HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 26.4. Nopember 2022: 351-360


Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi di Situs Pekauman


Archeological Resources Management in Pakauman Sites


Nur Trias Anditasari, Wayan Srijaya, Rochtri Agung Bawono Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia Koresponding email: [email protected], [email protected], [email protected]


Info Artikel


Masuk:9 Agustus 2022

Revisi: 28 September 2022 Diterima:16 Oktober 2022 Terbit: 30 Nopember 2022

Keywords:

management; cultural resouces; cultural heritage


Kata kunci: pengelolaan; kerusakan; cagar budaya


Corresponding Author:

Nur Trias Anditasari

email:[email protected],

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

22.v26.i04.p04


Abstract

Pekauman is a village that has a heritage of archeological resources. Relics found in the form of relics in the era before knowing writing. The purpose of this study is to explain the management of archaeological resources in Pekauman Village as a cultural tourism object in Bondowoso Regency. This study uses a descriptive qualitative method that goes through the stages of collecting data from literature, observation, interviews and analyzed using qualitative analysis, contextual analysis, and SWOT analysis. The results of this study obtained an overview of the damage and consequences of damage to cultural heritage objects in the form of human, natural, and weather factors. Cultural heritage objects studied include menhirs, kenong stones, sarcophagi, and dolmens. Stages of treatment by cleaning the object's environment, cleaning mildew and other treatments.

Abstrak

Desa Pekauman merupakan desa yang memiliki warisan sumberdaya arkeologi. Peninggalan-peninggalan yang ditemukan berupa peninggalan pada zaman sebelum mengenal tulisan. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan pengelolaan sumberdaya arkeologi di Desa Pekauman sebagai objek wisata budaya di Kabupaten Bondowoso. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang melalui tahap pengumpulan data studi pustaka, observasi, wawancara dan dianalisi menggunakan analisi kualitatif, analisis kontekstual, dan analisis SWOT. Hasil penelitian ini diperoleh gambaran kerusakan dan akibat kerusakan benda cagar budaya berupa faktor manusia, alam, dan cuaca. Benda cagar budaya yang diteliti meliputi menhir, batu kenong, sarkofagus, dan dolmen. Tahapan perawatan dengan pembersihkan lingkungan benda, pembersihan kerak jamur dan perawatan lainnya.


PENDAHULUAN

Sumberdaya arkeologi adalah kumpulan bentuk material atau peninggalan budaya yang ditinggalkan oleh manusia masa lalu di lanskap

tertentu yang berguna dalam menggambarkan, menjelaskan, dan memahami perilaku dan interaksi mereka sebagai bagian dari perubahan yang tidak terpisahkan dalam sistem budaya dan

alam mereka (Scovil, 1977:16). Sumberdaya ini serta pusaka dan cagar budaya memiliki kekuatan sebagai sumber daya dalam pembangunan saat ini yang akan dibarengi dengan pengelolaan yang baik. Situs-situs purbakala yang tersebar di seluruh Nusantara merupakan jejak-jejak permukiman masa lalu yang ditandai dengan ditemukannya berbagai artefak dan ekosistem dengan karakter dan variasi tertentu, serta benda-benda yang ditemukan di Jawa Timur.

Persebaran tinggalan arkeologi tersebar di Provinsi Jawa Timur yang sudah diteliti meliputi Bojonegoro, Bondowoso, dan Jember (Sukendar, 1996: 1-10). Bondowoso sebagai salah satu kabupaten yang menjadi bagian dari Provinsi Jawa Timur merupakan daerah yang kaya tinggalan arkeologi. Penelitian untuk mengungkap keberadaan tinggalan arkeologi sudah diteliti oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada 1983, kegiatan ini dipusatkan di Situs Glingseran dan Pekauman (Daru, 2011: 4).

Pada tahun 1995 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional membentuk tim penelitian dengan memusatkan perhatian kepada masalah keruangan, untuk mengetahui persebaran tinggalan Prasejarah di Bondowoso sebagai situs utama (nuclear site) atau sentral penelitian yang kemudian berkembang ke situs-situs lain di wilayah Jawa Timur sebagai periferinya yaitu Situbondo, Jember, dan Banyuwangi (Prasetyo, 2001:2).

Di wilayah Bondowoso benda hasil kegiatan masa lampau tersebar di lima desa dan kecamatan, yakni di Desa Pakauman (Kecamatan Grujugan), Desa Mas Kuning Lor (Kecamatan Pujer), Desa Pakisan (Kecamatan Wonosari), dan Desa Glingseran (Kecamatan Wringin). Dari hasil penelitian para arkeolog, di Kecamatan Grujugan ditemukan 15 buah sarkofagus , 15

dolmen, 65 batu kenong, dan sebuah patung nenek moyang.

Pujer juga temuan peninggalan tradisi megalitik berupa 80 dolmen, 12 batu kenong, dan lima buah alat rumah tangga. Di Kecamatan Tlogosari temuannya berupa lima buah yoni, satu buah Relief, 10 sarkofagus, empat dolmen, 15 batu kenong, dan sebuah alat rumah tangga seperti batu bergerigi. Sementara Kecamatan Wonosari hanya menyimpan 30 dolmen, Kecamatan Wringin menyimpan 67 sarkofagus, satu buah menhir, 15 batu kenong, 10 alat rumah tangga , dan dua gua alam (Heri, 2015: 3). Sejak zaman kolonial, Bondowoso telah dikunjungi oleh peneliti asing seperti WJA Williems yang telah banyak melakukan penelitian di Indonesia, salah satunya adalah monumen megalitik di Bondowoso Pekauman.

Hasil penelitiannya mewarnai perkembangan prasejarah di Indonesia, sehingga banyak mengundang peneliti lain seperti Van den Hoop, Robert von Hein Geldern, dll (Simanjuntak, 2012:3235). Konservasi sumber daya arkeologi, termasuk penelitian, pemeliharaan dan pengembangan, pada dasarnya adalah untuk mempertahankan arti atau pentingnya sumber daya. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya sebuah situs atau objek arkeologi menyebabkan gambaran yang salah tentang apa yang seharusnya.

Setiap kawasan cagar budaya pada hakikatnya memiliki ciri khas tersendiri yang berpotensi bermanfaat bagi cagar budaya. Upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan diperlukan untuk menjaga kelestarian cagar budaya. Peran strategi pengelolaan kawasan cagar budaya perlu memperhatikan karakteristik dan keunggulan, serta keunikan dari masing masing cagar budaya (Raharjo, 2013: 4).

Temuan di Desa Pekauman sangat menarik untuk dibahas. Selain itu, kajian

ini juga menjelaskan tentang pengelolaan situs. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan kerusakan benda cagar budaya di Situs Pekauman.

Benda-benda purbakala bersifat terbatas, rapuh, unik dan tidak dapat diperbaharui, sehingga pengelolaannya harus bijaksana dan hati-hati agar sumber dayanya dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Pengelolaan sumber daya tersebut dinilai sangat penting karena mengandung nilai-nilai yang harmonis dan tidak lepas dari makna budaya yang terkait dengannya. (Sumijati, 2004:2).

METODE DAN TEORI

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi melalui pengamatan secara langsung di lokasi Situs Pekauman. Kemudian, wawancara dilakukan secara tidak terstruktur atau bebas dengan informan. Selanjutnya, dilakukan penelusuran berupa pustakapustaka.

Setelah tahapan ini kemudian dilanjutkan dengan analisis, yaitu analisis kualitatif berupa dokumen pelaksanaan yang telah dilakukan oleh BPCB dan praktikum yang diikuti oleh penulis. Analisis kontekstual untuk mengetahui hubungan antara satu objek dengan objek lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Wilayah Bondowoso merupakan sisi timur dari komplek Pegunungan Iyang, sedangkan Bondowoso Timur adalah sisi barat dari komplek Pegunungan Ijen. Bondowoso utara adalah bagian dari komplek Pgunungan Ringgit-Beser dan termasuk dalam rangkaian Pegunungan Kendeng, yang memanjang dengan orientasi barat-timur dari sebelah utara Sub-zona Ngawi hingga pantai Selat Madura (Himpunan Mahasiswa Tekhnik Geologi Universitas Gadjah Mada, 1993 : 23).

Balai Arkeologi Yogyakarta telah melakukan sejumlah penelitian, melalui investigasi tahun 2004 bahwa daerah Bondowoso berisi berbagai monumen budaya megalitik, antara lain peti mati (pandhusa), dolmen, makam dan batu nisan, tangga berundak, menhir, arca dan batu kenong (Hidayat, 1993 : 27). Beberapa tinggalan megalitik berfungsi

sebagai sarana pemujaan maupun penguburan, diantaranya yang difungsikan sebagai sarana pemujaan yaitu teras berundak, menhir, dan arca batu, sedangkan yang difungsikan sebagai sarana penguburan yaitu sarkofagus, dolmen, dan kubur kamar batu. (Gambar 1),

Gambar (1) Pandhusa I hasil penggalian Williems Tahun 1938

(Sumber Williems 1939: 50)

Temuan dari penggalian yang dilakukan Williems dan tim Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 19831985 meyakini bahwa kelompok kenong cenderung terkait dengan pemukiman, sehingga kemungkinan itu adalah cangkang tua dari rumah panggung kayu. Hasil penelitian Williems dapat digunakan sebagai pelengkap unggulan sumber belajar sejarah lokal, khususnya sebagai alat bantu belajar menghadapi kompleksitas tradisi megalitik yang berkembang luas di wilayah Bondowoso (Suprapta, 2000: 17).

Hasil persebaran kelompok batu kenong ini dapat dijadikan sebagai sumber bahan pembelajaran lokal tentang cara dan proses serta teknologi masyarakat pada masa itu untuk

membangun bangunan tempat tinggal. Pengetahuan masyarakat sangat penting untuk mempertimbangkan aspek mekanis bangunan, khususnya identifikasi bangunan tempat tinggal yang adaptif lingkungan, di antaranya aspek geografis diperhitungkan. Inilah kearifan lokal masyarakat megalitik Bondowoso (Sanjaya, 2013: 13).

Tradisi Megalitik di Desa Pekauman Kecamatan Grujugan

Kecamatan Grujugan membawahi 11 desa salah satunya adalah Desa Pekauman. Penduduk desa Pekauman umumnya suku Madura, sehingga bahasa yang dipakai sehari-hari adalah bahasa Madura. Temuan cagar budaya di Situs Pekauman saat ini yang disimpan di Pusat Informasi Megalitikum Bondowoso (PIM Bondowoso) terdapat tujuh jenis benda cagar budaya yaitu batu kenong, menhir, dolmen, sarkofagus, arca polinesia, lumpang batu, dan punden berundak. Bahan utama dari benda cagar budaya ini terbuat dari batu andesit dan batu breksi. Jumlah benda yang ditemukan tiap tahunnya berubah, hal ini dikarenakan banyaknya temuan baru yang ditemukan oleh masyarakat sekitar.

Temuan cagar budaya biasanya ditemukan saat melakukan kegiatan bersih-bersih dan penggalian saat pembangunan pabrik di lahan milik warga, yang kemudian ditemukan benda menyerupai arca betoh nyai (arca menyerupai perempuan) yang berdiri tegak. Masyarakat menyebutkan betoh jei (arca yang menyerupai laki-laki). Arca tersebut ditemukan dengan arah kaki telentang menghadap sebelah barat. Temuan arca tersebut saat ini berada di kantor pusat BPCB Trowulan.

Pengelolaan Pim Bondowoso Sebagai Sumberdaya Arkeologi

Sumberdaya arkeologi yang ditemukan di Desa Pekauman meliputi PIM Bondowoso dengan objek tinggalan benda cagar budaya yang diteliti

berjumlah 33 benda dan kawasan sekitarnya yang mendukung keberadaan PIM Bondowoso. Pengelolaan Sumberdaya arkeologi di PIM Bondowoso meliputi penelitian, pemeliharaan, dan pengembangan, serta penangan kerusakan benda cagar budaya.

Menurut Jhon Carman, sumberdaya arkeologi adalah semua tinggalan arkeologis yang tersusun atas tiga unsur yaitu objek, tempat, dan kawasan. Benda atau peninggalan termasuk artefak dan struktur masif; situs adalah wadah untuk objek; sedangkan kawasan meliputi bentang alam, budaya dan sosial yang mengelilingi kawasan (Carman, 2001: 24).

Pengelolaan sumberaya arkeologi PIM Bondowoso merupakan upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya arkeologi melalui perencanaan kebijakan, pelaksanaan dan pemantauan. Undang-undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 menyatakan bahwa: “Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya melalui pembuatan kebijakan, pelaksanaan, dan inisiasi rencana untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Pengelolaan sumberdaya arkeologi memiliki landasan filosofis yang mengaitkan pemanfaatan sumber daya arkeologi dengan identitas budaya yang terkait dengan fungsi pendidikan, manfaat ekonomi, melalui fungsi pariwisata dan akademik.. Dalam pengelolaan sumber daya arkeologi yang dipegang adalah sebagai upaya penyelamatan sumberdaya arkeologi atau warisan budaya dilaksanakan dalam kerangka pelaksanaan hukum yang berlaku yaitu keaslian dari pada situs arkeologi dengan peninggalannya (Tanudirjo, 2004: 3)

Pengelolaan sumberdaya budaya adalah sistem pengelolaan sumber daya

yang bertujuan untuk mencapai hasil yang optimal sesuai dengan fungsi dan keberadaan sumber daya budaya tersebut. Pengelolaan atau manajemen sumberdaya harus didukung oleh prinsip-prinsip manajemen, yaitu perencanaan, organisasi, pengarahan atau petunjuk, pelaksanaan (actuating), control dan evaluasi (controlling) (Gunadi, 2004: 4).

Pengelolaan sumber daya budaya (cultural resource management) pada dasarnya mencakup tiga aspek, yaitu: identifikasi dan penilaian sumber daya budaya (sebagai bentuk kajian), pengelolaan sumber daya sebagai bentuk pelestarian, dan pengelolaan sumber daya budaya.Keabadian adalah bentuk pembangunan.

Identifikasi dan evaluasi diperlukan untuk menentukan bagian mana yang perlu ditangani, terutama dalam menentukan lokasi atau lokasinya. Aspek pengelolaan sumber daya untuk menentukan jenis pengelolaan yang tepat berdasarkan identifikasi sumber daya. Aspek pengelolaan jangka panjang diperlukan untuk mengelola dalam jangka waktu yang relatif lama dan berkelanjutan (Mundardjito, 2008: 7).

Pusat Informasi Megalitikum Bondowoso merupakan bagian dari situs di Pekauman yang didirikan tahun 2016. Lahan dengan total luas 1100 m², terdiri empat bagian utama yaitu halaman depan tempat peletakan benda cagar budaya yang ditemukan disekitar lingkungan Desa Pekauman, lahan parkir, ruangan tempat penyimpanan benda cagar budaya dengan ukuran kecil, dan gazebo.

Di Pekauman pihak Dinas Kebudayaan melakukan edukasi sejak didirikannya Situs PIM Bondowoso sejak 2016 lalu. Edukasi diberikan kepada masyarakat sekitar PIM Bondowoso. Edukasi ini meliputi pentingnya benda cagar budaya, sejarah penting arkeologi, hal yang harus dilakukan jika ditemukannya benda yang diduga sebagai benda cagar budaya serta memberikan

pemahaman pentingnya perlindungan serta pencegahan terjadinya pencurian. Pemberian edukasi kepada masyarakat ini dilakukan pihak Dinas Kebudayaan dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan tentang sumberdaya arkeologi yang ditemukan melimpah di Desa Pekauman. Dalam pelestarian cagar budaya yang menyangkut pengelolaan, pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya diatur dalam beberapa jenis peraturan perundangan.

Kerusakan Benda Cagar Budaya di Pim Bondowoso

Kasus kerusakan di Situs Pekauman disebabkan oleh kawasan situs yang dekat dengan lahan pabrik triplek yang sudah beroperasi pada tahun 2014 sedangkan Situs Pekauman sendiri baru diresmikan menjadi situs Cagar Budaya pada tahun 2016 dan sejak saat itu mulai dilakukan pembangunan untuk melindungi kawasan situs.

Beberapa benda cagar budaya yang ditemukan di pinggir jalan menuju situs hanya diberi tanda pengenal tanpa adanya pagar pembatas untuk melindungi benda cagar budaya, hal ini menyebabkan kerusakan benda tidak terhindarkan. Tindakan vandalism beberapa kali terjadi, dan tindakan yang dilakukan saat ini hanya menghapus tembok pagar yang dikotori akibat tindakan vandalisme.

Kerusakan benda cagar budaya di PIM Bondowoso sebagai kerusakan ringan, kerusakan sedang, dan kerusakan berat. Kerusakan ringan diakibatkan oleh jamur, cuaca dan iklim yang disebabkan oleh panas matahari dan hujan. Kerusakan sedang seperti tergoresnya permukaan benda cagar budaya akibat proses pemindahan dari lokasi temuan menuju lokasi situs. Kemudian, kerusakan berat yaitu benda cagar budaya yang rusak parah seperti patah atau terbelah akibat proses pemindahan yang kurang hati-hati maupun akibat ketidaksengajaan saat proses peletakan.

Kerusakan situs purbakala akibat warga yang tidak mengetahui bahwa situs atau benda tersebut merupakan situs yang dilindungi atau diduga situs yang dilindungi terjadi di sebagian besar kawasan. Selain kesalahpahaman masyarakat, faktor kekhawatiran juga menyebabkan perbedaan metode konservasi, terutama dalam menjaga keaslian bentuk, bahan dan setting. Faktor kepentingan yang dimaksud seperti perluasan lahan usaha, pengembangan lahan pertanian dan pembangunan yang menguntungkan salah satu pihak. Perubahan bentuk, bahan dan setting didasari oleh kebutuhan masyaratak yang meningkat seperti lahan perkebunan yang kurang sehingga mengorbankan lahan situs yang semakin sempit (Hartatik, 2014: 7).

Pelaksanaan Perawatan

Pelaksanaan perawatan benda cagar budaya, baik bergerak maupun tidak bergerak, tergantung pada permasalahan yang dihadapi, seperti kerusakan dan cuaca buruk. Artefak warisan budaya dapat rusak, rapuh, terkorosi, berubah warna atau terkorosi oleh jamur/bakteri. Tindakan penanganan baik yang bertujuan untuk mencegah (preventif) maupun untuk mengobati (kuratif) dapat dilakukan. Tindakan tersebut berupa pembersihan, perbaikan, pengawetan, atau pengolesan lapisan kedap air, perawatan sehari-hari, perawatan sederhana, dan pengendalian lingkungan mikro.

Perawatan kuratif meliputi perawatan dengan metode tradisional dan metode modern. Situs PIM Bondowoso sendiri perawatan tradisional masih dalam tahap tanggung jawab BPCB Jawa Timur, dikarenakan pemahaman tentang perawatan tradisional tidak bisa dilakukan oleh juru pelihara dan dinas terkait. Perawatan tradisional terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh lumut dapat menggunakan minyak atsiri dari

sereh yang kemudian ditutup plastik dan dibiarkan dalam waktu tertentu (Suhardi, 2018: 64)..

Perawatan modern adalah perawatan kimia, dalam praktiknya prosedur perawatan standar harus digunakan. Perawatan modern meliputi pembersihan mulai dari dry cleaning (pembersihan kering), wet cleaning (pembersihan basah), dan dilanjutkan dengan chemical cleaning (pembersihan dengan bahan kimia). Kasus benda cagar budaya yang ada di PIM Bondowoso dan berbahan dasar batu perlu adanya pembersihan kering dan basah. Pembersihan kering dan pembersihan basah dapat dilakukan oleh juru pelihara dan dinas terkait karena masih tahap sederhana dan bisa dilakukan, sedangkan untuk pembersihan kimia dilakukan oleh BPCB Jawa Timur, selain karena tidak adanya tenaga ahli di PIM Bondowoso, bahan kimia untuk pembersihan benda cagar budaya juga sulit ditemukan.

Menhir

Menhir adalah batu tegak berbentuk tugu yang digunakan sebagai media untuk memperingati seseorang yang sudah meninggal pada zaman dahulu. Menhir terdiri atas dua jenis, yaitu menhir batu tunggal, dan menhir yang berupa sekelompok batu yang terletak sejajar. (Gambar 2 dan 3)

Gambar (2) Menhir Sumber: Nur Trias Anditasari


Gambar (3) kerusakan menhir Sumber: Nur Trias Anditasari


Kerusakan menhir ini diakibatkan oleh pemindahan yang menimbulkan pecahan di beberapa bagian, lumut dan jamur yang menempel di bagian benda temuan menjadi hal yang banyak ditemukan di situs ini. Pencegahan timbulnya lumut dan jamur agar tidak semakin banyak masih belum dapat dilakukan, karena pembersihan lumut yang menempel akan timbul lagi dikarenakan tidak adanya atap pelindung. Menhir ini masuk kategori kerusakan sedang, karena adanya bagian menhir yang pecah akibat proses pemindahan.

Sarkofagus

Sarkofagus atau peti jenazah yang berbentuk lesung dan memiliki penutup. Pada zaman dahulu sarkofagus digunakan sebagai media pemujaan roh nenek moyang yang merupakan kepercayaan megalitikum, (Sukasih, 2015: 39). (Gambar 4 dan 5)

Gambar (5) kerusakan Sarkofagus Sumber: Nur Trias Anditasari

Sarkofagus dengan ukuran tinggi ±60 cm dan lebar ±150 cm tanpa penutup. Menurut Fauzan Ali selaku juru pelihara di PIM Bondowoso, sarkofagus ini ditemukan di atas permukaan tanah tanpa bekal kubur dan tidak ditemukan kerangka tulang belulang. Kondisi sarkofagus dengan kerusakan ringan dilihat dari jamur yang tebal, lumut di seluruh bagian, genangan air hujan akibat tidak adanya atap pelindung.

Genangan air dapat menyebabkan pertumbuhan lumut semakin cepat, sampah daun di dalam genangan air dan tumbuhan rumput di bagian bawah semakin memperparah keadaan benda cagar budaya ini. Kerusakan sarkofagus yang ditemukan di PIM Bondowoso, termasuk kerusakan ringan yang disebabkan oleh cuaca dan iklim.


Batu Kenong

Batu Kenong adalah nama sebuah batu megalitik yang berbentuk silindris atau bulat dengan bagian atas yang menggembung, seperti salah satu alat musik gamelan yaitu kenong. (Gambar 6)


Gambar (4) Sarkofagus Sumber: Nur Trias Anditasari


Gambar (6) Batu Kenong Sumber: Nur Trias Anditasari

Batu kenong dengan lebar ±50 cm ditemukan dalam kondisi yang tidak sempurna (pecah) diletakkan dalam posisi horizontal mendatar membuat air hujan dapat tergenang walaupun hanya sedikit, hal ini menyebabkan timbulnya lumut. Permukaan yang tidak terlalu rapuh hingga pembersihan dengan sikat halus masih bisa dilakukan. Kerusakan batu kenong yang ditemukan di PIM Bondowoso, termasuk kerusakan berat. Batu kenong yang pecah dan pecahan yang tersisa tidak dapat diselamatkan (hancur) akibat proses penggalian da pemindahan menuju PIM Bondowoso.

Kubur Dolmen

Dolmen atau meja batu adalah peninggalan zaman megalitikum yang terdiri dari sebuah batu besar yang ditopang oleh batu-batu berukuran lebih kecil sebagai kakinya. (Gambar 7).

Gambar (7) Kubur Dolmen Sumber: Nur Trias Anditasari

Kubur Dolmen dengan ukuran tinggi ±70 cm dan lebar ± 150 cm merupakan meja pemujaan dan media penguburan (bagian bawah), ditemukan dalam kondisi dengan permukaan yang kasar, tidak terlalu rapuh, dan kerak jamur yang dibersihkan dengan sikat halus, permukaan Kubur Dolmen dengan pori-pori yang lebar banyak ditemukan sarang serangga seperti semut kecil.

SIMPULAN

Berdasarkan data penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa Desa Pekauman merupakan desa yang kaya akan peninggalan berupa warisan budaya. Tinggalan ini berupa menhir, sarkofagus, kubur dolmen, dan batu kenong. Kerusakan tidak dapat dihindari. Penyebab kerusakan diakibatkan oleh cuaca, iklim, proses pemindahan, dan jamur. Perawatan yang dilakukan juga masih berupa perawatan tradisional.

Saran perawatan sebaiknya dilakukan sesuai prosedur perawatan benda cagar budaya, yaitu dengan menentukan kerusakan yang ada dan perawatan dengan menggunakan bahan tradisional dan bahan kimia jika diperlukam. Penyimpanan yang baik juga mempengaruhi usia benda tinggalan, seperti penyimpanan diruangan tertutup yang dapat terhindar dari sinar matahari langsung dan hujan. Memberikan pagar pelindung juga merupakan teknik penyimpanan dan perawatan yang baik agar terhindar dari sentuhan, gesekan, maupun tersenggol oleh manusia maupun hal lainnya.

Hadirnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumber bacaan berupa objek wisata budaya yang ada di Kabupaten Bondowoso.

DAFTAR PUSTAKA

Carman, J. (2001). Archaeology and Herritage :   An  Introduction.

London-New York : Continuum, hal: 24.

Daru, Ignatius Widhiharto. (2011). “Sumber Bahan Batuan dan Tingkat  Pemanfaatannya Pada

Situs Situs Megalitik di Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso

Jawa Timur” (Skripsi) Fakultas Sastra Universitas Udayana, hal: 4.

Hartatik.     (2014).    Pemberdayaan

Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya  Arkeologi Sebuah

Retropeksi.    Balai Arkeologi

Banjarmasin, hal: 7.

Hidayat, Muhammad. (1993). “Penelitian Bentuk-bentuk       Pemanfaatan

Sumberdaya Alam Kawasan Pegunungan Seribu Pada Masa Prasejarah di Wilayah Kabupaten Wonogiri”.    Laporan    Hasil

Penelitian Arkeologi Yogyakarta : Balai Arkeologi Yogyakarta, hal: 27.

Kusdarijanto,       Hery.       (2015).

“Sumberdaya    Arkeologi     :

Peninggalan Megalitik Kabupaten Bondowoso Jawa Timur”. Dinas Kebudayaan          Kabupaten

Bondowoso, hal: 14.

Mundardjito. (2008). “Konsep Cultural Resource Manajemen dan Kegiatan Pelestarian      Arkeologi      di

Indonesia”. Dalam Kumpulan makalah pertemuan    ilmiah

arkeologi XI. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Solo 13-116 Juni, hal 7

Prasetyo, B. (2001). Arti dan Fungsi Pola Hias      pada      Peninggalan

Megalitikum di Kecamatan Tlogosari dan Tegalampel, Bondowoso   (skripsi   sarjana,

Jogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, hal: 2.

Sanjaya, W. (2013). Perencanaan & Desain   Sistem Pembelajaran.

Jakarta:  PT Fajar Interpranata

Media, hal: 13.

Scovil, Gordon, dan Anderson. (1977). Guidelines for The Prepare Of Statemens of Environmental Impact on Archaeological Resources. Dalam M.B. Sciffer dan G.J Gummerman (ed). Conservation Archaeology. New York: Academic Press, hal: 16.

Simanjuntak, T dan Widiharto, H. (2012). Indonesia dalam Arus Sejarah, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, hal: 32-35.

Suhardi, Didik, dan Hilmar Farid. (2018). Modul     Pelatihan     Teknis

Pemugaran Cagar Budaya Untuk Juru Pelestarian Cagar Budaya, Depok. Hal 31, 64.

Sukasih, N. K. (2015). Peninggalan Sarkofagus dan Nekara di Desa Pakraman Manikliyu, Kintamani, Bangli, Bali (Studi Tentang Bentuk, dan Potensinya Sebagai Media Pembelajaran Sejarah di SMA), hal: 39.

Sukendar, (1996).  “Tinjauan Tentang

Peninggalan   Megalitik   Bentuk

Dolmen di Indonesia”. Seminar

Prasejarah      Indonesia      1.

Yogyakarta:   Kongres   Asosiasi

Prehistorisi Indonesia, Hal 1-10.

Sumijati.     (2004).     “Manajemen

Sumberdaya Arkeologi dan Kendala Penerapannya”, Laporan Penelitian, Trowulan Mojokerto: Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional, hal: 2.

Suprapta, B. (2019). Laporan Penggalian Kubur Bilik PKM 1, Bondowoso, Jawa Timur (tidak terbit), Malang: Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, hal: 13.

Suprapta, B. (2000) .Tinjauan Sejarah Kesenian Tentang Bangunan Megalitik Kubur Batu di Daerah Bondowoso, Jawa Timur, Sejarah

Kajian       Sejarah       dan

Pengajarannya, Tahun kelima, Nomor 7, hal: 76-95.

Rahardjo, Supratikno. (2013).”Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya”. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7 Nomor 22, Desember 2013, hal: 4-17.

Tanudirdjo, Daud Aris.      (2004).

“Manajemen Museum Sebagai Daya Tarik Pariwisata Budaya”. Yogyakarta:  Jurusan Arkeologi

Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, hal: 3.

Undang-Undang Republik Indonesia. 2010. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Mojokerto: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan.

Williems, W.J.A.(1938).”Het onderzoek der megalithe te Pakaoman bij Bondowoso” dlm.ROD III, hal 50.