ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 21.1 Nopember 2017: 188-196

Medan Perjuangan Sosial Intelektual Hindu Bali Dalam Menghadapi Tantangan Islam Politik Kementerian Agama Republik Indonesia 1951-1958

Melva Santi Sihaloho1*, I Nyoman Wijaya2 123Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Unud 1[[email protected]] 2[ [email protected]] *

Corresponding Author

Abstract

Through the use of Social Struggle Field Boerdieu this study will not only talk about the position of Hindu Balinese intellectual groups. It includes discussing their tendency to reproduce, reshaping the Balinese social order in the face of the Islamic political group of the Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia (KAGRI). There are three research questions posed in this study, whose answers are sought by using the methodology of the political history, social history, and intellectual history of Kuntowijoyo’s. Besides, it is also used to assist the critical social science theory of poststructuralism, especially the generative structural theory of Boerdieu. The theory is used as the basis for thinking in digging and reconstructing the data and also placed within the framework of post-structuralism approach of Boerdieu style. In this way, the study was able to produce three conclusions from each of the research questions, which were then raised into a quintessence of conclusion that, in reproducing the social fabric of Balinese society in the face of the political Islamist group of the Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia (KAGRI) Balinese Hindu intellectuals put forward cultural thinking rather than economic thinking. Cultural thinking evolved from the habitus they had acquired since childhood. In facing the challenge of KAGRI political Islam group they are discouraging cultural thinking to the print media.

Keyword: Medan, Habitus, Capital.

  • 1.    Latar Belakang

Medan perjuangan sosial tidak hanya akan berbicara mengenai posisi kelompok-kelompok intelektual Hindu Bali. Akan tetapi lebih dari itu berbicara pula mengenai hubungan-hubungan di antara mereka. Termasuk pula di dalamnya membicarakan kecenderungan mereka dalam mereproduksi, membentuk kembali tatanan sosial masyarakat Bali saat menghadapi kelompok Islam politik Kementerian Agama Republik Indonesia (KAGRI) supaya menjadi sesuai dengan perspektif dan kepentingan masing-masing. Studi tahun 1951-1958 mengenai medan perjuangan sosial itu terutama

difokuskan pada reaksi kelompok-kelompok intelektual Hindu Bali terhadap tantangan kelompok Islam Politik KAGRI yang menyebut agama Hindu Bali hanya sebuah aliran kepercayaan karena tidak memiliki nabi, filsafat dan kepercayaan ketuhanan, keberadaan sekolah agama, ritual dan kitab suci. Kondisinya berbeda dengan Islam yang memiliki Alqur-an dan Injil untuk Kristen, sehingga keduanya layak disebut sebuah agama ( I Gusti Reshi Anandakusuma, 1966: 84-85). Penolakan yang dilakukan oleh kelompok Islam politik KAGRI tersebut ada kaitannya dengan cita-cita membentuk negara Islam Indonesia. Cita-cita tersebut bermula dari

adanya anggapan bahwa sila yang pertama dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa bertentangan dengan Islam. Sila tersebut dikatakan haram karena mencampurbaurkan dan menyamakan Tuhan dengan hal lain. Oleh karena itu mereka meminta supaya tidak terlalu terburu-buru menjadikan Pancasila sebagai filsafat negara.

Sejak peristiwa tersebut kelompok intelektual Hindu Bali bangkit untuk melakukan perlawanan dengan cara mendirikan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi sosial keagamaan, melengkapi yang sudah ada sebelumnya. Sebagian besar organisasi tersebut ingin memperkuat akar-akar keagamaan Hindu. Mereka yakin bahwa dengan memasukkan pemikiran-pemikiran mengenai akar-akar keagamaan termasuk di dalamnya budaya ke medan perjuangan melawan kelompok Islam politik KAGRI, maka orang-orang Hindu akan lebih mampu menghadapi tantangan tersebut. Berbekal akar-akar keagamaan tersebut, mereka melakukan perlawanan, baik secara eksternal maupun internal. Salah satu bentuk dari perlawanan eksternal tersebut adalah, pada tahun 1953 mereka membuat laporan yang ditujukan kepada pemerintah pusat melalui Kantor Urusan Agama tingkat provinsi. Laporan tersebut di atas disusun berdasarkan hasil peninjauan yang telah dilakukan di berbagai wilayah di Bali. Selain itu dilakukan pula perjuangan internal yang terlihat dari pernyataan ketua Kantor Urusan Agama (KUA) Hindu Bali, yang mengatakan bahwa perlunya pengajaran agama di Bali. Perlunya diajarkan kepada pelajar tingkat menengah mengenai filsafat agama, ajaran kesusilaan, aspek-aspek kemasyarakatan, dan sejarah agama.

Peristiwa tersebut di atas merupakan pusat dari sebuah lingkaran sentral mengantarkan Bali menuju tatanan sosial

baru. Perubahan tatanan sosial itu diawali dengan memperbaiki sistem pendidikan peninggalan masa kolonial. Salah satunya adalah menyelenggarakan sebuah kursus agama Hindu, yang diharapkan mampu menarik perhatian masyarakat dari semua kalangan tanpa terbatas pada petinggi agama saja. Selain itu muncul pula pemikiran supaya pemuda-pemudi Bali semakin bersemangat untuk mengenyam bangku sekolah sekalipun sampai ke luar Pulau Bali yang kemudian melahirkan golongan-golongan elite. Latar belakang tersebut di atas menunjukkan adanya permasalahan penting yang perlu dibahas dalam studi ini yakni, aksi-aksi kelompok-kelompok Islam politik KAGRI yang tidak mengakui agama Hindu sebagai agama yang sah di Indonesia mempunyai akibat-akibat di sekitarnya, terutama adanya keinginan kelompok intelektual Hindu untuk mereproduksi tatanan sosial masyarakat Bali. Akan tetapi ada perbedaan di antara kelompok intelektual Hindu Bali dalam memilih pintu masuk untuk mencapai tujuan tersebut, antara melalui jalur pemikiran budaya dan ekonomi.

  • 2.    Pokok Permasalahan

Terdapat korelasi sebab akibat antara terjadinya aksi-aksi kelompok-kelompok Islam politik KAGRI terhadap agama Hindu Bali dengan munculnya keinginan kelompok intelektual Hindu Bali untuk mereproduksi tatanan sosial masyarakat Bali dengan lebih mengutamakan pemikiran budaya daripada pemikiran ekonomi. Akan tetapi ini baru merupakan simpulan awal, maka dari itu, hal tersebut perlu dibuktikan dengan tiga pertanyaan penelitian yang diajukan dalam studi ini, yakni:

  • a.    Mengapa saat berhadapan dengan aksi-aksi kelompok Islam politik KAGRI muncul keinginan kelompok

intelektual Hindu Bali lebih mengedepankan pemikiran budaya daripada pemikiran ekonomi dalam mereproduksi     tatanan     sosial

masyarakat Bali?

  • b.    Bagaimana proses munculnya keinginan   kelompok   intelektual

Hindu Bali lebih mengutamakan pemikiran     budaya     daripada

pemikiran     ekonomi     dalam

mereproduksi     tatanan     sosial

masyarakat Bali saat berhadapan dengan aksi-aksi kelompok Islam politik KAGRI ?

  • c.    Apa implikasi dari adanya perbedaan pemikiran kelompok intelektual Hindu Bali antara yang berorientasi pada budaya dan ekonomi dalam mereproduksi     tatanan     sosial

masyarakat Bali saat berhadapan dengan kelompok Islam politik KAGRI?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah,

  • a.    Mengetahui            faktor-faktor

kondisional,   kontekstual, unsur-

unsur komponen dan eksponen yang menjadikan  kelompok  intelektual

Hindu Bali lebih mengedepankan pemikiran     budaya     daripada

pemikiran     ekonomi     dalam

mereproduksi     tatanan     sosial

masyarakat Bali saat berhadapan dengan kelompok Islam politik KAGRI.

  • b.    Mengetahui proses munculnya keinginan   kelompok   intelektual

Hindu Bali lebih mengutamakan pemikiran     budaya     daripada

pemikiran     ekonomi     dalam

mereproduksi     tatanan     sosial

masyarakat Bali saat berhadapan dengan aksi-aksi kelompok Islam politik KAGRI.

  • c.  Mengetahui implikasi dari adanya

perbedaan pemikiran kelompok intelektual Hindu Bali yang berorientasi pada budaya dan ekonomi dalam mereproduksi tatanan sosial masyarakat Bali saat berhadapan dengan kelompok Islam politik KAGRI.

  • 4.  Metode Penelitian

Ada tiga metodologi yang dipadukan dan kemudian diaplikasikan dalam penelitian ini. Pertama metodologi Sejarah Politik membicarakan politik tingkat lokal yang merupakan perpanjangan dari peristiwa nasional. Tujuannya untuk menggabungkan sejarah lokal dengan sejarah politik nasional (Kuntowijoyo, 2003:  175-187), pada

mulanya politik adalah tulang punggung sejarah (politic is the backbone of history). Metodologi sejarah politik memiliki delapan pendekatan, dari delapan pendekatan tersebut kemudian digunakan pendekatan sejarah sosial, karena keinginan kelompok intelektual Hindu untuk mereproduksi tatanan sosial masyarakat Bali dalam menghadapi aksi-aksi kelompok Islam politik, sehingga pendekatan sejarah sosial bisa disebut sebagai aspirasi politik dari kelompok-kelompok sosial yang sesuai dengan kepentingannya, seperti yang disebutkan di dalam butir ketujuh di atas. Oleh karena itu studi ini dipertajam lagi dengan Sejarah Politik Tingkat-Lokal yang berbeda dengan sejarah politik nasional.

Metodologi sejarah politik di atas dilengkapi pula dengan metodologi sejarah sosial. Sejarah sosial adalah sejarah yang mempunyai bahan garapan yang sangat luas dan beraneka ragam. Dalam hubungan strategi penulisan sejarah sosial berusaha untuk menjelaskan beberapa model yang dapat

dipakai dalam mengorganisasikan dan mensintesakan tulisan sejarah. Kuntowijoyo menawarkan 6 model yang terdapat dalam Sejarah Sosial. Dari enam pilihan tersebut, penelitian ini lebih difokuskan ke bagian yakni model Lingkaran Sentral. Model ini tidak menulis mengenai suatu masyarakat dari awal, tetapi dari titik yang sudah menjadi. Titik tersebut dalam model ini adalah perjuangan pengakuan keabsahan agama Hindu di Indonesia. Penelitian ini lebih difokuskan pada wacana-wacana yang dilontarkan oleh kelompok intelektual Hindu Bali baik di kalangan pejabat pemerintahan, maupun intelektual mengenai perjuangan pengakuan agama Hindu tersebut.

Selain kedua metodologi di atas, digunakan juga metodologi Sejarah Intelektual. Menurut F.R. Ankersmit yang menjadi objek penelitian sejarah intelektual adalah sesuatu yang oleh budi manusia tercapai ada masa-masa yang silam. Perhatian utama dalam metodologi ini terletak pada sejarah teori politik. Selain itu, sejarah intelektual juga berfungsi untuk menyusun kembali perbekalan intelektual dalam suatu kurun waktu tertentu (F.R Anskermit, terj., Dick Hartoko,, 1987: 302-303). Dengan menggunakan metodologi sejarah intelektual dalam studi ini ingin ditampilkan suatu perbekalan intelektual kelompok intelektual Hindu Bali melalui pemikiran -pemikiran yang mereka sampaikan. Dengan mengetahui perbekalan intelektual kelompok intelektual Hindu Bali tersebut, dapatlah diungkap relasi-relasi kuasa tersembunyi dalam setiap pertarungan kekuasaan tersebut.

  • 4.1    Landasan Berpikir

Terdapat dua teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai landasan

berpikir. Oleh karena itu menurut Sartono Kartodirdjo, teori sejarah dapat digunakan untuk menerangkan pertanyaan introgatif, yaitu, apa, kapan, di mana, siapa, dan bagaimana suatu peristiwa terjadi. Sementara, untuk menjawab mengapa suatu peristiwa itu terjadi, maka diperlukan bantuan teori sosial. Fungsi teori ilmu sosial dalam ilmu sejarah adalah untuk menganalisis faktor-faktor, kondisional, kontekstual, unsur-unsur komponen dan eksponen ( Sartono,1992: 2-3). Teori sejarah meliputi historical understanding, historical explanation, historical objectivity, historical causation, dan historical determinism (Sidemen, Widya Pustaka, Tahun VIII No. 2, Januari 1991: 32-48). Mengingat studi ini merupakan sejarah Pascastrukturalisme, maka tidak semua teori sejarah strukturalisme tersebut digunakan.

Dalam penelitian ini kelima masalah pokok tersebut yang digunakan yakni, satu, historical explanation, ,menurut William Dary tugas sejarawan terdiri atas menerangkan mengapa sesuatu terjadi dan memusatkan pada eksplanasi sejarah yang identik dengan interpretasi sejarah. Sejarawan menerangkan kejadian sejarah dengan mensitesiskan bagian-bagian menjadi keseluruhan yang baru. Dua, historical objectivity, menurut Leopold von Ranke dan para muridnya objektivitas sejarah dapat dicapai dengan mudah, melalui pelaporan seperti apa yang telah terjadi menurut dokumen sejarah. Tiga, historical causation, Sejarawan memperbincangkan masa lampau dengan membicarakan satu kejadian yang disebabkan oleh kejadian lain. Menjelaskan cara sebab akibat dalam sejarah yang menyangkut yakni harus memperhatikan dua kejadian atau lebih dan menegaskan adanya hubungan antara kejadian-kejadian itu.

Dalam batas-batas tertentu pertanyaan penelitian yang kedua terutama menyangkut persoalan bagaimana suatu peristiwa terjadi akan digunakan juga teori- teori ilmu sosial kritis. Sementara sebagai landasan berpikir untuk pertanyaan penelitian yang pertama digunakan teori sosiologis modern terutama Struktural Generatif dari Pierre Bourdieu. Teori tersebut berbunyi: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik ( Richard Harker, et al, terj. Pipit Maizier, 2009: 1-32). Sesuai namanya, menurut Nyoman Wijaya, teori tersebut hendaknya tidak dibaca secara Matematika, melainkan Biologi. Oleh karena itu tanda x bukan merupakan suatu perkalian, melainkan peleburan (perkawinan), sedangkan tanda = bukan berarti sama atau setara dengan, melainkan pembuahan (Wijaya, Makalah, 2015). Dengan pemahaman seperti itu, maka kelompok-kelompok intelektual Hindu Bali yang merupakan subjek studi dipelajari proses terbentuk habitus mereka. Apakah dari sejak kecil, mereka sudah terbiasa hidup dalam lingkungan budaya, sehingga gagasan-gagasan di bidang kebudayaan lebih dominan daripada pemikiran ekonomi. Apakah gagasan-gagasan di bidang kebudayaan tersebut berlanjut ketika mereka sekolah, membaca buku-buku, artikel-artikel yang dianggap sebagai salah satu informasi sekaligus menambah wawasan mereka tentang kebudayaan Bali, sehingga merupakan sesuatu yang sangat penting, yang dapat dipakai untuk menjawab tantangan yang sedang mereka hadapi.

Apabila habitus seperti tersebut di atas sudah terbentuk, maka bisa dimengerti jika kelompok-kelompok intelektual Hindu tersebut sudah menghasilkan modal budaya. Oleh karena sudah menghasilkan modal budaya (pendidikan, intelektualitas), maka bisa dimengerti pula jika ada di

antara mereka yang menulis artikel-artikel tentang budaya untuk mereproduksi tatanan sosial masyarakat Bali saat berhadapan dengan kelompok Islam politik KAGRI yang menuduh agama Hindu hanya sebagai sebuah aliran kepercayaan. Kemampuan di dalam menulis artikel-artikel tentang budaya tersebut terjadi karena kelompok-kelompok intelektual Hindu tersebut bisa memilih ranah yang sesuai dengan habitus dan modal yang mereka miliki, yakni arena pendidikan. Sebagian besar penulis artikel tentang budaya Bali tersebut yang berhasil ditemukan dalam studi ini adalah guru atau orang-orang sudah terbiasa dalam menuangkan gagasan-gagasan dalam sebuah artikel.

Melalui teori tersebut Bourdieu membangun sebuah pendekatan yang disebut medan perjuangan sosial (champ). Haryatmoko menjelaskan, model konsep ruang seperti ini memungkinkan untuk dipakai menganalisis posisi kelompok-kelompok, hubungan-hubungan mereka, dan kecenderungan mereproduksi tatanan social (Haryatmoko, Basis, No. 11-12, Tahun ke-51, November-Desember 2003: 14). Pendekatan tersebut dapat diaplikasikan dengan cara memosisikan kelompok intelektual Hindu Bali dalam makrokosmos sosial, kurang lebih homogen yakni di bidang jurnalistik. Medan (arena) di bidang jurnalistik pada dasarnya adalah tempat terjadinya persaingan dan perjuangan mereka dalam mereproduksi tatanan sosial masyarakat Bali saat berhadapan dengan kelompok Islam politik KAGRI yang menuduh agama Hindu sebagai sebuah aliran kepercayaan. Supaya tampil sebagai pemenang dalam persaingan dan perjuangan dalam mereproduksi tatanan sosial masyarakat Bali, maka pelaku yang masuk dalam suatu lingkungan jurnalistik untuk memperjuangkan

kepentingan-kepentingan politik, maka mereka harus menguasai kode-kode dan aturan-aturan permainan politik. Tanpa penguasaan kode-kode dan aturan-aturan tersebut, maka mereka akan terlempar keluar dari permainan tersebut.

Di dalam teori Bourdieu, terdapat tiga konsep yang menyertainya, yakni habitus, modal, dan ranah. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran itu terjadi secara halus, tidak disadari, dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan diberikan oleh alam atau sudah dari sananya. Habitus juga bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara tidak sadar dianggap alamiah. Artinya produk sejarah setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Singkatnya, habitus bukan kodrat, bukan pula bawaan alamiah yang melengkapi manusia, baik secara psikologis maupun biologis.

Sementara habitus kolektif dipelajari dengan cara melihat tradisi-tradisi dan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat sesuai dengan jiwa zaman mereka masing-masing. Oleh karena kelompok intelektual Hindu tersebut mereproduksi tatanan sosial masyarakat Bali pada tahun 1950-an, dengan berasumsi usianya rata-rata 20 tahun, maka dapat diperkirakan bahwa mereka generasi kelahiran tahun 1930-an. Oleh karena itu pembentukan habitus kolektif mereka dipelajari dengan cara mempelajari tradisi-tradisi dan adat kebiasaan masyarakat Bali mulai sejak tahun 1930-an sampai dengan tahun 1950-an. Data habitus kolektif tersebut dicari dalam artikel-artikel yang dipublikasikan dalam media cetak pada periode tersebut. Dalam penjabarannya,

sejak kecil mereka sudah dilibatkan atau terlibat dalam berbagai kegiatan budaya, mulai dari lingkungan rumah, banjar, kemudian desa. Setiap harinya mereka sudah banyak mempelajari budaya seperti upacara sehari-hari, seni tari, seni lukis, dan lain-lain. Habitus kolektif tersebut dipakai untuk menjelaskan kecenderungan kelompok Intelektual Hindu Bali yang lebih mengedepankan pemikiran budaya daripada pemikiran ekonomi dalam mereproduksi tatanan sosial masyarakat Bali saat berhadapan dengan kelompok Islam politik KAGRI yang menuduh agama Hindu sebagai sebuah aliran kepercayaan.

Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap Ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan dapat bertahan di dalamnya. Modal juga dipandang Boerdieu sebagai basis dominasi. Beragam jenis modal dapat ditukar dengan jenis-jenis modal lainnya yang artinya modal bersifat yang dapat ditukar. Menurut Boerdieu, modal ada 4 jenis yakni, modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik yang dapat dikonversi. Termasuk modal budaya yakni ijazah, pengetahuan yang sudah diperoleh, kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal sosial, merupakan hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal simbolik, seperti misalnya kantor yang luas di daerah mahal, mobil dengan sopirnya, petunjuk-petunjuk yang tidak mencolok mata yang menunjukkan status

tinggi pemiliknya, misalnya gelar pendidikan yang dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, dan cara mengafirmasi otoritasnya.

Ranah merupakan jaringan relasi antara posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individual. Ranah bukan ikatan intersubjektif antarindividu, namun semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Konsep ini dipakai untuk melihat semacam hubungan yang terstruktur dari para intelektual Hindu yang tanpa mereka sadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam suatu medan perjuangan sosial yang terbentuk secara spontan ketika munculnya tantangan dari kelompok Islam politik KAGRI.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

    • 5.1    Terbentuknya Habitus Kelompok Intelektual Hindu Bali

  • Kemampuan        kelompok

intelektual Hindu Bali menulis di media cetak merupakan sesuatu yang dapat ditelusuri dari habitus mereka  masing-masing. Hasil

pertanyaan penelitian pertama bagian   kesatu menunjukkan

bahwa oleh karena mereka setiap hari sudah ikut dalam lingkungan budaya seperti upacara kematian, perkawinan, dan lain sebagainya maka dengan sendirinya mereka memiliki modal budaya. Ketika kemudian bersekolah modal budaya itu menjadi semakin kuat, dan modal budaya tersebut dituangkan dengan cara menulis artikel-artikel.

  • 5.2    Faktor- faktor     Pendorong

Eksternal Kelompok Intelektual Hindu Bali Mengutamakan Pemikiran Budaya

  •    Kemampuan jurnalistik yang dimiliki     oleh     kelompok

intelektual Hindu Bali mendorong mereka menyampaikan pemikiran mereka di media cetak saat wacana negara Islam muncul.

  •    Tidak diakuinya agama Hindu oleh    KAGRI    mendorong

kelompok intelektual Hindu Bali untuk melakukan perjuangan, akan tetapi saat itu kelompok intelektual Hindu Bali terpecah menjadi dua bagian yakni ada kelompok yang mengedepankan pemikiran budaya dan ada pula kelompok yang mengedepankan pemikiran ekonomi. Akan tetapi kelompok yang mengedepankan budaya     lebih     menonjol

dibandingankan           yang

mengedepankan ekonomi.

  • 5.3    Pengutamaan Pemikiran Budaya daripada Pemikiran Ekonomi dalam Menghadapi Tantangan Kelompok Islam Politik

O Pendidikan baru benar-benar terealisasi di Bali pada awal tahun 1952, sehingga masih sedikit yang bisa menulis dan membaca.

O Hasil pertanyaan penelitian kedua membicarakan proses bagaimana mereka mengutamakan pemikiran budaya daripada pemikiran ekonomi, proses tersebut dapat dilihat saat saat kelompok intelektual Hindu Bali berhadapan dengan kelompok Islam politik KAGRI,     mereka     lebih

membangun lembaga pendidikan berbasis budaya, salah satunya sekolah agama Hindu. Hal ini

sebagai salah satu bukti bahwa mereka lebih mengedepankan pemikiran budaya daripada pemikiran ekonomi.

O Kemudian memasukkan agama Hindu sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah.

  • 5.4    Implikasi Perbedaan Orientasi Pemikiran Budaya dan Ekonomi dalam Mereproduksi Tatanan Sosial Masyarakat Bali

  •    Kelompok intelektual Hindu Bali melakukan koordinasi dengan membentuk lembaga-lembaga keagamaan      di      tingkat

pemerintahan dan masyarakat, sebagai dampak perbedaan orientasi pemikiran budaya dan ekonomi.

  •    Membenahi substansi yang berkaitan dengan ajaran agama Hindu dengan cara melaksanakan Pesamuhan Agung.

  •    Mengadakan   ceramah-ceramah

keagamaan yang bertujuan untuk meneguhkan   agama Hindu,

sekaligus agar dapat menghadapi tantangan zaman.

  • 6.    Simpulan

Berdasarkan ketiga hasil penelitian studi ini telah terbukti bahwa memang benar telah terjadi medan perjuangan sosial pada saat berhadapan dengan kelompok Islam politik KAGRI dalam mereproduksi membentuk kembali tatanan sosial masyarakat Bali, kelompok intelektual     Hindu Bali     lebih

mengedepankan pemikiran budaya daripada pemikiran ekonomi. Pemikiran budaya tersebut berkembang dari habitus mereka yang diperoleh sejak masih kanak-kanak. Dalam menghadapi tantangan kelompok Islam politik

KAGRI mereka mewacanakan pemikiran budaya tersebut ke media cetak.

  • 7.    Saran

Sebagai orang luar, beda suku dan agama lalu masuk di dalam studi ini yang membicarakan agama Hindu memberikan kesan tersendiri bagi penulis. Penelitian seperti ini memberikan wawasan lebih luas bagi penulis untuk memahami Indonesia lebih jauh. Oleh karena itu, penulis sarankan supaya mempelajari atau melakukan penelitian di luar lingkungan budaya dan daerahnya. Selain itu juga disarankan agar menggunakan pendekatan Pascastrukturalisme seperti yang digunakan dalam penelitian ini yang penuh dengan tantangan namun menambah ilmu pengetahuan penulis tentang sejarah.

  • 8.    Daftar Pustaka

Anandakusuma, I. G. R. Pergolakan Hindu Dharma II. Denpasar: Pustaka Balimas, 1966.

Ankersmit, F.R. Refleksi Tentang Sejarah. Jakarta: PT Gramedia, 1987.

Harker, Richard et al., (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Piere Bourdieu, terj. Pipit Maizier. Yogyakarta: Jalasutra, cetakan kedua, 2009.

Haryatmoko, “Landasan Teoretis Gerakan Sosial Menurut Pierre Boerdieu: Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa,” Basis No. 1112 Tahun ke-52, November-Desember 2003.

Kuntowijoyo. Metodologi   Sejarah.

Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.

Sartono Kartodirdjo. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1992.

Sidemen, Ida Bagus. “Lima Masalah Pokok dalam Teori Sejarah,” dalam Widya Pustaka edisi tahun VIII Nomor 2 Januari 1991. Denpasar:    Fakultas Sastra

Universitas Udayana, 1991.

Wijaya, Nyoman. “Mempersoalkan Kredibilitas Temuan Peneliti Asing Dalam Soal Politik Identitas Orang Bali.” Makalah yang dipresentasikan pada Call for      Paper      International

Conference : Contribution of History for Social Sciences and Humanities, Universitas Negeri Malang, Malang, 5 September 2015.

196