HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 26.4. Nopember 2022: 400-412

Cinderella Weight: Tirani Standar Kecantikan dan Body Image di Kalangan Wanita Muda Jepang

Cinderella Weight: Beauty Standard Tyrant and Body Image in Japanese Young Women

Shafa Tsaniya Zahrah, Esther Risma Purba

Universitas Brawijaya, Kota Malang, Jawa Timur

Email korespondensi: [email protected]

Info Artikel


Abstract

Masuk:12 Oktober 2022 Revisi: 3 November 2022 Diterima:14 November 2022 Terbit:30 Nopember 2022

Keywords: Cinderella weight; weight loss trend; beauty standard; social construction of women's bodies; young Japanese women


As a result of the "kawaii" trend, having a slim body has become one of the beauty standards coveted by young Japanese women. One of the latest diet trend in 2016 and 2018 was the Cinderella weight, a weight standard that is considered as dangerous because the weight count is below the healthy BMI (Body Mass Index). This research was conducted using descriptive qualitative methods and video interviews from the Ask Japanese YouTube channel (2016, 2020, and 2022) regarding Cinderella weight and ideal body weight of young Japanese women were taken as the main data sources. The Theory of Social Construction of Women's Bodies by Sandra Lee Bartky (1990) was used to analyze this phenomenon and prove that beauty is a form of social construction. It was found that numerous of them idealizing Cinderella weight and being slim is still the desire of the majority of young Japanese women. The role of social media and mass media, which feature many female models and artists who are slim also inseparable for the influence.

Abstrak

Kata kunci: Cinderella weight; tren penurunan berat badan; standar kecantikan, konstruksi sosial tubuh wanita; wanita muda Jepang

Corresponding Author:

Esther Risma Purba, email: [email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

22.v26.i04.p09


Akibat dari tren "kawaii", tubuh yang ramping menjadi salah satu standar kecantikan yang didambakan oleh wanita muda Jepang. Salah satu tren diet yang ramai pada tahun 2016 dan 2018 adalah Cinderella weight, sebuah standar berat badan yang berbahaya karena hitungan berat badannya berada di bawah angka BMI (Body Mass Index) sehat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif dan mengambil video wawancara dari kanal YouTube Ask Japanese (2016, 2020, dan 2022) mengenai Cinderella weight dan berat badan ideal wanita muda Jepang sebagai sumber data. Teori Konstruksi Sosial Tubuh Wanita yang dikemukakan oleh Sandra Lee Bartky (1990) digunakan untuk menganalisis fenomena ini dan membuktikan bahwa kecantikan adalah suatu bentuk konstruksi sosial. Ditemukan bahwa banyak dari mereka yang mengidealkan berat badan Cinderella dan menjadi ramping masih menjadi keinginan dari mayoritas perempuan muda Jepang. Hal tersebut juga tidak lepas dari peran sosial media dan media massa yang banyak menampilkan model dan artis perempuan yang bertubuh ramping.

PENDAHULUAN

Sejak dahulu, keindahan dan kecantikan telah menjadi hal yang dianggap penting dan sangat diidamkan. Penampilan fisik seorang manusia dianggap merupakan hal yang langsung terlihat ketika berinteraksi atau bertemu dengan orang lain. Oleh karena itu, tampil menarik kerap menjadi hal yang diupayakan dan dinilai sebagai sebuah pencapaian.

Dalam jurnal penelitian yang bertajuk "What is Beautiful is Good", Dion (1972) mendapatkan kesimpulan bahwa orang yang memiliki fisik yang menarik dianggap lebih memiliki kepribadian yang lebih diterima oleh sosial. Artinya, mereka yang berpenampilan fisik menarik lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang prestisius, memiliki pernikahan yang lebih bahagia, dan mendapatkan perlakuan yang lebih di sosial maupun pekerjaan.

Setiap negara umumnya memiliki standar kecantikannya masing-masing dan terus berganti setiap periode atau zamannya yang dipengaruhi oleh budaya dan tren yang ada pada negara tersebut. Hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa kecantikan adalah sebuah trend modification. Contohnya di Indonesia, yang menjadi standar adalah kulit putih, tubuh yang langsing, dan hidung yang mancung (Ivada et al., 2022).

Sama seperti banyak negara lain, standar kecantikan di Jepang umumnya berubah sesuai zamannya. Pada zaman Heian, fitur yang dianggap paling menarik adalah rambut (Magnúsdóttir, 2015). Di Jepang, secara spesifik dimulai sekitar pada awal tahun 2000, tubuh ramping dan penampilan "kawaii" atau imut yang digandrungi. Kawaii adalah sebuah kultur yang umumnya digemari oleh anak-anak sekolah dan salah satu manifestasi dari kebudayaan ini adalah "kogal" atau ko gyaru, tren busana menggunakan seragam sekolah, tetapi dengan rok yang diubah menjadi rok

mini yang juga mempromosikan "extreme thinness" (Miller dalam Vassiljeva, 2016).

Extreme thinness berarti kerampingan yang ekstrem atau memiliki tubuh yang sangat ramping. Jika berlebihan, hal ini dapat berefek kepada kesehatan. Menurut data survei tahunan Kementerian Kesehatan Jepang, wanita dengan kekurangan berat badan di rentang umur 20 hingga 40 semakin bertambah jumlahnya, khususnya mereka yang berumur 20-an (Kittaka, 2017). Ditambah dengan data dari Survei Kesehatan dan Gizi Nasional pada tahun 2019 yang menunjukkan bahwa 20.7% wanita di umur 20-an memiliki BMI (Body Mass Index) di bawah 18.5.

Mengutip juga dari koran daring Mainichi Japan yang diterbitkan pada 4 Juli 2022, pemerintah telah membentuk tim peneliti untuk menginvestigasi isu terkait body image, diet, dan kebiasaan serta gaya hidup wanita muda Jepang, demi menurunkan jumlah angka wanita yang termasuk kekurangan berat badan. Seorang lektor kepala dari Universitas Nutrisi Kagawa bernama Fumi Hayashi mengatakan bahwa media massa dan sumber lainnyalah yang telah menciptakan stigma bahwa memiliki badan yang kurus adalah ideal.

Beberapa penyebab lainnya adalah pengaruh tekanan dari orang-orang sekitar yang pada akhirnya membuat seseorang membandingkan tubuhnya dengan orang di sekitarnya (Mase et al., 2015). Hal ini mengingat Jepang merupakan negara yang menjunjung tinggi keseragaman, sehingga yang berbeda akan terlihat menonjol.

Takako Uemura, seorang konselor berlisensi pada TELL–sebuah organisasi non-profit Jepang yang bergerak di bidang jasa konseling–di dalam website Savvy Tokyo yang berjudul, "In Japan, One Size Does Not Fit All Women" (2020) menjelaskan bahwa bagi beberapa orang, terlihat 'sesuai standar' Jepang

lebih mudah. Hal tersebut dipengaruhi oleh pandangan yang menjunjung keseragaman. Bukan sebuah hal yang jarang bagi wanita untuk menerima ejekan terkait berat badan.

Selain itu, bukan sebuah rahasia bahwa kebanyakan pakaian di Jepang mematok ukuran "one size fits all", tetapi tidak dapat disebut inklusif terhadap ukuran tubuh besar karena nyatanya ukuran one size tidak cukup besar untuk tubuh yang chubby. Jika dirangkum dari beberapa alasan di atas, dapat dilihat bagaimana wanita yang bertubuh lebih besar mendapatkan stigma yang kurang baik dari masyarakat (Haworth, 2014).

Sebenarnya tidak hanya di Jepang, tipe tubuh ideal dari Barat (Amerika) juga serupa, yaitu ramping. Akan tetapi, wanita muda Jepang mengidealkan tubuh yang jauh lebih kurus, hampir seperti tubuh pra-pubertas, serta berusaha untuk mencapai BMI yang jauh lebih rendah dari wanita muda Amerika (Yamamiya & Suzuki, 2021).

Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Scientific Research Publishing dan ditulis oleh Tomoki Mase et al. (2015) dengan judul "The Relationships among Perception of Body Image, a Desire for Thinness, and Dieting Behavior in Young Females in Japan" menyatakan bahwa dari 302 subjek yang seluruhnya adalah mahasiswi, ditemukan bahwa banyak dari mereka yang melihat diri sendiri sebagai obesitas, yang di mana mereka termasuk ke dalam berat badan normal dan underweight.

Salah satu tren yang juga mempromosikan extreme thinness adalah Cinderella weight. Seperti yang ditulis oleh Casey Baseel di portal berita SoraNews24, pada awal tahun 2018, tren ini sempat muncul pada 2016 dan kembali tersebar di Twitter. Istilah Cinderella weight digunakan karena mereka sangat ringan dan kurus, sampai-sampai bisa berdiri di atas sepatu kaca, seperti yang ada di film Cinderella.

Alasan lainnya adalah karena berat badan yang akan dicapai dianggap sangat mustahil, sehingga hampir seperti dongeng semata.

Cinderella weight digagas oleh Klinik Kecantikan Takano Yuri pada tahun 1990 ketika klinik tersebut pertama kali mengadakan kontes kecantikan yang dinamakan, "Aesthetic Cinderella Grand Prix". Pada kontes ini, peserta menimbang berat badan selama empat kali dalam sehari dan yang berhasil menurunkan berat badannya secara drastis dalam kurun waktu tiga bulan yang menjadi pemenangnya (Miller, 2008). Cara menghitung Cinderella weight yang resmi dicetuskan oleh Klinik Kecantikan Takano Yuri yang masih beroperasi hingga sekarang adalah: tinggi badan (m) x tinggi badan (m) x 22 x 0.9.

Akan tetapi, tren yang muncul pada 2016 dan kembali ramai dibicarakan pada 2018 mengadopsi cara hitung yang berbeda dari Klinik Kecantikan Takano Yuri. Pada tahun 2016, sebuah tulisan di blog My Navi Teens muncul dengan tautan https://teens.mynavi.jp/blog/20160316sh a01 yang kini tidak lagi dapat diakses menyatakan bahwa rumus cara menghitung Cinderella weight adalah: tinggi badan (m) x tinggi badan (m) x 20 x 0.9. Rumus baru ini yang tersebar dan diikuti hingga kini (The Korean Herald, 2016).

Gambar 1 Rumus yang tersebar di My Navi Teens

Hasil dari perhitungan Cinderella weight menghasilkan berat badan yang sangat kecil, seperti yang telah dikatakan juga sebelumnya, 20.7% wanita di umur 20-an memiliki BMI (Body Mass Index) di bawah 18.5. Ini berarti 20.7% wanita Jepang berada di skala Cinderella weight.

Di YouTube, banyak beredar video wawancara dengan perempuan di Jepang mengenai diet, tinggi, dan berat badan yang menurut mereka ideal. Beberapa diantaranya akan digunakan untuk penelitian ini, yaitu video yang diunggah oleh kanal YouTube Ask Japanese, sebuah kanal YouTube yang telah ada sejak tahun 2014 dengan 481.000 subscribers dan telah mendapatkan total views sebanyak 91.283.311. Format video yang diunggah adalah wawancara dengan orang yang dipilih secara acak dari jalanan di Tokyo mengenai topik tertentu yang berhubungan dengan Jepang. Alasan pemilihan kanal Ask Japanese sebagai sumber data utama didasari oleh banyaknya video wawancara yang membahas mengenai berat badan dan topik yang berhubungan dengan penelitian ini. Peneliti juga mendapati terdapat komentar yang khusus menyebut Cinderella weight Selain itu, durasi videonya terbilang lama, sehingga dapat lebih banyak data untuk ditelaah.

Gambar 2 Video terpopuler di kanal Ask Japanese

Penelitian ini akan menelaah cara para perempuan muda Jepang memandang diri mereka, serta perspektif mereka terkait bentuk tubuh ideal.

Penelitian ini juga membahas mengenai apa yang ada di balik fenomena Cinderella weight, mengapa obsesi untuk terlihat "skinny" atau ramping sangat mendominasi, serta meliputi juga bagaimana persepsi wanita Jepang terhadap tubuh atau body image dikaitkan dengan standar kecantikan yang banyak dipromosikan.

METODE DAN TEORI

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Strauss dan Corbin mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai jenis penelitian yang hasilnya tidak dapat diperoleh melalui pengukuran atau kuantifikasi (Creswell, 1998). Sedangkan Bogdan & Taylor (dalam Basrowi & Suwandi, 2008) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menganalisis data deskriptif, seperti lisan atau tulisan, serta mengobservasi perilaku manusia.

Menurut Arikunto (2010), penelitian deskriptif adalah penelitian yang datanya dikumpulkan berdasarkan faktor yang mendukung objek penelitian untuk selanjutnya dianalisis. Pada penelitian ini, deskriptif digunakan untuk meninjau dan menganalisis fenomena yang tertulis pada artikel berita daring dan video wawancara mengenai Cinderella weight dan standar kecantikan di Jepang yang diunggah oleh kanal YouTube Ask Japanese. Selain itu sebagai sumber pendukung, jurnal yang membahas terkait perilaku diet, standar kecantikan, dan body image di kalangan wanita muda Jepang digunakan sebagai referensi pustaka untuk penelitian ini.

Teknik dokumentasi merupakan teknik pengumpulan informasi yang bersumber dari catatan penting suatu lembaga maupun individu (Hamidi, 2004). Dengan menggunakan teknik dokumentasi, sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari potongan percakapan-percakapan

dari empat video yang diunggah kanal YouTube Ask Japanese. Berikut keempat video tersebut:

  • 1.    "Japan's shocking weight trend: The Cinderella Syndrome", diunggah pada tahun 2020.

  • 2.    "What's a Japanese girl's IDEAL BODY? How tall to be and how much to weigh in Japan", diunggah pada tahun 2016.

  • 3.    "Horrible WEIGHT LOSS TREND in Japan: The Cinderella Diet", diunggah pada tahun 2022.

  • 4.    "Chubby VS Skinny: What girls are popular in Japan?", diunggah pada tahun 2020.

Untuk mendukung penelitian, sumber data sekunder juga digunakan, yaitu buku, jurnal, dan publikasi lain seputar standar kecantikan di Jepang, body image bagi para wanita muda di Jepang, dan lainnya yang terkait dengan judul penelitian.

Teori Relasi Kuasa yang dikemukakan oleh Michel Foucault menyebutkan bahwa pendisiplinan tubuh semua orang diatur oleh sebuah institusi, dapat berupa sekolah, penjara, atau kepolisian. Tujuannya adalah untuk mengatur dan memaksimalkan kegunaan tubuh seseorang (Bartky, 1990). Salah satu contohnya adalah pada sekolah formal, peringkat kelas digunakan untuk mengatur kelas siswa, dibagi menjadi kelas untuk anak berprestasi dan lain-lain.

Teori Konstruksi Sosial Tubuh Wanita oleh Sandra Lee Bartky yang akan digunakan sebagai landasan teori untuk menganalisis temuan ini mengkritik pernyataan Foucault di atas. Pada artikelnya yang bertajuk, "Foucault, Femininity, and the Modernization of Patriarchal Power" (1990), Bartky mengatakan bahwa Foucault melupakan penerapan disipliner kepada perempuan dan laki-laki tidak sama. Terdapat tiga disipliner khusus yang harus dipatuhi wanita.

  • 1.    Memiliki tubuh dengan ukuran dan karakteristik yang sesuai standar publik.

  • 2.    Membatasi gestur, postur, dan gerak tubuh tertentu.

  • 3.    Menjadikan wajah dan tubuh sebagai "ornamented surface" atau permukaan yang terhias.

Pernyataan dari percakapan yang akan dianalisis pada penelitian ini fokus pada disipliner pertama, yaitu "those that aim to produce a body of a certain size and general configuration", atau yang memiliki tujuan untuk menciptakan tubuh dengan ukuran dan karakteristik tertentu yang dijadikan sebuah standar oleh publik.

Chernin dalam Bartky (1990) menyatakan, "dieting is one discipline imposed upon a body subject to the "tyranny of slenderness", diet merupakan sebuah disipliner yang dibebankan atas "tirani kerampingan". Di bawah "tirani kerampingan", wanita dilarang untuk memiliki tubuh yang besar dan gemuk, mereka harus mengambil sesedikit mungkin ruang.

Adanya tirani kerampingan juga didukung oleh tabloid wanita yang pada setiap isunya menghadirkan artikel mengenai diet juga menjadi salah satu faktor yang mendukung banyaknya wanita menjalani diet. Ditambah dengan judul-judulnya yang imperatif, seperti "Shed ugly winter fat with the all-new Grapefruit Diet!" (Hilangkan lemak jelek musim dingin dengan diet Grapefruit terbaru!) (Millman dalam Bartky, 1990).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan keempat video yang dijadikan sumber, diambil beberapa percakapan yang sesuai dengan tujuan penelitian untuk dijadikan data dan dianalisis. Narasumber ditulis dengan inisial huruf secara acak karena pada video sumber tidak diberikan inisial maupun nama. Dari keempat video yang dijadikan sumber, penulis menemukan 3

narasi besar yang mendefinisikan standar kecantikan dan menjadi hal yang dituntut dari perempuan. Ketiga narasi tersebut menjadi tirani kecantikan yang mendefinisikan kecantikan ideal. Ketiga narasi tersebut adalah, tubuh ramping sebagai hal yang ideal, berat badan ideal ala Cinderella, dan chubbiness ‘kemontokan’ sebagai hal dapat diterima, tetapi tidak untuk diri sendiri.

Tuntutan untuk Memiliki Tubuh Ramping

Seperti yang telah dikemukakan oleh Bartky, tubuh perempuan lebih condong menjadi docile bodies atau tubuh yang patuh terhadap disipliner tertentu. Disipliner yang tidak tertulis dan bersifat layaknya norma mengacu pada suatu hal yang secara terus-menerus muncul dan tersebar di publik. Pada akhirnya secara tidak sadar menjadi hal yang "normal" dan dijadikan standar. Media penyebaran yang memegang peran penting salah satunya adalah media massa. Sama halnya dengan majalah-majalah yang Bartky sebutkan, majalah dan TV di Jepang juga melakukan hal yang serupa. Hal ini memengaruhi cara publik–– khususnya perempuan––melihat tubuh mereka. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam percakapan berikut ini:

Data 1

Cathy Cat: As we've discussed and interviewed Japanese girls here, they say they have a constant pressure to look skinny and most of it is facilitated by the media and the weight that they generally put out on the internet is generally very very low, very very skinny it's an ideal and because so many models seem to have the ideal weight, it pushes the idea that that is the norm that pretty girls all have to have that weight, so more and more girls think they need to aspire to come to that weight.

Cathy Cat: Setelah kami diskusikan dan mewawancarai para perempuan Jepang di sini, mereka berkata bahwa mereka memiliki tekanan yang terus-menerus untuk terlihat ramping dan kebanyakan karena apa yang ditampilkan oleh media. Berat badan yang mereka tampilkan di internet biasanya sangat rendah dan ramping sekali, hingga menjadi ideal karena banyak model terlihat memiliki berat badan ideal tersebut. Menghasilkan anggapan bahwa seluruh perempuan yang berparas cantik harus memiliki berat badan tersebut, membuat banyak perempuan berpikir mereka harus mencapai berat badan itu.

(Japan's shocking weight trend: The Cinderella Syndrome, 2020: 3.46)

Data 2:

Cathy Cat: So many girls want to be followed, be liked, be loved and they see it as a connection with that weight, with that ideal weight that the models and the famous people.

Cathy Cat: Banyak sekali perempuan yang ingin diikuti, disukai, dan dicintai. Mereka melihatnya memiliki koneksi dengan berat badan itu, berat badan ideal yang dimiliki oleh model dan orangorang terkenal.

(Japan's shocking weight trend: The Cinderella Syndrome, 2020: 4.34)

Jika dilihat dari data 1 dan 2, tampak para perempuan muda Jepang mengalami tekanan yang konstan untuk terlihat ramping karena pengaruh model, idol, maupun aktris yang muncul di televisi dan sosial media selalu bertubuh ramping. Hal tersebut telah menjadi konsumsi sehari-hari dan membuat perempuan muda Jepang mengasosiasikan kecantikan dengan tubuh yang ramping. Tidak sedikit pula yang menjadikan tubuh ramping sebagai salah satu cara agar disukai, dicintai, dan dipuji.

Memang tidak semua yang bertubuh ramping adalah hasil dari diet ketat. Ada pula yang memang secara genetik memiliki tubuh yang ramping. Namun, bukan sebuah rahasia bahwa penurunan berat badan 'diperlukan' untuk menunjang karier di industri hiburan agar mendapatkan perkerjaan.

Data 3

Cathy Cat: I must say a lot of talents in Japan in the talent industry get told to you need to lose weight in order to get this on that job.

Cathy Cat: Aku harus mengatakan bahwa banyak talent di Jepang di industri talent mendapatkan perkataan untuk menurunkan berat badan untuk mendapatkan pekerjaan.

(Japan's shocking weight trend: The Cinderella Syndrome, 2020: 9.24)

Gambar 3 Dari Kiri: Cathy Cat, M, dan N

Pada data 3, Cathy Cat mewawancarai dua orang perempuan yang bersekolah di sekolah model. Perempuan yang penulis beri inisial "N" dan "M" ini menyatakan bahwa mereka harus menurunkan berat badan untuk menjadi model. Lalu M mendukung pernyataan N dengan menyatakan bahwa guru mereka akan memberikan target untuk menurunkan berat badan dan menjadikannya sebagai sebuah "misi".

Data 4

Cathy Cat: Why did you look up diet things in the first place?

N: I am in a model school. You have to lose weight there. So when I researched

my model weight, the Cinderella weight came up. I was like "Will I be alright if I try to lose that much weight?!" but I am trying to lose weight now.

Cathy Cat: You are trying to lose weight because you want to become a model?

N: Right.

M: Our teachers will tell us at the start how much weight we will have to lose. We have to clear that like a mission.

Cathy Cat: Mengapa kamu mencari hal-hal yang berhubungan tentang diet?

N: Aku bersekolah di sekolah model. Kamu harus menurunkan berat badan di sana. Jadi, ketika aku sedang mencari berat badan modelku, berat badan Cinderella muncul di pencarian. Aku berpikir, "Apakah aku akan baik-baik saja jika aku mencoba untuk menurunkan berat badan sebanyak itu?!"

Cathy Cat:  Jadi kamu berusaha

menurunkan berat badan karena kamu ingin menjadi model?

N: Ya, benar.

M: Dari awal guru kami akan memberitahu berapa banyak berat yang harus kami turunkan. Kami harus menyelesaikannya seperti sebuah misi.

(Horrible WEIGHT LOSS TREND in

Japan: The Cinderella Diet: 2022,

7.14)

Salah satu teori Foucault yang menjadi inti kritik dari Bartky terbukti pada data 4, yaitu adanya sebuah bentuk kekuasaan dari pihak institusi untuk mengatur tubuh muridnya. Dalam kasus ini, guru dari sekolah model N dan M. Disipliner yang diterapkan pada sekolah model ini berangkat dari pandangan bahwa model harus memiliki tubuh yang ramping untuk terlihat cantik dan disukai oleh khalayak. Penerapan disipliner ini merupakan salah satu contoh bagaimana kekuasaan beroperasi dalam wujud tirani kerampingan.

Berat Badan Cinderella yang Diidealkan

Cinderella weight kembali populer di tahun 2018 di Twitter dan menyebar ke sosial media lainnya seperti Instagram.

Data 5

Cathy Cat: Have you heard of the Cinderella Weight Syndrome?

J & K: Yes.

J: I saw it go viral on Instagram.

K: Is there a hashtag for it?

Cathy Cat:  Apa kamu pernah

mendengar sindrom berat badan Cinderella?

J & K: Ya.

J: Aku melihatnya viral di Instagram

K: Bukannya ada hashtag khusus juga untuk itu ya?

(Horrible WEIGHT LOSS TREND in

Japan: The Cinderella Diet: 2022,

0.53)

Data 6

L: People post about it a lot on Twitter.

L:    Banyak orang-orang yang

membicarakannya di Twitter.

(Horrible WEIGHT LOSS TREND in

Japan: The Cinderella Diet: 2022,

3.13)

Data 7

P: I heard of that Cinderella weight.

Q: Me too!

Cathy Cat: Where?

P: I think Twitter.

P: Aku pernah mendengar berat badan Cinderella itu.

Q: Aku juga!

Cathy Cat: Di mana?

P: Sepertinya Twitter.

(Horrible WEIGHT LOSS TREND in Japan: The Cinderella Diet: 2022, 9.50)

Pada data 5,  6, dan 7 hampir

seluruhnya menyatakan bahwa mereka mendengar Cinderella weight dari sosial media. Bahkan unggahan pertama yang membahas mengenai Cinderella weight juga muncul di sebuah forum daring, My Navi Teens. Penyebaran informasi secara massal dan melalui media yang sering digunakan      dalam      keseharian

memunculkan ide bagi banyak perempuan untuk tertarik dan merasa perlu mengikuti berat badan Cinderella ini. Ini juga membuktikan bahwa sosial media memegang peranan penting atas kepopuleran suatu hal.

Dari hasil wawancara juga ditemukan cukup banyak perempuan Jepang yang secara sadar atau tidak sadar ingin mencapai target Cinderella weight.

Data 8

Cathy Cat: What's your ideal height and weight?

A: 163 cm or more.

Cathy Cat: How tall are you right now? A: 148 cm.

Cathy Cat: Would you keep your weight then?

A: I want to be lighter! I want to get slimmer!

Cathy Cat: What is your ideal weight in kg?

A: 38 kg!

Cathy Cat: Berapa tinggi dan berat badan idealmu?

A: 163 cm atau lebih.

Cathy Cat:  Berapa tinggi kamu

sekarang?

A: 148 cm.

Cathy Cat: Apakah kamu akan menjaga berat badanmu sekarang?

A: Aku ingin menjadi lebih ringan! Lebih ramping!

Cathy Cat: Berapa berat badan idealmu dalam kilogram?

A: 38 kg!

(What's a Japanese girl's IDEAL BODY? How tall to be and how much to weigh in Japan: 2016, 0.10)

Pada data 8 di atas, A menyatakan bahwa tinggi badan impiannya adalah 163 centimeter dengan berat berat badan 38 kilogram. Berat ideal yang disebutkan sangat jauh di bawah BMI sehat. Jika dihitung menggunakan rumus Cinderella weight, hasilnya adalah 47 kilogram. Ini menunjukkan A memiliki berat badan ideal yang jauh di bawah Cinderella weight sekalipun, tentunya tidak baik untuk kesehatan.

Data 9

Cathy Cat: Would you change your weight?!

D: I want to lose weight and be 40 or 42 kilos.

Cathy Cat: You want to be 163 cm and 42 kilos?! Is that too thin?

D: I think so!

Cathy Cat:  Apakah kamu ingin

mengubah berat badanmu?!

D: Aku ingin menurunkan berat badanku menjadi 40 atau 42 kilogram.

Cathy Cat: Kamu ingin tinggimu menjadi 163 dengan berat 42 kilogram?! Tidakkah itu terlalu kurus?

D: Menurutku sih begitu!

(What's a Japanese girl's IDEAL BODY? How tall to be and how much to weigh in Japan: 2016, 2.02)

Serupa seperti A pada data 8, narasumber D dari data 9 ingin menjadi 42 kilogram dengan tinggi badan 163 centimeter. Berat badan yang D inginkan juga lebih rendah dari hasil Cinderella weight. Bahkan D juga mengakui bahwa berat badan yang diinginkan terlalu kurus, tetapi dia tetap ingin menjadi seperti itu.

Pandangan terhadap Chubbiness

Figur Naomi Watanabe mulai meningkatkan keterbukaan masyarakat Jepang mengenai tubuh chubby. Naomi memulai kariernya sebagai seorang komedian dan Naomi juga mempopulerkan istilah "pocchari" atau tubuh chubby.

Gambar 4 Naomi Watanabe untuk sampul majalah The WOW (2021)

Usaha untuk meningkatkan keterbukaan publik akan tubuh chubby dilanjut dengan munculnya majalah "La Farfa" pada bulan April tahun 2015. La Farfa adalah sebuah majalah mode yang menargetkan pembaca bertubuh chubby dan plus size. Edisi pertamanya terjual sebanyak 50.000 eksemplar dan bertambah lagi sebanyak 100.000 eksmplar. La Farfa tidak memuat artikel yang membahas mengenai cara menaikkan mau pun menurunkan berat badan. Majalah ini fokus kepada cara berpakaian dan mencintai tubuh tanpa harus mengubahnya menjadi sesuai standar di masyarakat (Bustle, 2015).

Meskipun Naomi dan majalah La Farfa telah berusaha membangun keterbukaan dan menyampaikan pesan penerimaan kepada perempuan dengan tubuh chubby, kebanyakan perempuan muda Jepang masih berpendapat yang sebaliknya.

Data 10

Cathy Cat: You say chubby girls are cute but you want to be super skinny? Why?


U: My favorite clothes are meant to be work in layers. So being skinny is better. That's why.

T: I also think being skinny is better. Cathy Cat: So you're ok with chubby girls around, but you don't wanna be?

T: Yeah.

Cathy Cat: Kamu bilang perempuan yang chubby itu imut, tetapi kamu sendiri ingin menjadi sangat ramping? Mengapa begitu?

U: Gaya berpakaianku menggunakan

baju yang di-layer (tumpuk). Jadi menurutku memiliki tubuh ramping itu lebih baik.

T: Menurutku juga lebih baik bertubuh ramping.

Cathy Cat: Jadi kamu tidak masalah jika ada perempuan bertubuh chubby, tetapi kamu tidak ingin menjadi chubby?

T: Ya.

(Chubby VS Skinny: What girls are popular in Japan?: 2020, 4.30)

Jika dilihat pada data 10, terlihat bahwa pada awalnya, T mengatakan bahwa perempuan yang bertubuh chubby imut. Namun, pada akhirnya memilih dan mengatakan ramping adalah tubuh yang ideal. Narasumber U juga mengatakan bahwa tubuh ramping lebih ideal baginya karena       gaya       berpakaiannya

mengharuskan untuk menumpuk beberapa baju. Korelasi pendapat narasumber U mengenai gaya baju yang bertumpuk dan tubuh chubby ada pada ketidakinginan untuk terlihat chubby. Karena dengan menumpuk baju, tubuh akan terlihat lebih tebal.

Pendapat T yang menyatakan bahwa tidak masalah jika ada perempuan yang bertubuh chubby di sekelilingnya, tetapi tidak ingin menjadi chubby adalah sebuah implikasi bahwa tubuh chubby belum sepenuhnya diterima. Jawaban akan penerimaan itu sebuah bentuk penolakan secara sopan atau sebagai contoh dari penerapan konsep Honne dan

Tatemae, perbedaan antara apa yang dikatakan dengan yang sebenarnya dirasakan demi menghindari konflik. Dengan alasan, jika tubuh chubby memang telah dipandang setara dengan badan ramping dalam penampilan, tentunya tidak akan masalah jika T dan U menjadi atau sekadar terlihat chubby.

Data 11

Cathy Cat: What's cute, chubby or skinny?

Y: Super skinny.

Cathy Cat: Why so?

Y:  Japanese models are incredibly

skinny. I look at them and think they look cute. So super skinny is better I think.

Cathy Cat: Mana yang terlihat imut, tubuh yang chubby atau ramping?

Y: Yang sangat ramping.

Cathy Cat: Mengapa begitu?

Y: Model-model Jepang sangat ramping. Ketika aku melihat mereka, menurutku mereka imut. Jadi sepertinya tubuh yang sangat ramping lebih baik.

(Chubby VS Skinny: What girls are popular in Japan?: 2020, 9.17)

Narasumber Y di data 11 mengutarakan jawaban yang menjadi sebuah alasan kunci mengapa tubuh chubby masih dianggap sebelah mata. Model-model Jepang yang muncul di televisi masih didominasi oleh perempuan yang bertubuh ramping. Di era modern ini, pengaruh model, aktris, dan orang-orang yang muncul di media memiliki peran yang serupa bangsawan pada zaman dahulu. Para bangsawan dan orang-orang yang muncul di media pada zaman ini dijadikan sebagai seorang panutan atau role model. Sebagai pengaruhnya, apa yang mereka tampilkan dan perbuat juga dapat memengaruhi masyarakat, dalam hal ini adalah standar kecantikan bagi perempuan muda Jepang.

SIMPULAN

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kecantikan adalah sebuah hal yang dikonstruksi oleh masyarakat dan perempuan Jepang mengalami tekanan yang tidak ada habisnya untuk memiliki tubuh yang ideal. Dipengaruhi oleh maraknya model-model bertubuh ramping di media dan melihat banyak perempuan lain di sekelilingnya yang bertubuh ramping.

Selain itu, secara tidak disadari, banyak dari berat badan ideal perempuan Jepang termasuk ke dalam Cinderella weight atau underweight. Mereka juga menganggap dirinya masih tergolong gemuk meskipun berat badan mereka termasuk ke dalam normal menurut BMI.

Banyak juga narasumber yang merasa tidak masalah bagi perempuan untuk memiliki tubuh yang chubby. Namun, jika berbicara tentang tubuh mereka sendiri, mereka tetap memilih untuk mempertahankan tubuh yang ramping, bahkan tetap menurunkan berat badan untuk menjadi ramping. Kalimat penerimaan yang disampaikan terhadap tubuh chubby bukan murni sebuah penerimaan, melainkan penolakan yang dibalut dengan kata-kata halus agar tidak menyinggung.

Saran untuk penelitian selanjutnya dapat membahas lebih lanjut mengenai perspektif dan penerimaan masyarakat Jepang terkait pocchari atau perempuan bertubuh chubby. Topik penelitian lain yang bisa diangkat adalah fenomena yang terjadi di Jepang atau di negara lain dan dianalisis menggunakan dua poin lain dari teori Konstruksi Sosial Tubuh Wanita yang dikemukakan oleh Bartky.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian:

Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Ask Japanese. (2016). What's a Japanese girl's IDEAL BODY? How tall to be and how much to weigh in Japan.

https://www.youtube.com/watch?v =Bng4BFP3G08 (Diakses pada 26 Juli 2022)

Ask Japanese. (2020). Japan's shocking weight trend:   The Cinderella

Syndrome.

https://www.youtube.com/watch?v =z8RGlStVvIg&t=579s (Diakses pada 11 Juli 2022)

Ask Japanese. (2020). Chubby VS Skinny: What girls are popular in Japan?.

https://www.youtube.com/watch?v =X68ltvuU3aI (Diakses pada 23 Agustus 2022)

Ask Japanese. (2022). Horrible WEIGHT LOSS TREND in Japan: The Cinderella                    Diet.

https://www.youtube.com/watch?v =xCPNyo-b7tE (Diakses pada 23 Agustus 2022)

Bartky, Sandra Lee (1990). Foucault, Femininity, and the Modernization of Patriarchal Power. In Femininity And Domination: Studies In The Phenomenology Of  Oppression.

Routledge.

Baseel, Casey. (2018). Japan's extra-slim 'Cinderella weight' diet target sparks debate online. Japan Today. https://japantoday.com/category/fe atures/lifestyle/japan%E2%80%99 s-extra-slim-%27cinderella-weight%27-diet-target-sparks-debate-online (Diakses pada 11 Juli 2022)

Basrowi, & Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Creswell, J. W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among Five Traditions. California: Sage Publications.

Dion, K., Berscheid, E., & Walster, E. (1972). What is beautiful is good. Journal of Personality and Social Psychology,    24(3),    285–290.

https://doi.org/10.1037/h0033731

Hamidi. (2004).  Metode  Penelitian

Kualitatif:     Aplikasi Praktis

Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: UMM Press.

Haworth, Abigail. (2017). Japanʼs pocchari trend celebrates ʻchubbyʼ women.      The      Guardian.

https://www.theguardian.com/lifea ndstyle/2014/oct/20/japan-pocchari-trend-women-fat-shaming-stereotypes (Diakses pada 7 November 2022)

Ivada, D., Restu Darmawan, D., &

Novianti, N. (2022). Beauty Care Kebutuhan Kultural Perempuan Metropolitan. Humanis, 26(3), 216. https://doi.org/10.24843/jh.2022.v2 6.i03.p02

Jones, Gina. (2015).   5 Lessons

Magazines Could Learn From 'La Farfa'.                         Bustle.

https://www.bustle.com/articles/10 7256-5-lessons-la-farfa-japanese-plus-size-magazine-could-teach-western-publications (Diakses pada 20 September 2022)

Kittaka, Louise George. (2017). Where Super-Thin is Still In: Attitudes to Body Image in Japan. Gaijinpot. https://blog.gaijinpot.com/attitudes -to-body-image-japan/    (Diakses

pada 8 Juli 2022)

Kittaka, Louise George. (2020). In Japan, One Size Does Not Fit All Women. Savvy                  Tokyo.

https://savvytokyo.com/in-japan-one-size-does-not-fit-all-women/ (Diakses pada 7 November 2022)

Magnúsdóttir, Laufey. (2015). Alluring Faces:   Beauty Standards in

Japanese Society through the Ages. University of Iceland.

Mase, T., Miyawaki, C., Ohara, K., & Nakamura, H. (2015). The Relationships among Perception of Body Image, a Desire for Thinness, and Dieting Behavior in Young Females in Japan. Health, 07(01), 112–118.

https://doi.org/10.4236/health.2015. 71013

Mase, T., Ohara, K., Miyawaki, C., Kouda, K.,  & Nakamura, H.

(2015). Influences of peers’ and family members’ body shapes on perception of body image and desire for thinness in Japanese female students. International Journal of Womenʼs Health, 2015:7,                 625–633.

https://doi.org/10.2147/ijwh.s82193

Miller, Laura. (2008). Japan's Cinderella Motif: Beauty Industry and Mass Culture Interpretations of a Popular Icon, Asian Studies Review, 32:3, 393-409.

https://doi.org/10.1080/103578208 02295955

Ministry of Health and Welfare. (2019). The National Health and Nutrition Survey      (NHNS)      2019.

https://www.nibiohn.go.jp/eiken/ke nkounippon21/download_files/eiyo uchousa/2019.pdf

Yamamiya, Y., & Suzuki, T. (2021).

Beauty Standards and Body Image Issues in The West and Japan from a Cultural Perspective [E-book]. In M. L. Craig (Ed.),  978-0-367

24657-0 (pp. 112–118). Routledge.

The Korea Herald. (2016). , ‘미용체중에 이어 신데렐라 체중까지. . .도 넘은 다이어트 열풍.

http://news.heraldcorp.com/view.p hp?ud=20160317000253 (Diakses pada 4 Oktober 2022)

The Mainichi. (2022). Japan gov't to launch survey on weight, dietary habits of young women. https://mainichi.jp/english/articles/ 20220704/p2g/00m/0na/046000c (Diakses pada 7 Juli 2022)

Vassiljeva, Ksenia. (2016). In pursuit of “Ideal”: A contemporary vision of Japanese     body     aesthetic.

University of Iceland.