak narapidana sesuai dengan Standard Minimum Rules for the treatment of prisoners (SMR), dan telah berlangsung sejak pertengahan tahun 90-an ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.8 Namun, kendatipun konsep pemidanaan tersebut telah berubah, problem dalam hukum pidana dan pemidanaan tidak serta-merta berakhir pada fase pergeseran ideologi pemidanaan tersebut. Melainkan, saat ini problem yang ada justru bergeser pada babak baru dengan lapangan perdebatan yang lebih kompleks khsusunya perihal kepenuhsesakan atau overcrowding rutan/lapas yang menjadi tempat pembinaan terhadap mereka yang melakukan perbuatan pidana/tindak pidana.
Dimensi dalam doktrin hukum pidana Indonesia yang selalu membicarakan 3 (tiga) pilar utama hukum pidana yakni perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana, dan
pemidanaan tanpa memasukan eksekusi pidana sebagai salah satu di antara pilar utama tersebut, turut pula menjadi salah satu penyumbang dari lahirnya problem hukum overcrowding rutan/lapas. Mengingat, dari ke-3 pilar utama tersebut sejatinya akan selalu merujuk pada penagangan kejahatan yang bertumpu pada kebijakan-kebijakan yang bersifat penal semata yang pada gilirannya melahirkan overkriminalisasi dalam regulasi hukum di Indonesia dan terkesan mengabaikan eksekusi pidana.9 Meskipun diketahui, dalam praktinya efektifitas dari hukum pidana sangat bergantung pada perumusan norma hukum pidana (formulasi kebijakan pidana).10 Namun, di sisi lain harus tetap memperhatikan hukum pidana eksekusi yang memainkan peran penting pada keberhasilan dari hukum pidana sebagai sarana pembinaan.11
Problem hukum kaitannya dengan overcrowding rutan/lapas di Indonesia, sejatinya merupakan permasalahan yang penting untuk diberikan solusi. Mengingat, keadaan tersebut paling tidak akan mebawa dampak pada problem lanjutan seperti tidak terlaksananya program pembinaan, perlakuan yang kurang manusiawi, tidak terlaksananya sistem pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari proses pemidanaan, dampak pemenjaraan menimbulkan “prisionalisasi” (sekolah tinggi kejahatan), sigmanisasi, residivisme, dehumanisasi,12 penggunaan anggaran, hingga dampak pelannggaran hukum yang berhubungan dengan jaminan lingkungan yang sehat (terhadap warga binaan), dan aspek keamanan dalam rutan/lapas baik terhadap warga binaan maupun petugas rutan dan pemasyarakatan.13 Dalam beberapa segmen pembahasan perihal kondisi overcrowding rutan/lapas di Indonesia, sejak lama telah menjadi salah satu perhatian khusus bagi Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Kemenkumham) dan beberapa lembaga terkait untuk menyusun program yang ditujukan sebagai solusi atas permasalahan tersebut, dengan melahirkan
beberapa program utama yang diproyeksikan di antaranya pembangunan, rehabilitasi, rekonstruksi rutan/lapas, penambahan jumlah rutan/lapas, pembentukan UPT pemasyarakatan baru,14 Reformulasi RUU Pemsyarakatan, dan pengundangan RUU KUHP yang diasosiasikan akan mampu untuk mengatasi problem overcrowding yang terjadi.15 Meskipun diketahui bahwa dari segi efektifitas waktu dan anggaran, hemat penulis proyeksi tersebut sekirannya belum mampu untuk dijadikan sebagai solusi utama mengingat program yang dijadikan sebagai proyeksi membutuhkan rentan waktu yang lama di satu sisi, sementara di sisi lainnya jumlah wargan binaan (tahanan dan narapidana) terus mengalamai tren peningkatan.16
Kompleksnya persoalan overcrowding rutan/lapas di Indonesia, secara nyata dapat diperhatikan dari data-data yang dihimpun oleh beberapa lembaga terkait. Sebagai mukadimah untuk mendeskripsikan problem overcrowding tersebut, kirannya dapat diperhatikan dari data yang dipaparkan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang mana, sejak Maret 2020 (sebelum pengeluaran Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) besar-besaran karena pandemi COVID-19), tercatat hanya 3 (tiga) dari 523 wilayah Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pemasyarakatan yang tidak mengalami overcrowding yaitu, D.I. Yogyakarta, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat (Sistem Database Pemasyarakatan (SDP), 2020).17 Sedangkan, jika merujuk pada data per provinsi, persentase overcrowding sangat bervariasi. Untuk tahun 2015, meskipun secara nasional persentase overcrowding sebesar 25%, namun untuk wilayah Jakarta persentasenya mencapai 180%. Di tahun 2020, persentase nasional overcrowding sebesar 103%, namun untuk Kalimantan Timur angkanya bahkan mencapai 253%, diikuti Jakarta 217% dan Riau 201%.18 Secara visual data tersebut dapat dilihat pada diagram 1 sebagai berikut.
Diagram 1
Persentase Overcrowding di Lapas/Rutan Tahun 2015 s/d 2020
Sumber: smslap.ditjenpas.go.id, data yang diolah diambil per Februari setiap tahunnya
Dari data yang dikemukakan di atas, diketahui bahwa penambahan jumlah tahanan dan narapidana dari tahun ke tahun terus meningkat yang berdampak pada tidak seimbanganya antara kapasitas rutan/lapas dengan jumlah tahanan dan narapidana yang dibina. Selain itu diketahui pula bahwa dari penambahan jumlah tahanan dan narapidana tersebut, kirannya didominasi oleh tren kejahatan khusus tertinggi yakni kejahatan korupsi dan narkotika.19 Peningkatan tersebut dapat dilihat pada diagram 2 sebagai berikut.
Diagram 2
Tren Peningkatan Narapidana Korupsi dan Narkotika
Tahun |
Korupsi |
% |
Pengedar Narkotika |
% |
Pengguna Narkotika |
% |
2015 |
4277 |
2,6 |
37475 |
22,6 |
28514 |
17,2 |
2016 |
4653 |
2,6 |
45902 |
25,4 |
25949 |
14,4 |
2017 |
4848 |
2,3 |
57240 |
27,2 |
32339 |
15,4 |
2018 |
5477 |
2,3 |
74253 |
31,5 |
38163 |
16,2 |
2019 |
5270 |
2,0 |
85063 |
32,9 |
47054 |
18,2 |
2020 |
5088 |
1,9 |
92627 |
34,4 |
47695 |
17,7 |
Sumber: smslap.ditjenpas.go.id, data yang diolah diambil per Februari setiap tahunnya
Selanjutnya, apabila difokuskan pada satu jenis tren kejahatan khusus yang paling banyak menyumbang tahanan dan narapidana, kirannya akan diketahui bahwa jumlah tersebut datang dari tren kejahatan narkotika, yang mana sejak tahun 2014 hingga 2017 mengalami lonjakan hingga dua kali lipat dan membawa 44.922 “pengguna narkotika” ke penjara.20 Dari data-data yang dikemukakan tersebut diketahui bahwa selain sebagaian besar
penghuni rutan/lapas di Indonesia di dominasi oleh tindak pidana narkotika . Hal lain yang penting pula untuk diperhtikan adalah presentase peningkatan kasus yang bermuara pada tejadinya overcrowding rutan/lapas, didominasi oleh tindak pidana narkotika yang tergolong ringan yakni kasus-kasus yang berhubungan dengan pengguna narkotika (pencandu dan penyalahguna).21
Artinya, apabila tren peningkatan tahanan dan narapidana narkotika tersebut dapat ditekan, paling tidak dapat dipahami bahwa hal tersebut akan memberi dampak yang signifikan dalam rangka mengurangi tingkat overcrowding rutan/lapas yang terjadi saat ini mengingat 67,56% atau 138.102 jumlah tahanan dan narapidana di rutan/lapas didominasi oleh kasus yang berasal dari tindak pidana narkotika.22 Namun, yang menjadi problem selanjutnya adalah proykesi seperti apa yang dapat ditawarkan pada konsepsi pengaturan atau regulasi hukum narkotika saat ini sehingga pada gilirannya nanti dapat memberi solusi dalam pemecahan problem hukum yang dimaksud dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang ada saat ini. Sehingga atas dasar tersebutlah, nantinya penelitian ini akan membahas mengenai proykesi penurunan tingkat overcrowding rutan/lapas di Indonesia dengan mekanisme reformulasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Studi terdahulu dilakukan pada 2018 oleh Institute for Criminal Justice Reform (IJJR), yang mengkaji mengenai “Strategi Menangani Overcrowding di Indonesia: Penyebab, Dampak dan Penyelesaiannya”. Dalam penelitian tersebut, fokus kajian adalah mengkaji situasi, penyebab, dan bagaimana strategi penanganan overcrowding di Indonesia dengan menekankan pada reorientasi pemidanaan, mengefektifkan kebijakan pidana nonpenjara, revisi peraturan yang menghambat arus keluar, dan upaya pembatasan penahanan pra persidangan.23 Pada tahun 2022, penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Letares L.R Sianturi dan Padmono Wibowo yang mengkaji mengenai “Implementasi Permenkumham Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Grand Design Penanganan Overcrowded Di Lapas Kelas IIB Siborongborong”. Dalam penelitian ini, fokus kajian ditekankan pada penggunaan Permenkumham No. 11 Tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan dengan pemberian remisi, pembebasan bersyarat dan retribusi bagi warga binaan pemasyarakatan.24
Penelitian ini jika dibandingkan dengan beberapa studi terdahulu memiliki kesamaan dari segi topik, yaitu problem hukum overcrowding rutan/lapas di Indonesia, namun memiliki kajian yang berbeda. Penelitian ini berfokus pada 2 (dua) rumusan masalah yang dikaji yakni pertama, bagaimana hubungan antara Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan overcrowding rutan/lapas di Indonesia? dan kedua, bagaimana proyeksi
politik hokum pengaturan tindak pidana narkotika pada masa mendatang bagai upaya penanganan overcrowding rutan/lapas di Indonesia? Tujuan utama dari penelitian ini berupaya untuk menghasilkan kerangka dan pola kebijakan hukum pidana yang menekankan pada reformulasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai proyeksi persoalan overcrowding rutan/lapas di Indonesia.
Tulisan ini menggunakan penelitian hukum normative (doctrinal) yang bertujuan menemukan pernyataan hukum tertentu atau analisis hukum dengan logika dan kedalaman yang lebih kompleks terkait dengan reformulasi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai proyeksi persoalan overcrowding lapas/rutan di Indonesia.25 Sebagai penelitian normatif, data yang dicari dalam penelitian ini berupa data sekunder.26 Data sekunder ini nantinya akan terdiri dari bahan hukum yang mencakup “bahan hukum primer”27, “bahan hukum sekunder”28, dan “bahan hukum tertier.”29 Dengan dibarengi beberapa pendekatan diantaranya statutory approach, conceptual approach, dan comparative approach.30 Sehingga, penelitian normatif atau doktrinal yang berbasis kepustakaan ini berupaya untuk menemukan “satu jawaban yang tepat" untuk masalah atau pertanyaan hukum Reformulasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Sebagai Proyeksi Persoalan Overcrowding Lapas Di Indonesia, dengan upaya mensistematisasi proposisi hukum dan studi institusi hukum melalui penalaran hukum atau deduksi rasional.31
Dalam rangka menjawab problem overcrowding rutan di Indonesia dengan mekanisme reformulasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, paling tidak kajian tersebut akan terbagi menjadi 2 (dua) garis besar utama yang sekaligus menjadi scope pembahasan pada penelitian ini di antaranya: Pertama, uraian perihal hubungan antara UU a quo dengan kondisi overcrowding rutan/lapas yang terjadi saat ini. Kedua, uraian perihal proyeksi politik hukum pengaturan tindak pidana narkotika pada masa
mendatang sebagai upaya penanggulangan overcrowding lapas/rutan di Indonesia, yang akan dianalisis sebagai berikut.
-
3.1. Hubungan Antara Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Overcrowding Rutan Di Indonesia
Analisis mengenai hubungan antara overcrowding lapas/rutan di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hemat penulis ditujukan untuk mendeskripsikan tidak saja terbatas pada hubungan yang kausal antara overcrowding lapas/rutan di Indonesia dengan tindak pidana narkotika, melainkan akan ditujukan pula untuk mengetahi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan tersebut dapat terjadi. Sehingga nantinya diharapkan, dari penjabaran hubungan dan faktor yang menyebabkan problem tersebut, penulis akan mampu untuk memberi proyeksi yang tepat dalam pemberian solusi terkait dengan problem overcrowding lapas/rutan di Indonesia.
Penjelasan mengenai hubungan yang kusal antara overcrowding lapas/rutan di Indonesia dengan tindak pidana narkotika, akan diawali dengan terlebih dahulu melihat kajian dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang dalam laporannya pernah merilis bahwa peningkatan signifikan dari jumlah penghuni rutan/lapas di Indonesia terjadi akibat peningkatan jumlah perkara narkotika.32 Bahkan, dari laporan tersebut memperlihatkan bahwa angka peningkatan penghuni rutan/lapas justru hadir dari tindak pidana narkotika yang notabene masuk dalam rumpun tindak pidana narkotika ringan seperti penyalahgunaan narkotika (pencandu dan penyalahguna). Hal tersebut, dapat diperhatikan dari diagram 3 yang memperlihatkan bagaimana tren peningkatan kejahatan narkotika dan tindak pidana narkotika yang tergolong ringan tersebut dapat menjadi salah satu penyumbang dari overcrowding lapas/rutan yang saat ini terjadi.
Diagram 3
Juinlah Penghuni Lapas dalam Perkara Narkotika
■ Jumlah Pengguna Narkotika HJumIah Pengedar Narkotka ■ Jumlah VVBP
Sumber: International Criminal for Justice Reform (ICJR)
Dari diagram di atas dapat diperhatikan bahwa antara tahun 2011 sampai dengan tahun 2018, jumlah penghuni lapas yang berasal dari tindak pidana narkotika (baik pengguna narkotika maupun pengedar narkotika) selalu meningkat. Tentunya, tren peningkatan kejahatan narkotika yang berdampak pada terjadinya overcrowding rutan/lapas di Indonesia tersebut tidak secara serta merta dapat terjadi, melainkan dipengaruhi oleh
beberapa faktor utama. Hemat penulis, dari beberapa faktor yang dihimpun, paling tidak ada 3 (tiga) faktor utama yang secara garis besar mempengaruhi problem tersebut yang dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, faktor yang dipengaruhi oleh konstruksi pasal yang memuat ancaman pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penjelasan mengenai faktor dalam poin pertama ini, kirannya dapat diperhatikan dari konstruksi BAB XV tentang Ketentuan Pidana yang memuat perbuatan “memiliki”, “menyimpan”, dan “menguasai” sebagai suatu tindak pidana narkotika, tanpa diikuti oleh penjelasan lebih lanjut perihal kualifikasi perbuatan tersebut terhadap subjek penyalahguna narkotika dan pengedar narkotika. Dampaknya, terhadap mereka yang melakukan penyalahgunaan narkotika (pengguna dan pencandu), memiliki mekanisme penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana narkotika yang sama dengan subjek yang melakukan peredaran narkotika. Sementara, perlu kirannya diketahui bahwa mekanisme penegakan hukum terhadap subjek yang melakukan penyalahgunaan narkotika seharusnya dititikberatkan pada konsep yang bersifat pemulihan (rehabilitasi medis dan sosial) daripada mekanisme pidana yang bermuara pada pemenjaraan.33
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narklotika khususnya Pasal 127, sejatinya diketahui dan dikenal adanya mekanisme rehabilitasi (medis dan sosial) kepada subjek yang melakukan penyalahgunaan narkotika.34 Namun, hal ini tidak serta merta menjawab problem hukum dari tren peningkatan pemenjaraan yang berdampak pada terjadinya overcrowding rutan/lapas di Indonesia hasil dari tindak pidana narkotika. Mengingat, selain unsur dalam pasal a quo mengindikasikan tidak saja kepada subjek penyalahguna narkotika melainkan terhadap korban untuk direhabilitasi sesuai dengan putusan hakim output dari peradilan pidana, konstruksi pasal a quo diletakan pada bab yang sama yakni tentang “Ketentuan Pidana”. Sehingga, ketika dalam praktiknya Pasal 127 tersebut digunakan sebagai pembelaan, berdasarkan asas “titulus est lex dan rubrica est lex (judul dan bab yang menentukan)”35 maka kepada subjek tersebut masih dimungkinkan untuk tetap dijatuhi pidana penjara. Terlebih lagi, dalam struktur hukum pidana Indonesia, Aparat Penegak Hukum (APH) mayoritas masih berpegang pada “sikap memidana” yang tinggi atau punitive attitude.36
Kedua, factor yang merupakan dampak dari poin sebelumnya terkait dengan mekanisme asesmen yang tidak efektif. Mekanisme asesmen terhadap subjek yang melakukan penyalahgunaan narkotika, dalam tataran praktik umumnya menggunakan Peraturan Bersama37 sebagai syarat administrasi yang harus dilengkapi oleh pengguna narkotika untuk mendapat pemeriksaan kondisi ketergantungannya. Namun dalam perjalanannya, ternyata diketahui bahwa mekanisme ini tidak berjalan efektif untuk menekan tren peningkatan pemenjaran terhadap penyalahguna narkotika. Hal ini diketahui mengingat dalam konstruksi aturan tersebut, tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk akhirnya mendapatkan asesmen sulit untuk dilakukan serta batasan waktu yang diberikan terlampau singkat. Gambaran dari tahapan mekanisme untuk mendapatkan asesmen oleh penyalahguna narkotika paling tidak harus memenuhi beberapa persyaratan di antaranya:38
-
a. Permohonan harus menyertakan dokumen, paling tidak Berita Acara Pemeriksaan Hasil Laboratorium dan Berita Acara Pemeriksaan oleh Penyidik;
-
b. Tes urin harus berdasarkan hasil laboratorium yang memakan waktu tiga hari untuk selesai, padahal proses asesmen hanya dapat dilakukan dengan total enam hari,
-
c. Permohonan asesmen pada praktiknya harus ditandatangani oleh Kapolres
Sehingga dengan rumit dan singkatnya waktu yang diberikan untuk melakukan permohonan asesmen tersebut, pada gilirannya justru membawa dampak selain tidak efektifnya pelaksanaan asesmen, hal ini pada gilirannya akan menambah angka dari pemenjaraan terhadap subjek penyalahguna narkotika dan kembali pada problem peningkatan tren jumlah pemenjaraan terhadap tindak pidana narkotika yang notabene merupakan tindak pidana narkotika ringan.
Ketiga, faktor inkonsistensi terhadap asas proporsionalitas dan teori rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Asas proporsionalitas atau yang umumnya dikenal juga sebagai fundamentalnormen des rechstaats, secara sederhana diartikan juga sebagai keseimbangan antara cara dan tujuan dari suatu undang-undang yang dibentuk.39 Artinya, dalam pembentukan suatu undang-undang, yang menjadi kajian utama tidak saja terletak pada tujuan apa yang hendak dicapai dari undang-undang yang dibentuk tersebut. Melainkan, cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dari undang-undang yang dibentuk juga menjadi bahan kajian yang penting untuk diperhitungkan. Mengingat, ketika nantinya undang-
undang yang dimaksud telah diaplikasikan (tahap aplikasi), maka tolak ukur untuk menilai efektifitas dari capaian atas tujuan undang-undang terletak pada cara-cara dari pelaksanaan undang-undang yang dibentuk tersebut. Sedangkan, teori rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan memiliki penekanan utama bahwa pelaku kejahatan harus diperbaiki ke arah yang lebih baik, agar ketika kembali ke masyarakat ia dapat diterima oleh komunitasnya dan tidak lagi mengulangi perbuatan jahat yang pernah dilakukan.40
Hubungan antara asas proporsionalitas, teori rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan overcrowding rutan/lapas di Indonesia, secara tegas terlihat dari inkonsistensi antara tujuan dari UU Narkotika dengan cara-cara yang digunakan dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika yang terjadi. Mengingat, jika memperhatikan tujuan utama dari dibentuknya UU Narkotika yang secara expressive verbis terdapat dalam Pasal 4 UU Narkotika, secara tegas menyatakan bahwa “Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan: 1. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika; memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.”.
Dengan merujuk pada Pasal 4 UU Narkotika di atas, diketahui bahwa tujuan dari lahirnya UU tersebut salah satunya adalah “menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika”. Tujuan tersebut secara doktrin bersesuian dengan teori rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan yang menekankan pada perbaikan pelaku kejahatan ke arah yang lebih baik sehingga nantinya diharapkan angka dari kejahatan atau tindak pidana narkotika dapat berkurang. Namun, berdasarkan data yang telah dipaparkan sebelumnya pada beberapa diagram di atas (diagram 1 sampai dengan diagram 4), diketahui bahwa dalam dimensi praktik empiris angka kejahatan atau tindak pidana narkotika justru mengalami tren peningkatan setiap tahunya yang pada gilirannya berdampak terhadap overcrowding rutan/lapas di Indonesia. Hal ini diketahui mengingat dari 2 (dua) faktor yang telah dipaparkan sebelumnya, mekanisme penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika yang terjadi di Indonesia selain ditekankan semata-mata hanya melalui sarana pemidanaan, juga dipengaruhi oleh adanya konstruksi norma yang bersifat multitafsir terkait dengan ketiadaan batasan/parameter pembeda yang jelas mengenai mekanisme penegakan hukum dan pemidanaan antara tindak pidana narkotika yang tergolong ringan (penyalahgunaan narkotika dan pecandu narkotika) tindak pidana narkotika berat (pengedar narkotika). Hal lain yang juga mempengaruhi tren peningkatan tindak pidana narkotika adalah kedudukan Pasal 127 UU Narkotika yang mengatur mengenai rehabilitasi medis dan sosial yang justru ditempatkan dalam “Ketentuan Pidana” dalam UU Narkotika.
Dari penjabaran di atas, kirannya dapat diperhatikan bahwa tujuan dari UU Narkotika tersebut justru mengalami kontradiksi dengan cara-cara yang digunakan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menangani tindak pidana narkotika. Sehingga dapat ditegaskan bahwa salah satu faktor yang memberi pengaruh dari overcrowding rutan/lapas di Indonesia adalah inkonsistensi terhadap asas proporsionalitas dan teori
rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan cara-cara penegakan hokum terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH).
Akhirnya, dari kajian dan analisis dalam poin ini kirannya dapat disimpulkan bahwa hubungan antara overcrowding lapas/rutan di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tidak saja terlihat dari data yang dihimpun bahwa tindak pidana narkotika merupakan tren penyumbang tahanan dan narapidana terbesar pada rutan/lapas di Indonesia. Melainkan, hal ini kirannya dapat pula dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa peningkatan tren pemenjaraan tersebut dapat terjadi yang secara garis besar terbagi atas 3 (tiga) faktor utama yakni konstruksi pasal yang memuat ancaman pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mekanisme asesmen yang tidak efektif, serta inkonsistensi terhadap asas proporsionalitas dan teori rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika .
-
3.2. Proyeksi Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana Narkotika Pada Masa Mendatang Sebagai Upaya Penanganan Overcrowding Rutan Di Indonesia
Analisis mengenai proyeksi pengaturan regulasi hukum narkotika pada masa mendatang sebagai upaya penanggulangan overcrowding rutan/lapas di Indonesia, hemat penulis nantinya akan terbagi menjadi 2 (dua) garis besar utama yang dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, reformulasi terhadap ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebagaimana yang telah dikemuakamn di awal, diketahui bahwa ketentuan pidana yang terdapat di dalam UU a quo selain memiliki problem kaitannya dengan penentuan perbuatan pidana yang terlampau luas dengan mengatur perbuatan “memiliki”, “menyimpan”, dan “menguasai” sebagai suatu tindak pidana narkotika tanpa diikuti oleh penjelasan lebih lanjut perihal kualifikasi perbuatan tersebut terhadap subjek penyalahguna narkotika dan pengedar narkotika. Hal lain yang juga menjadi problem dalam ketentuan tersebut berkaitan dengan masuknya aturan mengenai rehabilitasi penyalahguna narkotika di dalam bab yang memuat ketentuan pidana.
Sehingga, dalam proyeksi kedepannya terhadap ketentuan pidana dalam UU a quo, hemat penulis nantinya selain membedakan mekanisme pemidanaan dan sanksi pidana yang diancamkan kepada subjek yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Hal ini diikuti pula dengan menghilangkan atau mengeluarkan ketentuan dalam Pasal 127 UU a quo yang mengatur asesmen di dalam ketentuan pidana. Argumentasi penulis untuk tetap mempertahankan ketentuan pidana dalam UU narkotika tersebut bukan tanpa alasan. Meskipun diketahui bahwa dalam beberapa penelitian yang telah ada sebelumnya, memberi tawaran untuk menghilangkan ketentuan pidana dengan alternative depenalisasi, diversi, dan derkriminalisasi yang merujuk pada negara-negara lain melalui studi perbandingan.41 Hemat penulis, hal ini kirannya tidak tepat untuk diterapkan saat ini dalam regulasi narkotika di Indoensia. Mengingat, selain tingat “kecerdasan” dan “respek” terhadap aturan narkotika oleh penyalahguna atau pengguna narkotika di Indonesia tidak sama dengan beberapa
negara yang menghilangkan ketentuan pidananya atau melegalkan penggunaan narkotika dalam Batasan-batasan tertentu. Fasilitas kesehatan yang menjadi syarat utama dari menghilangkan ketentuan pidana terhadap penyalahguna atau pengguna narkotika di Indonesia yang belum memadai.42
Selain itu, perlu kirannya penulis tegaskan bahwa pilihan untuk tetap mempertahankan adanya ketentuan pidana yang terdapat di dalam UU a quo, penulis dasarkan pula pada konteks doktrin hukum pidana khususnya yang terkait dengan parameter kriminalisasi dalam kebijakan hukum pidana. Dimana, dari keseluruhan parameter kriminalisasi untuk menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang merupakan hasil symposium hukum pidana tahun 1980 di Semarang, penyalahgunaan narkotika memenuhi keseluruhan kualifikasi dari parameter tersebut. Artinya, dalam konteks hukum pidana di Indonesia saat ini, secara doktrin belum memungkinkan untuk dilakukan depenalisasi terhadap perbuatan atau tindak pidana narkotika.43
Sehingga, dalam proyeksi penulis justru mengindikasikan agar reformulasi dalam regulasi narkotika di Indonesia khsususnya pada ketentuan pidana terhadap penyalahguna narkotika selain dialihkan menjadi beberapa alternative pidana selain pemenjaraan, perlu pula untuk ditambah dengan beberapa ketentuan lain yang memberi landasan yang tegas bahwa kepada penyalahguna narkotika, agar tidak diajatuhi pidana penjara sebelum dijatuhi pidana selain pemenjaraan sepanjang tidak melakukan pelanggaran serupa pada saat menjalani alternative pidana selain pemenjaraan tersebut atau merupakan residive dalam perbuatan yang sama. Alternative pemidanaan selain pemenjaraan terhadap penyalahguna narkotika sebagaimana yang dimaksud oleh penulis tersebut, paling tidak dapat berupa pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana denda. Selain jenis sanksi pidana tersebut tidak harus dilakukan di dalam rutan/lapas yang tentunya dapat menekan angka overcrowding akibat dari tingginya tren pemenjaraan terhadap tindak pidana narkotika. Hal lain yang juga menjadi bahan pertimbangan adalah sanksi tersebut diproyeksikan akan bersesuaian dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) di masa mendatang yang meupakan induk dari hukum pidana materil, dan sesuai dengan kondisi di Indonesia saat ini yang harus diterapkan kebijakan secara berkala dan tidak serta merta menghilangkan ketentuan pidana sama sekali.
Kedua, Pembentukan divisi khusus dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan lembaga terkait yang ditujukan untuk menunjang efektifitas pada proyeksi sebelumnya. Pemilihan untuk menggunakan alternative pidana selain pemenjaraan tentunya akan selalu menemui tantangan yang berkaitan dengan sejauh mana sanksi tersebut dapat memberi dampak yang efektif atau memberi efek jera terhadap pelakunya. Atas dasar pertanyaan tersebutlah, dalam poin ini hemat penulis menawarkan pula sebagai proyeksi untuk membentuk suatu divisi khusus yang bertujuan sebagai lembaga pengawasan tidak saja terhadap terpidana penyalahguna narkotika yang dijatuhi sanksi pidana non-pemenjaran. Melainkan, hal ini nantinya dapat pula diterapkan kepada terpidana lain yang dijatuhi sanksi berupa pidana
pengawasan, pidana bersyarat, dan pembebasan bersyarat. Sehingga diharapkan, dengan adanya divisi khusus ini dapat mengurangi jumlah tahanan dan narapidana yang harus dibina dengan konsep pemidanaan hilang kemerdekaan, menjadi pelaksanaan pembinaan di luar rutan/lapas dan membantu dalam menekan angka overcrowding rutan/lapas di Indonesia saat ini.
Sejatinya, divisi sebagaimana yang ditawarkan oleh penulis tersebut di negara-negara lain telah dikenal sejak lama. Di Swedia misalnya yang memiliki Swedish Prison and Probation Service yang berada di bawah Departemen Kehakiman Swedia dan bertujuan untuk melakukan pengawan dan pelaksanaan pidana kerja sosial.44 Demikian pula di Australia yang pelaksanaan pidana kerja social berada dalam suatu pengawasan pidana bersyarat dan pembebasan bersyarat melalui suatu divisi atau diorektorat khusus.45
Akhirnya, dari penjelasan dalam poin ini dapat ditegaskan bahwa dalam rangka proyeksi pengaturan regulasi hukum narkotika pada masa mendatang sebagai upaya penanggulangan overcrowding lapas/rutan di Indonesia, paling tidak di dasarkan pada dua solusi utama yakni mengganti mekanisme pemidanaan terhadap pengguna narkotika dari pidana penjara menjadi Alternative pemidanaan selain pemenjaraan yang dapat berupa pidana pengawasan, pidana kerja social, dan pidana denda. Selain itu, guna efektifitas pelaksanaan alternative pidana selain pemenjaraan tersebut, penting kirannya untuk diperhitungkan pembentukan divisi khusus yang bertujuan menhgawasi pelaksanaan pidana tersebut agar berjalan secara efektif.
Dari artikel ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara overcrowding lapas/rutan di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tidak saja terlihat dari data yang dihimpun bahwa tindak pidana narkotika merupakan tren penyumbang tahanan dan narapidana terbesar pada rutan/lapas di Indonesia. Melainkan, hal ini kirannya dapat pula dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa peningkatan tren pemenjaraan tersebut dapat terjadi yang secara garis besar terbagi atas dua faktor utama yakni konstruksi pasal yang memuat ancaman pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan mekanisme asesmen yang tidak efektif. Sehingga sebagi solusi dari problem tersebut dapat ditawarkan proyeksi pengaturan regulasi hukum narkotika pada masa mendatang sebagai upaya penanggulangan overcrowding lapas/rutan di Indonesia, yang di dasarkan pada dua solusi utama yakni mengganti mekanisme pemidanaan terhadap pengguna narkotika dari pidana penjara menjadi Alternative pemidanaan selain pemenjaraan yang dapat berupa pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana denda. Selain itu, guna efektifitas pelaksanaan alternative pidana selain pemenjaraan tersebut, penting kirannya untuk diperhitungkan pembentukan divisi khusus yang bertujuan mengawasi pelaksanaan pidana tersebut agar berjalan secara efektif.
Ucapan terima Kasih
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam penelitian ini, khususnya institusi penulis Fakultas Hukum Universitas Halu
Oleo dan Fakultas Hukum Universitas Islam Riau yang telah membantu memgfasilitasi berbagai keperluan penulis untuk menyelesaiakan penelitian ini. Tidak lupa pula penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada beberapa pihak yang membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini, terkhusus kepada Prof. Syafrinaldi, Rani Fadhila Syafrinaldi, dan rekan-rekan sesama dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Riau yang membantu untuk meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan melakukan proofreaders serta memberi masukan terhadap penelitian ini selama proses penulisan berlangsung.
Daftar Pustaka
Ali, Salim Ibrahim, Dr Zuryati, Mohamed Yusoff, Dr Zainal, and Amin Ayub. “Legal Research of Doctrinal and Non-Doctrinal.” International Journal of Trend in Research and Development 4, no. 1 (May 2017): 2394–9333. www.ijtrd.com.
Baehaqqi, Muhammad Rizal. “Perlindungan Hak-Hak Narapidana: Studi Tentang Implementasi Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sleman. Tesis.” Universitas Islam Indonesia, 2021.
Eddy O.S Hiariej. Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009.
-
— ——. “Bahan Ajar Pengantar Teori & Filsafat Hukum.” Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2018.
-
— ——. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: Edisi Revisi. Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016.
-
— ——. “Reformulasi RUU Pemsyarakatan Dan Pengundangan RUU KUHP Yang Diasosiasikan Akan Mampu Untuk Mengatasi Problem Overcrowding Yang Terjadi.” 2021.
Global Commissioan on Drug Policy. “Advacing on Drug Policy Reform: A New Approach to Decriminalization.” Geneva, 2016.
http://www.globalcommissionondrugs.org/wp-content/upload/2016/11/GCDP-Report-2016-ENGLISH.pdf. .
Gunarto, Marcus Priyo. “Sikap Memidana Yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan,.” Jurnal Mimbar Hukum 21, no. 1 (2009): 93–108. https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.22146/jmh.16248.
Hardiago, David. “Asas Legalitas Dan Self Plagiarism: Antinomi Realitas Empiris Sebagai Proyeksi Pengaturan Tindak Pidana Khusus Di Bidang Hak Cipta.” UIR Law Review 6, no. 2 (2022): 1–19.
https://doi.org/https://doi.org/10.25299/uirlrev.2022.vol6(2).11689.
-
— ——. “Delik Politik Dalam Hukum Pidana Indonesia.” Jurnal Hukum & Pembangunan 50, no. 4 (2021): 908. https://doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2859.
-
— ——. “Rekontruksi Makar Sebagai Delik Politik Dalam Perkembangan Hukum Pidana Di Indonesia.” Universitas Gadjah Mada, 2020.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). “Perbaikan Tata Kelola Narkotika Indonesia: Mencari Alternatif Non Pemidanaan Bagi Pengguna Narkotika.” Jakarta, 2021.
Iqrak Sulhin. “Covid-19, Pemenjaraan Berlebihan, Dan Potensi Katasrofe
Kemanusiaan.” Jurnal Hukum & Pembangunan 50, no. 2 (2020): 405.
Jazuli, Ahmad. “Pembentukan Satuan Kerja Baru Pemasyarakatan Sebagai Solusi Alternatif Mengatasi Overcrowded.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 15, no. 1 (2021): 1–16. https://doi.org/DOI: http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2021.V15.1-16.
Kelompok Kerja Khusus, Dewan Ketahanan Republik Indonesia. “Solusi Overcrowding Penghuni LAPAS,.” Jakarta, 2019.
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. Peraturan Bersama Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor: 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor PER-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotik (n.d.).
Letares L.R Sianturi, Padmono Wibowo. “Implementasi Permenkumhan Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Grand Design Penanganan Overcrowded Di Lapas Kelas IIB Siborongborong.” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 10, no. 1 (2022). https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP. .
Maria S.W Suwardjono. Bahan Kuliah: Metodelogi Penelitian Hukum. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2014.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.
Mertukusumo, Soedikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Ke-5. Yogyakarta: Liberty, 2005.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Muladi, Barda Nawawi Arief. Teori-Teori Kebijakan Pidana. Bandung: Penerbit Alumni, 1992.
Nugraha, Aditya. “Konsep Comunity Based Corrections Pada Sistem Pemasyarakatan Dalam Menghadapi Dampak Pemenjaraan.” Jurnal Sain Sosio Humaniora 4, no. 1 (2020): 141–51. https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.22437/jssh.v4i1.9778.
Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Edited by J. Sahetaphy. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Rizki Akbari. “Potret Kriminalisasi Pasca Revormasi Dan Urgensi Reklasifikasi Tindak Pidana Di Indonesia.” Jakarta, 2015. http://icjr.or.id/wp-
content/uploads/2016/01/Potret-Kriminalisasi-di-Indonesia-Pasca-Reformasi.pdf.
S.N Jain. “Doctrinal Research and Non-Doctrinal Research.” Journal of the Indian Law Institute 17, no. 4 (1975): 518.
Soerjono Soekamto. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press, 2015.
Subroto, Aldo Ramadhan Prasetyana P dan Mitro. “Evaluasi Penerapan Comunity Based Corretion Pada Sistem Pemasyarakatan Di Dalam Program Pembinaan Lapas Kelas 1 Madiun,.” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 10, no. 2 (2022): 106–18. https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP. .
Wibowo, Karimah Aini dan Padmono. “Implementasi Grand Design Penanganan Overcrowded Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sibolga.” Jurnal Innovative 2, no. 1 (2022): 145-152. https://doi.org/DOI:
https://doi.org/10/31004/innovative.v2i1.2889.
Wibowo, Padmono. “Pentingnya Mitigasi Risiko Dampak Kepenuhsesakan Pada Lapas Dan Rutan Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 14, no. 2 (2020): 263–84. https://doi.org/DOI: http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2020.V14.263-284.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
194
Discussion and feedback