ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 21.1 Nopember 2017: 215-221

Integrasi Etnik Tionghoa dengan Etnik Bali di Kuta 1968-2000

Ni Made Anggi Septiarana1*, A.A Bagus Wirawan2, Ida Ayu Wirasmini Sidemen3 [123]Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana 1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]]

*Corresponding Author

Abstract

This study describes the integration of Tionghoa ethnic with Balinese ethnic in Kuta 1968-2000, this research uses field research type, completed with archive research, interview and observation directly to Tionghoa ethnic and Balinese ethnic activities in Kuta. In this research, Tionghoa ethnic process is able to survive and integrated in Balinese ethnic structure in Kuta after the issuance of PP. No. 10 year 1959 is a socio-economic and cultural aspect. In the study find some form of socio-economic and cultural integration that occurred between ethnic Chinese with ethnic Balinese Hindu in Kuta.

Keywords: Social Interaction, Tionghoa ethnic, Balinese Ethnic, Assimilation, Tolerance, Multiculturalism.

  • 1.    Latar Belakang

Keberadaan etnik Tionghoa di Bali yang berkembang sejak lama melahirkan jejak-jejak percampuran kebudayaan Cina dan Bali, berupa pis bolong (uang bolong) yang pada jamannya dipakai sebagai alat tukar hingga dipergunakan sebagai sarana upacara keagamaan. Keberadaan etnik Tionghoa yang berkembang ditengah-tengah etnik Bali yang kental akan kebudayaan Bali dimulai pada abad ke-7, dimana pada masa itu etnik Tionghoa direkrut sebagai prajurit-prajurit bagi pasukan raja-raja untuk menghadapi peperangan yang sering terjadi antara raja-raja pada masa itu.

Etnik Tionghoa yang tersebar di Bali pada umunya berada di kota-kota besar serta tempat-tempat yang strategis yaitu kawasan perdagangan. Salah satu keberadaan etnik Tionghoa di Bali yaitu di kawasan pesisir Kuta. Daerah Kuta merupakan daerah strategis untuk menjalankan aktifitas perekonomian pada masa kejayaan kerajaan Badung.

Dari segi lokasi Kuta digolongkan sebagai kota pantai atau pelabuhan yang menitik beratkan kekuatan sosial ekonomi pada pelayaran dan perdagangan-pedagang asing seperti, Bugis dan pedagang Tionghoa. Dalam sejarah Kuta sebagai kota pelabuhan pada abad ke XIX, yang di penuhi dengan pedagang-pedagang

Tionghoa tidak lepas dari adanya hubungan dagang yang baik dengan Belanda yang ditengahi oleh Lange. Dengan majunya Kuta sebagai kota pelabuhan pada masa kerajaan Badung memungkinkan semakin tumbuh dan berkembangnya pedagang Tionghoa di Kuta.

Pada kurun waktu 1874 etnik Tionghoa memegang kendali yang besar dalam sistem perdagangan di sepanjang pasar tradisional di Kuta. Situasi perdagangan semula berjalan dengan baik seketika berubah akibat etnik Tionghoa di Kuta mengalami beberapa perlakuan terkait sosial politik. Dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 10 tanggal 14 Mei tahun 1959 adalah sebuah peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1959 dan ditanda tangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero yang berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia.

Peraturan Presiden ini mengakibatkan etnik Tionghoa di Indonesia memilih untuk kembali ke Tiongkok. Sekitar 199.000 yang mendaftar, namun hanya 102.000 yang

terangkut ke Tiongkok menggunakan kapal yang dikirim oleh pemerintah RRT. Sedangkan di Bali, tercatat lebih dari 3.000 meminta paspor untuk pulang ke Tiongkok.

Walapun etnik Tionghoa dan etnik Bali berbeda dari segi latar etnis, agama, dan sosikultural, namun mereka dapat hidup berdampingan dengan suatu wadah, yakni desa adat. Hal ini dapat di dibuktikan dengan adanya hubungan harmonis dan interaksi yang baik etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta yang di wujudkan dalam hubungan bermasyarakat (menyama braya). Salah satunya dengan tergabung didalam dua kelompok banjar adat suka duka Temacun dan Pemamoran.

  • 2.    Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah yang diperoleh sebagai berikut:

  • 1.    Mengapa etnik Tionghoa dapat terintegrasi ke dalam struktur etnik Bali di Kuta 1968-2000?

  • 2.    Bagaimana bentuk integrasi etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta 1968-2000?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan terintegrasi ke dalam struktur etnik Bali di Kuta dan untuk menjelaskan bentuk integrasi etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta.

  • 4.    Metode Penelitian

Dalam proses penulisan ini, penulis menerapkan metode sejarah sebagai instrument utama untuk merekonstruksi peristiwa historis sehingga mencapai sasaran penulis yang diharapkan.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

Hubungan antara Bali dengan Tionghoa juga diperkirakan dimulai pada awal-awal abad masehi. Temuan cermin perunggu dari zaman dinasti Han dalam sarkofagus di desa Pangkung Paruk, Kecamatan Seririt Buleleng dapat dikatakan sebagai awal hubungan Bali dengan Tiongkok. Cermin perunggu dari zaman dinasti Han diduga berasal dari abad awal masehi. Lebih lanjut, hubungan Bali dengan Tiongkok, juga dapat diketahui dari temuan-temuan sejumlah keramik dari zaman dinasti Tang di situs Blanjong Sanur, yang diperkirakan berasal dari abad VII-X masehi.

Hubungan ini juga terlihat jelas pada pengaruh-pengaruh budaya

Tiongkok dalam budaya Bali, adanya cerita Dalem Balingkang dan Kang Ching Wi juga memberikan gambaran, bahwasanya telah ada komunikasi bahkan arus migrasi etnik Tionghoa ke Pulau Bali. Saat ini komunitas-komunitas etnik Tionghoa di Bali tersebar di berbagai daerah misalnya Pempatan, Pupuan, Tabanan, Petang, Padangbai, Lampu dan Kuta.

Kuta merupakan salah satu daerah di mana terdapat komunitas Tionghoa, awal etnik Tionghoa mendiami Kuta tidaklah diketahui secara pasti, akan tetapi berdasarkan wawancara dengan Luis Barata dan hasil temuan di lapangan, diperkirakan etnik Tionghoa pertama kali menjejakkan kakinya di Kuta yaitu pada tahun 1808-an, yang dimulai dari kedatangan Mads Johansen Lange. Mads Johansen Lange adalah seorang pedagang berkebangsaan Denmark. Lange memiliki hubungan yang baik dengan Raja Kesiman, sehingga diberikan kepercayaan sebagai kepala desa di Kuta. Lange berperan besar dalam perkembangan Kuta. Posisi Lange sangat diuntungkan oleh kepercayaan yang diberikan oleh Raja Kesiman. Aktivitas perdagangan di Kuta meluas hingga ke Asia. Seiring

dengan berkembangnya Kuta, perekonomian di Badung juga mengalami kemajuan yang pesat. Majunya perdagangan membuat banyak suku yang datang ke Kuta. Para pedagang banyak yang datang dari Tiongkok (Tionghoa).

Awal tahun 1949-an hingga tahun 1950-an, kedatangan etnik Tionghoa pada masa ini sebagian besar merupakan kaum pedagang yang tinggal menyebar di wilayah lingkungan banjar Temacun dan banjar Pamamoran yang masuk dalam lingkungan desa adat Kuta. Mulai masuknya etnik Tionghoa di Kuta didominasi oleh shee dan Kang, hal ini dikarenkan karena yang pertama membuka wilayah tersebut adalah dari shee dan Kang.

Pada perkembangan berikutnya, jumlah etnik Tionghoa semakin besar di Kuta, sehingga menjadikan etnik Tionghoa menjadi masyarakat yang disegani di Kuta karena pengaruh sosial ekonominya. Bahkan pada masa tahun 1950-an, etnik Tionghoa di Kuta berperan sangat aktif dalam kehidupan adatistiadat dan agama di Desa Kuta. Ngayah di banjar, pura merupakan agenda-agenda rutin yang biasa dilaksanakan etnik Tionghoa di Kuta.

Akan tetapi perkembangan ini seakan terhenti pada pasca dikeluarkannya Peraturan Presiden . No. 10 Tahun 1959 oleh pemerintah, peranan etnik Tionghoa di Kuta menurun drastis, dikarenakan adanya ketakutan-ketakutan akan adanya cap komunis dan tekanan pemerintah terhadap etnik Tionghoa. Menjadikan etnik Tionghoa seakan terkurung dalam penjara masyarakat. Kehidupan sosial ekonomi dan budaya menjadi sangat terbatas, walaupun secara sembunyi-sembunyi masih bisa melakukan ritualritual pemujaan leluhur.

Adanya peraturan presiden tersebut di Kuta, ada etnik Tionghoa yang memilih kewarganegaraan China, dan memilih keluar dari Kuta. Adapun yang memilih warga negara Indonesia, tetap tinggal di Kuta, karena sudah menganggap Kuta sebagai kampung keduanya, karena lahir, hidup dan mati di Kuta. Terintegrasinya etnik Tionghoa kedalam struktur etnik Bali di Kuta yaitu menjadi bagian desa adat Kuta dan masuk kedalam banjar adat Kuta. Etnik Tionghoa menjadi anggota banjar yaitu banjar adat Temacun dan Banjar adat Pamamoran. Masuknya etnik Tionghoa di banjar adat di Kuta bukanlah suatu bentuk pelarian atau

persembunyian dari dikeluarkannya peraturan pemerintah No. 10 tahun 1959, namun kenyataannya banyak warga Bali Hindu yang menikah dengan etnik Tionghoa lalu menjadi bagian warga Kuta.

Integrasi sosial yang tercipta dari adanya hubungan kekerabatan yang baik antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta yaitu tidak lain dengan adanya bentuk asimilasi pada prosesi pernikahan campuran antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta. Kehidupan etnik Tionghoa di kuta jika dilihat dari sistem pernikahan, tidak sedikit etnik Tionghoa menikah dengan etnik Bali yaitu laki-laki Bali asli Kuta yang menikah dengan wanita Tionghoa dan begitu sebaliknya laki-laki Tionghoa yang menikah dengan wanita Bali asli Kuta. Sistem yang terbentuk atas dasar saling suka antara dua lawan jenis mampu menyatukan dua kebudayaan yang berbeda.

Integrasi etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta terlihat dalam pengunaan bahasa Bali oleh etnik Tionghoa yang dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi. Etnik Tionghoa yang pada saat itu berada pada strata yang lebih tinggi di masyarakat secara ekonomi di Kuta. harus belajar

mempergunakan bahasa Bali sebagai media komunikasi untuk mempermudah komunikasi dengan konsumennya maupun dengan pekerjanya yang sebagian besar etnik Bali.

Selanjutnya integrasi etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta terlihat dari adanya bentuk interaksi ekonomi. Etnik Tionghoa di Kuta sebagian besar berperan sebagai penyedia/penyalur jasa atau barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat, maupun berperan sebagai pengepul barang-barang dari etnik Bali di Kuta untuk diperjual belikan kembali. Etnik Tionghoa dan etnik Bali di Kuta melakukan interaksi dalam bidang ekonomi. Etnik Bali di Kuta secara keseluruhan dalam mencari pencaharian mengandalkan pariwisata yang mulai berkembang baik pasca peristiwa pengeboman yang terjadi di kawasan Kuta.

Dalam masyarakat desa pakraman adanya integrasi etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta, hal ini terkait dengan adanya kedudukan etnik Tionghoa sebagai anggota desa pakraman. Pada tahun 2000 etnik Tionghoa di Kuta mendirikan banjar suka duka yaitu Banjar Dharma Semadi. Banjar Dharma Semadi merupakan

wadah perkumpulan etnik Tionghoa untuk mengurus etnik Tionghoa yang meninggal dan menikah di Kuta. Walaupun sebagai banjar suka duka namun untuk menangani masalah kedinasan harus melalui administrasi pada banjar dinas lingkungan Temacun.

Terlihat adanya integrasi sosial dalam bentuk asimilasi kebudayaan Tionghoa dengan budaya kesenian bali yaitu barong ket. Hubungan antara barong ket Banjar Pemamoran dan Banjar Temacun. Selain itu interaksi antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali terjalin semakin intens dengan secara teratur melaksanakan perayaan hari raya, khusunya perayaan Imlek di Kuta yang juga dilaksanakan oleh etnik Bali Hindu di Vihara Dharmayana.

Terintegrasinya etnik Tionghoa dalam bidang politik dengan masyarakat Kuta adalah ikut dalam partisipasi menjadi tim sukses salah satu golongan partai. hal ini menimbulkan kemajuan pada partisispasi politik yang semakin terbuka untuk etnik Tionghoa di Kuta.

  • 6.    Simpulan

Interaksi sosial antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta, menimbulkan terciptanya integrasi sosial di Kuta. Pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Bali yang makin

meluas didalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat, merupakan wujud adanya interaksi. Terintegrasinya kedua etnik tersebut bisa dilihat dari aktifitas mereka dalam kehidupan sehari-hari yaitu interaksi yang terjalin dalam bidang sosial ekonomi, selain itu secara      sosial      kemasyarakatan

perkawinan adalah salah satu pendukung pembauran atau asimilasi. Perkawinan     antar     masyarakat

khususnya antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali, sudah banyak terjadi di Kuta. Salah satunya perkawinan antara wanita Tionghoa dengan laki-laki Bali    yang    berbeda    agama.

Terintegrasinya etnik Tionghoa Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta dapat tercipta karena adanya suatu wadah adat yaitu terbentuknya banjar Dharma Semadi sebagai wadah adat suka duka bagi etnik Tionghoa di Kuta tahun 2000.

  • 7.    Daftar Pustaka

Gde Agung, Ide Anak Agung. 1989. Bali Pada Abad XIX. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Suara Indonesia, 25 April 1960

Sulistyawati (ed.). 2011. Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali dan Indonesia.    Denpasar:

Udayana Press.

Suparta, I Gede, Sujaya, I Made. 2010. Kuta Kita: Catatan Kuta Membangun, Badung: Kelurahan Kuta.

Tempo edisi 13-19 Agustus 2007

Tempo edisi 13-19 Agustus 2007

Widana, I Gusti Ketut. 1997. Menjawab Pertanyaan Umat: Yajna Sesa Pemborosan?. Denpasar : Yayasan Dharma Narada.

221