GENDING-GENDING RARE DI DESA BALI AGA DI KABUPATENKARANGASEM ANALISIS MAKNA
on
GENDING-GENDING RARE DI DESA BALI AGA
DI KABUPATENKARANGASEM ANALISIS MAKNA
Ni Luh Putu Darmawati
Program Studi Sastra Bali Fakultas Sastra Unud
Abstrak
Research on Rare Gending-Gending Bali Aga village in Karangasem regency has the goal to describe the meaning of Yanga are in the rare gising. The theory used is semiotik.Teori semiotic theory applied that theory to explore the meaning of Saussure is in gending rare.The study was conducted by using method sand techniques that are divided into three stages:(1) Stag eprovision of data using observational methods to observe gending rare in the field, consider the method proposed by Sudaryanto accompanied by refer-free techniques involved conversation(SBLC), method of conversation with fishing techniques, methods of interview swith recording techniques, technical translation, and technical notes.(2) phase of the data analysisis done by reading the data followed a descriptive analytic method proposed by Ratna, classification, accompanied by quantitative and qualitative methods by Sugiyono. (3) Stage presentation of the data using informal methods of Sudaryanto data to formulate words.The results obtained on gending rare covering the meaning contained meaning struggle, the meaning of culture, magical, loving environment, and harmony.
Keywords : Gending Rare, Bali Aga, meaning.
Gending berarti lagu, tabuh, nyanyian, sedangkan Rare berarti bayi/ kanak-kanak, Gending Rare berarti nyanyian untuk bayi/ kanak-kanak. Gending Rare diketahui sebagai salah satu dari beberapa karya sastra yang diungkapkan secara lisan. Melihat dari pandangan diatas gending rare selain sebagai bagian dari tembang, gending rare juga termasuk ke dalam sastra lisan yaitu gegendingan dan juga folklor lisan terutama pada nyanyian rakyat. Tujuan orang tua menyanyikan anaknya untuk menghibur dan mengiringi si anak saat akan tidur, selain itu juga untuk menyampaikan pesan-pesan, petuah yang mendidik si anak agar berprilaku dan bermoral yang baik.
Gending Rare diwariskan secara turun-temurun dari mulut ke mulut kepada anak-anak yang masih kecil melalui media bahasa yang dalam hal ini dinyanyikan dihadapan si anak agar bisa diresap didalam pikiran, dinikmati, dan
diingat sampai tua nantinya. Gending Rare tidak terikat akan aturan-aturan namun harus dinyanyikan berdasarkan irama yang telah ditentukan.Menghindari hilangnya warisan budaya Bali mengenai gending rare yang ada sejak dahulu kala perlu kiranya dilakukan penelitian di masyarakat. Adapun penelitian yang dilakukan yaitu mengenai bentuk, fungsi, dan makna gending rare di desa Bali Aga di Kabupaten Karangasem dengan pertimbangan sebagai berikut.
Masyarakat Bali Aga di Kabupaten Karangasem masih menggunakan dialek Bali Aga yang kental dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Banyaknya gending rare yang tidak diwariskan dan jarang digunakan oleh masyarakat. Gending rare yang diwariskan dahulu banyak yang terlupakan dan masih beberapa saja yang masih diingat oleh masyarakat. Gending rare dianggap sebagai nyanyian biasa yang tidak mempunyai fungsi dan makna apapun bagi masyarakat yang tidak mengetahuigending rare. Masyarakat yang ada di desa yang mengetahui gending rare tidak ada yang menginventarisasikan dalam bentuk buku maupun rekaman yang dikarenakan alat perekam yang tidak mendukung. Sedikitnya penelitian ilmiah mengenai tradisi lisan terutama mengenai gending rare yang berada di masyarakat. Sejauh ini belum ada yang pernah meneliti gending rare di desa Bali Aga Kabupaten Karangasem. Tidak adanya penelitian mengenai bentuk, fungsi, dan makna secara khusus mengenai gending rare. Berdasarkan hal tersebut diatas dilakukan penelitian mengenai gending - gending rare di desa Bali Aga di Kabupaten Karangasem sebagai berikut :
Makna apa sajakah yang terkandung dalam Gending-gending Rare di desa Bali Aga di Kabupaten Karangasem?
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian Gending - gending Rare di desa Bali Aga di Kabupaten Karangasem yaitu tujuan umum dan tujuan khusus diantaranya : tujuan umumnyayaitu 1) Menyelamatkan tradisi lisan kebudayaan lokal masyarakat Bali tempo dulu. 2) Menginventarisasi Gending-gending Rare yang didapat agar ada bukti yang bisa dilihat dalam bentuk tulisan dan bisa
didengarkan dalam bentuk rekaman. 3). Melestarikan Gending-gending Rare yang berada dalam masyarakat agar tidak punah begitu saja. Sedangkan, tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian Gending-gending Rare di desa Bali Aga di Kabupaten Karangasem yaitu : Menjelaskan makna yang terkandung dalam Gending-gending Rare di desa Bali Aga di Kabupaten Karangasem.
Penyediaan data diawali dengan metode observasi untuk mengamati gending rare selanjutnya terjun ke lapangan mencari informan untuk dintanyai. Selanjutnya metode simak untuk menyimak gending raredisertai teknik simak bebas libat cakap (SBLC). Metode yang selanjutnya yaitu metode Cakap untuk mengawali bercakap-cakap dengan informan diikuti dengan teknik pancing untuk memancing informan. Metode wawancara diikuti teknik catat untuk mencatat data dan informasi lainnya. Selanjutnya teknik rekam untuk merekam gending rare yang didapat dan hal-hal lain yang berkaitan dengan gending rare dengan menggunakan handphone yang berisi perekam suara. Data yang terekam kemudian didengarkan ditranskripsi dilanjutkan dengan teknik terjemahan, data diterjemahkan dari bahasa Bali ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Tahap analisis memakai metode deskriptif analitik. Metode deskriptif analitik untuk mendeskripsikan atau menguraikan data (Ratna, 2010: 53). Metode kuantitatif untuk menjawab masalah dan metode kualitatif untuk mendeskripsikan masalah, memilah-milah data dan menguraikan masalah secara rinci. Tahap penyajian hasil analisis yang telah dilakukan dengan metode informal. Metode informal yaitu perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993 : 145). Selain itu menggunakan metode deduktif dan induktif yaitu penyajian dalam bentuk kata-kata yang disajikan dari umum ke khusus.
Makna berkaitan dengan simbol yaitu mengacu pada hal-hal yang baik, nilai yang dipersepsi oleh masyarakatnya sebagai suatu yang berharga dan bernilai positif dalam kehidupan (Suastika, 2011 : 33). Karya sastra seperti gending rare
tidaklah hanya sebatas nyanyian belaka, namun sesungguhnya memiliki makna dan pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang untuk masyarakat.Adapun makna-makna yang dimaksud antara lain :
Perjuangan sesungguhnya merupakan langkah untuk menuju keadilan dan kemenangan/kemerdekaan. Dalam Gending Rare juga ada disebutkan perjuangan para pemuda dalam berperang, hal tersebut dapat dilihat pada Gending Pring Pendek seperti :
Pring pendek |
Pring pendek |
lambang mati |
sebagai lambang kematian |
pekat nunggu mati |
burung kakak tua menunggu yang mati |
taruna magenturan |
para pemuda geger |
rabu rana rabu cebluk |
di medan perang saling pukul |
manemu mati sopo |
pada akhirnya meninggal. |
Dalam gending tersebut menyatakan para pemuda serentak dan berani melawan dalam perang sampai saling pukul dilakukan. Sebagai anak kecil yang nantinya akan menjadi seorang pemuda pemudi agar mempunyai jiwa pemberani, semangat tinggi, pantang menyerah dalam memperjuangkan kebenaran. Menjadi seorang pemuda pemudi nantinya patut memperjuangkan tujuan bersama dengan bertindak bersama-sama.
Koentjaraningrat membagi wujud kebudayaan menjadi tiga yaitu 1) Suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan 2) Suatu kompleks aktivitas atau kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, 3) Suatu benda-benda hasil karya manusia (2004 : 5). Gending-gending yang mempunyai makna budaya yaitu pada gending Bantal Siu seperti :
Bantal siu cerorote limangatus eda pajotjotang dadong duen pajojotin tuyuh ngempu uling cenik kancang tua
Jajan bantal seribu cerorotnya limaratus jangan memberi orang lain berikanlah nenek payah mengasuh dari kecil sampai besar
Nyanyian tersebut mengharapkan pelestarian makanan tradisional karena itu sebagai hasil kreativitas seseorang dahulu yang sudah melekat dalam masyarakat. Sebagai masyarakat yang berbudaya harus cinta dan bisa menikmati makanan tradisional tersebut. Hal tersebut memberi pesan bahwa sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan penting saling jotin (beri-memberi) selain melestarikan budaya Bali juga mempererat rasa kekeluargaan dan kebersamaan.
Perlindungan sangat diperlukan oleh semua orang agar tidak ada yang berani mengganggu kapanpun dan dimanapun kita berada. Perlindungan dilakukan oleh setiap orang dengan berbeda-beda cara tergantung kepercayaan masing-masing orang. Ada hal lain yang dilakukan oleh orang tua untuk
melindungi anaknya ketika masih kecil
seperti :
Maskumambang
capung barak dadi kuning de mangulgul titiang tiang kari bajang cenik durung pantes ngempu raga
yaitu dengan gending Capung Barak
Maskumambang
capung merah menjadi kuning
jangan mengganggu saya
saya gadis kecil
belum bisa menjaga diri
Gending tersebut dinyanyikan mewakili seorang anak agar ia selalu dalam keadaan baik karena masih kecil. Selain itu juga sebagai pertanda bahwa seorang ibu ingin melindungi anaknya dari hal-hal negatif. Perlindungan yang dilakukan tersebut penting diikuti dan pahami oleh ibu-ibu yang mempunyai anak masih kecil maupun kaula muda yang akan menjadi seorang ibu karena bahaya kapan saja bisa datang menghampiri kita. Gending tersebut juga bermaksud agar orang tua selalu melindungi dan menjaga anaknya dengan baik.
Menurut Setiadi Lingkungan adalah suatu media dimana makhluk hidup tinggal, mencari, dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang mana terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks dan riil
(Herimanto,dkk, 2010: 173).Dibawah ini ada nyanyian anak yang
menggambarkan masyarakat yangmencintai lingkungan yaitu pada gending Alas
Agung seperti :
Anak cenik
maumah ring alas agung cotane mapeed
jejambulan ampas pakel kejat kejit
matane celong ke tengah
Anak kecil tinggal di hutan besar ekornya panjang terurai jambulnya keras kejat kejit matanya cekung kedalam
Sebagai makhluk hidup yang sama-sama hidup di bumi ini masyarakat diharapkan bisa mengenal apa yang ada di sekitar lingkungan hidupnya. Manusia, binatang sudah mempunyai tempat tersendiri dan ditakdirkan untuk hidup saling menghargai, menghormati dan menyayangi satu sama lainnya. Kecintaan masyarakat dahulu terhadap lingkungan sangat besar itu terlihat dengan dibiarkannya binatang seperti monyet hidup berkeliaran didalam hutan dengan binatang lainnya selama mereka tidak mengganggu kehidupan masyarakat. Dalam gending ini diharapkan manusia tidak merusak lingkungan terutama hutan karena hutan menjadi salah satu tempat hidup para binatang.
Herimanto,dkk (2010: 176) mengatakan antara manusia, masyarakat, dan lingkungan hidup terdapat hubungan timbal balik, yang selalu harus dibina dan dikembangkan agar dapat tetap dalam keselarasan, keserasian, keseimbangan yang dinamis. Hubungan tersebut terlihat pada gending goak maling taluh seperti :
Goak - goak mamaling taluh gedang renteng kayu lengkong enyen to be dauh
nandang celeng nyangkil meong
Burung gagak mencuri telur pepaya renteng kayunya lengkong siapa itu di barat
menuntun babi menggendong kucing
Hubungan yang selaras antara manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang tidak pernah bisa dilepaskan dan bisa terjadi pada siapapun. Gending tersebut memperlihatkan bahwa didunia ini tidaklah hanya ada manusia, tetapi juga tumbuh-tumbuhan dan binatang yang bisa diajak berinteraksi setiap hari. Hal yang bisa dipetik dari gending tersebut ialah hubungan yang selaras seperti tersebut janganlah pernah dilupakan, tetaplah bina untuk selamanya.
Berdasarkan analisis Makna Gending Rare yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa makna Gending Rare terdiri dari makna perjuangan pada gending Pring Pendek, makna budaya pada gending bantal siu, makna magis pada gending capung barak, makna cinta lingkungan pada gending alas agung, dan makna keselarasan pada gending goak maling taluh.
Herimanto, dk. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Bumi Aksara.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suastika. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satwa) di Bali Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna. Denpasar : Pustaka Larasan.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa .Yogyakarta : Duta Wacana University Press.
7
Discussion and feedback