Analisis Teks Satua Pan Angklung Gadang: Kajian Amanat
on
HUMANIS
Journal of Arts and Humanities
p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X
Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019
Vol 25.1 Februari 2021: 52-60
Analisis Teks Satua Pan Angklung Gadang: Kajian Amanat
Ni Luh Putu Dina Widasari, Tjok Istri Agung Mulyawati
Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia
Correspondence e-mail: [email protected] , [email protected]
Info Artikel
Abstract
Masuk: 3 November 2020
Revisi: 30 Desember 2020
Diterima: 5 Januari 2021
Keywords: satua, structure,
instruction.
This research is entitled “Amanat Teks Satua Pan Angklung Gadang: Suatu Pendekatan Moral”. This research has function to describe the structure and analyze the instruction appeared on the Teks Satua Pan Angklung Gadang. Data equipping stage used collect-method with record and translate techniques. Data analyze stage used qualitative method. In this stage, the research is supported also with analytical descriptive technique. The method which is used in presentation of data analyzed result is informal method which is supported by deductive and inductive techniques.The result of this research has been showing: there are six analyzed structure which is build Teks Satua Pan Angklung Gadang. They are incident, plot, characters, characterization, setting, theme, and the instruction was analyzed on the different sub-chapter. The plot of Teks Satua Pan Angklung Gadang consist of three plots and all of them are straight plot. Characterization of it describe by the main character from sociological, psychological, and physiological, aspects with setting of the place, time, and atmosphere, along with social criticism as the theme, the instruction which is contained in Teks Satua Pan Angklung Gadang are moral value of honestly, loyality, karmaphala, leadership, ingenuity, and responsibility.
Kata kunci: satua, struktur, amanat
Abstrak
Penelitian ini berjudul “Amanat Teks Satua Pan Angklung Gadang : Suatu Pendekatan Moral”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur yang membangun Teks Satua Pan Angklung Gadang dan mengkaji serta menganalisis amanat yang terdapat di dalam Teks Satua Pan Angklung Gadang. Metode yang digunakan dalam tahap penyediaan data adalah metode simak dengan menggunakan teknik pencatatan dan teknik terjemahan. Selanjutnya dalam tahap analisis data menggunakan metode kualitatif. Dalam tahapan ini, didukung dengan teknik deskriptif analitik. Pada tahapan penyajian hasil analisis data, metode yang digunakan adalah metode informal, dibantu teknik deduktif dan teknik induktif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: analisis struktur yang membangun Teks Satua Pan Angklung Gadang ada enam yaitu insiden, alur, tokoh dan penokohan, latar, tema dan amanat dikaji dalam sub-bab yang berbeda. Alur dalam Teks Satua Pan Angklung Gadang terdiri dari tiga alur dan ketiganya merupakan alur lurus, tokoh
dan penokohan digambarkan oleh tokoh utama dari segi sosiologis, psikologis, dan fisikologis dengan latar tempat, latar waktu, dan latar suasana, bertemakan kritik sosial, amanat yang terdapat dalam Teks Satua Pan Angklung Gadang yaitu: amanat tentang kejujuran, amanat tentang kesetiaan, amanat tentang karmaphala, amanat tentang kepemimpinan, amanat tentang kecerdikan, dan amanat tentang rasa tanggung jawab.
PENDAHULUAN
Kesusastraan secara umum dibagi menjadi dua yaitu sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan dimaksudkan sebagai sastra yang hidup secara lisan, yaitu sastra yang tersebar dalam bentuk tidak tertulis, disampaikan dengan cara lisan dari generasi kegenerasi. Dalam hal, ini sastra lisan dibedakan dengan sastra tertulis, yaitu sastra yang diciptakan dan tersebar dengan tulisan (Junaini, 2017: 40).
Cerita rakyat sebagai salah satu bentuk sastra lisan seringkali mengungkapkan aspek sosial masyarakat pendukungnya atau yang melahirkannya. Demikian pula halnya dengan cerita rakyat Bali. Dalam cerita rakyat Bali senantiasa digambarkan berbagai latar sosial kemasyarakatan, sistem kepercayaan, dan budaya masyarakatnya. Di tengah modernisasi atau transformasi kultural di Bali, masyarakat selalu mengutamakan pelestarian budaya, dengan kata lain kultur Bali tidak ditinggalkan (Suaka, 2018:3)
Cerita rakyat Bali sering disebut dengan satua. Satua menurut Bagus (1984: 4) adalah cerita prosa lisan yang diturunkan dari mulut ke mulut secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Secara etimologis, kata satua menurut bahasa tuturan masyarakat Bali berarti cerita. Nyatua berarti berbicara atau bercerita. Jadi, satua merupakan salah satu karya sastra Bali Purwa yang berbentuk prosa yang diwarisi secara lisan.
Ketika nenek moyang mewariskan kepada generasi berikutnya, mereka memilih cerita rakyat untuk menanamkan
etika. Mereka memilih cerita rakyat karena dalam cerita tersebut banyak mengandung adanya nilai-nilai yang luhur. Nilai-nilai luhur tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman hidup generasinya, seperti kejujuran, tanggung jawab, gotong-royong, disiplin, religi, dan sebagainya. (Kristianto, 2014: 60). Menurut Giddens (2005: 49) tradisi adalah sebuah orientasi ke masa lalu bahwa masa lalu memiliki pengaruh besar atau secara lebih akurat, tradisi dibuat memiliki pengaruh yang besar pada masa sekarang. Jarang sekali disampaikan bahwa cerita rakyat adalah sumber berbagai pengetahuan umum atau sosial mengenai masyarakat pemilik cerita. Kenyataan menunjukkan bahwa satua tidak saja mengandung kisah yang dituturkan tetapi berisi berbagai pengetahuan seperti pengetahuan tentang sejarah suatu tempat, pengetahuan cara membuat sesuatu atau barang, pengetahuan tentang hubungan antarmanusia di tempat cerita dikisahkan, atau pengetahuan tentang tradisi dan kepercayaan masyarakat yang dijadikan latar belakang cerita (Sari, 2019: 4).
Tradisi masatua merupakan warisan kebudayaan yang telah ada sejak lama. Tradisi masatua di Bali memiliki berbagai fungsi, antara lain diginakan untuk hiburan dalam mengisi waktu senggang, menyampaikan berbagai nilai kehidupan lewat tokoh-tokoh dan dialog-dialognya termasuk pula pesan agama dan moral sesuai cara-cara tokohnya menyampaikan masalah (Suastika, 2011: 1-2).
Setiap wilayah tentunya mempunyai cerita rakyat yang dituturkan secara lisan.
Cerita rakyat yang pada mulanya dilisankan selain berfungsi untuk menghibur, juga dapat memberikan pendidikan moral. Kemajuan jaman yang saat ini kiat pesat membuat bentuk-bentuk hiburannya menjadi lebih menarik seperti dalam berbagai jenis siaran melalui televisi, radio, surat kabar, dan lain sebagainya. Sebelum media cetak dan media elektronik (Jamilah,2017: 89).
Penelitian mengenai satua sudah barang tentu sering dilaksanakan, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk mengkaji satua Pan Angklung Gadang. Satua ini menarik untuk diteliti karena di dalamnya mengandung pesan moral yang dapat dijadikan cerminan dalam kehidupan. Satua Pan Angklung Gadang menceritakan tentang kehidupan tokoh yang bernama Pan Angklung Gadang dan diceritakan sebagai tokoh yang sangat cerdik dan kritis dalam berfikir. Berkat kecerdikannya perlahan-lahan Pan Angklung Gadang mampu memperdaya majikannya yang kejam, tetangganya yang kaya, pelit, serta culas. Pan Angklung Gadang memiliki banyak tipu daya yang bisa muncul kapan saja ketika Pan Angklung Gadang merasa dalam keadaan mendesak. Atas dasar itulah Pan Angklung Gadang bisa mendapatkan kekayaan dan melunasi semua hutang-hutangnya, serta mampu membalas perbuatan membuat orang-orang yang angkuh dan culas sehingga merasa malu setengah mati bahkan sampai tidak ingin berinteraksi lagi karena sadar akan sikap angkuh dan sombong yang dimilikinya.
METODE DAN TEORI
Pada tahap penyediaan data, metode yang digunakan adalah metode simak dibantu dengan teknik terjemahan dan teknik pencatatan, dalam hal ini terjemahan dilakukan secara harfiah dan idiomatik (Larson, 1989:17).
Pada tahap analisis data menggunakan metode kualitatif. Metode ini nantinya dibantu dengan teknik
deskriptif analitik yaitu dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang disusul dengan melakukan analisis (Ratna, 2004:53).
Pada tahap penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal. Metode ini ditunjang dengan teknik deduktif dan induktif. Teknik deduktif dan induktif bertujuan untuk memperjelas maksud atau sesuatu yang hendak dicapai serta perlu diperjelas lagi agar arah penulisan dapat mencapai sasaran yang diharapkan.
Teori struktural merupakan konsep dasar dalam menganalisis sebuah karya sastra. Karya sastra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah karya sastra bercorak cerita rakyat yang di dalamnya memuat teks cerita (Junaini, 2017: 41). Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda. Disamping sebagai akibat ciri-ciri interen tersebut, perbedaan unsur juga terjadi akibat perbedaan proses persepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan memiliki ciri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sesudah dikaitkan dengan hakikat objeknya (Ratna, 2009: 88-95).
Nugiantoro (1995: 37) menyatakan bahwa pada dasarnya analisis struktur bertujuan untuk memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antara berbagai unsur karya sastra yang secara bersama-sama menghasilkan sebuah keseluruhan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Struktur Teks Satua Pan Angklung Gadang
Struktur naratif yang membangun teks satua Pan Angklung Gadang meliputi insiden, alur (plot), tokoh dan
penokohan, latar, tema, dan amanat yang dikaji pada sub-bab berbeda.
Insiden adalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam sebuah cerita, tidak tergantung dari panjang atau pendeknya, yang secara menyeluruh membangun kerangka struktur cerita secara menyeluruh (Sukada, 1982:22). Teks satua Pan Angklung Gadang terdiri dari tiga puluh insiden yang dimulai ketika Pan Angklung Gadang menyiapkan kuda tunggangan raja, Lalu pada insiden kedua ketika raja berangkat ke gunung dan diiringi Pan Angklung Gadang, pada insiden ketiga ketika raja merasa kaget karena perlengkapan kuda miliknya jatuh namun tidak diambil oleh Pan Angklung Gadang, pada insiden keempat ketika raja menggerutu dan memerintahkan Pan Angklung Gadang mengambil apapun yang terjatuh selama perjalanan, pada insiden kelima ketika raja kembali pulang karena hari sudah senja, pada insiden keenam ketika raja dan Pan Angklung Gadang tiba di penghujung desa dan Pan Angklung Gadang menuruti perintah raja untuk memasukkan apapun ke dalam tas kompek, pada insiden ketujuh ketika raja duduk di singgasananya dan melihat tas kompeknya penuh berisi kotoran kuda, pada insiden kedelapan ketika Pan Angklung Gadang berharap mendapat lungsuran namun malah ditendang oleh raja, insiden kesembilan ketika Pan Angklung Gadang diperintahkan untuk mengiringi raja ke sungai untuk mandi, insiden kesepuluh ketika raja menjadi sangat marah dan memberhentikan Pan Angklung Gadang sebagai abdinya, pada insiden ke sebelas ketika Pan Angklung Gadang akan mengikuti rapat dan membayar hutangnya di banjar, insiden ke dua belas ketika Pan Angklung Gadang membuat warga terheran-heran karena melihat ia menghisap pantat anjing untuk mengeluarkan uang, insiden ke tiga belas ketika Pan Angklung Gadang menggunakan sisa uangnya
untuk membeli rujak, insiden ke empat belas ketika Ketika I Wayan Sebetan membujuk Pan Angklung Gadang agar bersedia menjual anjingnya, insiden ke lima belas ketika Pan Angklung Gadang teregar-egar membawa uang hasil penjualan anjingnya, insiden ke enam belas ketika I Wayan Sebetan memamerkan anjing ajaib yang dibelinya dari Pan Angklung Gadang kepada semua orang, insiden ke tujuh belas ketika I Wayan Sebetan mengulum pantat anjingnya agar bisa mengeluarkan uang untuk membayar makanan, insiden ke delapan belas ketika I Wayan Sebetan lari terbirit-birit ke sungai untuk membersihkan dirinya dari kotoran anjing yang memenuhi pakaiannya, insiden ke sembilan belas ketika Pan Angklung Gadang di datangi oleh juru arah untuk memberi tahu agar segera melunasi hutangnya jika tidak ingin rumahnya dijual, insiden ke dua puluh ketika Pan Angklung Gadang memiliki siasat untuk membuat sebuah tongkat dan seolah-olah menganggap tongkat tersebut sakti, insiden ke dua puluh satu ketika Pan Angklung Gadang telah selesai menyiapkan semua makanannya, insiden ke dua puluh dua ketika warga berduyun-duyun datang ke rumah Pan Angklung Gadang menuntut rumahnya agar segera dijual, insiden ke dua puluh tiga ketika Jero Kelian menyampaikan maksud kedatangannya bersama warga ke rumah Pan Angklung Gadang, insiden ke dua puluh empat ketika Pan Angklung Gadang meminta jangka waktu agar bisa mengumpulkan uang untuk membayar semua hutangnya, insiden ke dua puluh lima ketika Jero Kelian dan seluruh warga dijamu oleh Pan Angklung Gadang dengan cara mengambil tongkat yang dipolesinya dan mengambil pasepan, insiden ke dua puluh enam ketika Pan Angklung Gadang seolah-olah membaca mantra memohon agar dianugrahi makanan yang melimpah untuk menjamu seluruh warga, insiden ke
dua puluh tujuh ketika I Giur melihat tongkat sakti milik Pan Angklung Gadang dan tertarik untuk memilikinya karena akan mengadakan acara matatah untuk anaknya, insiden ke dua puluh delapan ketika I Giur ingin menguji kesaktian tongkat yang dibelinya dari Pan Angklung Gadang, insiden ke dua puluh Sembilan ketika I Giur merasa kecewa dan sangat sedih karena telah diperdayai oleh Pan Angklung Gadang sehingga tidak bisa menjamu tamu undangannya, dan insiden ketiga puluh ketika I Giur merasa sangat menyesal karena terlalu sombong dan pelit serta selalu menginginkan barang yang dimiliki oleh orang lain, sehingga I Giur harus merasakan kesengsaraan yang tiada tara.
Alur merupakan suatu proses sambung-sinambungnya sebuah peristiwa berdasarkan sebab akibat. Alur bukan hanya mengemukakan apa yang terjadi, melainkan juga menunjukkan mengapa hal itu terjadi (Yanti, 2018: 4). Teks Satua Pan Angklung Gadang memiliki tiga alur, dan ketiganya merupakan alur lurus serta digambarkan secara beruntun dan bergulir dari satu situasi ke situasi lainnya. Dalam Teks Satua Pan Angklung Gadang terdapat lima tahapan alur di masing-masing situasinya yang diawali dengan tahap penyituasian (situation), selanjutnya yaitu tahap pemunculan konflik (generating circumstances), adapun tahapan selanjutnya yaitu tahap peningkatan konflik (rising action), selanjutnya tahap klimaks (climax), dan terakhir tahap penyelesaian (denouement).
Abrams (dalam Nurgiyantoro 2010:165) menyatakan bahwa, tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan, sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh disebut penokohan. Penokohan
atau karakter adalah pengembang watak yang meliputi pandangan pelaku, keyakinan, dan kebiasaan yang dimiliki para tokoh yang mempunyai tempat tersendiri dalam suatu karya sastra. Karakter tokoh atau pelaku dapat dikenal watak yang lewat penggambaran baik yang dilakukan pengarang, pencerita maupun oleh pelaku. Dalam teks satua Pan Angklung Gadang terdapat sebelas tokoh, serta tokoh dan penokohan dalam teks satua Pan Angklung Gadang dibagi menjadi tiga yaitu tokoh utama (central figure) adalah Pan Angklung Gadang yang digambarkan dengan dimensi struktur fisiologis, sosiologis, dan psikologis , tokoh sekunder yaitu Baginda Raja, I Wayan Sebetan, serta I Giur, serta tokoh komplementer yaitu istri Pan Angklung Gadang, Jero Kelian, I Sendi, I Tampul, I Lambang, krama banjar, dan juru arah.
Latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu atau yang bersifat fisik semata. Latar bisa berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2012: 217 - 218). Latar yang terdapat dalam teks satua Pan Angklung Gadang yaitu latar tempat, latar waktu dan latar suasana.
Latar tempat meliputi di desa anu, di balai, di sungai, di bebatuan di tengah sungai, di rumah Pan Angklung Gadang, di banjar, di bawah pohon, di rerumputan, di dapur. Latar waktu meliputi pada suatu hari, pagi hari, dua hari berikutnya, sore hari, pukul tiga sore, enam bulan, lima hari lagi. Latar suasana meliputi suasana marah, suasana senang, suasana gaduh, suasana sedih, suasana kesal, suasana membingungkan, dan suasana memalukan.
Menurut Sudjiman (1992), tema adalah gagasan atau ide yang dipilih oleh pengarang sebagai dasar dalam menyusun cerita. Hal ini menegaskan bahwa tema adalah pokok pikiran atau
persoalan yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui jalinan cerita yang dibuatnya. Adapun tema yang terdapat dalam teks satua Pan Angklung Gadang yaitu “Kritik Sosial” fenomena yang terjadi pada masyarakat Bali saat ini yang dicerminkan melalui teks satua Pan Angklung Gadang dimana kritik sosial yang menyangkut gaya kepemimpinan, kritik sosial mengenai tindakan penyuapan, kritik sosial mengenai sikap angkuh dan acuh, serta sindirian langsung pada masyarakat Bali saat ini yang hanya menginginkan kemudahan tanpa bekerja keras.
Analisis Amanat Teks Satua Pan Angklung Gadang
Menurut Kridalaksana (2008: 13), amanat merupakan keseluruhan makna atau isi suatu wacana: konsep dan perasaan yang hendak disampaikan pembicara untuk dimengerti dan diterima pendengar. Sebuah karya sastra ada kalanya memberikan sebuah ajaran moral, atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang itulah yang disebut dengan amanat. Adapun amanat yang terdapat dalam teks satua Pan Angklung Gadang yaitu amanat tentang kejujuran, kesetiaan, karmaphala, kepemimpinan kecerdikan, serta rasa tanggung jawab.
Amanat tentang kejujuran dalam teks satua Pan Angklung Gadang digambarkan melalui tokoh Pan Angklung Gadang itu sendiri. Memaknai pemahaman mengenai kejujuran, prilaku jujur, menyatakan apa adanya, terbuka, konsisten antara apa yang dikatakan dan dilakukan, berani karena benar, dapat dipercaya (amanah), dan tidak curang dalam segala sesuatu. Tanggung jawab, melakukan tugas sepenuh hati, bekerja dengan etos kerja yang tinggi, berusaha keras untuk mencapai prestasi terbaik (giving the best), mampu mengontrol diri dan mengatasi stres, berdisiplin diri, akuntabel terhadap pilihan dan keputusan
yang diambil (Fatimah, 2018:2). dalam menjalani kehidupannya Pan Angklung Gadang walaupun bertingkah seolah-olah seperti orang bodoh namun Pan Angklung Gadang selalu menerapkan kejujuran dalam kehidupannya. Seperti ketika Pan Angklung Gadang mengakui bahwa ia melihat perkakas kuda yang jatuh namun tidak diambilnya, serta Pan Angklung Gadang masih ingat memiliki denda dan akan membayarnya saat rapat.
Trisna (2013:3) menyatakan bahwa karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), keterampilan (skills), dan keyakinan (beliefs). Cerita rakyat selain sebagai sarana penanaman nilai-nilai dan karakter juga menambah pengetahuan serta merangsang kreativitas anak melalui imajinasi dan cara berpikir kritis melalui rasa penasaran akan jalan cerita dan metafora-metafora yang terdapat di dalamnya. Cerita tidak hanya berperan dalam penanaman pondasi keluhuran budi pekerti, tetapi juga memiliki andil dalam pembentukan karakter yang baik sejak dini (Indiarti, 2017: 30). Adapun kaitannya dengan amanat mengenai kesetiaan, tercermin dalam keadaan Pan Angklung Gadang yang bekerja sebagai abdi raja serta selalu mematuhi apapun perintah yang diberikan oleh raja. Dalam hal ini ajaran mengenai kesetiaan (setia kepada raja) terdapat pada ajaran satya yang artinya setia, jujur, dan benar sehingga menyebabkan orang lain menjadi senang.
Amanat tentang karmaphala menurut pendapat Utama (2017: 5) mengatakan bahwa keberagamaan itu saling terkait antara hal-hal yang bersifat normatif dengan dimensi kehidupan yang bersifat praksis aktual, baik pada level individual maupun kolektif. Agama dalam hal ini memiliki posisi sentral terutama berkaitan dengan pembentukan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang dalam praktiknya tidak jarang ditemukan saling berbenturan antara yang satu
dengan yang lain. Agama diharapkan mampu menjadi pendamai dalam paradoksal kehidupan nilai dan norma dalam tataran yang paling sublim karena selain agama manusia tidak lagi memiliki keyakinan tempat menyandarkan nilai kehidupan yang terakhir. Dalam hal ini ditegaskan melalui tindakan-tindakannya yang akan selalu memiliki buah hasil perbuatan. Kaitannya dengan teks satua Pan Angklung Gadang, karmaphala digambarkan melalui tokoh Pan Angklung Gadang, I Wayan Sebetan, dan I Giur mengenai tindakan-tindakan dan prilaku yang dilakukan oleh ketiga tokoh tersebut akan memberikan dampak atau hasil perbuatan yang akan. Maka dari yang telah dijelaskan di atas, yang diemban oleh cerita tersebut, lahirnya cerita rakyat sejalan dengan pewarisan kebudayaan (dalam hal ini budaya untuk selalu berbuat yang baik agar terhindar dari karma buruk) (Gusnetti, 2015: 190).
Amanat tentang kepemimpinan jika dikaitkan dengan pandangan sosial, dalam cerita ini seolah ingin menunjukkan bahwa boleh saja manusia memanfaatkan hasil alam dan memanfaatkan kekayaan yang ada namun, yang harus selalu diingat adalah bahwa lingkungan juga merupakan sekumpulan organisme yang mampu bereaksi jika ada aksi terhadapnya, mampu mempertahankan diri (Amanat , 2016: 160). Salah satunya dengan mengamalkan ajaran Asta Bratha yang dalam agama Hindu berarti delapan sifat kepemimpinan. Kepemimpinan itu sendiri merupakan suatu nilai moral yang digunakan sebagai alat kontrol sosial maupun pedoman dalam masyarakat kolektifnya, yang berguna untuk mengawasi tindak tanduk dalam kehidupan bermasyarakat (Amin, 2013: 39).
Amanat tentang kecerdikan dalam teks satua Pan Angklung Gadang tokoh utama Pan Angklung Gadang digambarkan sangat cerdik dan memiliki
banyak akal, terkadang licik namun cara Pan Angklung Gadang untuk menyelesaikan masalahnya sangat rapi bahkan tidak terduga-duga hasil akhir dari kecerdikan Pan Angklung Gadang tersebut.
Amanat tentang rasa tanggung jawab dalam ajaran agama Hindu di Bali erat kaitannya dengan tattwa (filsafat), susila (perilaku) dan acara (upacara). Artinya masyarakat hendaknya memahami makna upacara, berprilaku sesuai ajaran agama dan mampu menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat (Relin, 2016: 119). Adapun kaitannya dalam teks satua Pan Angklung Gadang diimplementasikan oleh tokoh Pan Angklung Gadang yang jika dikaitkan menurut ajaran agama Hindu, biasa disebut dengan ajaran Tri Hita Karana yang meliputi: pawongan; palemahan; dan parhyangan. Konsep keharmonisan merupakan salah satu ajaran yang dipegang dalam masyarakat sehingga keselarasan antara yang batin dan fisik sangat dijaga dan secara tidak langsung akan tercermin dalam bentuk tindakan yang dilakukannya (Andalas, 2017: 27).
SIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa struktur yang membangun teks satua Pan Angklung Gadang meliputi insiden, alur, tokoh dan penokohan, latar, tema, serta amanat yang membangun sebuah kesatuan yang utuh guna membentuk rangkaian teks satua Pan Angklung Gadang tersebut.
Amanat yang terkandung dalam teks satua Pan Angklung Gadang meliputi amanat tentang kejujuran, amanat tentang kesetiaan, amanat tentang karmaphala, amanat tentang kepemimpinan, amanat tentang kecerdikan, serta amanat tentang tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Amanat, Tri. 2016. Cerita Rakyat Paser dan Berau Dalam Tinjauan Ekologi Sastra. Jurnal Kandai Vol.15.2. Jakarta: Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Amin, Irzal dan Syahrul R, Ermanto. 2013. Cerita Rakyat Penamaan Desa di Kerinci: Kategori dan Fungsi Sosial Teks. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajaran Vol 1.1. Padang: Universitas Negeri
Padang.
Andalas, Eggy Fajar. 2017. Dampak dan Fungsi Sosial Mitos Mbah Bajing Bagi Kehidupan Spiritual
Masyarakat Dusun Kecopokan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Jurnal Puitika Vol.13.1. Surabaya: Universitas Airlangga.
E, Relin. D. 2016. Filosofi Pasupati Pratima Ratu Ngerurah dan Ratu Ayu di Pura Pasek Ngukuhin Tegeh Kori Tonja, Denpasar. Jurnal Kajian Bali Vol.6.1. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
Fatimah, Firdauzia dan Edy Tri Sulistyo. 2018. Cerita Rakyat Dewi Sri Tanjung Sebagai Upaya
Mewujudkan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal. Jurnal Bahasa dan Budaya Vol.2.1.
Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Gidden, Antony, dkk. 2005.
Konsekuensi-Konsekuensi Dalam Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Gusnetti, Syofiani dan Romi Isnanda. 2015. Struktur dan Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Cerita Rakyat Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Gramatika Vol.1.2. Padang: Universitas Bung Hatta.
Indiarti, Wiwin. 2017. Nilai-Nilai Pembentukan Karakter Dalam Cerita Rakyat Asal-Usul Watu
Dodol. Jurnal Jentera Vol.6.1. Banyuwangi: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas PGRI
Banyuwangi.
Jamilah. 2017. Pembentukan Karakter Anak Melalui Pembelajaran Cerita Dongeng Nusantara. Jurnal PTK dan Pendidikan Vol.3.2.
Banjarmasin: UIN Antasari.
Junaini Esma, Erni Agustina, dan Amril Canrhas, 2017. Analisis Nilai Pendidikan Karakter Dalam Cerita Rakyat Seluma. Jurnal Korpus Vol 1.1. Bengkulu: FKIP Universitas Bengkulu.
Kristianto, M. 2014. Pemanfaatan Cerita Rakyat Sebagai Penanaman Etika Untuk Membentuk Pendidikan Karakter Bangsa. Mimbar Sekolah Dasar Vol.1.1. Semarang: IKIP PGRI SEMARANG.
Larson, Milfred. 1989. Penerjemahan Berdasar Makna Pedoman Untuk Pemandanan Antar Bahasa. Jakarta: Arcan.
Sari, Ida Ayu Laksmita. 2019. Unsur-Unsur Pengetahuan Sosial dalam Cerita Rakyat Bali Aga dan Buku Pelajaran Sekolah Dasar Zaman Kolonial Belanda. Jurnal Kajian Bali Vol.9.2. Denpasar: Universitas Udayana.
Suaka, I Nyoman. 2018. Refleksi Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Cerita Rakyat Bali Tuwung Kuning: Analisis Feminisme. Jurnal Kajian Bali Vol.8. 2. Tabanan: IKIP PGRI Tabanan.
Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.
Sulibra, I Ketut Ngurah. 2016. Memaknai Fungsi Satua I Balu Kawanan Teken I Balu Kanginan. Denpasar: Pustaka Larasan.
Trisna, Gusti Ayu Putu Sukma, A.A.I.N. Marhaeni, dan Nyoman Sudiana. 2013. Analisis Pokok-Pokok Materi Pendidikan Karakter Berbasis
Foklor Bali Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. E-Jurnal Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Vol.3.1. Singaraja: Universitas
Pendidikan Ganesha.
Utama. I Wayan Budi. 2017. Pemaknaan Cerita Rakyat Brayut: Dari
Ideologi Agraris Hingga Kapitalis. Jurnal Kajian Bali Vol.7. 1. Denpasar: Universitas Hindu Bali Indonesia.
Wiana, I Ketut. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep. Surabaya: PARAMITA.
Yanti, Citra Salda. 2015. Religiositas Islam Dalam Novel Ratu yang Bersujud Karya Amrizal
Mochamad Mahdavi. Jurnal
Humanika Vol.15.3. Sulawesi Tenggara: Universitas Halu Oleo.
Yanti, Ni Putu Ayu Desi, I Wayan Suteja, dan Ni Made Suryati. 2018. Analisis Satua I Ubuh dengan Satua Bagus Diarsa (Teks Perbandingan). Jurnal Humanis Vol.23.1. Denpasar: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.
Discussion and feedback