HUMANIS



Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019

Vol 26.2 Mei 2022: 177-189

Dinamika Leksikon Flora dan Fauna Bahasa Bali pada Lingkungan Persawahan

Kadek Ayu Winda Winanda, Ni Made Dhanawaty*, Made Sri Satyawati

Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

Email Korespodensi: ayuwindawinanda96@gmail.com , md_dhanawaty@unud.ac.id , srisatyawati@gmail.com

Info Artikel


Masuk: 18 Maret 2022

Revisi: 6 April 2022

Diterima: 11 Mei 2022

Keywords: lexicon; flora and fauna; ecolinguistics


Kata kunci: leksikon; flora dan fauna; ekolinguistik

Corresponding Author:

Ni Made Dhanawaty,

email:

md_dhanawaty@unud.ac.id


Abstract

This study aims (1) to describe the forms of flora and fauna lexicons in the rice field environment in Ubud (2) to find out the flora and fauna lexicons in the rice field environment in Balinese language which were influenced by flora and fauna lexicons in Indonesian language in a speech community in Ubud (3) to find out the factors that cause the lexicon of flora and fauna of the Balinese language was influenced by Indonesian language in the rice field environment in Ubud. This study was used morphological theory, ecolinguistic theory using a logical dimension model proposed by Bang and Døør, as well as ecolinguistic theory, especially ecology of language according to Haugen and ecolinguistic parameters. The method was used to referring the techniques involved proficient. There were three results of this study, namely as follows. First, finding the forms of flora and fauna lexicons in the rice field environment in Ubud, namely single form and complex form, consisting of reapeated and compound words. Second, discovering the flora and fauna lexicon in the rice field environment in Balinese language which was starting to be influenced by the flora and fauna lexicon in the Indonesian language in the speech community of the people in Ubud, namely the ambengan lexicon, padang getap, keladi, piduh-piduh, ligundi, pacet, blecing, yuyu, blauk, dan kakul. Third, finding the factors causing of the influence of flora and fauna lexicon in the rice field environment in Ubud, namely physical changes in the rice field environment, damage to the ecosystem in the rice field, inheritance of the flora and fauna in the rice field environment in Ubud, and language changes.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan (1) untuk mendeskripsikan bentuk leksikon-leksikon flora dan fauna pada lingkungan persawahan guyub tutur masyarakat Bali di Ubud, (2) untuk mengetahui leksikon-leksikon flora dan fauna” di lingkungan persawahan dalam bahasa Bali” yang mulai dipengaruhi oleh leksikon-leksikon flora dan fauna dalam bahasa Indonesia pada guyub tutur masyarakat di Ubud, (3) untuk mengetahui faktor-faktor penyebab leksikon-leksikon flora dan fauna bahasa Bali dipengaruhi oleh bahasa Indonesia pada lingkungan persawahan di Ubud. Penelitian ini menggunakan teori

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

22.v26.i02.p13


morfologi, teori ekolinguistik dengan menggunakan model dimensi logis dikemukakan oleh Bang dan Døør, serta teori ekolinguistik khususnya ecology of language menurut Haugen dan parameter-parameter ekolinguistik. Metode yang digunakan adalah metode simak dengan teknik libat cakap. Hasil penelitian ini ada tiga, yaitu sebagai berikut. Pertama, menemukan bentuk leksikon-leksikon flora dan fauna pada lingkungan persawahan guyub tutur masyarakat Bali di Ubud, yaitu bentuk tunggal dan bentuk kompleks yang terdiri atas kata ulang dan kata majemuk. Kedua, menemukan “leksikon-leksikon flora dan fauna” di lingkungan persawahan “dalam bahasa Bali” yang mulai dipengaruhi oleh leksikon-leksikon flora dan fauna dalam bahasa Indonesia pada guyub tutur masyarakat di Ubud, yaitu leksikon ambengan, padang getap, keladi, piduh-piduh, ligundi, pacet, blecing, yuyu, blauk, dan kakul. Ketiga menemukan faktor-faktor penyebab pengaruh leksikon-leksikon flora dan fauna pada lingkungan persawahan di Ubud, yaitu perubahan fisik lingkungan persawahan Ubud, kerusakan ekosistem di persawahan Ubud, ketakterwarisan leksikon flora dan fauna persawahan di Ubud, dan terjadi perubahan bahasa.

PENDAHULUAN

Bahasa mencerminkan keberagaman budaya dan menjamin keanekaragaman serta keharmonisan hubungan dengan lingkungan. “Mencintai dan merawat lingkungan, serta hidup berdampingan secara harmonis dengan alam dan sesama makhluk lainnya adalah refleksi dimana bahasa itu hidup dan berkembang” (Mahayana et al., 2019). Kekayaan lokal hidup telah diwarisi secara turun-temurun antargenerasi guyub tutur. Sebagai warisan leluhur, kekayaan lokal tersebut perlu digali dan diberdayakan kembali. Akan tetapi, semakin berkembangnya peradaban manusia mengakibatkan semakin sempitnya ruang gerak manusia dalam lingkungan tersebut. Keterancaman lingkungan ini mendorong berbagai pihak untuk merancang keberlanjutan atas kelestarian lingkungannya, salah satunya pada lingkungan persawahan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai leksikon flora dan fauna bahasa Bali pada lingkungan persawahan dengan menjadikan daerah

Ubud sebagai lokasi penelitian. Daerah Ubud merupakan desa sekaligus kecamatan yang ada di Kabupaten Gianyar.

Lingkungan persawahan di daerah Ubud saat ini menjadi perhatian yang cukup besar, tidak hanya sebagai lahan mata pencaharian petani, tetapi juga sebagai kawasan dengan pembangunan dan pengembangan ekonomi di bidang pariwisata. “Dengan dalih kepentingan pembangunan, manusia melakukan eksploitasi alam tanpa memikirkan efek jangka panjang yang akan ditimbulkan (Suweta, 2013).” Pemahaman guyub tutur tentang leksikon-leksikon persawahan bergeser atau menyusut penggunaannya oleh desakan bahasa Indonesia sebagai salah satu dampak dari pertanian modern. Bahasa berada diambang kritis, yang semakin sulit untuk hidup, bertahan, dan terlaris pada pemakai yang lebih muda (Rasna & Binawati, 2013).

Lingkungan kebahasaan yang multibahasa di Ubud menyebabkan menurunnya frekuensi pakai bahasa Bali yang berdampak pada menurunnya penguasaan bahasa kosakata bahasa Bali.

Hal tersebut dapat dilihat dari adanya penyusutan pengetahuan leksikon flora dan fauna di lingkungan persawahan pada masyarakat guyub tutur di Ubud, terutama di kalangan generasi muda. Keberlangsungan situasi semacam itu secara berkepanjangan oleh Rasna & Binawati (2014) dapat mengakibatkan kepunahan       leksikal       karena

kebertahanannya yang melemah. Adanya kesenjangan     dan     ketimpangan

pengetahuan ini menyebabkan rendahnya frekuensi penggunaan bahasa lokal masyarakat Ubud karena telah dipengaruhi dan didesak oleh bahasa Indonesia. Pergeseran tersebut tidak hanya berdampak terhadap lingkungan sosial atau ekonomi, tetapi juga berdampak pada kepunahan kekayaan leksikon-leksikon yang salah satunya leksikon flora dan fauna.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan (1) menganalisis bentuk leksikon-leksikon flora dan fauna pada lingkungan persawahan guyub tutur masyarakat Bali di Ubud, (2) menelaah leksikon-leksikon flora dan fauna” dalam bahasa Bali di lingkungan persawahan pada guyub tutur di Ubud yang mulai dipengaruhi oleh leksikon-leksikon flora dan fauna dalam bahasa Indonesia, (3) menelaah      faktor-faktor      yang

menyebabkan leksikon flora dan fauna bahasa Bali pada lingkungan persawahan di Ubud dipengaruhi oleh bahasa Indonesia.

Penelitian dengan kajian bidang ekolinguistik telah banyak dilakukan sebelumnya dan yang relevan dengan penelitian ini, antara lain sebagai berikut. Penelitian Utami (2015) berjudul “Dinamika    Khazanah    Leksikon

Kesungaian pada Guyub Tutur Bahasa Bali di Bantaran Tukad Badung Denpasar” Dengan menerapkan metode agih dan teori ekolinguistik ditemukan leksikon komponen biotik dan abiotik sebagai pembentuk ekosistem di Tukad Badung merupakan seperangkat leksikon

yang merepresentasikan entitas-entitas kesungaian berkategori nomina, baik yang ada di dalam air, di atas air, maupun di bantaran Tukad Badung. Dari segi bentuk leksikon tersebut terdiri atas bentung tunggal dan bentuk komplek, sementara dari segi kategori ditemuakan leksikon berkategori nomina, verba dan adjektiva. Penelitian Suktiningsih (2016) berjudul “Leksikon Fauna Masyarakat Sunda: Kajian Ekolinguistik” yang memfokuskan kajian pada bentuk baku “dari makna dan fungsi penggunaan” leksikon “fauna dalam suatu metafora.” Ditemukan banyak penggunaan leksikon fauna dalam petuah atau” nasihat “masyarakat Sunda. Penelitian Santoso (2017) berjudul “Analisis Sosio-Ekono-Ekolinguistik terhadap Pemertahanan Leksikon Tanaman Tradisonal untuk Bumbu Masak bagi Mahasiswi di Kota Semarang”. Dengan menerapkan metode deskriptif analitik dan teori ekolinguistik ditemukan pemeliharaan leksikon tanaman tradisional untuk memasak rempah-rempah siswa Semarang rendah. Kecenderungan memasak instan telah menggeser penggunaan bumbu masak tradisional. Widarsini (2021) meneliti “Khazanah Leksikon Tradisi Penangkapan Ikan Paus dalam Novel Suara Samudra Karya Maria Matildis Banda: Kajian Ekolinguistik”. Dengan menerapkan metode anlsisis deskriptif kualitatif dan teori ekolinguistik, ditenemukan leksikon tradisi penangkapan ikan paus dapat diklasifikasi atas leksikon biotik dan abiotik, yang dari segi bentuk terdiri atas kata tunggal dan kata kompleks, bahkan frasa. Di antara penelitian-penelitian di atas belum ada yang meneliti leksikon flora dan fauna bahasa Bali pada lingkungan persawahan di Ubud dan pengaruh bahasa Indonesia terhadap flora dan fauna.

METODE DAN TEORI

Sumber data penelitian ini tuturan berbahasa Bali guyub tutur di Ubud, yang terdiri atas tuturan pihak generasi muda dan generasi tua, bersumber dari 8 orang informan Sesuai dengan tahapannya, penelitian ini menggunakan tiga metode dan teknik, yakni metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik penyajian hasilanalisis data. Berikut adalah penjelasan ketiga metode tersebut.

Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak dengan teknik libat cakap, yakni peneliti “berpartisipasi dalam pembicaraan dan menyimak pembicaraan.” Dalam hal ini “keikutsertaan peneliti” dapat aktif dan dapat pula reseptif. Dikatakan aktif bila peneliti juga ikut angkat bicara dalam proses atau konversasi dan dikatakan reseptif bila peneliti mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicara, baik secara subjektif maupun objektif (Sudaryanto, 1988). Selain itu diterapkan juga metode cakap terstruktur, yang dipandu dengan daftar pertanyaan leksikon-leksikon flora dan fauna lingkungan persawahan dalam bahasa Bali. Adapun teknik lain yang dilakukan adalah teknik rekam, yaitu melakukan penelitian dengan cara merekam dialog pembicaraan dengan alat perekam (Sudaryanto, 1988).

Metode dan Teknik Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan metode klasifikasi, yaitu metode kualitatif. Metode ini mengklasifikasikan data dengan kategori-kategori tertentu yang menunjukkan adanya hierarki dalam klasifikasi. Pengolahan data berupa kuantifikasi sederhana untuk menentukan persentase leksikon-leksikon yang paling dinamis, bertahan, hilang, dan yang baru muncul.

Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode penyajian formal dan informal. Metode formal, yaitu penyajian hasil analisis dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa, sedangkan metode informal, yaitu penyajian hasil analisis dengan menggunakan katakata biasa (Sudaryanto, 2015). Teknik yang digunakan adalah teknik deskriptif, yaitu teknik yang mendeskripsikan atau menggambarkan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antarfenomena yang diselidiki (Nazir, 1988).

Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori morfologi, teori ekolinguistik dengan menggunakan model dimensi logis yang dikemukakan oleh Bang dan Døør. Di samping itu pula digunakan teori ekolinguistik khususnya ecology of language menurut Haugen dan parameter-parameter ekolinguistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Leksikon flora dan fauna pada lingkungan persawahan di Ubud berdasarkan hasil analisis dari segi bentuk, ditemukan leksikon flora dan fauna yang dapat dibedakan atas bentuk tunggal dan bentuk kompleks. Kedua bentuk tersebut diuraikan berikut ini.

  • 1.    Bentuk Tunggal

Morfem bebas dan morfem dasar secara hierarki membentuk kata tunggal (Kridalaksana, 2005). Berikut adalah bentuk tunggal yang diperoleh dari guyub tutur yang tinggal di Ubud.

Tabel 1 Kelompok Bentuk Tunggal

No

Bentuk Tunggal dalam Bahasa Bali

Bahasa Indonesia

Nama Latin (Ilmiah)

Flora

Fauna

1.

padi

padi

Oryza sativa

/padi/

2.

jagung /jagʊŋ/

-

jagung

Zea mays

3.

padang /padaŋ/

-

rumput

Poaceae

4.

-

lindung

belut

Angulla

/lindʊŋ/

rostrata

5.

-

bikul /bikʊl/

tikus

Muridae

  • 2.    Bentuk Kompleks

“Bentuk kompleks dibentuk lebih dari satu morfem. Bentuk kompleks terdiri atas kata turunan (kata” berafiks, “kata ulang, kata majemuk),” tetapi berdasarkan leksikon yang diperoleh tidak ditemukan kata berafiks.

  • a.    Kata ulang

Bentuk ulang menyerupai kata ulang, tetapi bukan hasil dari proses pengulangan karena bentuk ulang tidak memiliki bentuk dasar atau asal (Kridalaksana, 1996). Berikut leksikon yang termasuk bentuk ulang.

Tabel 2 Kelompok Bentuk Ulang

No

Bentuk Ulang dalam Bahasa Bali

Bahasa Indone sia

Nama Latin (Ilmiah)

Flora

Fauna

1.

jali-jali

jali-jali

Coix

/jali-jali/

laerymajobi

kapu-

apu-

Pistia

3.

kapu

apu

strariotes

/kapu-

kapu/

kunang-

kunang

Ipomoea

4.

kunang

-

aquatica

/kunaŋ-kunaŋ/

kunang

  • b.    Kata Majemuk

Kata majemuk merupakan penggabungan dua leksem atau lebih yang membentuk kata (Kridalaksana, 1989). Kata majemuk terbentuk melalui penggabungan sebuah bentuk pada bentuk dasar yang ada dalam proses

komposisi (Chaer, 2008). Pada leksikon yang diperoleh, yang termasuk kata majemuk sebagai berikut.

Tabel 3 Kelompok Kata Majemuk

No

Kata Majemuk dalam Bahasa Bali

Bahasa Indonesia

Nama Latin (Ilmiah)

Flora

Fauna

padang

rumput

Pennisetum

1.

gajah /padaŋ gajah/

-

gajah

purpureum

capung

capung

Orthetrum

2.

-

bangkok /capʊŋ baŋkᴐk/

tentara

sabani

Pemajemukan atau komposisi tidak hanya ditemukan pada bahasa Indonesia, dalam bahasa Bali pun dapat ditemukan pemajemukan tersebut. Seperti pada leksikon padang gajah terbentuk dari dua kata, yaitu padang yang dalam bahasa Indonesia adalah rumput dan gajah merupakan salah satu binatang berkaki empat, bertubuh besar, dan memiliki belalai. Gabungan dua kata inilah menghasilkan komponen (kata majemuk) padang gajah yang merupakan nama dari salah satu jenis rumput.

Leksikon-Leksikon Flora dan Fauna dalam Bahasa Bali” yang Mulai dipengaruhi oleh Bahasa Indonesia

Leksikon-leksikon tersimpan dalam pikiran guyub tutur di wilayah Ubud menjadi pengetahuan kognitif yang melekat dalam pikiran penutur berdasarkan pengalaman yang berkaitan dengan bioregion yang diakrabinya, seperti pengetahuan guyub tutur di lingkungan persawahan Ubud khususnya pengetahuan leksikon yang dimiliki. Pengetahuan kognitif ini meliputi kosakata khususnya satuan leksikal yang digunakan penutur untuk menyebut dan merujuk objek yang penting dalam lingkungannya (Casson, 1981).

Pengetahuan kognitif guyub tutur di lingkungan persawahan Ubud berupa

khazanah leksikon merujuk pada entitas-entitas yang ada di lingkungan tersebut, baik yang pernah dilihat, diraba, maupun yang diindrakan. Penggunaan leksikon-leksikon alam tentunya tidak terlepas dari manfaat unsur-unsur alam tersebut untuk kehidupan masyarakat (Rajistha, 2017). Berikut dipaparkan leksikon flora dan fauna di lingkungan persawahan pada guyub tutur masyarakat Ubud dalam bahasa Bali yang mulai dipengaruhi, dan digeser penggunaannya oleh bahasa Indonesia.

  • 1.    Leksikon Ambengan ‘Ilalang’

Ditinjau dari bentuk leksikon ambengan ‘ilalang’ termasuk bentuk tunggal, dalam istilah ekologi ambengan ‘ilalang’ termasuk kelompok biotik. Keberadaan tumbuhan ini sangat dikenal oleh masyarakat di lingkungan Ubud karena interaksinya yang sangat intensif yang terekam dalam tuturan Bapak Made Lebih berikut ini.

“...ambengan biasané anggénné makanan sampi taler dados masé anggén raab...”

‘…ilalang biasanya dipakai untuk makanan sapi atau dapat digunakan sebagai atap...’

Menurut tuturan Bapak Made Lebih, ambengan ‘ilalang’ sangat bermanfaat bagi masyarakat Ubud. Hal ini membuktikan anggota guyub tutur Ubud memiliki intensitas interaksi dan interelasi yang tinggi terhadap tumbuhan tersebut. Ambengan ʻilalang’ sudah ada sejak lama dan masih tumbuh di lingkungan persawahan Ubud. Habitatnya memang mendukung pertumbuhan ternak warga yang tinggal di lingkungan persawahan Ubud, yang membutuhkan dan memanfaatkannya, menjadi faktor keberadaan ambengan ʻilalangʼ terjaga dan selalu tumbuh.

Dilihat dari pengetahuan generasi muda, ditemukan adanya pergeseran pengetahuan leksikon dalam bahasa Bali oleh leksikon dalam bahasa Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang generasi muda yang bernama Deva. “...liu ilalang dini...” ‘…banyak ilalang di sini...’

Berdasarkan tuturan generasi muda di atas, ditemukan pengaruh bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali pada leksikon ambengan ‘ilalang’.

  • 2.    Leksikon Padang getap ‘Putri malu’

Padang getap ʻputri maluʼ termasuk kata majemuk, dalam istilah ekologi termasuk kelompok biotik. Keberadaan tumbuhan padang getap ʻputri malu’ sangat dikenal oleh masyarakat di lingkungan Ubud karena interaksinya yang sangat intensif yang terekam dalam tuturan Ibu Rampid berikut ini.

“...padang getap nika liu sajan kagunaanné anggéné obat. Biasané punyan padang getap nika anggéné obat panas, radang, taler anggone obat panenang...”

‘…putri malu itu sangat banyak kegunaannya sebagai obat. Tumbuhan putri malu biasanya digunakan sebagai obat penurun panas, radang, serta digunakan sebagai obat penenang...’

Menurut penuturan Ibu Rampid, padang getap ʻputri malu’ sangat bermanfaat bagi masyarakat Ubud. Hal ini membuktikan adanya hubungan mendalam antara guyub tutur dan tanaman padang getap ‘putri malu’ sehingga leksikon yang kaya seperti manfaat tanaman tersebut sebagai obat tersimpan dalam kognitif guyub tutur, khususnya di kalangan generasi tua.

Dilihat dari pengetahuan generasi muda saat ini, ditemukan adanya pergeseran pengetahuan leksikon dalam bahasa Bali oleh leksikon dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang generasi muda yang bernama Pandu.

“...bungan putri malu bentukné bulet sing ngelah mahkota gedé care bungan ané

lénan. Kelopak bungan putri malu bentukné cenik taler magigi papat care selaput putih...”

‘…bunga putri malu berbentuk bulat tidak mempunyai mahkota yang besar seperti bunga lainnya. Kelopak bunga putri malu bentuknya kecil serta bergigi empat seperti selaput putih...’

Berdasarkan tuturan generasi muda di atas, ditemukan pengaruh bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali pada leksikon padang getap ‘putri malu’.

  • 3.    Leksikon Keladi ‘Talas’

Keladi ʻtalasʼ termasuk bentuk tunggal, dalam istilah ekologi termasuk kelompok biotik. Keberadaan tumbuhan keladi ʻtalasʼ sangat dikenal oleh masyarakat di lingkungan Ubud karena memiliki nilai ekonomi tinggi yang hampir sebagian besar bagian tanamannya dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi, terekam dalam tuturan Ibu Sena berikut ini.

“...sebagai penghasil kabohidrat, keladi berpotensi anggéné suplemén atau substitusi baas, tur bahan baku industri tepung...”

‘….sebagai penghasil karbohidrat, talas berpotensi sebagai suplemen atau substitusi beras, dan bahan baku industri untuk tepung...’

Menurutnya keladi ʻtalas’ sangat bermanfaat bagi masyarakat, hal ini membuktikan anggota guyub tutur Ubud memiliki intensitas interaksi dan interelasi yang tinggi terhadap tumbuhan tersebut. Dilihat dari pengetahuan generasi muda saat ini, ditemukan adanya pergeseran pengetahuan leksikon dalam bahasa Bali oleh leksikon dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang generasi muda yang bernama Angga.

“...cocok ngajeng talas yén ngelah masalah pencernaan...”

‘…cocok makan talas jika mempunyai masalah percernaan…’

Berdasarkan tuturan generasi muda di atas, ditemukan pengaruh bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali pada leksikon keladi ‘talas’.

  • 4.    Leksikon Piduh-piduh ‘Pegagan’

Berdasarkan bentuk, piduh-piduh ‘pegagan’ termasuk bentuk ulang, dalam istilah ekologi termasuk kelompok biotik. Menurut Bapak Gede Oplen, piduh-piduh ‘pegagan’ dapat digunakan sebagai salep luka bakar dan melancarkan aliran darah. Hal ini dapat dilihat dalam tuturan Bapak Gede Oplen berikut ini.

“...piduh-piduh liu sajan khasiatné, nanging ten liu nak driki uning khasiat piduh-piduh. Padahal piduh-piduh ngidang anggén salep matatu taler malancar aliran getih...”

‘…manfaat pegagan sangat banyak, namun tidak banyak yang tahu. Padahal pegagan dapat dijadikan sebagai salep luka bakar serta melancarkan aliran darah...’

Pengetahuan informan tentang manfaat     piduh-piduh     ‘pegagan’

menunjukkan tingkat keakraban informan dengan lingkungan persawahan di Ubud, khususnya dengan tumbuhan piduh-piduh ‘pegagan’ di lingkungan persawahan Ubud. Hubungan yang sangat dekat itu sudah tentu berdasarkan pengetahuan mendalam dan pengalaman yang bermakna, hasil interaksi, interelasi, dan interpedensi kuat dibandingkan dengan guyub tutur yang tidak mengetahui manfaat dan tidak langsung merasakan kegunaan piduh-piduh ‘pegagan’.

Dilihat dari pengetahuan generasi muda saat ini, ditemukan adanya pergeseran pengetahuan leksikon dalam bahasa Bali oleh leksikon dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara peneliti dengan salah satu generasi muda yang bernama Indah. “...tiyang uning manfaat pegagan anggén salep luka bakar...”

‘…saya tahu kalau manfaat pegagan sebagai salep luka bakar...’

Berdasarkan tuturan generasi muda di atas, ditemukan pengaruh bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali pada leksikon piduh-piduh ‘pegagan’.

  • 5.    Leksikon Ligundi ‘Liligundi’

Ditinjau dari bentuk ligundi ‘liligundi’ termasuk bentuk tunggal, dalam istilah ekologi termasuk kelompok biotik. Tanaman ini digunakan untuk pengobatan tradisional seperti obat batuk. Ligundi ‘liligundi’ juga dapat digunakan sebagai obat nyamuk. Hal ini terekam dalam tuturan Ibu Rampid berikut ini.

“...ulian bungané jegég, punyan nika patut anggén tanaman hias. Ligundi masé dados anggén obat batuk. Sané paling uning tiyang, ligundi patut anggén obat legu, nanging ten liu sané uning. Padahal carané ngolah aluh pisan, cuman ngalih don ligundi lantas don nika bakar kanti bonné miik...”

‘…karena bunganya cantik, tanaman liligundi cocok digunakan sebagai tanaman hias. Liligundi juga dapat digunakan sebagai obat batuk. Yang paling saya ketahui, liligundi cocok digunakan sebagai obat nyamuk, tetapi tidak banyak yang mengetahuinya. Padahal cara membuatnya sangat gampang, hanya dengan mencari daun liligundi kemudian dibakar sampai baunya harum…’

Menurut Ibu Rampid, keberadaan tumbuhan ini sangat jarang dikenal oleh masyarakat di lingkungan Ubud. Dilihat dari pengetahuan generasi muda saat ini, ditemukan adanya pergeseran pengetahuan leksikon dalam bahasa Bali oleh leksikon dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang generasi muda yang bernama Pandu.

“...bungan liligundi nika miik sajan. Nanging tiyang ten uning liligundi wénten manfaatné...”

‘…bunga liligundi itu sangat harum. Tapi saya tidak mengetahui manfaatnya…’

Berdasarkan tuturan generasi muda di atas, ditemukan pengaruh bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali pada leksikon ligundi ʻliligindi’.

  • 6.    Leksikon Pacet ‘Lintah’

Pacet ‘lintah’ termasuk bentuk tunggal, dalam istilah ekologi tergolong biotik. Keberadaan pacet ‘lintah’ sangat dikenal oleh masyarakat di lingkungan Ubud yang terekam dalam tuturan Ibu Rampid berikut ini.

“...biasané ten sadar pacet sampun neked di cokoré. Yén pacet sampun wareg ngisep getih, nak pedidiané kelés ling cokoré...”

‘…biasanya tidak sadar lintah menempel di kaki. Kalau lintah sudah kenyang menghisap darah, dengan sendirinya akan lepas…’

Berdasarkan pengetahuan mendalam dan pengalaman yang bermakna penutur sangat kuat dibandingkan dengan guyub tutur yang tidak merasakan langsung manfaat dari hisapan pacet ʻlintahʼ, hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang generasi muda yang bernama Pandu sebagai berikut.

“...tiyang ten bani yén lintah némpél di batis tiyang...”

‘…saya tidak berani kalau lintah menempel di kaki saya…’

Berdasarkan tuturan generasi muda di atas, ditemukan pengaruh bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali pada leksikon pacet ‘lintah’.

  • 7.    Leksikon Blecing ‘Kecebong’

Berdasarkan bentuk, blecing ‘kecebong’ termasuk bentuk tunggal, dalam istilah ekologi tergolong biotik. Entitas blecing ʻkecebongʼ dalam lingkungan persawahan masih ada ditemukan. Hal ini dapat dilihat dalam tuturan Ibu Sena sebagai berikut.

“...carik liu misi punyanan sané misi yéh, biasané taluh sané lakar jadi blecing nika neked ring tetaneman driki...”

‘…sawah banyak berisi tanaman air, biasanya telur yang akan menjadi kecebong itu menempel di tanaman…’

Dilihat dari tuturan Ibu Sena terlihat pengetahuan guyub tutur ini membuktikan anggota guyub tutur Ubud memiliki intensitas interaksi dan interelasi terhadap blecing ‘kecebong’. Namun, dilihat dari pengetahuan generasi muda saat ini, ditemukan adanya pergeseran pengetahuan leksikon dalam bahasa Bali oleh leksikon dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara peneliti dengan salah satu generasi muda yang bernama Angga. “...tiyang ngeri nepukin kecébong. Cenik-cenik mawarna selem...”

‘…saya tidak berani melihat kecebong. Kecil-kecil berwarna hitam…’

Berdasarkan tuturan generasi muda di atas, ditemukan pengaruh bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali yang ditemukan pada leksikon blecing ‘kecebong’.

  • 8.    Leksikon Yuyu ‘Kepiting’

Dilihat dari bentuk, yuyu ʻkepitingʼ termasuk bentuk tunggal, dalam istilah ekologi tergolong biotik. Berdasarkan penuturan Bapak Made Lebih, saat muda sering sekali bermain di persawahan sambil mencari yuyu ‘kepiting’. Akan tetapi, sekarang hewan ini sudah sedikit ada karena kondisi persawahan sudah berubah dan tempat hidup yuyu ‘kepiting’ sudah sedikit.

“...pidan pas kari muda, tiyang sesai meplaliyan ring carik sambil ngalih yuyu. Nanging mangkin yuyu sampun bedik wenteng ring cariké...”

‘…dulu pas masih muda, saya sering bermain di sawah sambil mencari kepiting. Namun, sekarang kepiting sudah sedikit ada di sawah…’

Pada penelitian ini, ditemukan adanya pergeseran pengetahuan leksikon dalam bahasa Bali oleh leksikon dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara peneliti dengan

salah seorang generasi muda yang bernama Indah.

“...yén ten nini tiyang ngorahin wénten kepiting di carik, mungkin kanti jani tiyang ten uning wenten kepiting di cariké...”

‘…kalau tidak nenek saya memberi tahu ada kepiting di sawah, mungkin sampai saat ini saya tidak mengetahui ada kepiting di sawah…’

Berdasarkan tuturan generasi muda di atas, ditemukan pengaruh bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali pada leksikon yuyu ‘kepiting’.

  • 9.    Leksikon Blauk ‘Anak Capung’

Leksikon blauk ‘anak capung’ termasuk bentuk tunggal, dalam istilah ekologi tergolong biotik. Jumlah populasi blauk ‘anak capung’ semakin berkurang dan keberadaannya di lingkungan persawahan Ubud jarang ditemukan. Hal ini dapat terekam pada penutur yang bernama Bapak Gede Oplen berikut ini. “...mangkin ten liu sané uning blauk. Blauk sampun bedik wénten ring carik. Pidan liu pisan blauk ring carik sedurung carik driki jadi vila-vila. Yén jani nak bajang truna takonin blauk, besik ten uning napi blauk nika...” ‘…sekarang tidak banyak yang mengetahui anak capung. Sudah sedikit anak capung ada di sawah. Dulu banyak anak capung di sawah sebelum sawah dijadikan vila-vila. Kalau remaja wanita dan pria ditanya anak capung, satu dari mereka tidak ada yang tahu apa itu anak capung…’

Menurut Bapak Gede Oplen, perubahan ekologis blauk ‘anak capung’ berkurang dan hanya tertinggal di pikiran sebagai pengetahuan kognitif para penutur, khususnya warga yang sering berinteraksi di lingkungan persawahan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang generasi muda yang bernama Indah. Selain perubahan ekologis yang ada, ditemukan     adanya     pergeseran

pengetahuan leksikon dalam bahasa Bali oleh leksikon dalam bahasa Indonesia.

“...pidan pas nu tiyang SD sesai san maplaliyan ring carik nepukin panak capung. Nanging yen jani tiyang ke carik, suba bedik tiyang nepukin panak capung...”

‘…dulu waktu SD saya sering bermain di sawah melihat anak capung. Tapi jika sekarang saya ke sawah, sudah sedikit saya melihat anak capung…’

Berdasarkan tuturan generasi muda di atas, ditemukan pengaruh bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali yang ditemukan pada leksikon blauk ‘anak capung’.

  • 10.    Leksikon Kakul ‘Keong Sawah’

Dilihat dari bentuk, kakul ʻkeong sawahʼ termasuk bentuk tunggal, dalam istilah ekologi kakul tergolong biotik. Pengetahuan informan tentang kakul ‘keong sawah’ tersebut di atas menunjukkan tingkat keakraban informan dengan lingkungan persawahan di Ubud. Hubungan yang sangat dekat itu sudah tentu berdasarkan pengetahuan mendalam dan pengalaman yang bermakna, hasil interaksi, interelasi dan interpedensi kuat. Hal ini terekam pula dalam tuturan Bapak Made Lebih berikut ini.

“...masyarakat driki biasané ngolah kakul anggén makanan, termasuk tiyang. Tiyang biasané ngolah tutut anggén jukut nanging sadurung masak cangkangné kelés tiyang dumun. Wénten masi nak ngolah tutut langsung sareng cangkangné...”

‘…masyarakat di sini biasanya mengolah keong sawah sebagai makanan, termasuk saya. Saya biasanya mengolah keong sawah sebagai sayur, tetapi sebelum dimasak cangkangnya saya lepas terlebih dahulu. Ada juga orang yang mengolah keong sawah langsung bersama dengan cangkangnya…’

Dalam penelitian ini, ditemukan adanya pergeseran pengetahuan leksikon

dalam bahasa Bali oleh leksikon dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang generasi muda yang bernama Deva.

“...sing je nak lokal gén demen ngajeng kéong sawah, bulé sané mariki ke Ubud ada masé demen ngajeng keong sawah. Ulian béné sané kenyal tur rasané sané gurih dianggap jadi daya tarik kéong sawah...”

‘…tidak hanya orang lokal saja suka makan keong sawah, bule yang mengunjungi Ubud juga ada yang suka makan keong sawah. Karena dagingnya yang kenyal dan rasanya yang gurih dianggap menjafi daya tarik keong sawah…’

Berdasarkan tuturan generasi muda di atas, ditemukan pengaruh bahasa Indonesia ke dalam bahasa pada leksikon kakul ‘keong sawah’.

Faktor-Faktor Penyebab Leksikon-Leksikon Flora dan Fauna pada Lingkungan Persawahan

“Manusia mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan dan juga memelihara sumber daya alam dan lingkungannya” (Rasna, 2010). Perubahan suatu lingkungan dapat terjadi, baik secara alamiah maupun buatan, yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Perubahan khazanah leksikon flora dan fauna bahasa Bali pada guyub tutur yang tinggal di lingkungan persawahan Ubud dipengaruhi beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.

  • 1.    Perubahan Fisik Lingkungan

Persawahan di Ubud

Banyaknya lingkungan persawahan yang beralih fungsi dari lahan pertanian menjadi lahan pariwisata yang digunakan untuk pembangunan hotel, resort, kafe, restoran, atau vila. Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas tanah, air, serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya

terhadap penggunaan lahan (Luttfi, 2012). Perubahan fisik lingkungan persawahan Ubud tersebut merupakan faktor yang melatari perubahan pengetahuan guyub tutur bahasa Bali yang memberikan pengaruh adanya perubahan dinamika khazanah leksikon persawahan Ubud.

  • 2.    Kerusakan Ekosistem di Persawahan Ubud

Ekosistem sawah diartikan sebagai interaksi makhluk hidup di lingkup persawahan. Komponen dalam ekosistem dimulai dari individu, populasi, dan komoditas. Ekosistem persawahan jika ditinjau dari segi teoretik adalah jenis ekosistem yang tidak stabil. Ada banyak faktor yang memengaruhi kestabilan dari ekosistem sawah ini, antara lain interaksi antara komponen ekosistem di dalam sawah itu sendiri. Komponen dalam ekosistem sawah mencakup semua komponen biotik dan abiotik yang ada di dalam lingkungan sawah itu mulai dari tanah, air, hingga hama.

  • 3.    Ketakterwarisan Leksikon Flora dan Fauna Persawahan di Ubud

Pengalaman-pengalaman penutur generasi tua tidak terwariskan kepada generasi muda, terlihat dari ketidaktahuan guyub tutur generasi muda terhadap leksikon-leksikon flora dan fauna yang hidup di lingkungan persawahan melalui nama leksikon flora atau fauna, misalnya flora padang getap ‘putri malu’ dan fauna pacet ʻlintahʼ. Ketakterwarisan terjadi bisa juga disebabkan oleh hilangnya referen entitas di lingkungan persawahan Ubud sehingga guyub tutur generasi muda tidak memiliki pengetahuan leksikon karena tidak dapat membayangkan apalagi mendeskripsikan leksikon flora dan fauna yang ada di lingkungan persawahan Ubud.

  • 4.    Terjadi Perubahan Bahasa

Arus global berimbas pada penggunaan bahasa terutama bahasa daerah. “Penggunaan bahasa di dunia maya,” seperti “internet, Facebook” memberikan “banyak perubahan bagi struktur bahasa” daerah “yang oleh beberapa pihak disinyalir merusak bahasa itu sendiri.” Berlandasan “alasan globalisasi dan prestise, masyarakat mulai kehilangan rasa bangga menggunakan bahasa” daerah. “Dalam prinsip keseimbangan ekologi kebahasaan, adalah kenyataan bahwa pembelajaran bahasa di Indonesia sangat tidak berimbang,” termasuk minat mempelajari bahasa-bahasa daerah semakin sepi (Mbete, 2017). Terjadinya “perubahan bahasa dapat diketahui terutama pada bahasa-bahasa yang telah memiliki tradisi tulis dan mempunyai dokumen-dokumen “tertulis dari masa lampau (Chaer” & Agustina, 2004). “Perubahan bahasa lazim diartikan sebagai adanya perubahan kaidah, entah kaidahnya itu direvisi, kaidahnya menghilang, atau munculnya kaidah baru.” “Perubahan bahasa dapat terjadi akibat terjadinya proses penyerapan” leksikon “bahasa Indonesia. Masuknya kata-kata asing menyebabkan terjadinya dua macam perubahan, yakni perubahan bentuk kata-kata yang masuk dalam rangka penyesuaian dengan kaidah bahasa penerima dan perubahan kaidah bahasa penerima, dalam rangka menampung unsur yang datang dari luar” tersebut. Bahasa berkembang secara dinamis seiring perkembangan sosial-budaya masyarakat bahasa (speech community) itu sendiri (Santosa, 2017).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, satuan-satuan lingual khazanah leksikon flora dan fauna di lingkungan persawahan Ubud dilihat berdasarkan bentuk dapat diklasifikasikan atas

leksikon bentuk tunggal dan bentuk kompleks. Bentuk tunggal, seperti padi, jagung, padang, lindung, bikul. Bentuk kompleks terbagi atas kelompok leksikon kata ulang dan kata majemuk. Bentuk ulang seperti jali-jali, kapu-kapu, kunang-kunang, yuyu, sedangkan yang termasuk kata majemuk, seperti padang gajah dan capung bangkok. Kedua, Leksikon flora dan fauna di lingkungan persawahan Ubud dalam bahasa Bali mulai dipengaruhi oleh bahasa Indonesia. Pengaruh bahasa Indonesia tersebut terjadi pada guyub tutur generasi muda yang banyak ditemukan pada leksikon flora, seperti leksikon ambengan, padang getap, keladi, piduh-piduh, dan ligundi, sedangkan pada leksikon fauna, seperti pacet, blecing, yuyu, blauk, dan kakul. Guyub tutur generasi muda lebih banyak mengetahui nama leksikon flora dan fauna dalam bahasa Indonesia daripada bahasa Bali. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya frekuensi penggunaan bahasa lokal masyarakat Ubud karena telah dipengaruhi oleh bahasa Indonesia termasuk pengguaan leksikon flora dan fauna di persawahan. Ketiga, Faktor-faktor penyebab banyaknya leksikon-leksikon flora dan fauna pada lingkungan persawahan di Ubud dipengaruhi oleh bahasa Iandonesia, yaitu perubahan fisik lingkungan persawahan Ubud, kerusakan ekosistem di persawahan Ubud, ketakterwarisan leksikon flora dan fauna oleh penutur tua untuk penutur muda di lingkungan Ubud, dan terjadi perubahan bahasa.

Beberapa hal masih perlu diperhatikan untuk mencapai hasil penelitian yang baik. Dengan demikian, terdapat beberapa saran yang perlu diperhatikan. Pertama, pendokumentasian kembali secara lebih tuntas pengetahuan leksikon flora dan fauna pada lingkungan persawahan di Ubud sangat diperlukan. Selain untuk kepentingan akademis, pendokumentasian dilakukan untuk mengetahui gambaran tentang kondisi

lingkungan persawahan Ubud sebelum perubahan lingkungan sampai sekarang. Kedua, penelitian ini masih sangat sederhana, hanya terbatas pada leksikon flora dan fauna itu sendiri. Masih banyak yang belum diteliti. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai leksikon flora dan fauna khususnya di persawahan, secara menyeluruh, misalnya berbagai aktivitas, proses, dana olahan terkait dengan flora dan fauna. Atau mungkin juga leksikon tentang sawah itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Casson, Ronald W. (1981). Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan USA.

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. (2004). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Edisi Revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. (2008). Morfologi Bahasa Indonesia:  Pendekatan Proses.

Jakarta: Rineka Cipta.

Kridalaksana, Harimurti.     (1989).

Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

Luttfi, Muta’ali. (2012). Daya Dukung Lingkungan untuk Perencanaan Wilayah.    Yogyakarta:   Badan

Penerbit    Fakultas    Geografis

(BPFG) Universitas Gadjah Mada.

Mahayana, I. M A., Sukiani, N. K., Suwendri, N. M., Winaya, M. D. (2019). Leksikon-Leksikon Flora dalam Metafora Bahasa Bali: Kajian             Ekolinguistik”.

KULTURISTIK:  Jurnal Bahasa

dan Budaya, 3(2).

Mbete, A. M. (2017). Pembelajaran Bahasa Berbasis Lingkungan: Perspektif           Ekolinguistik.

RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 1(2).

Nazir. (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

“Rajistha, I. G.   N. A.”   (2017).

“Beblabadan Bahasa Bali dalam Perspektif”          Ekolinguistik.

RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 2(1).”

Rasna, I. W. (2010). Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan:    Sebuah Kajian

Ekolinguistik. Jurnal Bumi Lestari, 10(2).

Rasna, I. W., & Binawati, N. W. S. (2013). Pengetahuan Tanaman Obat Tradisional untuk Penyakit Anak pada Komunitas Remaja di Bali: Sebuah Kajian Ekolinguistik. Jurnal Bumi Lestari, 13(1).

Rasna, I. W., & Binawati, N. W. S. (2014). Keterampilan Mengolah Tanaman Obat Tradisional untuk Penyakit Anak pada Komunitas Remaja Bali:   Sebuah Kajian

Ekolinguistik. Jurnal Bumi Lestari, 14(1).

Santosa, W. J. (2017). “Analisis Sosio-Ekono-Ekolinguistik     terhadap

Pemertahanan          Tanaman

Tradisional untuk Bumbu Masak bagi Mahasiswi di Kota Semarang. JP-BSI (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), 2(2).”

Sudaryanto. (1988). Metode Linguistik: Bagian Pertama ke Arah Memahami  Metode Linguistik.

Yogyakarta:    Gadjah    Mada

University Press.

Sudaryanto. (2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

Suktiningsih, Wiya, 2016 Leksikon Fauna Masyarakat Sunda: Kajian Ekolinguistik. Retorika:   Jurnal

Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 138-156

“Suweta, I. M. (2013). Revitalisasi Istilah Tumbuh-Tumbuhan Langka dalam Pengajaran Bahasa Bali, sebagai Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup (Kajian Ekolinguistik). Jurnal Bumi Lestari, 13(1).”

Utami, Wulan. (2015). “Dinamika Khazanah Leksikon Kesungaian pada Guyub Tutur Bahasa Bali di Bantaran Tukad Badung Denpasar” (tesis). Denpasar:    Universitas

Udayana.

Widarsini, Ni Putu N. (2021) “Khazanah Leksikon Tradisi Penangkapan Ikan Paus dalam Novel Suara Samudra Karya Maria Matildis Banda: Kajian Ekolinguistik.” Dalam Jurnal Humanis Vol. 25 No 1 202, hlm. 36—43