Potensi Situs Arkeologi Gua Hunian Sebagai Daya Tarik Wisata di Pulau Nusa Penida, Bali
on
Journal of Arts and Humanities
p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X
Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022
Vol 26.4. Nopember 2022: 386-399
Potensi Situs Arkeologi Gua Hunian Sebagai Daya Tarik Wisata di Pulau Nusa Penida, Bali
The Potential of Gua Hunian Archeological Sites as Tourist Attraction in Nusa Penida Island, Bali
Ati Rati Hidayah
Pusat Riset Arkeometri, Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Jakarta, Indonesia
Email korespondensi: [email protected]
Info Artikel
Masuk:16 September 2022
Revisi:19 Oktober 2022
Diterima:11 November 2022
Terbit:30 Nopember 2022
Keywords:
Nusa Penida; archaeological sites; tourism
Kata kunci:
Nusa Penida; situs arkeologi;
pariwisata
Corresponding Author:
Ati Rati Hidayah
Email: [email protected]
DOI:
Abstract
The existence of archaeological sites on the island of Nusa Penida has an important role in the history of human civilization. These sites have significance for science as well as history, but their potential economic significance has not been explored. This paper aims to show the existence of archaeological sites on the island of Nusa Penida and also the economic importance of these sites. One of the potentials that can be developed is as a tourism object that still pays attention to the principles of conservation and cultural resource management (CRM). The research method is in the form of data collection with observation techniques and also literature study, analyzing qualitative data and presenting data in an explanatory descriptive manner. The results showed the potential of archaeological sites as a tourist attraction. Some of the sites that have the most potential to be developed are the Song Gede Site, the Japanese Cave Complex Site, and the Song Toya Pakeh underwater cave site.
Abstrak
Keberadaan situs-situs arkeologi di Pulau Nusa Penida memiliki peran yang penting dalam sejarah peradaban manusia. Situs-situs ini memiliki arti penting bagi ilmu pengetahuan dan juga sejarah, namun arti penting ekonomi belum dieksplorasi potensinya. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan keberadaan situs arkeologi di Pulau Nusa Penida dan juga nilai penting ekonomi situs tersebut. Salah satu potensi yang bisa dikembangkan yaitu sebagai obyek wisata yang tetap memperhatikan prinsip konservasi serta pengelolaan sumberdaya budaya atau cultural resource management (CRM). Metode penelitian berupa pengumpulan data dengan teknik observasi dan juga studi pustaka, menganalisis data kualitatif serta penyajian data secara deskriptif eksplanatif. Hasil penelitian menunjukkan potensi situs arkeologi sebagai salah satu daya tarik wisata. Beberapa situs yang paling potensial dikembangkan adalah Situs Song Gede, Situs Kompleks Gua Jepang, dan Situs gua bawah air Song Toya Pakeh.
PENDAHULUAN
Pulau Nusa Penida menjadi lebih terkenal sejak dekade terakhir. Seiring dengan berkembangnya media sosial yang berperan penting dalam mempromosikan obyek wisata. Promosi melalui media sosial membuat keindahan pantai-pantai di pulau ini menjadi viral dan dikunjungi banyak wisatawan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali tahun 2017 berjumlah 5.697.739 wisatawan dan mengalami kenaikan jumlah tahun 2018 menjadi 6.070.473 wisatawan. Serta adanya peningkatan kunjungan wisatawan yang signifikan tahun 2019 berjumlah 6.275.210 wisatawan. Namun, karena adanya pandemi pada tahun 2020 mengalami penurunan jumlah kunjungan wisatawan yang sebanyak 1.069.473 orang (Tim 2020). Seiring membaiknya kondisi pada tahun 2022, sektor pariwisata kembali meningkat.
Pada tahun 2017 Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung menetapkan Peraturan Daerah terkait dengan pariwisata (Klungkung 2013). Perda ini bertujuan untuk mendorong tumbuhnya sektor pariwisata di Kabupaten Klungkung, sebagai salah satu sumber pendapatan daerah sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakatnya.
Kecamatan Nusa Penida masuk ke dalam wilayah strategis untuk pariwisata, seperti yang tertuang dalam (PP No 50 Th 2011 2011), sehingga lebih diutamakan oleh pemerintah daerah setempat dalam usaha pengembangannya.
Perda no 10 tahun 2015 (Perda Prov. Bali No 10 Th 2015 2015) menyatakan bahwa “Kawasan Pariwisata adalah kawasan strategis pariwisata yang berada dalam geografis satu atau lebih wilayah administrasi desa/kelurahan yang di
dalamnya terdapat potensi daya tarik wisata, aksesibilitas yang tinggi, ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas pariwisata serta aktivitas sosial budaya masyarakat yang saling mendukung dalam perwujudan kepariwisataan”.
Keistimewaan lain di Pulau Nusa Penida yang masih jarang diketahui oleh masyarakat adalah keberadaan harta karun tak ternilai berupa situs-situs arkeologi. Salah satu situs arkeologi yang telah lama diteliti kurang lebih selama dua dekade adalah Situs Song Gede di Desa Pejukutan. Situs ini menyimpan bukti tertua mengenai penghunian pulau ini, bahkan Pulau Bali yaitu sejak sekitar 30 ribu tahun yang lalu (Gede 2019; Hidayah and Gede 2011).
Selain situs gua yang berada di darat, terdapat satu situs gua yang sangat berpotensi sebagai hunian pada masa lalu yang saat ini berada di bawah air (Harbowo et al. 2017; Keling et al. 2021). Tentu hal ini sangat menarik karena membuktikan adanya perubahan lanskap yang sangat signifikan dari masa ke masa.
Beberapa penelitian terkait dengan pengembangan kepariwisataan di Nusa Penida telah dilakukan, diantaranya yaitu penelitian mengenai pengembangan Pulau Nusa Penida sebagai kawasan pariwisata yang berkelanjutan oleh (Damayanti, Wijaya, and Kanca 2015). Hasil penelitiannya memberikan alternatif strategi pariwisata yang bisa dikembangkan yaitu dengan meningkatkan promosi wisata, dengan penataan dan pelestarian lingkungan, serta pelibatan masyarakat untuk pengembangan pariwisata, selain itu diharapkan dikembangkannya produk wisata agar bervariasi dan yang tidak kalah penting pembangunan sarana dan fasilitas umum, terakhir dengan membuat dan badan pengelola pariwisata serta peningkatan sumberdaya manusia.
Selain itu juga terdapat penelitian mengenai implementasi kebijakan
pengembangan pariwisata di Nusa Penida yang menyatakan bahwa penerapan kebijakan terkait pengembangan pariwisata di wilayah Nusa Penida telah dilakukan dengan baik, akan tetapi terkendala dalam pelaksanaan di lapangan. Strategi dalam mengatasinya salah satunya yaitu dengan ditingkatkannya pembangunan sarana dan prasarana pendukung, selain itu selaras dengan penelitian sebelumnya menyarankan adanya peningkatan kualitas SDM, serta mengeksplorasi potensi sumber daya alam (Gayatri 2022).
Berdasarkan dari hasil penelitian terdahulu mengenai pengembangan pariwisata di Nusa Penida, sejauh ini belum ditemukan kajian mengenai potensi situs arkeologi khususnya gua hunian sebagai obyek wisata. Hal ini tentunya menjadi penting untuk dibahas dan diangkat sebagai permasalahan, selaras dengan simpulan kedua penelitian di atas bahwa perlu adanya eksplorasi potensi daya tarik wisata.
Selain itu, selaras dengan (UUCB No 11 Th 2010 2010) salah satu manfaat dari situs arkeologi selain nilai penting untuk sejarah, untuk ilmu pengetahuan, untuk pendidikan, serta agama, nilai penting ekonomi, salah satunya pemanfaatannya sebagai obyek daya tarik wisata. Menurut undang-undang CB disebutkan bahwa “pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya”.
Serta tercantum dalam Pasal 85 tentang pemanfaatan dinyatakan pada pasal (1) “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata”.
Hal ini juga selaras dengan rekomendasi hasil penelitian salah satu
situs di Nusa Penida yaitu Situs Song Gede di Desa Pejukutan. Berdasarkan rekomendasi penelitian tahun 2019 disebutkan bahwa nilai penting ekonomis penelitian Situs Song Gede, tidak serta merta dapat dikomersilkan sebagai destinasi wisata yang memberikan kontribusi secara material secara langsung, namun dapat menjadi tujuan wisata pembelajaran sebagai open site museum, yang juga dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Rekomendasi hasil penelitian di Situs Song Gede tahun 2021, menyebutkan bahwa Situs Song Gede memiliki rekam jejak bukti kehidupan leluhur manusia saat ini, dan juga menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia secara global, sehingga dapat menjadi media belajar untuk generasi penerus dan juga masyarakat dengan dijadikannya sebagai obyek wisata sejarah dan juga religi, karena saat ini masyarakat mengkaitkan Song Gede dengan kepercayaan setempat.
Pemerintah Kabupaten Klungkung dengan Dinas Kebudayaan Pemuda dan OIahraga juga mendukung rekomendasi di atas yang disampaikan pada saat FGD (2021) yang dilaksanakan Balai Arkeologi Bali, salah satunya dengan adanya dukungan berupa membuka sarana akses jalan menuju situs tersebut secara swadaya oleh masyarakat didukung oleh pemerintah daerah setempat.
Minimnya pemanfaatannya situs arkeologi bagi masyarakat secara langsung dinyatakan oleh Muhammad, 2009 yang menyatakan bahwa hasil penelitian arkeologi belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat, namun lebih kepada kepentingan peneliti dan akademisi saja, padahal masyarakat adalah pemilik dari sumberdaya tersebut (Muhammad 2009). Hal ini perlu dikaji bersama agar masyarakat yang lebih luas sebagai pemilik sumberdaya arkeologi
dapat merasakan manfaat dari hasil penelitian arkeologi secara langsung.
Selain pendapat di atas, keterbatasan manajemen sumberdaya arkeologi juga dinyatakan oleh Suantika, 2012 bahwa pengelolaan sumberdaya arkeologi dari awal ditemukan hingga dapat dimanfaatkan sudah seyogyanya dikelola secara menyeluruh sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh stakeholder. Hal ini belum berlangsung dengan baik, karena menurut penulis pengelolaan belum optimal dan masih terkendala oleh ego sektoral (Suantika 2012).
Berdasarkan penjabaran di atas, maka tulisan ini disusun untuk melihat seberapa besar potensi situs-situs arkeologi di Pulau Nusa Penida sebagai obyek daya tarik wisata namun tetap mengedepankan prinsip konservasi dan juga prinsip pengelolaan sumberdaya budaya yang berkelanjutan.
METODE DAN TEORI
Penelitian mengenai potensi situs arkeologi sebagai obyek wisata di Nusa Penida ini dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif. Analisis data dilakukan secara sistematis dengan menyusun, mengintegrasikan hubungan di antara data yang ada. Data berupa situs-situs arkeologi diperoleh dari penelusuran pustaka hasil penelitian, dan juga data dari hasil penelitian berupa ekskavasi dan survey serta observasi yang dilakukan di Pulau Nusa Penida pada tahun 2019 dan 2021 oleh penulis dan tim. Untuk melakukan analisis data dihubungkan dengan konsep/teori generalisasi awal, dalam hal ini dengan mengedepankan prinsip pelestarian dan juga pengelolaan sumberdaya budaya berdasarkan undang-undang dan juga referensi konsep atau teori mengenai konservasi dan cultural resource management.
Teknik penyajian data berupa deskriptif eksplanatif yang bertujuan
untuk mendeskripsikan dan menjelaskan data secara jelas dan sistematis. Dalam penelitian ini, data berupa sampel situs arkeologi, baik yang sudah diteliti maupun hasil survey dan observasi yang telah dilakukan.
Potensi situs arkeologi sebagai salah satu hal yang menarik untuk wisata dalam penelitian ini tidak terlepas dari konsep cultural resource management, sebagai salah satu konsep dalam ilmu arkeologi dalam mengelola sumber daya budaya khususnya arkeologi.
Cultural Resource Management (CRM) merupakan upaya pengelolaan sumberdaya budaya yang memperhatikan kepentingan berbagai pihak. Konsep CRM secara luas menjadikan masyarakat sebagai pihak yang menjadi tidak dapat dipisahkan atau merupakan satu kesatuan di dalam proses mengelola sumberdaya budaya yang salah satunya berupa situs arkeologi (Sulistyanto 2009).
Terdapat pendapat mengenai warisan budaya sebagai salah satu produk yang terkait dengan pemanfaatannya secara ekonomi. Setidaknya terdapat lima stakeholder yaitu pemilik, pemerintah, akademisi, pengunjung, insider atau pencinta heritage dan media, Pada umumnya terdapat konflik antar stakeholder sehingga diperlukan dialog dan perencanaan yang matang dalam hal pemanfaatan warisan budaya ini (Howard 2003).
Saat ini pengelolaan warisan budaya berbasis masyarakat sedang hangat diperbincangkan dan dicoba diterapkan, salah satunya artikel yang ditulis oleh Arisanti et al, 2021 yang mengedepankan peran serta masyarakat sebagai pemilik untuk mengelola dan melestarikan warisan budayanya (Arisanti et al. 2021).
Lebih lanjut, Hobson 2004, berpendapat mengenai pentingnya mengedepankan peran penting atau utama masyarakat lokal dalam mengelola dan melestarikan warisan budaya (Hobson 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa Situs Gua Hunian di Nusa Penida
Keberadaan situs arkeologi di Pulau Nusa Penida yang dibahas dalam tulisan ini lebih menitikberatkan pada situs arkeologi berupa gua hunian. Hal ini menjadi keistimewaan tersendiri karena tidak semua wilayah memiliki situs gua hunian.
Keberadaan situs gua-gua hunian di Pulau Nusa Penida tidak terlepas dari proses pembentukan pulau ini yang merupakan pulau dengan karakteristik karst (Hadiwidjojo, Samodra, and Amin 1998) sehingga secara alami banyak memiliki gua-gua alam akibat dari proses pelarutan batuan oleh air sehingga membentuk gua, baik yang berbentuk vertikal maupun horizontal. Setidaknya terdapat 23 gua hunian di sisi Timur pulau (Hidayah 2017) dan 10 gua di sisi Barat pulau (Keling et al. 2021), sisi tengah pulau belum dieksplorasi keberadaan gua-gua yang berpotensi sebagai situs arkeologi.
Data gua hunian yang diperoleh direduksi dalam tulisan ini sesuai dengan besarnya potensi sebagai situs arkeologi, dan terdapat setidaknya sepuluh situs gua hunian yang berpotensi sebagai obyek daya tarik wisata (peta 1) yang selanjutnya akan dipilah kembali situs yang paling potensial sebagai daya tarik wisata.
Peta 1. Sebaran Situs Gua Hunian di Pulau Nusa Penida yang berpotensi sebagai obyek daya tarik wisata
Sumber: Peta RBI dan Topografi Demnas diolah oleh penulis
Deskripsi mengenai situs gua dan juga potensi arkeologi serta daya tarik wisatanya sebagai berikut:
-
1. Situs Gua Gede atau disebut Situs Song Gede terletak di Dusun Pendem, Banjar Ambengan, Desa Pejukutan. Letak koordinat berada pada S 08°45.206' E 115°36.043,, dengan ketinggian 175 mdpl. Ukuran gua ini sangat luas dengan lebar mulut gua mencapai 16 meter (pada bagian dalam ruangan gua lebih lebar), tinggi atap 5 meter (pada bagian dalam lebih tinggi) dan panjang ruang gua mencapai 53 meter. Bentuk gua sangat ideal sebagai hunian, karena akses cahaya matahari yang dapat memasuki sebagian ruang gua. Situs ini telah diteliti sejak tahun 2001, dan telah menghasilkan artefak maupun ekofak yang melimpah, di antaranya beliung, fragmen gerabah, alat tulang lancipan ganda, alat kerang dan juga alat batu. Alat batu yang ditemukan seluruhnya berbahan batu gamping (Patridina 2013). Temuan artefak dan ekofak menjadi bukti adanya aktifitas manusia setidaknya sejak 30 ribu tahun yang lalu berdasarkan dari hasil analisis pertanggalan c14 yang dilakukan dengan menggunakan sampel arang (Gede 2019; Hidayah et al. 2021). Hasil penelitian terkini adalah temuan gigi manusia dengan konteks pertanggalan 30 ribu tahun yang lalu, sehingga merupakan manusia tertua yang ditemukan di wilayah Bali. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri, karena Pulau Nusa Penida yang selama ini terkesan terbatas sumberdaya alamnya ternyata menyimpan sejarah manusia tertua di Bali. Hal ini menjadi sejarah yang sangat menarik untuk dijadikan sebagai lokasi belajar sejarah dan juga
sebagai daya tarik wisata alam yang mengandung sejarah peradaban manusia. Selain itu menjadi keunikan tersendiri dengan mengunjungi gua ini, karena kita dapat merasakan secara langsung bagaimana kehidupan manusia masa lalu dan juga aktifitas yang dapat mereka lakukan di sekitar gua. Tentu saja pemandangan ketika menuju gua ini dari titik terakhir pengunjung dapat mengendarai kendaraan menjadi daya tarik juga. Situs ini berada di jalur menuju ke Pantai Atuh dan juga Diamond Beach yang menjadi primadona wisatawan di Nusa Penida.
Gambar 1. Situs Song Gede Nusa Penida, kondisi ruang gua dilihat dari ruang dalam gua Sumber: Balai Arkeologi Bali 2019
-
2. Gua Celagi Landan merupakan kompleks gua yang berada di Desa Suana, merupakan gua terbesar di kompleks Gua Jepang (merupakan gua yang dibuat pada masa penjajahan Jepang). Gua ini terletak pada -8.720208°LS, 115.594463°BT, 54
mdpl. Menurut informan dulu terdapat meriam yang sudah dibawa oleh peneliti dari Jakarta. Adapun ukuran mulut gua tinggi 190 cm, lebar 3,5 m, dan kedalaman ruangan gua 11,9 m (Keling et al. 2021). Pada bagian mulut gua terdapat semacam pintu masuk yang pada bagian kanan kiri diperkuat dengan semen. Ukuran pintu tersebut lebar 160 cm, dan tinggi 115 cm. Pada bagian dalam dan kanan kiri dinding gua telah diperkuat dengan semen. Selain itu terdapat jejak
pahatan pada atap gua untuk membentuk ketinggian atap yang sesuai. Kompleks situs gua peninggalan masa penjajahan jepang, telah lama tercatat sebagai situs arkeologi, namun perhatian untuk menjaga dan melestarikan situs ini masih sangat kurang. Situs yang terletak di Desa Suana ini berada di pinggir jalan utama, dan apabila dikelola dengan baik, dapat menjadi salah satu daya tarik untuk merasakan bagaimana berada di gua dengan ukuran yang cukup sempit, dan juga sejarahnya mengapa gua tersebut dibuat.
Gambar 2. Situs Song Celagi Landan, kondisi mulut gua
Sumber: Balai Arkeologi Bali 2021
-
3. Gua Jepang masih di kompleks yang sama dengan Gua Celagi Landan, kompleks gua jepang setidaknya terdiri dari 3 gua yang membentuk huruf U, terdapat dua pintu yang sejajar dan ruangan gua membentuk huruf U, bentukan mulut gua tersebut terbuat dari semen dan batu alam. Lebatnya vegetasi disekitar mulut gua dan sebagian pintu gua telah runtuh, pengukuran tidak dapat dilakukan secara seksama. Lokasi terletak pada koordinat -8.720752°LS
115.594031°BT, dengan ketinggian 48 mdpl (Keling et al. 2021).
Gambar 3. Salah satu mulut gua jepang di Situs komplek gua Jepang di Desa Suana Sumber: Balai Arkeologi Bali 2021
Gambar 4. Situs Ceruk Semabu Sumber: Balai Arkeologi Bali 2021
-
4. Ceruk Semabu 2, berada di perbatasan Toya Pakeh Ped dan Sakti, terletak pada koordinat -8.689324°LS
115.494187°BT dengan ketinggian 104 mdpl. Adapun ukuran Ceruk Semabu 2 yaitu lebar mulut 23,2 m, tinggi atap 6,2 m, dan kedalaman ruangan ceruk 6,3 m. Kondisi lantai ceruk sangat datar, sedimen tebal, dan terdapat beberapa stalagmit di sekitar mulut ceruk. Berdasarkan hasil observasi di sekitar Ceruk Semabu 2 ditemukan artefak berupa fragmen gerabah, artefak batu, ekofak sisa fauna vertebrata, dan juga banyak sisa moluska yang merupakan indikasi pertama dalam arkeologi mengenai adanya sisa aktifitas manusia masa lalu sebelum dilaksanakan penelitian dengan metode ekskavasi. Kondisi lingkungan sekitar ceruk sangat
mendukung dengan vegetasi yang beragam, kontur depan ceruk hingga lembah bukit yang landai, dan jarak menuju pantai yang relatif dekat, serta melimpahnya sumberdaya laut sangat mendukung untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia pada masa lalu. Berdasarkan dari morfologi, kondisi lingkungan, dan temuan permukaan maka ceruk ini sangat berpotensi sebagai hunian. (Keling et al. 2021).
-
5. Gua Lawa terletak di Desa Sakti, Dusun Sebunibus. Gua ini terletak pada koordinat -8.700843°LS
115.481540°BT dengan ketinggian 161 mdpl. Adapun ukuran gua yaitu lebar mulut gua 5,3 meter, tinggi atap gua 2.3 m, dan kedalaman gua yang dapat diamati dari mulut gua mencapai 38 m. Pada bagian tengah dan bagian dalam gua, terdapat lapisan guano (kotoran kelelawar) yang cukup tebal mencapai 30 cm. Pada bagian tengah gua dengan kedalaman 25 meter, terdapat runtuhan atap gua yang menyebabkan adanya gundukan dari reruntuhan dan juga akses sinar matahari dan udara ke dalam gua. Ketinggian atap di bagian tengah dan dalam gua mencapai 3,8 m. Bentuk gua ini sangat ideal sebagai hunian, karena permukaan ruang gua yang kering dan datar, serta cahaya matahari yang bisa masuk ke sebagian ruangan di dekat mulut gua. Pada umumnya lokasi manusia masa lalu beraktifitas yang paling utama di mulut gua, sehingga biasanya banyak ditemukan artefak maupun ekofak di mulut gua ketika dilakukan penelitian ekskavasi. Berdasarkan dari hasil survey, terdapat beberapa artefak
maupun ekofak yang ditemukan,
seperti fragmen gerabah, alat batu dan juga tulang binatang serta cangkang kerang. (Keling et al. 2021).
Gambar 5. Situs Song Lawa, kondisi mulut gua
Sumber: Balai Arkeologi Bali 2021
-
6. Gua Punduk Kae berada di Dusun Punduk Kae Kaja, Desa Bunga Mekar, berada di sisi tebing salah satu alur yang bermuara ke Crystal Bay. Gua ini terletak pada koordinat -
8.725618°LS 115.496969°BT dengan ketinggian 208 mdpl. Ukuran gua yaitu lebar mulut gua 8 meter, tinggi atap 2,5 meter dan kedalaman ruangan gua mencapai 40 m. Gua ini sangat ideal sebagai gua hunian dan terdapat mata air di dalam gua ini, yang dimanfaatkan oleh pemilik lahan sebagai sumber mata air dan juga gua ini disakralkan oleh penduduk setempat.
Gambar 6. Situs Song Celagi Landan, kondisi mulut gua
Sumber: Balai Arkeologi Bali 2021
-
7. Song Medayung terletak di Desa Pejukutan, di sebelah selatan Pura Telaga Sakti berjarak sekitar 300 m. Song Medayung terletak pada koordinat S 08°45.408’ E 115°35.661’. Song Medayung
merupakan tipe ceruk dengan arah hadap ke tenggara. Ukuran panjang ceruk mencapai 29 m dengan kedalaman ceruk terdalam mencapai 3,6 m dan tinggi ceruk tersebut mencapai 3.5 m. Bagian tengah ceruk sudah terdapat bebaturan setinggi 1 m untuk persembahyangan masyarakat sekitar (Suastika 2008; Gede 2019)
Gambar 7. Situs Song Medayung, kondisi mulut gua
Sumber: Balai Arkeologi Bali 2019
-
8. Song Tukad Tuduh 1 terletak di Desa Tanglad Nusa Penida dan berbatasan langsung dengan Desa Pelilit. Song Tuduh I terdapat pada tebing yang terjal di sebelah barat Sungai Tuduh Secara astronomis terdapat pada posisi S 08°46.999’ E 115°36.561’. Gua ini memiliki ukuran lebar mulut gua 6,5m, dalam 5 m dan tinggi 2,2m. Bagian gua yang dapat dimasuki dengan berdiri hanya sedalam 1,5, lebar 3m tinggi 2,2m. (Gede 2019)
Gambar 8. Situs Song Tukad Tuduh, kondisi mulut gua
Sumber: Balai Arkeologi Bali 2019
-
9. Song Paon secara administrasi terletak di Desa Suana Nusa Penida. Song Paon terletak pada S 08°42.650’ E 115°35.922’. Song Paon terletak di sebelah barat Pura Song Giri Putri berjarak ±500m. Lokasi ini dapat ditempuh melalui jalan masuk sebelah utara Pura Song Giri Putri. Mulut Song Paon menghadap ke utara dan kemungkinan gua ini terbentuk karena runtuhan atap gua yang sebelumnya tidak terlihat kemudian terbuka karena runtuh tersebut. Hal ini masih terlihat pada bagian depan mulut gua yang merupakan tumpukan batu gamping yang besar dan kecil sehingga terlihat sedikit membukit dan bagian atap mulut gua yang terlihat patahan yang jelas dan hanya memiliki ketebalan sekitar 50cm. Terdapat bidang lebar sekitar 7.5m di depan mulut gua yang curam, dan di bawahnya terdapat ruangan gua. Pada posisi lantai gua bawah terdapat ruangan yang lebih datar dengan ketinggian 15,6m hingga langit-langit gua. Panjang ruang bagaian dalam Gua Paon mencapai 51m dan lebar 13,9m. Ruang tersebut dihubungan dengan ruangan kedua yang memiliki luas yang hampir sama tetapi cahaya tidak dapat masuk ke ruangan ini. Pada ruangan kedua tersebut terdapat baturan untuk media persembahyangan mengarah ke utara (Gede 2019)
Gambar 9. Situs Song Paon, kondisi mulut gua
Sumber: Balai Arkeologi Bali 2019
-
10. Song Merarik terletak di Bukit Merarik, di Desa Suana, merupakan salah satu situs gua yang berpotensi sebagai situs gua hunian. Ukuran mulut gua tersebut yaitu lebar 3 m dan tinggi 2,5 m dengan ukuran ruangan gua panjang 9m, lebar 6,8m dan tinggi ruangan 4 m. Lantai gua memiliki lapisan sedimen yang tebal dengan beberapa bagian sudah tertutup sedimentasi batuan gamping sehingga lebih keras. Pada saat survey ditemukan beberapa fragmen sisa cangkang kerang gastropoda laut dan darat yang menjadikan indikasi adanya hunian manusia pada masa lalu. Sisa cangkang tersebut sebagai bukti sisa bahan makanan karena ditemukan dalam kondisi terpecah karena proses pemukulan. Dilakukan test pit atau lubang uji pada penelitian survei di Song Merarik dan ditemukan artefak manik-manik
berbahan tulang dan kerang (Gede 2019).
Gambar 10. Situs Song Merarik, kondisi mulut gua
Sumber: Balai Arkeologi Bali 2021
Selain situs gua hunian di darat, keistimewaan lain yang dimiliki oleh wilayah Nusa Penida adalah terdapat gua bawah air yang berpotensi sebagai situs gua hunian pada masa lalu yang saat ini berada di bawah air yaitu Song Toya Pakeh, gua ini sebelumnya dikenal dengan nama Gua Stiva (Keling et al. 2021). Gua tersebut saat ini berada di bawah air akibat adanya perubahan ketinggian muka laut ribuan tahun lalu
yaitu akibat adanya glasiasi atau jaman es. Pada masa 18 ribu hingga 21 ribu tahun yang lalu, permukaan laut turun mencapai 120 meter, dan mencapai ketinggian permukaan laut seperti saat ini pada sekitar 8 ribu tahun yang lalu (Sathiamurthy and Voris 2006). Situs Song Toya pakeh banyak menyimpan fosil-fosil binatang darat dan juga beberapa artefak yang terdapat di permukaan gua tersebut. Hal ini memperkuat indikasi bahwa pada masa lalu ketika gua ini berada di atas permukaan air, dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat tinggal.
Situs-situs gua yang dipaparkan di atas merupakan hasil dari penelitian baik berupa survei maupun ekskavasi. Hampir kesemuanya memiliki daya tarik, namun terdapat beberapa yang memiliki kelebihan dibandingkan lainnya sebagai tujuan wisata minat khusus. Kelebihan tersebut di antaranya karena penelitian arkeologi yang dilakukan telah menghasilkan intepretasi. Situs tersebut yaitu Situs Song Gede, Situs Kompleks Gua Jepang dan situs gua bawah air Song Toya Pakeh. Perjalanan menuju gua dengan berjalan kaki dan sekaligus mendapat pengalaman mengunjungi dan masuk ke dalam gua yang memiliki sejarah sebagai hunian pada masa lalu menjadi daya tarik tersendiri. Terdapat gua yang memiliki sumber mata air dan disakralkan oleh pemilik lahan seperti Song Punduk Kae, namun diperlukan pendekatan khusus dan juga dialog dan kerjasama yang baik dari seluruh pihak agar gua ini dapat dikembangkan lebih lanjut, baik berupa penelitian ekskavasi maupun pengembangan sebagai daya tarik wisata.
Khusus untuk situs arkeologi bawah air berupa gua hunian masih sangat jarang ditemukan, maka Situs Song Toya Pakeh di Nusa Penida ini menjadi hal yang istimewa, dan harus dikelola dengan sangat hati-hati dan perencanaan yang matang sehingga kelestariannya
bisa terjaga dengan baik. Selain faktor kelestarian artefak maupun ekofak yang berada di dalam gua ini, seperti fosil fauna, keamanan pengunjung gua bawah air ini juga sangat ditekankan, maka pengunjung dengan keahlian khusus diperlukan untuk dapat memasuki gua ini, dan dengan syarat khusus didampingi oleh profesional khusus yang memegang lisensi sebagai penyelam gua.
Lingkungan di sekitar gua bawah air juga ideal untuk melakukan penyelaman open water, karena kekayaan alam wilayah Nusa Penida berupa kenekaregaman fauna khususnya ekosistem laut yang melimpah, karena wilayah ini merupakan habitat fauna yang langka dan juga dilindungi.
Potensi Situs Arkeologi Gua Hunian di Nusa Penida sebagai Daya Tarik Wisata
Bidang pariwisata di Kab. Klungkung menjadi pendapatan pemerintah daerah nomor dua terbanyak setelah bidang pertanian yaitu 10,33% pada tahun 2020. Hal ini tentu menjadi hal yang penting untuk selalu memperhatikan sektor pariwisata agar dapat terus ditingkatkan dan dikembangkan.
Hal di atas mendorong untuk dilakukannya eksplorasi obyek daya tarik wisata yang dapat dikelola sebagai asset pemerintah daerah, salah satunya situs arkeologi. Dalam penelitiannya, Hartatik, 2014 menyatakan bahwa institusi pemerintah yang berwenang dalam penelitian dan pengembangan cagar budaya, menjadi penanggung jawab utama dalam menginformasikan hasil penelitian dan juga usaha pengembangannya pada masyarakat luas, sehingga masyarakat dapat lebih memahami dan memanfaatkannya (Hartatik 2014). Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bersama, agar hasil penelitian dapat disebarluaskan pada masyarakat sekaligus dapat bermanfaat.
Keterlibatan pemerintah dalam mengelola warisan budaya sangat penting seperti yang dicantumkan dalam undang undang no 10 tahun 2011 tentang Cagar Budaya. Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki wewenang dalam mengelola warisan budaya dan juga pengembangan serta pemanfaatannya (Supratikno, Djuwita, and Yulianto 2012).
Pemanfaatan situs arkeologi khususnya gua hunian yang berada di Pulau Nusa Penida menjadi salah satu cara dalam menambah obyek wisata di pulau Nusa Penida, namun harus memperhatikan kelestarian dan harus direncanakan dengan perencanaan yang matang agar tidak menyalahi peraturan mengenai cagar budaya dan juga yang paling utama terjaganya situs itu dari kerusakan.
Proses pengembangan pariwisata sudah seharusnya dipersiapkan dengan baik dan terencana, sehingga dapat mencapai tujuan bersama. Perencanaan yang kurang matang dalam pembukaan suatu obyek wisata bisa berdampak negatif bagi banyak pihak, di antaranya kerusakan lingkungan, kerusakan obyek seperti kawasan bersejarah, dan juga masalah transportasi seperti kemacetan, dan juga pencemaran lingkungan seperti polusi udara, air maupun tanah.
Salah satu solusi dalam pemanfaatan sumberdaya budaya sebagai daya tarik wisata adalah dengan menerapkan pembangunan pariwisata berkelanjutan. Hal ini untuk menjaga supaya sumberdaya alam, maupun sosial dan sumberdaya budaya yang dimanfaatkan sebagai pariwisata dapat lestari dan dapat berkelanjutan pemanfaatannya hingga generasi yang akan datang (Ardika 2003).
Untuk mendukung tujuan situs arkeologi menjadi obyek daya tarik wisata, maka diperlukan komponen pendukung diantaranya attraction, accommodation, event management,
intermediaries, transportation, public sector and policy (Fletcher et al. 2018)
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan situs arkeologi sebagai daya tarik wisata di antaranya pembangunan srana prasarana, pengembangan SDM, dan adanya promosi. Salah satunya adalah dengan membuat brosur atau laman yang dikelola secara sistematis dan berkesinambungan yang memuat tentang daya tarik situs arkeologi serta sarana penunjangnya. Diperlukan kerjasama untuk pembuatan konten dari materi situs dengan para peneliti maupun akademisi. Selanjutnya dengan melaksanakan kerjasama dengan berbagai stakeholder terkait pariwisata baik domestik maupun internasional, untuk mempromosikan obyek tersebut (gambar 11).
https://kumparan.com/paket-tour-bali-nusa-penida/paket-tour-nusa-penida, akses 9-9-22
Gambar 11. Salah satu contoh brosur wisata Pulau Nusa Penida, masih didominasi oleh keindahan alam pantai
Sumber: https://kumparan.com/paket-tour-bali-nusa-penida/paket-tour-nusa-penida, diakses 10
Sept 2022
Pesatnya pariwisata di Nusa Penida terjadi sekitar satu dekade lalu, dan pada tahun 2017, pemerintah daerah mulai melakukan pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan obyek wisata, dan promosi pariwisata, dengan lebih gencar menerapkan Perda No 1 Tahun 2013, mengenai “Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Klungkung Tahun 2013-2033”. Di antaranya disebutkan pada Pasal 12 “Strategi pengembangan Klungkung yang lestari, aman, nyaman,
produktif, berjatidiri budaya Bali dan berkelanjutan”, serta “melestarikan dan melindungi kawasan cagar budaya, bangunan bersejarah dan/atau bernilai arsitektur tinggi, serta potensi sosial budaya masyarakat yang memiliki keunikan dan nilai sejarah”; Hal ini tentu selaras dengan eksplorasi situs gua hunian maupun kompleks gua jepang sebagai potensi daya tarik wisata bernilai sejarah.
Perda di atas merupakan salah satu usaha pemerintah dalam mengembangkan sektor pariwisata, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kunjungan wisatawan baik domestik maupun internasional.
Pengelolaan situs arkeologi sebagai daya tarik wisata saat ini dapat dilakukan dengan pengelolaan berbasis masyarakat sebagai ujung tombak, sekaligus pemilik sumberdaya tersebut, tentu dengan dukungan pemerintah setempat. Langkah awal yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan menetapkan situs-situs tersebut sebagai cagar budaya dengan dibuatnya SK Bupati berdasarkan rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten, sehingga semua langkah yang akan dilakukan kedepan terhadap situs tersebut memiliki payung hukum yang pasti. Sebagai situs prioritas yang berpotensi dijadikan sebagai daya tarik wisata adalah Situs Song Gede. Masyarakat setempat telah berinisiatif membuat akses menuju situs yang telah dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat dengan dukungan pemerintah desa. Hal ini tentu menjadi awal yang sangat baik. Selanjutnya pembuatan sarana dan prasarana penunjang seperti sanitasi. Promosi menjadi hal yang harus dilakukan baik secara langsung oleh para pemandu wisata maupun melalui media sosial atau web. Selain itu sarana penunjuk arah juga sangat penting, mengingat situs ini berada di jalur wisata yang terkenal yaitu
Pantai Atuh dan Diamond Beach, sehingga wisatawan yang melewati jalur ini dapat melihat penunjuk arah keberadaan Situs Song Gede. Tidak kalah penting adalah peningkatan SDM sebagai pemandu wisata di situs ini. Sumberdaya manusia yang terdiri dari masyarakat sekitar situs diberikan pembekalan pengetahuan sejarah situs sehingga dapat menyampaikan dengan baik pada pengunjung. Peran para peneliti sangat penting dalam memberikan materi baik pada masyarakat setempat, baik dengan berupa flyer maupun buku panduan mengenai sejarah penelitian situs tersebut, agar dapat dijadikan sebagai acuan dalam menjelaskan pada pengunjung. Selain itu, di lokasi situs tersebut perlu dibuat poster atau papan yang memberikan informasi mengenai penelitian di situs tersebut beserta foto dan ilustrasi mengenai kehidupan manusia dan peradabannya pada masa lalu. Hal ini tentu berlaku pula pada situs lain seperti di Situs Kompleks Gua Jepang dan Song Toya Pakeh, tentu dengan menyesuaikan situasi lokasi situs masing-masing.
SIMPULAN
Keberadaan situs-situs arkeologi di Pulau Nusa Penida memiliki peran yang penting dalam sejarah peradaban manusia, Beberapa situs dipaparkan dalam tulisan ini, namun situs yang paling potensial berdasarkan dari paparan teori mengenai komponen pariwisata di atas, terdiri dari tiga situs, yaitu Situs Song Gede, Komplek Situs Gua Jepang, dan Situs gua bawah air Song Toya Pakeh, karena ketiga situs ini memiliki keunikan dan juga sejarah yang dapat disusun menjadi atraksi wisata. Pengembangan situs ini sebagai daya tarik wisata harus tetap memperhatikan prinsip konservasi dan pengelolaan sumberdaya budaya atau cultural resource management (CRM), pertama dengan menetapkan situs sebagai cagar
budaya. Selanjutnya pelibatan
masyarakat sebagai ujung tombak dalam pelestarian dan pemanfaatannya. Selain itu pembangunan sarana dan prasarana pendukung diperlukan untuk dapat mengembangkan situs ini sebagai daya tarik wisata. Oleh karenanya diperlukan sinergi dan kerjasama dari seluruh pihak agar tujuan di atas dapat tercapai.
Keberadaan situs arkeologi di Nusa Penida yang merupakan sumberdaya budaya milik masyarakat dan juga pemerintah daerah masih perlu dilakukan kajian lebih mendalam melalui penelitian yang lebih intensif terkait kebijakan pengelolaan, pemanfaatan dan juga pelestariannya, agar dapat berjalan secara harmonis.
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I. W. (2003). Pariwisata Budaya Berkelanjutan: Refleksi dan
Harapan di Tengah Perkembangan Global. Universitas Udayana.
Arisanti, N., Rema, I. N., Suarbhawa, I. G. M., & Hidayah, A. R. (2021). The Main Issues In Archaeological Resources Management Based On Indigenous Community in Central Sumba District. Proceedings of the 9th Asbam International
Conference (Archeology, History, & Culture In The Nature of Malay) (ASBAM 2021).
Damayanti, I. A. K. W., Wijaya, I. N., & Kanca, I. N. (2015). Strategi Pengembangan Pulau Nusa Penida Sebagai Kawasan Pariwisata yang Berkelanjutan. Jurnal Sosial Dan Humaniora, 5(2), 136–145.
Fletcher, J., Fyall, A., Gilbert, D., & Wanhill, S. (2018). Tourism: Principles and Practice (Sixth Edit). Pearson Education Limited.
Gayatri, I. A. D. L. (2022). Implementasi Kebijakan Pengembangan
Pariwisata Kawasan Nusa Penida di Kabupaten Klungkung Provinsi Bali. Institut Pemerintahan Dalam
Negeri.
Gede, I. D. K. (2019). Penghunian Pulau Nusa Penida Sebagai Jalur Migrasi Ke Wallacea. Laporan Penelitian Arkeologi.
Hadiwidjojo, M. . P., Samodra, H., & Amin, T. . (1998). Peta Geologi Lembar Bali.
Harbowo, D. ., Alouw, S., Soetamanggala, T. G., &
Gerungan, A. (2017). Stiva Cave: A New Discover of Prehistoric Hominid Underwater Cave. Journal of Geoscience,
Engineering, Environment, and Technology, 2(2), 137–140.
Hartatik. (2014). Pemberdayaan
Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumberdaya Arkeologi: Sebuah
Retrospeksi. Naditira Widya, 8(2), 95–104.
Hidayah, A. R. (2017). Pemanfaatan Kerang dan Tumbuhan di Situs Gua Gede Pulau Nusa Penida, Bali. Gadjah Mada University.
Hidayah, A. R., & Gede, I. D. K. (2011). Situs Gua Gede, Dusun Pendem, Desa Pejukutan, Nusa Penida, Bali. Laporan Penelitian
Arkeologi. Denpasar. Balai
Arkeologi Bali.
Hidayah, A. R., Gede, I. D. K.,
Haribuana, I. P. Y., Bawono, A., Sutikna, J. T., Suarbhawa, I. G. M., & Arisanti, N. (2021). Song Gede : Situs Gua Hunian Sejak Masa Pleistosen Akhir di Pulau Nusa Penida, Bali. Purba Widya, 10(147), 103–118.
Hobson, E. (2004). Conservation and Planning: Changing Values in
Policy and Practice. Spon Press Taylor and Francis Group.
Howard, P. (2003). Heritage: Management, Intepretation,
Identity. Continuum.
Keling, G., Sumerata, I. W., Hidayah, A. R., Haribuana, I. P. Y., Savitri, M., Bawono, R. A., Harbowo, D. G.,
Wahyuni, I. G. A. A. E. S., Krishnanda, R. M., & Latra, K. (2021). Penelitian Arkeologi Bawah Air: Penelusuran Bukti Okupasi Gua Stiva di Wilayah Nusa Penida, Kabupaten
Klungkung, Provinsi Bali.
Perda Kab. Klungkung No 1 Th 2013, 1 (2013).
Muhammad, N. (2009). Orientasi Manajemen Sumberdaya Arkeologi di Indonesia. Papua, 1(1), 1–10.
Perda Prov. Bali No 10 Th 2015, (2015).
PP No 50 Th 2011, (2011).
Suantika, I. W. (2012). Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi. Forum Arkeologi, 25(3), 185–205.
Suastika, I. M. (2008). Penelitian Pola Hunian Gua di Nusa Penida. Berita Penelitian Arkeologi.
Sulistyanto, B. (2009). Penerapan Cultural Resource Management dalam Arkeologi. Amerta, 27(1), 16–33.
Supratikno, R., Djuwita, W., & Yulianto, K. (2012). Model Pengelolaan Situs Arkeologi Untuk Memaksimalkan Pemanfaatan Publik: Studi Kasus Kawasan Trowulan. In S. Rahardjo, L. D. N. Widiati, A. Akbar, & S. S. Prabandari (Eds.), Arkeologi Untuk Publik (pp. 151–171). Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Tim. (2020). Kecamatan Nusa Penida dalam Angka 2020. Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung.
UUCB No 11 Th 2010, (2010).
Discussion and feedback