Wacana Metta dalam Kakawin Ananda Bhuwana
on
HUMANIS
Journal of Arts and Humanities
p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X
Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022
Vol 26.3 Agustus 2022: 226-240
Wacana Metta dalam Kakawin Ananda Bhuwana
Dewa Sangkaryang, I Wayan Cika, I Ketut Jirnaya Universitas Udayana, Denpasar, Bali Email korespondensi: [email protected]
Info Artikel
Masuk:
Diterima:
Terbit:
Keywords:
Kakawin Ananda Bhuwana,
Metta, Happiness
Abstract
Kakawin Ananda Bhuwana is an Old Javanese literary work that describes a character's journey in search of happiness (metta). The creativity and imaginative power of the author in compiling the story and giving the title to this literary work is a unique and special attraction. The theory used is the discourse theory proposed by Van Dijk. The analysis results of Kakawin Ananda Bhuwana's text show Kakawin Ananda Bhuwana as a constructor of metta discourse formed from a formal structure consisting of a macrostructure, a superstructure, and a microstructure.
Abstrak
Kata kunci: Kakawin Ananda
Bhuwana, Metta, Kebahagiaan
Corresponding Author:
Dewa Sangkaryang, emails:
DOI:
Kakawin Ananda Bhuwana merupakan sebuah karya sastra Jawa Kuno yang memaparkan tentang perjalanan seorang tokoh dalam mencari kebahagiaan (metta). Kereatifitas dan daya imajinatif pengarang dalam merangkai cerita serta pemberian judul pada karya sastra ini menjadi keunikan dan daya tarik tersendiri. Teori yang digunakan adalah teori wacana yang dikemukakan oleh Van Dijk. Hasil analisis teks Kakawin Ananda Bhuwana menunjukan Kakawin Ananda Bhuwana sebagai pengonstruksian wacana metta yang dibentuk dari struktur formal yang terdiri atas struktur makro, super struktur dan struktur mikro.
PENDAHULUAN
Kebahagiaan adalah perasaan tentram, damai dan nyaman akan suatu hal atau suatu kondisi. Kebahagian merupakan hal yang ingin dicapai oleh setiap individu manusia. Dalam usaha untuk mencapainya setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda.
Kakawin Ananda Bhuwana merupakan karya sastra puisi berbahasa Jawa Kuna. Kakawin ini secara umum berisi tentang konsep-konsep kebahagiaan baik yang yang bersifat
duniawi maupun kebahagiaan yang bersifat rohani. Lebih lanjut Kakawin ini mendeskripsikan pandangan mengenai bagaimana cara untuk menemukan kebahagaiaan yang kekal dan abadi, sehingga Kakawin Ananda Bhuwana ini memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan Kakawin atau karya sastra Jawa Kuno lainnya yang membahas tentang konsep kebahagiaan.
Konsep kebahgiaan yang ditekankan dalam Kakawin Ananda Bhuwana adalah ‘metta’ yaitu cinta kasih, sifat yang dapat
menghaluskan hati seseorang, atau rasa persahabatan sejati; dirumuskan sebagai keinginan atau kebahagiaan semua makhluk tanpa terkecuali. Metta juga sering dikatakan sebagai niat suci yang mengharapkan kesejahtraan dan kebahagiaan makhkluk lain. Adapun ciri khas metta dapat dilihat dari adanya sifat yang bijak dan mulia. Dalam Kakawin Ananda Bhuwana metta dapat dicerminkan oleh Manasangkara sebagai tokoh utama yang menerapkan pengendalian diri dengan didasari oleh rasa ‘welas asih’ untuk mencapai kebahagiaan yang sejati.
Pengkajian terhadap Kakawin Ananda Bhuwana sebelumnya pernah dilakukan oleh Sangkaryang 2016. Dalam penelitiannya, Sangkaryang membahas struktur formal, struktur naratif, dan pemaknaan secara semiotik dengan menggunakan perspektif Riffaterre (1978), sedangkan pada tulisan ini juga mengkaji Kakawin Ananda Bhuwana dengan menggunakan perspektif yang berbeda, yaitu menggunakan perspektif analisis wacana. Adanya perbedaan dalam analisis tersebut menjadi celah yang potensial untuk dilakukan penelitian lanjutan terhadap Kakawin Ananda Bhuwana. Merujuk pada hal tersebut penelitian ini membahas bagaimana struktur wacana metta dikonstruksikan dalam Kakawin Ananda Bhuwana dengan menggunakan teori analisis wacana yang dikemukakan oleh van Dijk.
Konsep kebahagian yang dipaparkan dalam Kakawin Ananda Bhuwana adalah ketika seseorang mampu mengendalikan pikiran dan kesadaran serta mampu untuk melepaskan segala ikatan keduniawian maka pada saat itulah kebahagiaan sejati akan ditemui.
Dalam teks Kakawin Ananda Bhuwana kebahagian itu dicapai melalui beberapa tahapan dan bagaima wacana metta dikonstruksikan dalam teks
Kakawin Ananda Bhuwana akan diteliti dalam tulisan ini.
METODE DAN TEORI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitiam kualitatif. Sumber data yang digunakan dalam penillitian ini adalah sumber data primer. Primer berarti yang utama atau pokok (Kridalaksana, 1999:788). Dalam penilitian pustaka yang menjadi sumber data primer adalah karya sastra, karya seni, dan benda-benda kultural (Ratna, 2010:144). Berdasarkan hal tersebut data primer dalam penelitian ini adalah teks Kakawin Ananda Bhuwana yang karang oleh I Wayan Sregeg, S.Pd., Naskah ini berbentuk buku dengan warna sampul hijau. Teks Kakawin Ananda Bhuwana terdiri dari 307 halaman, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno lengkap dengan terjemahan berbahasa Bali. Kakawin Ananda Bhuwana memuat 46 pupuh. Pergantian pupuh menandai pergantian metrum. Kakawin Ananda Bhuwana diawali dengan Metrum Jagaddhita sebagai berikut: Hyang Nārāyaṇa tinghaliki... dan diakhiri dengan metrum jagaddhita juga sebagai berikut: Nāhan kekětaning kathān ikang ananda bhuwana... Kakawin ini selesai ditulis pada hari senin 3 Februari 2003. Dimensi naskah Kakawin Ananda Bhuwana memiliki ukuran panjang 30 dan lebar 20cm.
Relevansi kajian pustaka yang digunakan dalam penelitian ini dengan penelitian terdahulu didasari atas beberapa aspek, yaitu (1) teori, (2) hasil penelitian, dan (3) perbedaan penelitian. Adapun kajian pustaka yang digunakan dan memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Dwijayanti (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Wacana Kelepasan dalam Kakawin Panca Dharma”. Dalam penelitiannya tersebut Ari Dwijayanthi menguraikan bentuk, fungsi, dan makna
kelepasan dalam Kakawin Panca Dharma dengan menggunakan teori semiotik dari Pierce untuk menginterpretasi teks dan teori rasa dari Sharma digunakan untuk menganalisis kedalaman pengalaman estetis. Adapaun hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Ari Dwijayanthi adalah ditemukannya bentuk wacana kelepasan berupa cara lepaasnya jiwa dari tubuh melalui berapa titik pada tubuh sebagai cara pembebesan atma (jiwa) dari tubuh guna mencapai kebebasan jiwa yang sesungguhnya. Dalam penelitiannya Dwijayanti menggunakan teori semiotik Pierce untuk membedah wacana kelepasan.
Dharmayanti (2019) dalam penelitiannnya yang berjudul “Wacana Pujasmara dalam Kakawin Hanang Nirartha”. Menguraikan bentuk, fungsi dan makna pujasmara dalam kakawin Hanang Nirartha. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah teori semiotika pandangan Roland Barthes untuk mengkaji makna wacana yang terkandung dalam teks Kakawin Hanang Nirartha serta Teori wacana Van Dijk untuk menganalisis bentuk dan fungsi wacana. Teori wacana pandangan Van Dijk ini kemudian akan diterapkan juga untuk mengungkap makna wacana Metta dalam Kakawin Ananda Bhuwana.
Suprapta (2020) dalam tesisnya yang berjudul “Wacana LPD dalam Kakawin LPD Bualu, menganlisis konstruksi wacana LPD yang terdapat dalam Kakawin LPD Bualu serta sumber pemaknaannya. Suprapta menggunakan teori wacana Van Dijk untuk menunjukan wacana yang terkandung dalam teks Kakawin LPD Bualu. Kemudian dalam hal pemaknaan, Suprapta menggunakan teori Semiotik Riffaterre. Hasil dari penelitian Suprapta menunjukan bahwa wacana LPD dikonstruksikan dengan pendekatan struktur teks, kognisis sosial, dan konteks sosial. Pemaknaan LPD, didasarkan atas matriks artha yang
diderivasikan dalam konsep triwarga, yaitu dharma, artha dan kama. Model kajian Suprapta relevan dengan penelitian ini terutama dalam hal pengungkapan struktur kakawin dengan menggunakan teori wacana Van Dijk yang dapat dibagi menjadi pembahasan struktur formal dan naratif dengan pendekatan analisis struktur makro, super struktur, dan struktur mikro.
Model kajian struktur wacana LPD dalam Kakawin LPD Bualu menjadi acuan dalam melakukan analisis terhadap struktur Kakawin Ananda Bhuwana sebagai pengonstruksian wacana metta. Pembahasan terhadap struktur Kakawin Ananda Bhuwana dilakukan dengan analisis struktur formal dan naratif menggunakan pendekatan analisis struktur makro, super struktur, dan struktur mikro.
Weda Kusuma (2012) dalam disertasinya yang telah dicetak dalam bentuk buku dengan judul “Kakawin Usana Bali Mayantaka Carita Telaah Konsep-Konsep Keagamaan”. Penelitian tersebut mengkaji bentuk Kakawin Usana Bali Mayantaka Carita dari sisi bentuk formal, satuan naratif dan tokoh-tokoh. Analisis satuan naratif kakawin dalam penelitian Kakawin Usana Bali Mayantaka Carita menjadi refrensi untuk menganalisis struktur naratif teks Kakawin Ananda Bhuwana.
Penelitian Weda Kusuma dilanjutkan dengan menelaah konsep-konsep keagamaan yang terkandung dalam Kakawin Usana Bali Mayantaka Carita. Salah satu konsep keagamaan yang ada dalam Kakawin Usana Bali Mayantaka Carita adalah konsep moksa. Moksa (kelepasan) berarti pencapaian kebebasan dari ikatan keduniawian, bebas dari karmaphala (hasil perbuatan dan punarbhawa (kelahiran kembali, reinkarnasi). Ada tiga cara mencapai moksa yang disebutkan dalam kitab Wrhaspati Tattwa pasal 52 yakni (1)
dengan jalan jnanabyudreka yaitu mengetahui semua tatwa, (2) indriyayogamarga yaitu tidak tenggelam dalam kesukaan hawa nafsu, (3) tresnadosaksaya yaitu menghilangkan pahala dari perbuatan baik dan buruk (Kusuma, 2012: 204).
Berdasarkan penjelasan di atas maka moksa dapat dicapai jika roh yang menjiwai manusia tersebut tidak terikat lagi oleh tresnadosaksaya dan indriyayogamarga, serta menjalankan jnanabyudreka dalam kehidupan. Konsep moksa dalam teks Kakawin Usana Bali Mayantaka Carita relevan dengan konsep metta yang diwacanakan dalam Kakawin Ananda Bhuwana. Metta merupakan konsep yang dapat menuntun seseorang untuk mencapai kebahagiaan tertinggi yaitu kebahagiaan yang terlepas dari ikatan keduniawian ‘anandaʼ.
Teori wacana yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori wacana Teun A. Van Dijk. Model analisis wacana Van Dijk mengolaborasi elemen –elemen wacana sehingga bisa dipakai secara praktis (Darma, 2014: 123). Teori wacana Van Dijk digunakan untuk menganalisis tiga dimensi teks yakni, kognisi sosial, dan konteks sosial (Eryanto, 2001: 221). Dimensi tersebut menunjukan bahwa kognisi sosial dan konteks sebagai bagian ekstrinsik teks melingkupi bagian teks. Teks diteliti berdasarkan struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan tema tertentu.
Dimensi teks, yang diteliti adalah struktur teks. Struktur teks terdiri atas beberapa struktur/ tingkatan yang setiap bagiannya memiliki katerkaitan dan saling mendukung. Ada tiga tingkata teks. Pertama struktur makro yang mengamati struktur tematik. Kedua, super struktur yang menguraikan struktur skematik. Ketiga struktur mikro yang membahas struktur linguistik (Eryanto, 2001:225).
Struktur makro merupakan makna umum teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, super struktur, yaitu struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro, yaitu makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks seperti kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, paraf prasa, dan gambar. Makna umum yang dimaksud dari suatu teks didukung oleh kerangka teks yang pada akhirnya dipilih kata dan kalimat yang dipakai.
Konteks adalah keseluruhan lingkungan tempat teks terbentang dan ditafsirkan (Hallyday dan Hasan, 1994:6). Konteks memainkan peranan penting dalam mengkaji sebuah wacana. Konteks dipilah menjadi dua bagian yaitu konteks situasi dan konteks buday. Konteks situasi merupakan lingkungan langsung tempat sebuah teks berfungsi dengan unsur pembentuknya mencakupi pembicara dan pendengar, pesan, latar atau situasi. Konteks budaya merujuk pada kumpulan pengetahuan, sikap dan perilaku bahasa milik bersama suatu kelompok sebagai suatu keseluruhan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Wacana metta dalam Kakawin Ananda Bhuwana dikonstruksikan melalui tiga struktur wacana yaitu struktur makro, super struktur dan struktur mikro. Struktur makro merupakan makna umum atau global dalam teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan. Topik direpresentasikan ke dalam satu atau beberapa kalimat yang
merupakan gagasan utama/ide pokok wacana. Tema atau topik merupakan perangkat untuk memahami makna atau isi suatu teks. Analisis pada tataran struktur makro berfungsi untuk menggambarkan koherensi global wacana yang meliputi topik, tema, intisari dan maksud. Tema dan topik memiliki peranan penting karena memengaruhi dan mempermudah penyampaian pesan dalam sebuah teks.
Selanjutnya, dalam struktur mikro wacana metta ditunjukan melalui bentuk-bentuk baris pembentuk teks Kakawin Ananda Bhuwana yang mencakup dua aspek, yakni (a) aspek lingual atau kebahasaan yang tercermin dalam satuan bunyi, kata, frasa, klausa/kalimat, hubungan sintaksis baris-baris dan kohesi wacana secara struktur dasar teks; (b) gaya bahasa, adalah cara pengungkapan pesan dan menambah kualitas estetis. Kedua aspek kebahasaan tersebut merupakan piranti kebahasaan sebagai bingkai daya estetis naskah Kakawin Ananda Bhuwana sebagai wacana bergaya sastra. Selain itu aspek kebahasaan menyingkap bentuk dan fungsi dalam wacana metta dari Kakawin Ananda Bhuwana.
Super struktur dari wacana metta dalam Kakawin Ananda Bhuwana ditunjukan melalui tiga bagian pembentuk Kakawin Ananda Bhuwana yaitu bagian pembuka (manggala), isi (korpusi), dan penutup (epilog). Wacana oleh Van Dijk, digambarkan memiliki tiga dimensi/ bangunan: teks, kognisi sosial, dan kontek sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana dapat dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu (Eryanto, 2001: 225). Berdasarkan pemaparan di atas, analisis mengenai wacana Van Dijk dikupas dari segi
struktur makro, mikro, dan super struktur.
Secara makrostruktural, analisis wacana menitikberatkan pada garis besar susunan wacana secara global untuk memahami teks secara keseluruhan, untuk mengungkap urutan kalimat yang dapat membentuk sebuah wacana menjadi koheren. Koherensi global mengacu pada kesaling terkaitan gagasan dan proposisi dalam suatu wacana di samping mendukung suatu gagasan utama yang menjadi tema atau topik utama dalam wacana. (Sumarlam, 1994: 6).
Analisis struktur makro teks Kakawin Ananda Bhuwana yakni untuk mengetahui makna global atau tema sentral yang ditelaah berdasarkan hubungan topik berbagai komponen pesan yang terkandung di dalamnya. Dilihat dari struktur makro wacana metta di dalam Kakawin Ananda Bhuwana dapat dijelaskan bahwa metta ‘cinta kasih’/’welas asih’ merupakan kulminasi (titik puncak) dari rangkaian cerita atau untaian cerita di dalam Kakawin Ananda Bhuwana. Hal tersebut ditunjukan pada kata buddhyāsih di baris ke tiga dalam bait Kakawin Ananda Bhuwana sebagai berikut.
Lmreng rāt ya rakwa
mettabhawanāśrameka winuwus Bhāgānanta ṛěṣin adrěwya tikang aśramā mulanguni
Buddhyāsih ta giněngniran masiha ring praṇika gělaṛěn
Yekān hetuka rakwa sesin ikanang halas padha siha
Terjemahan:
Metta Bhawana amat termasyur di dunia.
Rsi Bhagananta pemilik pasraman metta bhawana itu sangat menakjubkan.
Beliau sangat mengutamakan rasa welas asih yang menyebakan rasa sayang beliau terhadap semua makhluk hidup.
Itulah yang menyebabkan segala penghuni hutan juga memiliki rasa welas
asih. (KAB XXXVI.6).
Super struktur adalah pengkajian kerangka dasar atau skema teks yang terdiri atas pendahuluan, isi dan penutup (Eryanto, 2001: 227). Ketiga bagian
tersebut berhubungan secara organis dengan kerangka makna yang saling berkaitan dalam suatu kesatuan dalam menyikap konseptualisasi.
Super struktur dalam karangan ini terdiri dari bagian pembuka (awal), isi (tengah), dan penutup (akhir) maka akan diulas mengenai bentuk kakawin berikut ini.
-
1. Pembuka adalah kata-kata yang
berisi permakluman. Bagian
pembukaan dalam Bahasa Jawa
Kuno disebut juga dengan Manggala (Suarka, 2009: 51). Menurut Suarka, unsur-unsur pembentuk manggala meliputi:
-
a. Pemujaan pengarang (sang kawi) kepada dewa pujaanya (istadewata);
-
b. Penghormatan pengarang (sang kawi) kepada raja pelindung;
-
c. Penanggalan kakawin;
-
d. Nama pengarang (sang kawi);
-
e. Alasan dan peroses kepengarangan sang kawi;
-
f. Tema kakawin;
-
g. Pernyataan rendah hati pengarang.
Zoetmulder (1985: 203) juga
menerangkan bahwa manggala ialah segala sesuatu, setiap kata, perbuatan atau orang yang karena kesaktiannya dapat menjamin sukses sebuah pekerjaan yang akan dimulai, dan itulah maksud
bait-bait pengantar tersebut. Manggala tidak saja berisi keagungan, keajaiban Tuhan ataupun perendahan diri pengarang, tapi kadang-kadang pujian tersebut dalam bentuk yoga, dengan dewa keindahan, dewa pencipta sebagai pusat semadinya yang pada saat konsentrasi dewa merasuk bersemayam dalam benak hatinya. Dengan yoga dan semadi maka dewa akan turun bersemayam pada dirinya serta langsung memberikan suatu keindahan dalam karangannya.
Pada bagian manggala dalam Kakawin Ananda Bhuwana berisi pemujaan pengarang terhadap Dewa Narayana sebagia ajaran utama (Hyang Nārāyaṇa tinghalīki panamaskaraning ati wimūdha kāsihan. KAB I. 1), selanjutnya pengarang menyampaikan Dewa pujaanya bersethana pada pusat kesadaran sangat rahasia, yang selalu terpusatkan ( Sang munggwing tělěnging tutur parama sūkṣma lana kiněñěping samahita , KAB I. 1), kemudian pengarang menyebutkan dewa pujaanya mengasihi setiap makhluk hidup (Manggěh yan maka mūrttining wělasasih tanari (mungkin maksudnya tanmari) manusuping hurip kabeh KAB I.1), lalu pengarang menyatakan dewa pujaanya tak berwujud, terlihat seperti sinar sangat indah dalam semadinya (Sang guhyātmaka nir guṇādhika suteja katěmu lěngěnging samāhita KAB I.1), kemudian pengarang menyebutkan sumber dari semua pengetahuan adalah Hyang Saraswati (Yan ring jñnana wiśeṣa tan hana waneh prakaśita winuwus Saraswati KAB II.2), kemudian pengarang menyebutkan bahwa beliau merupakan dewa dari setiap aksara, menjadi cerita kemudian dirangkai dengan baik sehingga terbentuklah kakawin. (Hyangning aksara rakwa yāndadi kathenapi ya pinik amětwa pādika KAB II.2), tidak lain adalah yang menjiwai para pengawi dan sebagai
teman dalam menyusun keindahan (Tan sah jīwananing mangӧ śaraṇaning mikětumalarumarṇanang langӧ KAB II.2), pentingnya hamba memuja paduka bhatara, agar paduka bhatara senantiasa memberi anugrah sehingga hamba mendapat kelancaran dalam mengawi ( Donkwāngarcaṇa jӧngta weha wara nugraha ya tulusa digjayeng kawi KABII.2). Selanjutnya pernyataan kerendahan hati pengarang (sang kawi) tertulis pada bait berikut:
Kāngěn nisphalaning tuwuh taya wěnang numilagakěnikang putěk hati
Gӧngning kaśmala śok
lagyamanuput ya kinawaśakěning daśendriya
Nā hetunya manah mangodara ya lungha miděrikana tan
pahīnghanan
Cakranyang gilingan padhanya suka duhka ya maputěranāmangun pětěng. (KAB I.3)
Terjemahan:
Hidup hamba terasa tak berguna, tak mampu menahan kesedihan Besarnya kepapaan hamba tak pelak mengakibatkan kesedihan dan dikuasai oleh sepuluh indra.
Hal itu yang menyebabkan pikiran hamba melayang bebas tanpa batas Suka duka bagaikan roda pedati yang berputar menyebabkan kebingungan.
Bait-bait manggala di atas menunjukan unsur-unsur pemujaan dan penghormatan kepada dewa pelindung yang diagungkan dan berstana pada batin pengarang, dalam hal ini dewa Narayanalah yang dipuja dalam proses kepengarangan Kakawin Ananda Bhuwana.
-
2. Isi (korpus) adalah bagian isi pokok atau batang tubuh kakawin. Korpus terdiri dari sejumlah satuan naratif
kakawin, seperti rangkaian dari perundingan (mantra), utusan (duta), keberangkatan pasukan (prayana), pertempuran (aji), dan kemenangan pahlawan (nayakabhyadaya); pujian pada sang pahlawan (nayaka), lukisan alam baik alam pegunungan (saila), laut (arnawa), maupun kota (nagara), musim (rtu), terbitnya bulan (candrodaya), permainan baik di taman (udayanakrida), maupun permainan air (salilakrida), ajaran tentang dharma (dharmasastra), dan artha (arthasastra), percintaan baik berupa rasa asmara (srenggararasa), cinta penuh birahi
(sambhogasrenggara), maupun
kesedihan akibat cinta (vipralamba), serta akhir yang menyenangkan (rdhimat). Satuan – satuan naratif tersebut diikat menjadi bagian-bagian oleh sandhi. Ada lima jenis sandhi, yaitu;
-
a. mukha: pembukaan atau benih plot;
-
b. pratimukha: perkembangan awal
benih plot yang ditandai oleh keragu-raguan akan keberhasilan atau kegagalan;
-
c. garbha: perkembangan lanjut dari
benih plot yang ditandai oleh pencarian dan pencapaian upaya yang menentukan keberhasilan atau kegagalan;
-
d. vimarsa: pertimbangan dan
pencarian untuk menyingkirkan halangan untuk menuju kepada keberhasilan yang ditandai oleh krisis;
-
e. nirvahana: penyimpulan semua
perkembangan plot beserta hasilnya (Suarka, 2009: 58--59).
Pada bagian isi (korpus) pengarang memaparkan rangkaian cerita dari teks Kakawin Ananda Bhuwana hingga menjadi jalinan cerita yang penuh dengan nilai serta pesan dan kesan bermanfaat bagi para pembaca. Kakawin Ananda
Bhuwana memiliki rangkaian cerita yang cukup panjang. Menceritakan tentang perjalanan seorang pangeran yang bernama Manasangkara dalam mencari kebahagiaan yang sejati.
Pandangan-pandangan mengenai pengendalian diri yang ditemui oleh tokoh Manasangkara dalam perjalananya mencapai kebahagiaan, merupakan aspek yang ditonjolkan dalam kakawin ini.
Adapun salah satu contoh bait yang menonjolkan tentang pengendalian diri yang menitik beratkan pada sifat ‘welas asih’ dalam mencapai kebahagiaan adalah sebagai berikut.
Lawan muwah ikana si dadya mānuṣa kayogyanika mangulaha
mwang nityasa manginginakěn
mamūktya ya sihing widhi tan imur imur āpan wěnang ika ya maweh kaśāntan i hidhěp luputa ring ahala wusnyāngrasanana ri manisnyasih ndah aparan mahaṛěp i mapahit.
Terjemahan:
Sebagai manusia seharusnya selalu berusaha,
Dan senantiasa mengusahakan agar selalu mendapatkan kasih dari tuhan tida pernah lengah, karena patutlah ia memberikan ketenangan pada pikiranya terlepas dari segala keburukan, jika sudah mampu merasakan manisnya welasasih, kapankah akan menginginkan hal yang pahit. (KAB XLIII.1).
Disebutkan dalam bait kakawin di atas bahwa sesungguhnya manusia harus selalu berusha dalam menjalani kehidupan, kemudian ketika manusia mampu menerapkan sifat ‘Welas asih’ sebagai dasar dalam menjalani kehidupan, maka niscaya hal tersebut akan mencerahkan pikiran dan perlahan akan menuntun jiwa serta batin menuju kebahagiaan yang sejati.
-
3. Penutup menjelaskan mengenai bagian akhir dari cerita. Dalam kakawin bagian penutup disebut
dengan Epilog. Sebuah epilog dalam karya sastra kakawin biasanya berisi tentang biodata pengarang,
penanggalan kakawin, dan
pernyataan rendah hati pengarang.
Kakawin Ananda Bhuwana diakhiri dengan 2 bait epilog. Bait-bait tersebut memuat tentang tanggal awal penulisan, tanggal akhir penulisan, kerendahan hati pengarang, dan pada akhir bait pengarang menulis nama serta menyampaikan permohanan maaf. Adapun bait epilog tersebut adalah sebagai berikut.
KAB XLVI.1
Nāhan kekětaning kathān ikang ananda bhuwana kawi pūrṇa yenikět.
Ring candra traya śukla pākṣa ya diwāsanika kawit i cetra māsa wih.
Lāwan rakwa ri sāka kāla bayu pakṣa sanga bhuwana tāntyaning kawi.
Ndan durkawya tiningkahing kawi wimūdha tuna wirasa widya duryaśa. Terjemahan:
Demikian kakawin Anandha bhuwana ini selesai di tulis pada hari senin tanggal tiga sasih kesanga tahun saka 1925 (2003). Tetapi kakawin ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarang oleh orang yang sangat bodoh kurang pengetahuan
KAB XLVI.2
Nantěn rakwa mirang rwange hati ginuywana ri sang amaca mwang angṛěngӧ
Kӧlākěn sapaneṣṭawā nira
pangābhyasananing aněněbwamet guṇa Panggil rakwa wěnang ya sādhananing āngusira hayu nimttaning lěpas Sangsiptan kṣaměn ri hīna parakṛěttyani kawi Sregeg agra sunwiki.
Terjemahan:
Dan pasti akan membuat bingung karena belum sesuai dengan keinginan Pastinya akan menjadi bahan lelucon bagi yang membaca dan mendengar, akan saya terima semua kritik dari beliau yang akan
saya paki sebagai pelajaran semoga bisa berguna. Terlebih lagi bisa sebagai alat menemukan keselamatan. Singkatnya saya memohon maaf atas ketidak bagusan karangan pengarang Wayan Sregeg ini.
Pada kutipan epilog di atas menunjukan pernyataan rendah hati sang kawi atau pengarang. Hal tersebut dipertegas dalam kalimat “Ndan durkawya tiningkahing kawi wimūdha tuna wirasa widya duryaśa”. Kalimat tersebut menyatakan bahwa Kakawin Ananda Bhuwana masih jauh dari kata sempurna, karena dikarang oleh orang yang sangat bodoh. Tentu pernyataan tersebut dianggap sebagai ungkapan klise karena pada kenyataanya cerita yang terjalin dalam Kakawin Ananda Bhuwana ini sarat akan makna serta nilai-nilai tentang pengendalian diri.
Terlepas dari ungkapan kerendahan hati pengarang tersebut, sujatinya pengarang adalah seorang yang menjalani tapa (karma yoga), di mana seorang pengarang memfokuskan diri untuk berinteraksi dengan lingkungan kemudian menyerap peristiwa-peristiwa atau kondisi yang tengah terjadi di sekelilingnya, kemudian menuangkannya ke dalam sebuah karya sastra. Proses ini secara tidak langsung menunjukan interaksi antara pengarang dengan lingkungan.
Struktur mikro merupakan analisis wacana pada level yang paling konkret dan spesifik. Struktur mikro dapat diamati melalui bagian kecil dari suatu teks seperti kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, paraphrase, dan gambar (Eryanto, 2001: 227). Teks Kakawin Ananda Bhuwana dalam penelitian ini dipandang sebagai bahasa yang dapat dikaji dengan struktur mikronya. Analisis struktur mikro mencirikan struktur teks yang beretujuan untuk mengkaji teks
secara internal yang secara linguistik teoritis mencakup tataran bahasa seperti bunyi (fonologi), kata (morfologi), kalimat (sintaksis), wacana (diskursus), makna (semantik), maksud (pragmatik), gaya bahasa (stilistika), dan bahasa kias (figuratif).
Bahasa merupakan sarana pengungkap sastra (Nurgiyantoro, 2007: 272). Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno merupakan bahasa mati. Bahasa Jawa Kuno tidak digunakan lagi dalam komunikasi oleh penuturnya. Bahasa dan sastra Jawa Kuno pernah hidup dan berkembang di Jawa pada abad ke-9 hingga abad ke-15. Berdasarkan penjelasan tersebut bahasa Jawa Kuno digunakan sebagai media dalam karya sastra klasik baik prosa maupun puisi. Bahasa yang digunakan untuk membangun cerita pada naskah Kakawin Ananda Bhuwana adalah bahasa Jawa Kuno.
Penggunaan Bahasa Jawa Kuno di samping sebagai identitas karya sastra juga sebagai penambah daya estetik kakawin. Sebagai karya sastra tradisional, Kakawin Ananda Bhuwana merupakan salah satu puisi dalam karya sastra klasik yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Kakawin merupakan syair Jawa Kuno yang dibangun dalam bentuk wirama dan diikat oleh aturan guru laghu (Medra, 1982: 11--12). Istilah kakawin berasal dari bahasa sansekerta yaitu kawi dan dalam sastra sansekerta klasik kawi berarti “penyair”. Kata kawi diserap dalam bahasa Jawa Kuno yang kemudian mengalami afiksasi dengan penambahan konfiks ka- -ěn, selanjutnya vocal /ě/ pada sufiks –ěn luluh karena mengalami persandian dengan vokal /i/ pada kawi sehingga terbentuk kata kakawin, yang memiliki arti “karya seorang penyair, syairnya” (Zoetmulder, 1985: 119).
Aspek kohesi yang terkandung dalam Kakawin Ananda Bhuwana dapat dibagi menjadi dua, yaitu aspek kohesi gramatikal dan aspek kohesi leksikal. Setiap aspek kohesi dapat dibagi menurut gejala yang muncul pada pembentukan yang direkatinya.
-
A) Aspek Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal adalah kohesi yang terbentuk dari tautan antara unsur gramatika yang satu dan unsur gramatika yang lain. Kohesi gramatikal terbentuk antara lain dari subsitusi, elipsis, referensi, konjungsi. Namun demikian, dalam Kakawin Ananda Bhuwana hanya akan dianalisis mengenai referensi dan konjungsi, mengingat kedua unsur tersebut adalah yang paling banyak ditemui pada Kakawin Ananda Bhuwana. Adapun analisis keduanya disajikan seperti di bawah berikut.
-
1. Refrensi
Referensi adalah suatu jenis kohesi gramatikal dalam wacana sastra berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual yang lain (suatu yang referen) yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam, 2003: 23).
Referensi dapat dibagi menjadi referensi persona, referensi demonstrative, dan referensi komparatif, seperti di bawah berikut.
-
a. Referensi Persona
Referensi persona dapat
direalisasikan melalui pronominal persona atau kata ganti orang yang terdiri atas persona pertama, kedua, dan ketiga, baik tunggal. maupun jamak (Sumarlan, 2003: 24). Referensi persona yang
terkandung dalam teks Kakawin Ananda Bhuwana dapat diperhatikan dalam kutipan berikut.
-
1) Nāhan denira dhangacryya
humatur mawarah warah i sang
nareśwara.(KAB, pupuh XXIII, bait 1, baris 1)
Proposisi persona sang digunakan untuk orang ternama, bangsawan, atau orang yang dihormati (Zoetmulder dkk, 1954: 22). Kemudian proposisi nira
berfungsi sebagai penunjuk kata ganti orang ketiga (Zoetmulder, 2006: 396).
-
b. Refrensi Demonstratif
Referensi demonstratif adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang mengacu pada kata ganti penunjuk (Sumarlam, 2003: 25). Nurgiyantoro
(2007: 227) berpandangan bahwa
demonstratif dapat diwujudkan dalam bentuk kata penunjuk waktu dan tempat. Pengacuan demonstratif sama halnya seperti latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang direncanakan dalam sebuah karya fiksi. Adapun beberapa tempat dan waktu terjadinya peristiwa yang terdapat dalam Kakawin Ananda Bhuwana, yaitu:
-
(1) Gunung, hutan, dan samudra
Ndah nahan pawarah nira mpu kapitut manahira nṛěpatin
ruměngwana
Moghāmwit mara ring wanāśrama sa ling muniwara dadi śighra yālaris
Līlā tūti hiring nikang wukir anak masěpi ya taya wurryaning mara Dur gamya hawaning suměngka yan anungkuli jaladhi ya de ruhur nika (KAB pupuh XXXVII, bait 1) Terjemahan:
Demikianlah perkataan sang rsi agung yang didengar oleh pangeran sang pengeran bergegas berjalan menyusuri hutan pertapaan
Seperti yang dikatan oleh sang rsi agung, kemudian sang pangeran segera bergegas;
Sang pangeran rela berjalan melewati tepi gunung yang gelap dan tidak ada satupun yang terlihat berjalan selain beliau;
Jalanan yang dilalui sangat susah dan tinggi, tingginya seakan-akan menaungi samudra.
Dalam kamus besar bahasa Jawa Kuno kata Jaladhi berarti ‘samudra’ (Zoetmulder, 2006: 407), kemudian kata Wanasrama terbentuk dari dua kata yakni wana yang berarti ‘hutan’ (Zoetmulder, 2006: 1380) dan asrama berarti ‘tempat pertapaan’(Zoetmulder, 2006: 70). Sedangkan wukir berarti ‘gunung’ (Zoetmulder, 2006: 1467). Satuan-satuan demonstratifa yang menunjukan latar ‘gunung’, ‘samudra’, dan ‘hutan’ pada bait kakawin di atas berfungsi sebagai sarana untuk membangkitkan suasana emosional pembaca. Suasana Gunung, hutan dan samudra menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam estetika kakawin. Hal tersebut bertujuan untuk membangkitkan suasana emosional pembaca.
-
b. Aspek Konjungsi
Sumarlam (2003: 122) menyatakan konjungsi sebagai salah satu jenis kohesi gramatikal merupakan suatu cara merangkai atau menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam sebuah wacana sastra. Unsur yang dimaksud dapat berupa kata, frasa, klausa, kalimat atau alinea. Perangkaian yang disebut konjungsi ini berkaitan dengan relasi makna antara satu unsur dengan unsur yang dirangkai.
Adapun konjungsi yang ditemukan dalam Kakawin Ananda bhuwana, sebagai berikut.
-
(1) ʻNahanʼ
Nāhan rakwa wuwus nirampu mawarah ri sang narapati
Kāścaryyāmbek irang nṛěpataya ruměngӧ ri tatwa wacana KongKakawin Ananda Bhuwana rakwa manah nireka ya wimohning hati mawā
Ndah kadyāṇdhakaran kasěnwani rawika sirna malilang (KAB pupuh XXXVI, bait 1)
Terjemahan:
Demikianlah ungkapan ida pranda kepada sang prabhu;
Sang prabbhu terkejut
mendengarkan tentang pangandika kejaten;
Seketika kegundahan hati yang dirasakan sang prabhu menjadi lega;
Bagaikan mendung yang disinari oleh matahari, seketika menjadi terang.
Kata ‘nahan’ merupakan konjungsi antar paragraph yang satu dengan yang lainnya. Nahan dalam kamus bahasa Jawa Kuno memiliki arti ‘lihatlah’, ‘begitulah’, ‘demikian’, (Zoetmulder, 2006: 688). Kata ‘Nahanʼ biasanya
menunjukan sesuatu yang
mendahuluinya. Nāhan rakwa wuwus nirampu mawarah ri sang narapati ‘demikianlah kata ida peranda kepada sang perabhu’. Dari kalimat tersebut dapat dilihat kata ‘nahan’ menunjukan bahwa pada bait atau kalimat sebelumnya ada dialog antara Ida Pedanda dengan Sang Prabhu.
-
B) Aspek Kohesi Leksikal
Kohesi leksikal adalah kohesi yang terbentuk dari hubungan semantis antara leksis yang satu dengan leksis yang lain. Leksis yang dimaksud adalah leksis utama (lexical items, content words), yaitu nomina, verba, adjektiva, dan adverbia, bukan leksis struktural, seperti preposisi, kata sandang, dan kata bantu (Wiratno, 2018:235). Dalam wacana
sastra kohesi dibagi leksikal enam jenis, yakni pengulangan (repetisi), padan kata (sinonim), sanding kata (kolokasi), hubungan atas-bawah (hiponim), lawan kata (antonim), dan kesepadanan (ekuvialensi). Tidak semua aspek kohesi terkandung dalam Kakawin Ananda Bhuwana, kajian yang dilakukan hanya sebatas pada aspek kohesi yang menonjol dalam karya sastra ini.
Repetisi adalah pengulangan kata, frasa, dan klausa yang sama dalam satu kalimat (Immortal, 2012: 119). Dalam Kakawin pengulangan atau repetisi berfungsi sebagai bahasa artistik yang bertujuan untuk menambah nilai estetik. Adapun contoh repetisi yang terdapat dalam Kakawin Ananda Bhuwana adalah sebagai berikut.
Kepwan rakwa manah narendra numangěn ri sadaya nira nareśwarātmaja
Āpan tan mangangěn ri deni karatun tanangngakěnnika haywaning jagat
Ndah moghān mětu rakwa ya hyun nira yan pamungu ri sira sang nṛěpātmaja Marmmanyān sira kona rakwa sira kona sang nṛěpatanaya maṛěk manangkila
-
(KAB I.10)
Terjemahan:
sangatlah sedih hati ayahanda sang raja ketika mengetahui keadaaan anaknya karena tidak memikirkan drajatnya sebagai raja dan juga tidak memikirkan kesejahtraan kerajaannya lalu ayah beliau berkeinginan untuk memberitahu anaknya, dan akhirnya beliau berkeinginan memanggil anaknya untuk menghadap beliau.
Pada contoh bait kakawin Ananda Bhuwana di atas dapat dilihat jenis repetisi epizeuksis. Repetisi epizeuksis merupakan pengulangan satuan lingual berupa kata yang dipentingkan secara berungkali atau berturut-turut. Kata ri merupakan partikel penunjuk yang berfungsi sebagai preposisi. Sedangkan kata rakwa adalah partikel penegas yang sering ditambahkan pada partikel penunjuk atau partikel penghubung.
Banyak jenis gaya bahasa yang terkandung dalam Kakawin Ananda Bhuwana. Permainan Gaya bahasa dalam kakawin disebut dengan Alamkara. Penggunaan gaya bahasa (alamkara) dalam karya sastra puisi jawa kuno (kakawin) merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan pikiran (figure of speech) yaitu Ada 29 jenis metrum yang membangun Kakawin Ananda Bhuwana. Pergantian metrum dalam Kakawin Ananda Bhuwana tidak ditandai dengan sasmita tembang (kata-kata yang disusun secara teratur yang makna atau isinya mengandung maksud untuk dijawab) tetapi dengan papadan windu (tanda dalam bentuk aksara bali yang digunakan untuk mengakhiri metrum dalam kakwin).
Keindahan bunyi bahasa dan arti kata sangat berperan penting dalam membentuk suatu karya sastra kakawin yang sarat akan nila estetika (langho). Oleh sebab itu seorang pengarang dalam menulis karya sastra selalu menggunakan permaianan bunyi (Alamkara) baik permaianan bunyi vocal maupun konsonan (Sabdālamkara) maupun permaianan arti kata (Arthālamkara) untuk meningkatkan nilai estetika yang terkandung dalam sebuah Kakawin. Adapun jenis alamkara yang digunakan dalam Kakawin Ananda Bhuwana, antara lain sabdhalamkara (permaianan kata
atau bunyi) yang berupa repetisi morfemik dan kombinasi repetisi fonemik dan morfemik.
Permainan bunyi yang terdapat dalam Kakawin Ananda Bhuwana tidak terbatas hanya pada penggunaan bunyi bahasa, namun terdapat pula permaianan arti kata yaitu arthālamkara berupa Rupaka yaitu bentuk gaya bahasa perbandingan atau metafora, Wyatireka yaitu gaya bahasa hiperbolis yang membesar-besarkan sifat atau keadaan, Nidarsana yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk melukiskan sesuatu yang benar-benar terjadi atau dialami seseorang dengan cara membandingkannya dengan benda-benda yang ada, Upaniyasa yaitu gaya bahasa atau ungkapan yang menyatakan anjuran, dan Warta yaitu gaya bahasa yang melukiskan keadaan seseorang sama dengan keadaan alam yang sebenarnya. Adapun contoh gaya bahasa dalam Kakawin Ananda Bhuwana disajikan seperti di bawah berikut.
-
1 .Rupaka
Rupaka adalah permainan arti kata dalam bentuk gaya bahasa perbandingan atau metafora yang ditandai dengan penggunaan kata-kata pembanding, seperti lwir, akěn, kadi, tulya, kaharan, upama (Suarka, 2012: 36). Dalam sastra modern gaya bahasa seperti ini disebut simile (Keraf, 1986: 138).
Lumreng rāt kajanāpriyānira těkeng tri bhuwana mangalěm ta nityasa
Kyāting rāt sira māděging mayani nāgara lalita subhikṣa śāśwata
Śobang rājya kadī smarālaya wibhuh ri wibhawa sama dibya kottama
Śrī lakṣmī parameśwarīnira susatya maniwi ri sirang narādhipa. (KAB I.7)
Terjemahan:
Beliau termasyur di dunia, hingga semua mengakui keagungannya; Beliau beristana di mayaninagara tempat yang meggah dan indah; Keindahan istana beliau bagaikan stana Sanghyang Samara, bergelimang harta benda; Permaisuri beliau bernama Ida Dewi Sri Laksmi, yang sangat patuh dan perhatian terhadap sang raja.
Pada Kutipan bait kakawin di atas tampak kalimat pada baris ketiga śobang rājya kadī smarālaya wibhuh ri wibhawa sama dibya kottama yang menyatakan keindahan istana sang raja megah mewah dan bergelimang harta diibaratkan atau dumpamakan seperti stana Sang Hyang Smara.
-
2 . Rupakabhyadika
Rupakabhyadika adalah permainan arti kata dipakai simbol untuk mewakili seseorang. Contoh rupakabhyadika dapat dilihat pada kutipan bait kakawin berikut.
Kāngěn nisphalaning tuwuh taya wěnang numilagakěnikang putěk hati
Gӧngning kaśmala śok lagyamanuput ya kinawaśakěning daśendriya
Nā hetunya manah mangodara ya lungha miděrikana tan pahīnghanan
Cakranyang gilingan padhanya suka duhka ya maputěranāmangun pětěng. (KAB I.3)
Terjemahan:
Hidup hamba terasa tak berguna, tak mampu menahan kesedihan; Besarnya kepapaan hamba tak pelak mengakibatkan kesedihan dan dikuasai oleh sepuluh indra;Hal itu yang menyebabkan pikiran hamba
melayang bebas tanpa batas; Suka duka bagaikan roda pedati yang berputar menyebabkan kebingungan.
Pada kutipan di atas, suka duka dan kebingungan pengarang disimbolkan dengan kata Cakranyang gilingan yang berarti putaran roda. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan kehidupan, di mana suka, duka atau pun kebingungan senantiasa berputar bagaikan roda. Silih berganti kadang di atas, kadang di bawah.
SIMPULAN
Pembahasan strukur makro, super struktur dan struktur mikro Kakawin Ananda Bhuwana. Analisis struktur makro teks Kakawin Ananda Bhuwana bertujuan untuk mengetahui makna global atau tema sentral yang ditelaah berdasarkan hubungan topik berbagai komponen pesan yang terkandung di dalamnya adalah metta ‘cinta kasih’ sebagai kulminasi (titik puncak) dari rangkaian cerita atau untaian cerita di dalam Kakawin Ananda Bhuwana.
Superstruktur dalam kakawin ini tersusun dari bagian pembuka (manggala) yakni bait yang berisi tentang doa, penghormatan kepada dewa pujaan, dan pernyataan kerendahan hati pengarang. Isi (korpus) merupakan rangkaian cerita yang berisi tentang perjalanan seorang tokoh bernama Manasangkara dalam mencari kebahagiaan yang kekal dan abadi. Pandangan-pandangan mengenai pengendalian diri yang ditemui oleh tokoh Manasangkara dalam proses mencapai kebahagiaan, merupakan aspek yang ditonjolkan dalam kakawin ini. Penutup (epilog) adalah bait terakhir dari kakawin yang. Bait penutup dari teks Kakawin Ananda Bhuwana memuat tentang pernyataan rendah hati pengarang dan penanggalan kakawin. Struktur mikro
berdasarkan aspek kebahasaan, gaya bahasa yang menggunakan alamkara.
Penelitian terhadap teks Kakawin Ananda Bhuwana ini tentu masih banyak yang perlu dibenahi agar kelak dapat berkontribusi secara maksimal dalam bidang wacana sastra khususnya Sastra Jawa Kuno. Penulis mengharapkan masukan dari pembaca guna menyempurnakan kekurangan yang ada dalam penelitian ini. Serta kepada pemerintah terkait dengan kebudayaan, agar memperhatikan karya-karya sastra berbahasa Jawa Kuno. Agar kesusastraan Jawa Kuno tetap hidup dan dapat dikenal oleh generasi berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis
Wacana Kritis. Bandung :Yrama Widya.
Dharmayanti, Ida Ayu Istri Agung. 2019.
“Wacana Puja Smara dalam Kakawin Hanang Nirartha”(tesis). Denpasar: Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Dwijayanti, Ni Md Ari. 2010. Teks Kalatattwa Dari Segi Pendekatan Hermeneutika. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Kiridalaksana, Harimurti. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta:Balai Pustaka.
Eriyanto, 2001. Analiis Wacana Pengantar Ananlisis Teks Media. Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang.
Kridalaksana, Harimurti. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta:Balai Pustaka.
Kusuma, I Nyoman Weda. 2012. Kakawin Usana Bali Māyantaka Carita: Telaah konsep-konsep
keagamaan. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Medera, I Nengah. 1982. Sekilas Tentang Puisi Jawa Kuna.Denpasar:
Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Sregeg, I Wayan. 2004. Kakawin Ananda Bhuwana.
Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Kawkawin. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa.
Yogyakarta: Duta Wacana
Universitas Press.
Sumarlam, dkk. 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.
Suprapta, I.P.A. 2020. “Wacana LPD dalam Kakawin LPD Bualu” (tesis). Denpasar: Program
Magister Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.
Tangkas, Made Reland Udayana. 2017. Aspek Ekologi Religius dalam Naskah Lontar Usada Carik.
Prabhajnana, II, hlm. 69-92.
Denpasar: Swasta Nulus.
Wiratno, Tri. 2018. Pengantar Ringkas Linguistik Sistemik Fungsional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Cetakan ke-2. Jakarta: Djambatan.
Zoetmulder, P.J. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jilid I dan II. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Discussion and feedback