Dongeng I Dempu Awang dan Cerita Pantun Lutung Kasarung Kajian Sastra Bandingan Nusantanra
on
DOI: 10.24843/JH.2018.v22.i01.p16
ISSN: 2302-920X
Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 22.1 Pebruari 2018: 108-114
Dongeng I Dempu Awang dan Cerita Pantun Lutung Kasarung Kajian Sastra Bandingan Nusantanra
Ida Bagus Wahyu Sudhiatmika1*, Windhu Sancaya2
12Program Studi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
1[[email protected]], 2[[email protected]]
*Corresponding Author
Abstract
Penelitian Cerita I Dempu Awang dan Pantun Lutung Kasarung kajian sastra bandingan Nusantara ini sangat menarik, karena kedua cerita tersebut memiliki kemiripan. I Dempu Awang menceritakan perjalanan seorang pangeran mencari wanita, dan Lutung Kasarung mengisahkan seorang dewa mencari wanita, mereka menemui halangan dan rintangan, kemudian pangeran dan dewa berubah wujud menjadi seekor monyet. Penelitian ini menggunakan teori sastra bandingan oleh Robert Clements dari segi tema dan mitos. Metode dan teknik yang digunakan adalah: 1) tahap pengumpulan data, menggunakan metode membaca, dibantu dengan teknik catat dan teknik terjemahan; 2) tahap analisis data menggunakan metode kualitatif, dibantu dengan teknik deskriptif komparatif; 3) tahap penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal, dibantu dengan teknik induktif dan deduktif. Hasil penelitian ini kedua cerita ini memiliki kemiripan dari segi tema dan mitos, dan di dalamnya ditemukan motif-motif Panji. Pada akhirnya kajian sastra bandingan ini dapat memberi sumbangan bagi penulisan sejarah Sastra Bali.
Kata kunci: cerita, sastra bandingan, sejarah sastra
The research tales of I Dempu Awang and Pantun Lutung Kasarung the analysis Nusantara comparative literature much interested on its, because in between both tales were likely similar. I Dempu Awang explained the adventure of the prince looking for a lady, and Lutung Kasarung describe the god search a lady, they found a lot of problems and obstacles, than the god and the prince transformed their self to be monkeys. These research using comparative literature theory by Robert Clements base on the theme and mythos. The method and technique are as follows: 1) step of providing data, using method of reading, supported by recording technique and translation technique; 2) step of analysis data, using method of qualitative, supported by descriptive comparative technique; 3) step of result data presentation, supported by inductive technique and deductive technique. The result of research of both tales have the similar theme and mythos, and both of the tales found motive of Panji. The end of analysis Nusantara comparative literature could donate to compile the history of Bali literature.
Keywords: tale, comparative literature, history of literature
Sebagai homo fabula, manusia adalah makhluk yang suka akan cerita. Ada berbagai macam cerita, baik lisan maupun tulis yang dihasilkan manusia sebagai hasil ungkapan pengalaman hidupnya. Hampir semua suku di Nusantara memiliki tradisi sastranya
sendiri (Teeuw, 1982:9). Tidak dapat dipungkiri, dari begitu banyak cerita yang ada di Nusantara itu sering terdapat kemiripan, salah satunya antara Cerita I Dempu Awang versi Bali dengan Cerita Pantun Lutung Kasarung dari daerah Jawa Barat.
Dongeng I Dempu Awang menceritakan petualangan Raden Mantri Koripan yang berubah menjadi seekor monyet putih untuk dapat menemukan cinta sejatinya bernama Raden Galuh Daha. Sama halnya dengan I Dempu Awang, Pantun Lutung Kasarung mengisahkan seorang dewa bernama Guru Minda yang menerima hukuman untuk turun ke bumi dengan menjadi seekor lutung hitam sekaligus mencari wanita pujaannya bernama Purbasari. Sebelum keduanya bisa bertemu, mereka dihadapkan dengan berbagai halangan dan rintangan, hingga akhirnya dapat menikah serta hidup bahagia.
Walaupun kedua cerita ini dituturkan dengan dua bahasa yang berbeda, hidup pada dua wilayah yang berbeda, dan berada dalam situasi kebudayaan berbeda, yaitu Bali dan Sunda, keduanya memiliki persamaan yaitu sama-sama menceritakan tentang pencarian cinta sejati oleh seorang laki-laki untuk menemukan perempuan yang memang ditakdirkan untuknya, dan diakhiri dengan pernikahan. Di dalam kedua cerita tersebut juga terdapat mitos-mitos bagaimana terjadinya kesuburan dan kesejahteraan.
Apa yang melatarbelakangi kemiripan tersebut tidak terlepas dari adanya motif-motif yang sama maupun mirip di antara keduannya. Dongeng I Dempu Awang yang digolongkan ke dalam cerita Panji (Bagus, 1986:27), jelas terdapat motif-motif sesuai dengan unsur-unsur pokok cerita Panji di dalamnya. Sementara Lutung Kasarung sebagai cerita pantun Sunda, nyatanya terdapat motif yang mirip dengan unsur-unsur pokok Panji.
Berangkat dari kemiripan itulah penelitian ini dilakukan dengan membandingkan Cerita I Dempu Awang dengan Pantun Lutung Kasarung menggunakan teori sastra bandingan dari segi tema dan mitos (Damono, 2015:8).
-
(1) Tema apakah yang mendasari kemiripan antara I Dempu Awang dengan Lutung Kasarung, dan mitos-mitos apa yang terdapat pada kedua cerita tersebut?
-
(2) Apakah yang melatarbelakangi kemiripan antara I Dempu Awang dan Lutung Kasarung?
-
(1) Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberi sumbangan bagi penulisan sejarah sastra. Selain itu juga untuk memperkaya khazanah perkembangan ilmu sastra khususnya dalam bidang sastra bandingan.
-
(2) Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan dari penelitian ini, pertama untuk mengetahui tema apa yang mendasari kemiripan I Dempu Awang dan Lutung Kasarung, dan mitos apa yang terdapat pada keduanya. Kedua untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi terjadinya kemiripan di antara keduanya.
Metode dan teknik penelitian dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga tahapan yaitu, 1). tahap pengumpulan data; 2). tahap analisis data; 3). tahap penyajian hasil analisis data. Adapun penjabarannya sebagai berikut:
-
(1) Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Tahap awal dalam pengumpulan data adalah dengan melakukan penelitian perpustakaan (Semi, 1990:8). Dalam merealisasikan penelitian perpustakaan, dilakukan dengan metode membaca yang dibantu dengan teknik catat dan teknik terjemahan. Teknik catat ini dilakukan untuk mencatat unsur-unsur yang dibandingkan. Teknik terjemahan ini
digunakan untuk menerjemahkan Dongeng I Dempu Awang dari Bahasa Bali ke Bahasa Indonesia. Teknik terjemahan juga dilakukan pada Pantun Lutung Kasarung yang ditranslasikan dari Bahasa Sunda ke Bahasa Indonesia. Teknik terjemahan yang digunakan adalah teknik terjemahan yang bersifat gabungan antara harfiah dan idiomatik (Larson, 1991:17).
-
(2) Metode dan Teknik Analisis Data
Setelah data-data didapatkan, dilanjutkan dengan tahap analisis data yaitu mengolah data menggunakan metode kualitatif (Semi, 1990:23). Metode kualitatif ini dibantu dengan teknik deskriptif komparatif, yaitu teknik yang dilakukan dengan mendeskripsikan data-data terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan membandingkan unsur-unsur yang ada (Ratna, 2013:53).
-
(3) Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Tahap akhir dalam penelitian ini adalah tahap penyajian hasil analisis data. Untuk penyajian hasil analisis data ini menggunakan metode informal (Sudaryanto, 1993:145). Metode informal ini digunakan untuk menyajikan hasil perbandingan Dongeng I Dempu Awang dengan Pantun Lutung Kasarung menggunakan kalimat-kalimat Bahasa Indonesia. Penyajian metode informal ini didukung dengan teknik deduktif dan induktif.
-
5. Hasil dan Pembahasan
-
5.1 Kemiripan Motif I Dempu Awang dan Lutung Kasarung
-
Cerita I Dempu Awang dan Pantun Lutung Kasarung memiliki tujuh motif yang sama maupun mirip, antara lain: 1). terdapat persamaan motif pembuangan; 2). terdapat kemiripan antara motif sabda dalam I Dempu Awang dengan motif mimpi dalam Lutung Kasarung; 3). terdapat kemiripan antara motif pelayaran dalam I Dempu
Awang dengan motif hukuman dalam Lutung Kasarung; 4). terdapat persamaan motif penyamaran menjadi binatang; 5). terdapat persamaan motif pertemuan; 6). terdapat persamaan motif percintaan; 7). persamaan dalam motif pernikahan.
Berdasarkan motif-motif tersebut, baik Dongeng I Dempu Awang maupun Pantun Lutung Kasarung memiliki tema yang sama yaitu bertemakan pernikahan. Pernikahan yang terjadi adalah pernikahan yang memang dikehendaki untuk terjadi oleh Tuhan maupun manusia itu sendiri. Akibat dari terjadinya pernikahan itu dimitoskan terciptanya kesuburan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Perbedaanya, walaupun kedua cerita tersebut bertemakan pernikahan yang menciptakan kesuburan, kesejahteraan, tetapi pernikahan maupun mitos yang hendak disampaikan tampaknya memiliki perbedaan.
Pernikahan yang terjadi antara Raden Mantri Koripan dengan Raden Galuh Daha memang pernikahan yang ditakdirkan oleh Tuhan maupun manusia itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari petunjuk melalui sabda yang didapatkan Raden Mantri Koripan, maupun petunjuk melalui mimpi yang didapatkan Raden Galuh Daha. Di samping itu, Raden Mantri Koripan dan Raden Galuh Daha sejatinya memiliki ikatan hubungan kekerabatan, dan keduanya memang hendak dijodohkan.
Dikaitkan dengan sistem kemasyarakatan Bali yang menganut sistem stratifikasi sosial, pernikahan antara dua putra putri kerajaan tersebut menggambarkan pernikahan secara sosial dan budaya pada masyarakat Bali, yaitu pernikahan yang didasari atas hubungan
endogami klen. Pernikahan yang terjadi hendaknya sederajat dalam hal kasta.
Pernikahan antara Guru Minda dengan Purbasari juga memang ditakdirkan untuk terjadi. Hal itu dapat dilihat dari perintah Sunan Ambu (penguasa dunia) kepada Guru Minda untuk mencari wanita pujaannya di bumi. Jika dilihat, pasangan ini berasal dari dua status sosial dan dua alam yang berbeda. Guru Minda adalah seorang dewa yang berasal dari Kahyangan (Buana
Nyungcung), sedangkan Putri Purbasari adalah seorang putri kerajaan yang berasal dari bumi (Buana Pancatengah).
Sebagaimana dalam cerita pantun, yang identik menggambarkan tentang kosmologi Sunda (Sumardjo, 2013b: 65), dapat dikatakan pernikahan antara Guru Minda dengan Purbasari tersebut melambangkan penikahan secara kosmis, yaitu pernikahan antara alam atas dengan alam bawah. Pernikahan secara kosmis tersebut juga diamini oleh
Sumardjo, yang mengatakan bahwa
Pantun Lutung Kasarung bertemakan penyatuan dunia atas dengan dunia
manusia (2013:210).
Pernikahan dalam I Dempu Awang tersebut melambangkan perwujudan Dewa Semara dan Dewi Ratih yang diturunkan ke dunia dan masuk ke dalam sanubari setiap makhluk hidup yang menyebabkan manusia memiliki perasaan saling mencintai. Hasil dari pernikahan antara anak manusia dengan manusia tersebut menyebabkan terciptanya kesuburan (kehamilan) pada diri manusia itu sendiri.
-
5.2.4 Lutung Kasarung: Mitos
Pahlawan Sunda; Mitos
Kesejahteraan
Pernikahan dalam Lutung
Kasarung tersebut memitoskan tentang tokoh Kerajaan Pajajaran yang mencari kesucian dan akhirnya membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya. Atas hal itulah tokoh ini sering disebut sebagai pahlawan budaya (Kartini, 1984:2). Guru Minda mencari kesucian untuk menjadi dewa sejati, sementara Purbasari mencari kesucian untuk menaikkan status spritualnya. Simbol telah didapatkannya kesucian itu adalah dengan pernikahan. Hasil dari penyatuan antara alam atas dan bawah tersebut menyebabkan terciptanya kesejahteraan, kemakmuran dalam tatanan yang lebih luas yaitu di jagat raya.
-
5.3 Latar Belakang Kemiripan I
Dempu Awang dan Lutung
Kasarung
Adanya kemiripan dari segi tema
dan motif antara Dongeng I Dempu
Awang dan Pantun Lutung Kasarung tampaknya bukan merupakan suatu kebetulan. Ada dua faktor yang melatarbelakanginya, antara lain:
Dilihat dari asal ceritanya, I Dempu Awang digolongkan ke dalam cerita Panji, dan Lutung Kasarung digolongkan ke dalam cerita pantun. Dilihat lebih jauh, memang sejatinya ada kemiripan antara cerita Panji dengan cerita pantun itu sendiri. Tulisan Tedjowirawan (2004) yang mengatakan adanya persamaan unsur autochon antara Panji Angreni dengan Pantun Mundinglaya Dikusumah sesungguhnya telah menjadi gambaran awal memang adanya kemiripan di antara cerita pantun dengan cerita Panji. Penelitian Tedjowirawan tersebut lebih melihat dari persamaan yang terjadi dari
berbegai segi, antara lain: dari unsur totemisme, unsur sistem klasifikasi, myte, perkawinan eksogami, hero, inisisasi (2004:295-299).
Selain unsur yang telah dikatakan Tedjowirawan, sesungguhnya ada persamaan lain cerita Panji dengan pantun dilihat dari segi temanya dan unsur pokok ceritanya. Menilik tema Panji yang dikatakan Ras (2014:223), bahwa cerita Panji adalah sebuah petualangan yang harus dilalui Raden Panji, putra Koripan sebelum kawin dengan saudara sepupunya Raden Galuh Daha. Dalam cerita pantun, yang menjadi unsur penggeraknya juga adanya petualangan. Menurut Eringa melalui Kartini (1984:2), cerita pantun adalah cerita yang mengisahkan petualangan raja-raja atau ksatria keturunan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran dalam meluaskan daerah taklukannya atau dalam mencari putri cantik untuk dijadikan permaisuri. Tema menurut Eringa yang kedua bahwa cerita pantun adalah petualangan dalam mencari putri cantik untuk dijadikan permaisuri, tampaknya memiliki persamaan dengan tema cerita Panji.
Dilihat dari segi unsur-unsur pokok cerita Panji, juga mirip dengan unsur pokok dalam cerita pantun. Dalam cerita Panji, motif hilangnya Raden Galuh Daha ataupun perginya Raden Mantri Koripan untuk mencari kekasih hatinya memiliki persamaan dengan unsur perpisahan atau perginya tokoh utama dalam cerita pantun. Kedua, motif pengembaraan dan penyamaran Raden Mantri Koripan mencari Raden Galuh Daha dengan berbagai halangan dan rintangan, mirip dengan unsur ujian/inisiasi dalam cerita pantun. Ketiga, motif Raden Galuh dapat ditemukan kembali yang diakhiri dengan pernikahan, yang mirip dengan unsur kembali atau tokoh utama mencapai tujuan dalam cerita pantun.
-
5.3.2 Adanya Motif Panji pada Dongeng I Dempu Awang dan Lutung Kasarung
Selain memang ada kemiripan antara cerita Panji dengan cerita pantun, hal lain yang mendasari kemiripan I Dempu Awang dengan Lutung Kasarung, yaitu terdapat motif-motif Panji pada kedua cerita tersebut. Dongeng I Dempu Awang yang digolongkan ke dalam dongeng Panji (Bagus, 1986:27), jelas terdapat motif-motif Panji di dalamnya dan jelas mendapat pengaruh dari Panji Jawa. Poerbatjaraka mengatakan bahwa cerita Panji merupakan cerita asli Jawa yang berkembang pada zaman Majapahit atau lebih tepatnya zaman setelah Majapahit, dan kemudian menyebar ke wilayah lainnya (1968:404). Tema Panji ini menyebar dan berkembang ke berbagai wilayah di Nusantara tidak terkecuali ke Bali (Robson, 1971:15).
Sementara Lutung Kasarung sebagai bagian dari cerita pantun Sunda seperti yang telah diklasifikasikan dalam buku Struktur Cerita Pantun Sunda Alur (1984). Di dalamnya terdapat motif-motif mirip Panji. Hal ini mengasumsikan adanya pengaruh Panji pada cerita Lutung Kasarung. Asumsi ini sangat beralasan karena didukung oleh pendapat Poerbatjaraka dalam bukunya Tjerita Panji dalam Perbandingan yang mengatakan bahwa cerita Lutung Kasarung ini dapat juga dikatakan sebagai sastra Panji Sunda (1968:416). Hal senada juga dikatakan Shaleh Saidi bahwa Cerita Lutung Kasarung juga merupakan fragmen dari cerita Panji (2003:84). Akan tetapi, baik
Poerbatjaraka maupun Saidi tidak menyatakan alasan atas dasar apa ia mengatakan Lutung Kasarung sebagai cerita Panji Sunda.
Adanya kemungkinan pengaruh tersebut, sejauh ini dapat dijelaskan dengan pendapat yang dikatakan Baribin.
Baribin mengatakan bahwa cerita Panji dapat berarti kisah tentang Panji Inu Kertapati, dan dapat pula berarti salah sebuah struktur cerita rekaan (1985:193). Struktur cerita rekaan yang dimaksudkan adalah bagaimana munculnya karya-karya sastra yang diilhami oleh tema Panji, karya sastra tersebut memiliki struktur yang mirip Panji, tetapi tidak lagi menceritakan tokoh-tokoh ataupun latar cerita Panji.
Berdasarkan apa yang dikatakan Poerbatjaraka tersebut, Pantun Lutung Kasarung sangat mungkin diilhami secara struktur Panji. Ini dilihat dari motif-motif mirip yang telah disebutkan di atas. Lutung Kasarung dengan motif Panjinya berkembang di wilayah Sunda, menyebabkan tokoh-tokohnya sudah berbeda dan tidak lagi menceritakan Kerajaan Daha dan Koripan, tetapi berubah sesuai dengan faktor geografis dan zamannya yang dikaitkan dengan Kerajaan Pajajaran di Sunda. Pada akhirnya Lutung Kasarung memiliki makna sesuai dengan kebudayaannya yaitu memuliakan atau mengharumkan tokoh Pajajaran dan dianggap suci oleh masyarakat Sunda.
Melalui kajian sastra bandingan ini dapat dilihat bahwa Sastra Bali mendapat pengaruh dari Sastra Jawa, dan Sastra Sunda mendapat pengaruh dari Sastra Jawa. Kajian sastra bandingan ini pada akhirnya dapat memberi sumbangan bagi penulisan sejarah sastra, utamanya bagi sejarah sastra Bali. Bahwasanya Sastra Bali adalah sastra yang tidak berdiri sendiri, melainkan mendapat pengaruh dari sastra lainnya dalam hal ini Sastra Jawa. Hal yang sama juga terjadi pada Sastra Sunda.
Berdasarkan pembahasan diatas, Dongeng I Dempu Awang menggambarkan pernikahan secara sosial dan budaya pada masyarakat Bali, yaitu
pernikahan yang didasari atas hubungan status sosial yang sama (endogami klen). Pernikahan tersebut menggambarkan perwujudan Dewa Semara Ratih yang turun ke bumi menyebabkan terjadinya kesuburan (kehamilan) (bhuana alit). Sementara Pantun Lutung Kasarung menggambarkan pernikahan secara kosmis, yaitu pernikahan antara alam atas yang diwakili dewa dengan alam bawah yang diwakili manusia. Pernikahan tersebut menggambarkan pahlawan sunda yang mencari kesucian. Hasil pertemuan dari alam atas dan alam bawah tersebut menyebabkan terciptanya kesejahteraan, kesuburan, keharmonisan di jagat raya (bhuwana agung).
Ada dua faktor yang melatarbelakangi kemiripan antara I Dempu Awang dengan Lutung Kasarung. Pertama, jika dilihat dari asalnya, sejatinya memang ada kemiripan antara cerita Panji dengan cerita pantun itu sendiri. Kedua, adanya motif-motif Panji di dalam kedua cerita tersebut. I Dempu Awang dikatakan sebagai cerita Panji karena menceritakan tentang Raden Mantri Koripan dengan Raden Galuh Daha, dan jelas terdapat motif-motif Panji di dalamnya. Sementara Pantun Lutung Kasarung memiliki motif-motif yang mirip dengan Panji karena diilhami secara struktur tema Panji.
Melalui kajian sastra bandingan ini pada akhirnya dapat memberi sumbangan bagi penulisan sejarah sastra, utamanya bagi sejarah Sastra Bali itu sendiri.
Bagus, I Gusti Ngurah. 1986. Dongeng Panji dalam Kesusastraan Bali. Jakarta: Depdikbud.
Baribin, Raminah. 1985. Cerita Panji: Jejak dan Pengaruhnya dalam Kesusastraan Indonesia. Dalam Sulastrin Sutrisno (Eds.). Bahasa
Sastra Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Damono, Sapardi Djoko. 2015. Sastra Bandingan. Jakarta: Editum.
Kartini, Tini, dkk. 1984. Struktur Cerita Pantun Sunda: Alur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Depdikbud.
Larson, Mildred L. 1991. Penerjemahan Berdasarkan Makna, Pedoman untuk Pemadanan Antarbahasa. Jakarta: Arcan.
Luxemburg, J.V. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia
Poerbatjaraka, R.M.NG. 1968. Tjerita Panji dalam Perbandingan.
Jakarta: Gunung Agung.
Ras J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Robson. S.O. 1971. Waŋbaŋ Wideya. The Hague: Martinus Nijhoff.
Saidi, Shaleh. 2003. Melayu Klasik Khazanah Sastra Sejarah Indonesia Lama. Denpasar:
Larasan Sejarah.
Semi, Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa
Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis.
Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Sumardjo, Jakob. 2013a. Arkeologi
Budaya Indonesia. Yogyakarta: Qalam.
_______________. 2013b. Simbol-Simbol Mitos Pantun Sunda. Bandung: Kelir
Tedjowirawan, A. 2004. Persejajaran Unsur-Unsur Autochton dalam Cerita Panji Angreni dengan Cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah, Humaniora. Volume 16, Nomor 3, hlm. 290-302.
Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
__________. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya.
114
Discussion and feedback