HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 26.4. Nopember 2022: 339-350

Dinamika Seni Lukis Wayang Kaca Desa Nagasepaha Kabupaten Buleleng

The Dynamic Condition of Glass Puppet Arts in Nagasepaha Village, Buleleng Regency

Ida Bagus Gede Paramita

STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja, Singaraja, Bali, Indonesia Koresponding email: [email protected]

Info Artikel


Abstract

Masuk:10 Agustus 2022

Revisi: 17 September 2022 Diterima:19 Oktober 2022

Terbit: 30 Nopember 2022

Keywords: dynamics; glass puppet painting


Research on the Nagasepaha Glass Puppet Painting, hereinafter abbreviated as SLWKN, uses discourse analysis of socio-cultural change in SLWKN. The approach used is a qualitative approach. Collecting data using interviews, documentation and literature study. The method of analysis, carried out in a descriptive-qualitative way by using the working stages of the theory of socio-cultural change. The results of the analysis are presented in a systematic and structured manner. The results of this study provide an answer that the dynamics of the existence of SLWKN continue to change in order to ensure the survival of this painting as well as to guarantee the economic resources of the art community in Nagasepaha Village.

Abstrak

Kata kunci: dinamika; seni lukis wayang kaca

Corresponding Author: Ida

Bagus Gede Paramita email:

[email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

22.v26.i04.p03


Penelitian terhadap Seni Lukis Wayang Kaca Nagasepaha yang selanjutnya disingkat SLWKN menggunakan analisis wacana perubahan sosial budaya dalam SLWKN. Pendekatan yang dipergunakan adalah pendeketan kualitatif. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara, dokumentasi dan studi pustaka. Metode analisis, dilakukan dengan cara dekriptif-kualitatif dengan menggunakan tahapan kerja teori perubahan sosial budaya. Hasil analisis disajikan secara sistematis dan terstruktur. Hasil penelitian ini memberikan jawaban bahwa dinamika keberadaan SLWKN terus mengalami perubahan guna menjamin kebertahanan seni lukis ini sekaligus menjamin sumber perekonomian masyarakat seni di Desa Nagasepaha.

PENDAHULUAN

Lukisan Wayang Kaca merupakan karya seni khas Desa Nagasepaha, kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Jro Dalang Diah adalah orang pertama di Singaraja yang membuat

lukisan di atas media kaca di tahun 1927, kemudian di wariskan kepada anak dan cucu-cucunya. Sampai sekarang, sebagian besar masyarakatnya sebagai pengerajin lukisan kaca. Kebanyakan dari mereka mengerjakan secara sendiri-

sendiri di rumah masing-masing sesuai dengan pesanan yang diterima.

Seni lukis khas Desa Nagasepaha ini berbeda dengan seni lukis lainnya yang menggunakan kanvas atau kertas sebagai media ungkap. Sesuai dengan namanya Lukisan Wayang Kaca menggunakan media kaca bening sebagai media ungkap cerita pewayangan seperti penggalan-penggalan kisah Ramayana dan Mahabharata. Secara teknik pembuatan wayang kaca membutuhkan keterampilan khusus, karena bentuk-bentuk kaca yang digunakan tidak saja pada kaca datar, tetapi juga dalam bentuk kaca seperti pot, guci, gelas dan sejenisnya. Oleh Sebab itu lukisan Wayang Kaca tidak saja diminati oleh para seniman, tetapi juga diminati oleh para kolektor seni baik dari dalam negeri maupun dari manca negara, karena lukisan ini memiliki nilai dekoratif yang realtif sulit.

Proses kreatif pada karya seni lukisan wayang kaca ini mencirikan tingginya nilai estetika. Kualitas seniman, teknik penggarapan dipadukan dengan bahan yang dipakai adalah penentu kualitas estetika. Perlu teknik khusus untuk bisa mengerjakan karya seni lukis wayang ini, selain media lukisnya berbeda dengan karya seni lukis pada umumnya yakni mempergunakan kaca, tahapan pengerjaannya pun berbeda. Penghayatan dalam pembuatan seni lukis kaca bukan hanya dipandang sebagai sebuah karya seni semata, ada perpaduan nilai spiritual di dalamnya yang membuat karya ini tetap diyakini tak akan lekang oleh waktu, bagi pelakunya seni lukis kaca adalah berkesenian dengan jiwa yang tulus dan iklas. Seniman wayang kaca beranggapan dan meyakini apa yang mereka kerjakan adalah bagian dari yadnya yaitu melestarikan warisan leluhur.

Tahun 2019 pemerintah kabupaten Buleleng telah mengajukan SLWKN sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) kepada Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan. Tujuan pengusulan karena seni lukis wayang kaca mempunyai nilai sejarah dan masih tetap lestari keberadaannya hingga kini dan yang paling penting adalah warisan budaya ini tidak diklaim oleh daerah lain. Tahun 2020 akhirnya sertifikat yang menyatakan SLWKN sebagai Warisan Budaya Tak Benda diterima. Setidaknya, pengakuan ini bisa sedikit melegakan masyarakat khususnya seniman lukis kaca warisan seni karya leluhur mereka tidak diklaim dan dijiplak oleh daerah lain, tinggal yang menjadi pekerjaan rumah adalah membangkitkan kembali niat anak muda di desa setempat untuk memperlajari kembali seni lukis wayang kaca.

Pelatihan-pelatihan sudah pernah diadakan oleh pemerintah daerah, dengan semangat dan tujuan terlahir seniman-seniman muda baru yang mau menggeluti seni lukis wayang kaca. Tapi, nampaknya apa yang telah dilakukan pemerintah berjalan belum maksimal. Usai pelatihan para calon-calon seniman ini dilepaskan begitu saja tanpa ada edukasi lebih lanjut. Yang terpenting selain sebagai usaha pelestarian dalam proses kreatif penciptaan lukisan wayang kaca, di sana terdapat pula usaha ekonomi untuk menyambung hidup masyarakat yang memang memutuskan mengabdikan hidupnya sebagai seniman seni lukis wayang kaca. Dilematika inilah yang kemudian menjadikan para generasi muda “berpikir dua kali” untuk memutuskan mengambil pekerjaan sebagai seorang seniman. Mereka memilih untuk mencari pekerjaan yang menjanjikan masa depan yang lebih jelas.

Kondisi tersebut, tidak mematahkan semangat masyarakat di desa setempat yang tetap bertahan dan menggantungkan hidupnya melalui karya seni lukis wayang kaca ini. Keyakinan bahwa melestarikan budaya warisan leluhur adalah bentuk penghormatan dan yadnya menjadi spirit masyarakat. Semangat ini

yang patut diapresiasi, dalam perkembangan zaman yang serba cepat, ketika terjadi pergolakan atau bahkan hegemoni pada warisan budaya leluhur karena serbuan budaya luar, janji gemerlapnya hidup pada sektor pariwisata, mereka tetap bertahan dan melakukan inovasi dengan spirit mulia melestarikan warisan budaya leluhur. Penciptaan seni lukis kaca bukan hanya berbicara soal nilai ekonomi semata, akan tetapi mencakup persoalan pemertahanan budaya, praktik pemaknaan yang muaranya adalah menjaga harkat dan martabat bangsa.

METODE DAN TEORI

Penelitian terhadap SLWKN dengan menganalisis aspek wacana perubahan sosial dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data dalam penelitian adalah data primer dan data sekuder. Data primer adalah segala data dan informasi yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan para informan, sedangkan data sekunder adalah data atau informasi yang diambil dari buku, jurnal ilmiah, internet, arsip, foto dan lain-lain yang dapat membantu dan menunjang penulisan artikel ilmiah ini Pengumpulan data menggunakan metode Observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode dekriptif-analitik dengan menggunakan tahapan kerja teori wacana perubahan sosial. Menurut Parsons, paradigma pada teori perubahan sosial membahas bagaimana masyarakat itu berubah serta proses yang terjadi pada perubahan tersebut. Perubahan yang dimaksudkan bersifat (evolusioner) dan bukan (revolusioner). Begitu juga SLWK mengalami perubahan secara evolusioner, dari berfungsi sebagai ritual, hingga saat ini telah diinovasikan baik dari tema dan media demi eksistensi dan memenuhi tuntutan pasar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  • 1.    Awal Mula Seni Lukis Wayang Kaca Nagasepaha

Seni Lukis Wayang Kaca Nagasepaha adalah lukisan di atas media kaca pertama di Buleleng bahkan di Bali yang dibuat dan dikembangkan oleh Ketut Negara atau terkenal dengan panggilan Jro Dalang Diah (alm) pada tahun 1927. Jro Dalang diah merupakan tokoh dalang wayang kulit kelahiran Nagasepaha tahun 1909 yang memulai kehidupan berkeseniannya pada bidang wayang kulit Bali. Selain mahir memainkan Wayang, Jro Dalang diah juga dikenal sebagai pembuat/pengerajin wayang yang handal. Bahkan di daerah Buleleng pada masa itu pengrajin wayang desa Nagasepaha sangat disegani bahkan menjadi desa pengerajin wayang terbesar di Buleleng. Berbekal kemahiran mendalang dan membuat wayang kulit, Jro Dalang Diah mulai menemukan referensi karya baru pada lukisan kaca Jepang. Dengan pengamatan cermat dan detail Jro dalang Diah kemudian mencobanya berkali-kali pada media kaca sampai ketemu wujud SLWKN yang diwariskan sekarang.

Menurut penuturan Santosa, Jro Dalang Diah mengenal Lukisan Wayang Kaca karena peran dari Wayan Nitia yang memintanya untuk membuat lukisan Wayang pada media Kaca. Wayan Nitia menyosodorkan sebuah lukisan kaca bertema perempuan Jepang memakai Kimono, karena kecintaan Wayan Nitia terhadap wayang ia kemudian menemui Jro Dalang Diah dan menawarkan untuk melukis wayang di kaca serupa dengan lukisan wanita Jepang tersebut. Merasa tertantang dengan tawaran Wayan Nitia, Jro Dalang Diah kemudian mulai proses dengan mencermati lukisan wanita Jepang di atas media kaca tersebut, olehnya lukisan kaca tersebut dikuliti bagian demi bagian, secara cermat kemudian menganalisa teknik melukis pada media kaca yang pada bagian akhir

proses menguliti cat yang menempel pada kaca menyebabkan lukisan tersebut menjadi hancur. Tantangannya kemudian, Jro Dalang Diah harus membuat sebuah fragmen wayang kulit dengan media kaca bekas lukisan wanita Jepang yang sudah dikuliti dan dipelajari tekniknya.

Santosa menuturkan dalam wawancara di kediamannya mulanya Jro Dalang Diah menggunakan jelaga dengan pengencer air untuk membuat bagan wayang di atas permukaan kaca, tetapi bahan itu tidak menempel dengan baik. Kemudian ia memilih tinta Cina batangan dengan pengencer air, dengan menggunakan pena ternyata tinta Cina bisa menempel dengan baik pada permukaan kaca. Jro Dalang Diah mulai merasa senang. Persoalan kemudian muncul, ia tak mengetahui pewarna apakah yang bisa menempel pada kaca maka dicobalah cat kayu. Syukur, cat ini bisa menempel dengan baik pada permukaan kaca. Serupa ilmuan, Jro Dalang Diah kemudian mengetahui adanya sebuah kesalahan dalam melukis di atas permukaan kaca bahwa seharusnya ia melukis dengan cara terbalik, karena pada waktu ia melukis dengan pandangan biasa ada satu tangan yang tertutup badan wayang. Setelah proses melukis tersebut Jro Dalang Diah mempunyai keinginan untuk mengajarkan temuannya kepada anak-anak, cucu juga tetangganya.

Berdasarkan pelacakan peneliti dapat ditemukan sekitar dua puluh orang pelukis yang memiliki nama kemudian muncul atas bimbingan Jro Dalang Diah. namun yang sekarang masih eksis hanya generasi kedua dan ketiga dari Jro Dalang Diah. Hingga kini kemudian seni lukis kaca yang diinisiasi oleh Jro Dalang Diah lebih dikenal dengan lukisan (wayang) kaca Nagasepaha.

  • 2.    Masa Keemasan Seni Lukis Wayang Kaca Nagasepaha

Masa keemasan SLWKN adalah masa ketika karya adiluhung ini banyak di kenal mulai di daerah sampai keluar daerah bahkan terkenal di luar Bali. SLWKN menjadi magnet tersendiri bagi para pengkoleksi seni lukis dan para peneliti seni yang ingin mengulik lebih dalam tentang lukisan wayang kaca ini. Hasil penelitian ini menjabarkan masa keemasan SLWKN dalam dua Era, yaitu Era Sang Maestro dan Era Sang Pewaris.

Pertama era Sang Maestro Jro Dalang Diah sudah mampu mendunia dengan membawa lukisan wayang kaca yang bercerita tentang kisah pewayangan. Kemahirannya mendalang, membuat Sang Maestro begitu paham dalam memvisualkan karakter wayang pada media kaca, sehingga terkesan lebih hidup. Pada masanya (Jro Dalang Diah) memosisikan SLWKN sebagai produk yang unggul di mata masyarakat lokal yang kebanyakan berprofesi sebagai petani yang tinggal di wilayah pedesaan Kabupaten Buleleng. Pada waktu itu, para pelukis kaca dari Nagasepaha, Buleleng, kerap menjajakan lukisan kaca ke desa-desa di kecamatan Kubutambahan, kecamatan Tejakula, kecamatan Banyuatis dan beberapa di desa Lovina. Tak jarang, petani sukses itu sendiri yang datang ke desa Nagasepaha untuk memesan lukisan kaca. Bisa dimengerti mengapa pasar lukisan kaca adalah pasar aktif, ini terkait dengan citra status sosial petani (pasar) yang menjadi meningkat dengan memajang lukisan kaca di rumahnya. Pola seperti ini merupakan ekosistem seni yang hidup pada zaman keterbatasan media informasi, sehingga satu-satunya cara adalah mengenalkan produk seni langsung ke rumah target masyarakat.

Pola kehidupan panggung seni seperti itu menjadikan SLWKN lebih dikenal khalayak luas. Usaha seniman nagasepaha berujung manis ketika orang-

orang asing mulai mempunyai perhatian pada seni tradisi dan melirik SLWKN. Umumnya mereka adalah peneliti, antropolog, atau seniman yang punya kepentingan khusus dengan lukisan kaca. Selain orang asing tadi, ada juga sedikit kaum intelektual lokal yang mencintai tradisi, yang kemudian mengoleksi lukisan kaca barang satu atau dua lembar saja. Pasar baru ini lebih identik dengan pasar ekslusif yang secara kuantitas tidak terlalu banyak, namun mencari karya seni yang berkualitas baik dari segi estetik dan gagasan.

Kehadiran dua jenis pasar ini pun menggerakan semangat regenerasi penerus pelukis SLWKN yang secara mandiri digerakan oleh Jro Dalang Diah untuk melahirkan pelukis-pelukis handal lainnya. Hal menarik ditemukan bahwa seluruh generasi Jro Dalang Diah semuanya diajarkan melukis di kaca, bahkan ada yang belajar secara otodidak (tanpa guru) karena bakat melukisnya kuat dan motivasi belajar yang tinggi. Adapun pewaris seniman SLWKN di

desa Nagasepaha keturunan Jro Dalang Diah, yaitu Ketut Sekar, Wayan Ardana, Ketut Santosa, I Made Wijana, sedangakn terdapat juga diluar keturunan sang maestro, salah satunya Wayan Netep dari Desa Naga Sepaha.

Kedua, Era Sang Pewaris adalah era yang di isi oleh para murid yang sebagian besar berasal dari anak dan cucu Jro Dalang Diah. Pada era ini mulai adanya persaingan antar keluarga yang secara langsung berkompetisi untuk mendapatkan kedua pasar yang secara jumlah tidak terlalu banyak. Generasi pertama dan kedua Jro Dalang Diah secara konsistensi bergerak dan berkarya untuk melestarikan dan mengembangkan warisan itu. Atas pengabdiannya kepada SLWKN, pemerintah pun telah memberikan penghargaan kepada SLWKN terkhusus diberikan kepada beberapa anak dan cucu jro Dalang Diah. Adapaun penghargaan yang diraih, adalah sebagai berikut pada tabel 1.

Tabel 1

NO

JENIS PENGHARGAAN

PEMBERI

PENERIMA

1

Sebagai WBTB

Kementerian

SLWKN Desa Naga

Kebudayaan RI (2019)

Sepaha

2

Anugerah Dharma Kusuma Madya

Gubernur Bali

Jro dalang Diah

3

Anugerah Seni Wija Kusuma

Bupati Buleleng

I Ketut Santosa

4

Anugerah Seni Wija Kusuma

Gubernur Bali

I Ketut Sekar

5

Anugerah Seni Wija Kusuma

Bupati Buleleng

Wayan Arnawa

Pada era ini mulai membawa seni lukis wayang kaca pada pasar industri, yaitu pasar yang melibatkan masyarakat pendukung seni yang hadir dengan tujuan membeli karya seni lukis dengan tujuan menjual ulang nilai karya seni itu. Pasar industri lukisan hidup pada ruang pameran secara langsung membawa pulukis SLWKN seperti Santosa menjangkau masyarakat yang lebih luas dan elit (kolektor). Selain itu melalui pameran SLWKN mendapat perbandingan dari karya-karya lainnya, yang menginspirasi atas perubahan tema

dari tema konservatif (pewayangan) menjadi inventif. Karya-karya yang sebelumnya menonjolkan keindahan pada bentuk dan kerumitan teknis, namun oleh generasinya, beberapa karya SLWKN dibuat lebih tematik dan memperkuat gagasan yang diungkapkan pada karya. Berbeda dengan karya lukis abstrak, lukisan kaca pada era pewaris ini masih mempertahankan konsep dasar SLWKN yang berpijak pada nilai dan wujud wayang itu sendiri.

  • 3.    Inovasi

SLWKN menjelajah hampir 95 tahun dan hidup dalam berbagai perubahan zaman serta dan kemajuan teknologi. Namun SLWKN sampai saat ini masih tetap hidup dan terwariskan dengan baik oleh keturunan Jro Dalang Diah. sampai saat ini terdapat 7 seniman SLWKN dari keturunan asli Jro Dalang Diah yang masih aktif melukis. Lukisan yang dibuat masih mempertahankan pakem yang menggunakan cerita-cerita tema pewayangan secara turun temurun masih dilestarikan. Tapi setelah melakukan penelusuran, peneliti menemukan salah satu seniman bernama I Ketut Santosa (Santosa) yang secara konsisten sejak tahun 2006 berani melakukan inovasi tema, karakter, wacana kritis dan media.

Tema

Tema SLWKN yang diwariskan oleh Jro Dalang Diah adalah tema besar yang bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana. Namun karena permintaan pameran dan masukan dari seniman-seniman lukis ternama, seperti Kun Adnyana, Suklu, dan Edy Sunaryo menjadi mentor yang membimbing Santosa membuat lukisan wayang kaca dengan tema dari isu-isu aktual namun masih berpijak pada tema pewayangan, seperti tema kehidupan sosial, lingkungan dan politik juga menjadi referensi tema Santosa.

Dalam karyanya santosa juga menunjukan bahwa tema pewayangan sesungguhnya selalu relevan dengan berbagai perubahan di masyarakat. Salah satunya ketika Santosa membuat lukisan yang mengisahan Sang Rama bersama pasukan Kera membuat jembatan (Kreteg Situbanda). Dalam metaphor yang lebih luas Santosa melukis wayang Rama yang sedang melihat para kera bekerja menggunakan eskapator. Artinya dalam lukisan ini terdapat perpaduan antara

tema pewayangan dan kemajuan teknologi industri. ((Lihat gambar 1)

Gambar 1. SLWK karya Ketut Santosa, Tema Lingkungan

Sumber: Dokumentasi Peneliti (2022)

Karakter

Temuan pentingnya adalah, bahwa pelukis wayang kaca di desa Naga Sepaha semuanya memahami karakter wayang dari epos Mahabharata dan Ramayana, hal itu dibuktikan pada karya-karya yang menggunakan tema aktual dan karakter Rama dan Sugriwa atau punakawan pewayangan seperti Delem dan Sangut tampak jelas perwujudan aktivitas yang sesuai dengan karakter tokoh. Hal ini menunjukan bahwa inovasi karakter dilakukan dengan tetap berpijak pada dasar yang kuat (sumber yang jelas). (Lihat gambar 2)

Gambar 2. SLWK karya Ketut Santosa, Tema Sosial Budaya

Sumber: dokumentasi Peneliti 2022

SLWKN yang diinisiasi oleh Jro Dalang Diah merupakan bentuk karya seni Lukis yang menstranformasikan karakter wayang kulit Buleleng pada media kaca. Wujud SLWKN sama persis

dengan wayang kulit, namun agem-agem (posisi tubuh) wayang lebih dinamis dan lebih terkesan “hidup” (Lihat gambar 3).

Gambar 3 Lukisan Wayang Kaca Klasik Tema Kunti Yadnya.

Sumber: Dokumentasi peneliti (2022)

Agem wayang lebih beragam dan mudah untuk diwujudkan dalam berbagai situasi, seperti duduk, merunduk, bersila ataupun bertimpuh. Wayang dalam media kaca lebih menonjolkan bahasa visual dan simbol dalam media, sedangkan wayang kulit akan dapat terlihat lebih dinamis apabila sudah berada di kelir yang terproyeksi oleh cahaya lampu, namun akan terlihat kaku juga dibuat pajangan (tanpa digerakan oleh dalang). Adapun karater Pewayangan yang sering digunakan di dalam SLWKN, adalah sebagai berikut:

Gambar 4. SLWKN Ramayana Karya Ketut Santosa, Sumber: Dokumentasi Peneliti (2022)

Gambar 5. Wayang Kulit Ramayana Karya I Ketut Sudiana,

Sumber: Dokumentasi Peneliti, (2014)

Wacana

Melalui beberapa karya Santosa sering menyuarakan kritik sosial yang sedang muncul di media. Kritik-kritik yang disampaikan selalu dalam bentuk satir menggelitik serta kental dalam mewacanakan isu aktual, Santosa tetap menyelaraskan dengan konteks wayang (lihat gambar 6). Pada gambar 6 dapat dilihat dua tokoh (polisi dan masyarakat) yang saling berpandangan namun masih menggunakan bentuk wayang dua dimensi. Gambar ini mewacanakan kemacetan yang sudah terjadi dikota-kota besar di seluruh Indonesia bahkan di Bali.

Wacana diilustrasikan dengan gambar seorang polisi menggunakan kaca mata yang dimarah oleh seorang sopir di antara mobil yang tidak bisa berjalan maju atau mundur karena terjebak dalam kemacetan. Sedangkan pada gambar 7 dapat dilihat bahwa wacana yang dibangun adalah tentang viral jatuhnya pesawat Garuda Indonesia. Pada konteks tersebut selalu melibatkan tokoh wayang, namun Santosa menggunakan wayang punawakan yang berinteraksi dengan figur-figur lainnya.

Gambar 6. SLWKN Karya I Ketut Sentosa Tema Kemacetan

Sumber: Dokumentasi peneliti, (2022)

Santosa mengatakan bahwa karya-karya tematik yang dibuat bukan kritik, tapi hanya “ungkapan dari hati saja”. Peneliti menemukan bahwa dalam pola kerja melukisnya, Santosa sudah melibatkan “emosi” dalam konteks lukisan tematik kegelisahan hati pelukis sudah dapat dituangkan ke dalam sebuah karya kritis. Karya kritis adalah ungkapan kegelisahan senimannya terhadap kondisi disekitar yang dialami. Karya yang jujur adalah karya ungkapan hati dan diproses dari hati (ketulusan). Karya seni lukis wayang kaca klasik murni atas dasar tertarik pada cerita pewayangan dan lebih mengutamakan keindahan artistik yang menggambarkan ritual pemujaan atau konsep etika berkehidupan dalam kerajaan. Namun dalam karya seni lukis kekinian, sudah mengarah pada ungkapan kegelisahan senimannya. Wacana kritis ini belum banyak dikembangkan pada komunitas SLWKN, karena peneliti menemukan kebanyakan pelukis masih mempertahankan wacana klasik. Selain itu SLWKN masih memiliki potensi untuk selalu pengembangan karya yang menggunakan kisah pewayangan tetapi berbicara konteks wacana kritis dengan sentuhan inovasi.

Gambar 7. SWKLN I Ketut Santosa Tema Sosial

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2022

Media

Santosa adalah seniman yang mengembangkan SLWKN dalam

berbagai media. Santosa mencoba media lukis kaca yang baru, yaitu kaca media cembung, cekung, guci kaca, gelas kaca, toples kaca dan lain-lain. Melukis pada Media baru, khususnya pada media toples kaca atau guci kaca menurut Santosa akan menjadi tantangan sendiri terutama pada teknis melukis dan jenis kuas yang berbeda. Selain kedua aspek tersebut, pentingnya juga dibangun ketenangan, fokus dan kesabaran dalam melukisnya, terutama pada bagian detail penyelesaian karya.

Seniman lain yang berinovasi dengan menggunakan media lain adalah I Wayan Wijana yang merupakan anak kandung dari I Ketut Santosa. Berkat bimbingan ayahnya Wijana mulai berinovasi dengan membuat lukisan-lukisan pada gelas, toples, guci dan barang pecah belah lainnya.

Gambar 8. SLWKN pada Media Baru Sumber: Koleksi I ketut Santosa (2022)


  • 4.    Seni Lukis Wayang Kaca dan Masyarakat Pendukungnya

Masyarakat Ritual

Hindu sebagai sumber nilai memberi inspirasi berkesenian yang tidak pernah lepas dari aspek dwaita sebagai nilai universal (Triguna, 2010: 2). Seni ritual dalam ritus agama memiliki wujud ekspresi yang beragam, seperti aneka tari sakral dan drama ritual. Seni lukis, gambar, patung, dan kriya seni. Aneka seni sastra agama dan aneka nyanyian ritual seperti Kidung Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya, Kekawin, dan sebagainya. Aneka pertunjukan wayang, seperti Wayang Sapuh Leger atau Wayang Sudamala, Wayang Gedog. Wayang Ruwatan bagi wong sukerta, wayang untuk upacara bersih desa dan sadranan,

aneka musik gamelan dalam masyarakat Bali dan Jawa. Pelibatan adat, budaya, dan seni dalam ritus agama mampu membangun spiritual dunia yang terurai dan mengukuhkan daya-daya spiritualitas yang terlepas (Schechner, 2005: 43).

Berkesenian dipandang sebagai ritual atau persembahan kepada-Nya atas segala anugerah yang diberikan, sehingga memosisikan seni sebagai elemen penting dalam ritual. Bahkan seni menjadi simbol Bhatara yang disakralkan dan di puja oleh masyarakat pendukungnya. Selain itu masyarakat akan mementaskan atau memajang karya seni pada areal tempat suci. Masyarakat seperti ini yang membuat dunia industi selalu hidup dan terus menjadi bagian yang terpisahkan dari kehidupan ritual masyarakat. Kebiasaan ini cenderung mengarahkan pola konsumsi seni dalam ranah ritual agama yang difungsikan sebagai benda sakral atau ornament-ornamen hiasan. Bergitu pula SLWKN bertahan hidup sebagai warisan budaya adiluhunng oleh karena adanya dukungan dari masyarakat ritual. SLWKN dibuat untuk kepentingan ritual keagamaan seperti hiasan dinding pura atau pesanan nama untuk anak 3 bulanan, dan sebagai simbol bhatara yang diletakan pada plangkiran (tempat suci di dalam rumah).

Gambar 9. SLWKN Siwa yang biasa digunakan di Tempat Suci

Sumber: Dokumentasi Peneliti (2022)

Keberadaan masyarakat ritual tidak dipungkiri sebagai penyokong utama SLWKN karena pesanan setiap tahun pasti selalu berdatangan. Pada masa pandemic Covid-19 yang berlangsung hampir 2 tahun lebih, hampir tidak ada

pesanan dari masyarakat umum. Namun yang memesan SLWKN sebagian besar adalah masyarakat yang menggunakan seni sebagai bagian dalam ritual keagamaan. Pola masyarakat ritual berpengaruh pada wujud dan tema karya SLWKN yang dibuat. Secara wujud karya yang hidup pada masyarakat ritual cenderung sebagai berwujud klasik dengan tema pewayangan Mahabharata dan Ramayana. Tokoh yang digunakan pasti merukapakan tokoh kerajaan dan punakawan. Nuansa artistik lebih mendominasi dan cenderung tidak memperhatikan aspek wacana kritik. Sehingga karya-karya SLWKN seperti ini berifat deskriptif dan memiliki makna tersurat.

Masyarakat Komersial

Masyarakat Komersial hampir sama dengan masyrakat ritual yang memiliki motivasi mendukung SLWKN untuk memenuhi kebutuhan keindahan artistik, namun bedanya masyarakat komersial akan meletakan SLWKN sebagai hiasan pada dinding-dinding rumah atau tempat usaha yang dimiliki. Masyarakat komersial cenderung memberikan intervensi (seni pesanan) pada konteks karya SLWK sebagai hiasan. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian Inovasi Media, Terdapat juga pula karya SLWKN yang dibuat dan dipesan sebagai kerajinan berupa hiasan dalam botol kaca, pot kaca, toples kaca dan bentuk media yang lain. Karya-karya seperti ini akan diproduksi secara masal, namun karena pekerjaan tangan, tentu hasilnya tidak cepat, dan cenderung tidak sama antara media satu dengan media yang lain.

Seperti halnya gambar 10, dapat dilihat bahwa Santosa membuat wujud dan tema SLWKN yang berbeda dari masing-masing medianya. Sering kali tema yang dituangkan dalam lukisan komersial menyesuaikan dengan pesanan konsumen, tetapi ada juga yang

berdasarkan kreasi pelukisnya. Apabila masyarakat sudah diterima oleh pelukis SLWKN, maka interpensi tidak dapat dihindari. Intervensi tersebut, membuat seniman yang tidak memiliki daya tawar tinggi akan cenderung selalu mengikuti keinginan pasar, dan tidak mampu memberikan alternatif. SLWKN sampai saat ini menerima masuknya masyarakat komersial, tetapi tetap berpegang pada prinsip Jro Dalang Diah sebagai pencipta SLWKN.

Gambar 10. SLWKN sebagai Kerajinan Koleksi I Ketut Santosa Dokumentasi Peneliti (2022)

Masyarakat Kolektor

Masyarakat kolektor SLWKN adalah sekelompok atau perseorangan yang dermawan dan memiliki kepedulian dan fanatisme terhadap karya seni yang memiliki nilai tinggi. Masyarakat kolektor ini adalah masyarakat yang sudah terseleksi secara alami, karena jumlahnya sangat sedikit namun dapat mempengaruhi perkembangan dan gaya lukisan yang berkembang. Masyarakat kolektor biasanya akan dibantu oleh seorang kurator dalam menentukan karya terbaik yang akan dibeli. Namun sebagian kolektor bergerak mencari karya tanpa ada bantuan kurator, sehingga murni berasal dari pengetahuan kolekor dan caranya menilai sebuah karya seni. Kolektor berfungsi sebagai orang yang mengkoleksi karya-karya bernilai tinggi untuk akan diletakan di museum pribadi atau rumah pribadi layaknya museum. Masyarakat kolektor akan memesan dan membeli lukisan sesuai dengan gaya

pelukisnya, tanpa melakukan interpensi bentuk. Proses pembelian biasanya terjadi pada gelaran pameran tunggal/bersama yang dilakukan oleh pelukis SLWKN. Kolektor SLWKN lebih banyak berasal dari luar Bali seperti Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Kolektor Jakarta yang paling sering mengundang SLWKN untuk berpameran adalah Bapak Hardiman (Jakarta). Selain itu ada juga dari luar negeri terutama negara Belanda yang awalnya dijadikan sebagai obyek riset oleh para peneliti-peneliti manca negara.

Masyarakat Seni dan Pandemi

Masyarakat seni selalu berhimpitan dengan kondisi sosial masyarakat dan perubahan tatanan kehidupan yang dapat menyebabkan terjadinya berubahan prioritas pemenuhan kebutuhan manusia itu sendiri. Perubahan prioritas tersebut biasanya disebabkan oleh dua faktor, pertama faktor gaya hidup dan kedua faktor ekonomi. Faktor gaya hidup cenderung berpatokan pada kebiasaan seseorang dalam mengkonsumsi sebuah produk atau layanan, sedangkan faktor ekonomi dapat menentukan kualitasi layanan atau produk yang dikonsumsi. Namun dalam kurun waktu dua tahun ini perubahan prioritas dalam memenuhi kebutuhan dipengaruhi oleh adanya faktor pandemi Covid-19. Hadirnya pandemi sejak akhir 2019 sampai saat ini hampir merubah tatanan kehidupan sosial masyarakat terutama dalam menghadirkan produk seni budaya. Khusus bagi kesenian yang bergantung hidupnya pada panggung pariwisata, maka kesenian tersebut akan pakum selama pandemi. Termasuk juga SLWKN yang terdampak akibat pandemi, tidak ada lagi penjualan karya seni lukis ke luar negeri atau bahkan ke luar pulau Bali. Selain itu pameran seni rupa dan workshop tidak bisa dibuka sehingga mengakibatkan pelukis SLWKN tidak produktif. Namun di sisi lain, aspek

masyarakat pendukung lainnya masih dapat menghidupi SLWKN, seperti masyarakat ritual yang menggunakan seni lukis ini sebagai hiasan atau benda sakral di tempat suci dan masyarakat komersil lokal yang membeli karya seni untuk kebutuhan pribadi semata.

Santosa mengatakan, “Pandemi sangat berpengaruh terhadap keberadaan seniman SLWKN, saya sendiri dua tahun belakangan (saat pandemic) sampai menjual lukisan dari rumah kerumah. Lukisan yang bisanya dihargai paling murah 500 ribu, saat pandemic dijual setengah harganya supaya ada pemasukan dan lukisan yang sudah terlanjur diproduksi bisa dijual untuk memutar modal (wawancara 19 April 2022).

Pandemi benar-benar melumpuhkan segala sektor tidak terkecuali seni. Para seniman harus memutar otak untuk bertahan hidup terutama yang hanya menggantungkan hidup dari melukis wayang kaca ini. Mereka mengorbankan nilai seni yang bisanya “mahal” agar dapat bertahan hidup dan bertahan dalam melestarikan budaya leluhur mereka.

SIMPULAN

Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Proses kreatif penciptaan SLWKN ini didorong karena Jro Dalang Diah merasa tertantang untuk memenuhi pesanan Wayan Nitia membuat lukisan dengan media kaca. Keberhasilan Jro Dalang Diah membuat lukisan di atas kaca menjadi sebuah perkembangan baru seni lukis wayang di Bali Utara dengan gaya Nagasepaha. Perkembangan kekinian terjadi pergeseran tema dari cerita epos Ramayana dan Mahabrata. Kini, sudah berubah menjadi tema sosial kontemporer. Seniman muda seperti Ketut Santosa dan Wayan Wijana mulai mengeksplorasi tema kekinian seperti Politik, gaya hidup masyarakat, fenomena masyarakat dan sebagainya.

Media lukisnya pun mengalami pengembangan,     semula     hanya

menggunakan media kaca, kini sudah mulai melukis pada toples, akrilik. Bahkan ada yang melukis dengan media kaca pecah (sengaja dipecahkan) dan menghasilkan karya yang lebih artistik. Sebagai aset budaya SLWKN perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah    kabupaten    Buleleng,

misalnya dengan membuatkan paket city tour ke desa Nagasepaha dan SLWK road to school guna memastikan seniman seni lukis kaca terkaderisasi dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Amir Hamzah, Metode Penelitian Kepustakaan (Malang:   Literasi

Nusantara, 2019).

Ardiyasa, I. P. (2017). Pembangunan Relasi  Melalui Pemberdayaan

Modal Intelektual: Pengelolaan Organisasi Papermoon Puppet Theatre (Doctoral dissertation, PPS ISI Yogyakarta).

Artana, M. R. A. (2020). Perancangan Media Promosi Seni Lukis Kaca Desa         Nagasepaha. Jurnal

Pendidikan      Seni      Rupa

Undiksha, 10(2), 92-102.

Brandon, Jhames R. (2003). Jejak-jejak Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara (RM Soedarsono, Terjemahan). Bandung:P4st UPI

Bungin, B. (2006). Metode Penelitian Kualitatif      :      Aktualisasi

Metodologis kearah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Marcia Daszko dan Sheila Sheinberg, Survival is Optional: Only Leaders With New Knowledge Can Lead the Transformation, diakses pada 15 Januri 2022

Dewi, E. (2012). Transformasi Sosial dan Nilai Agama. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 14(1), 112121.

Kalam, A.A. Rai. (2007). Tranformasi Penciptaan Seni Lukis Bali Sebuah Pengkajian Seni Murni, Denpasar, Laporan Penelitian Istitut Seni Indonesia Denpasar.

Marajaya, I. M. (2019). Pertunjukan Wayang Kulit Bali Dari Ritual Ke Komersialisasi. Kalangwan: Jurnal Seni Pertunjukan, 5(1), 21-28.

Martono, N. (2012). Sosiologi perubahan sosial: Perspektif klasik, modern, posmodern, dan poskolonial (sampel halaman).  RajaGrafindo

Persada Jakarta.

Miles, M., & Huberman, M. (1992).

Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.

Moleong, L.  (2007).  Metodelogi

Penelitian Kualitatif. Bandung:

Rosda Karya.

Muhadjir, H.  (1996).  Metodologi

Penelitian             Kualitatif.

Yogyakarta: Rake Sarasin.

Muhammad Takari dan Heristina Dewi, (2008). Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press

Murdana, I Ketut (2008). Wayang Kamasan: Seni Lukis Bali Klasik, Pencitraan    Estetik    Menuju

Kehalusan Budi, Denpasar, Taman Budaya Propinsi Bali.

Murdana, I Ketut. (2007). Seni Lukis Wayang Kaca, Keunggulan Identitas dari Desa Nagasepaha, Denpasar, Taman Budaya Propensi Bali.

Nasukah, B., & Winarti, E. (2021). Teori Transformasi dan Implikasinya pada Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam. Southeast Asian Journal of Islamic Education Management, 2(2), 177-190.

Parsons, T. (1970). Social Structure and Personality. The Free Press. Poloma, M. (2007). Sosiologi Kontemporer. Rajawali

Patilima, H. (2005). Metode penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Purwita, D. G. (2018, November). I Ketoet Gede Dan Lukisan Wayang Kaca Nagasepaha. In Senada (Seminar Nasional Desain Dan Arsitektur) (Vol. 1, Pp. 232-239).

Schechner, Richard. (2005), “Wayang Kulit pada Margin Kolonial”, (Penerjemah:            Landung

Simatupang), dalam Jurnal Lebur: Theater ebur: Theater Quarterly, Yayasan      Teater      Garasi,

Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono. (2007). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

Suyasa, I Nyoman. (2018). Teknik Seni Lukis Wayang Kaca. ISI: Surakarta

Suyasa, I. N. (2018). Teknik Seni Lukis Kaca Nagasepaha.

Sedana, I. N. (2019). Triadic Interplay: A Model of Transforming Literature into Wayang Theatre. SARE: Southeast Asian Review of English, 56(1), 11-25.

Sedana, I. N.  (2002). Kawi dalang:

creativity        in        wayang

theatre (Doctoral dissertation, uga).

Soejono        Soekanto.        (1981).

Memperkenalkan       Sosiologi.

Jakarta:Rajawali Press

Triguna, Ida Bagus Gde Yudha. (2003), “Estetika dan Kebudayaan Bali”, Dalam Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Program Master Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma, Denpasar.

Wicaksana, I Dewa Ketut. (2007). Wayang Sapuh Leger: Fungsi dan Maknanya dalam Masyarakat Bali. Denpasar: Bali Post

https://disbud.bulelengkab.go.id/informas i/detail/artikel/pentingnya-sanggar-seni-untuk-pelestarian-budaya-daerah-99