ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 21.1 Nopember 2017: 180-187

Genealogi Kemenangan Partai Nasional Indonesia Dalam Pemilu 1955 di Bali

Fernanda Estepan br. Peranginangin1*, Sulandjari2 123Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Unud 1[[email protected]] 2[[email protected]] *

Corresponding Author

Abstract

The Indonesian National Party (PNI) emerged as the winner of the first Indonesian elections in 1955. Amidst the conditions of the largely illiterate and politically blind people the PNI triumphal process became an interesting thing to reveal. Through the use of Genealogy Foucault this study reveals the hidden power-knowledge relation within the public discourse, which was captured by the political community and the PNI-backed society in the PNI triumphal process in the 1955 Election in Bali. There are three research questions posed in this study, whose answers are sought using the help of Kuntowidjoyo's historical political and intellectual methodology. It is also used to assist the critical social science theory of poststructuralism, especially Foucault's theory of truth-power-discourse relation. The theory is used as the basis for thinking in digging and reconstructing the data and placed also in the framework of the approach of post-refluxism history of Foucault. In this way, the study was able to produce three conclusions from each research question, which was then raised to a conclusion essence, that the PNI was essentially selective about the discourse that would be chosen to be the power that would allow the PNI to emerge as the winner in Election 1955. Any discourse considered to be political advantage, captured the hidden knowledge relations in it, then on that basis creates a new discourse which is considered a truth. Their selectivity in choosing the discourse, ultimately has implications so many discourses that are untouchable which then made criticism by the public through print media.

Keyword : Discourse, Power, Genealogy.

  • 1.    Latar Belakang

Pemilu 1955 adalah suatu praktik politik yang baru. Pengalaman pertama bagi masyarakat Bali dalam memilih para pemimpinnya secara langsung, memilih sendiri-sendiri, asalkan sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Sekalipun suatu hal yang baru, masyarakat Bali bukannya tidak mengenal dunia politik sebelum pemilu 1955 dirancang, diproses, dan dilaksanakan. Bali bagian dari masyarakat kolonial yang usianya relatif muda, baru sekitar 50 tahun ketika Pemilu 1955. Akan tetapi berbagai kebijakan yang dipraktekkan oleh penguasa pada periode tersebut telah

membentuk epistème masyarakat politik dan masyarakat pendukung PNI.

Sekalipun peristiwa tersebut merupakan suatu peristiwa yang besar yakni Pemilu 1955 di Bali, namun genealogi kekuasaan kemenangan PNI dalam pemilu 1955 dapat dicari pada peristiwa-peristiwa sepele yang diabaikan dan fenomena yang sering ditolak atau tidak diperhitungkan ikut menentukan kemenangan PNI dalam Pemilu 1955 di Bali. Sudut pandang ini menjadikan objek penelitian ini masih pantas dikaji dengan cara memakai metode genealogi Foucault.

Pengkajian tersebut dilakukan dengan melihat wacana-wacana publik yang tidak beraturan dan yang remeh-

temeh. Wacana publik tersebut difokuskan pada pengetahuan lokal, hal-hal sepele dan diskontinu. Tidak mencari asal-usul tapi lebih kepada konsepsi awal mula historis. Sebaliknya hanya berkeinginan untuk menyingkap keanekaragaman faktor di balik peristiwa yang memungkinkan PNI memperoleh kemenangan dalam Pemilu 1955 di Bali. Sementara, untuk wacana-wacana besar yang bersifat nasional, akan tetap diperhatikan, bahkan dijadikan pintu masuk sepanjang masih ada konsep asal mula historisnya dengan kemenangan PNI dalam Pemilu 1955 di Bali.

Setelah melihat wacana-wacana yang muncul selama rentang waktu 19511955 di Bali, yang sekaligus dijadikan sebagai batasan temporal dan spasial studi, ternyata banyak ditemukan wacana publik yang tidak beraturan dan yang remeh-temeh, yang seolah-olah tidak ada hubungan sama sekali dengan kemenangan PNI dalam Pemilu 1955 di Bali, yang merupakan skup spasial studi ini.

Dengan alasan seperti tersebut di atas, maka studi ini akan difokuskan pada wacana-wacana publik di media cetak. Suatu hal yang menonjol darinya adalah adanya sejumlah wacana yang mengaitkan kandungan-kandungan historis ke dalam lintasan teratur dan tertata yang pada akhirnya ikut berperan bagi kemenangan PNI dalam Pemilu 1955.

Latar belakang masalah tersebut di atas kemudian menunjukkan adanya suatu persoalan yang perlu dibahas yakni terdapatnya relasi kuasa di dalam kemenangan PNI pada pemilu 1955. Relasi kuasa tersebut tersembunyi di dalam wacana-wacana publik yang tidak berkesinambungan satu sama lain, namun pengetahuan yang tersembunyi di dalamnya dapat ditangkap oleh masyarakat dan elite politik PNI untuk

dijadikan sebagai kekuasaan dalam memenangkan Pemilu 1955.

  • 2.    Pokok Permasalahan

Terdapat korelasi sebab-akibat dalam permasalahan tersebut yakni kemenangan PNI dalam Pemilu 1955 di Bali adalah akibat dari suatu sebab yakni kemampuan masyarakat dan elite politik PNI dalam menangkap setiap wacana publik yang dianggap potensial untuk dijadikan kekuasaan yang dianggap sebagai suatu kebenaran. Akan tetapi pernyataan ini baru merupakan suatu simpulan sementara dan untuk menjadikannya sebagai sebuah simpulan tetap, maka terlebih dahulu dalam studi ini akan dilakukan pengujian-pengujian dengan cara mengajukan tiga buah pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Mengapa sekalipun begitu banyak diskontinuitas dalam wacana publik 1951-1955, namun PNI di Bali tetap tampil sebagai pemenang Pemilu 1955?,

  • b.    Bagaimana prosesnya PNI menangkap pengetahuan yang tersembunyi dalam diskontinuitas wacana publik sehingga memberikan peluang baginya tampil sebagai pemenang dalam Pemilu 1955?,

  • c.    Apa implikasinya ketika PNI di Bali memilih lebih mengutamakan menangkap pengetahuan tersembunyi dalam suatu wacana publik yang menguntungkan dirinya secara politik terhadap situasi dan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Bali?.

  • 3.    Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah,

  • a.    Memahami dan memberi gambaran jelas tentang faktor-faktor, kondisi-kondisi     yang     menentukan

kemenangan PNI di Bali dalam

Pemilu 1955 sekalipun begitu banyak diskontinuitas dalam wacana publik 1951-1955.

  • b.    Mengetahui proses PNI di Bali dalam menangkap pengetahuan yang tersembunyi dalam diskontinuitas wacana      publik      sehingga

memberikannya peluang untuk tampil sebagai pemenang dalam Pemilu 1955.

  • c.    Mengungkapkan implikasi yang ditimbulkan terhadap situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat Bali manakala PNI di Bali lebih memfokuskan         perhatiannya

menangkap pengetahuan yang tersembunyi dalam wacana publik yang memberikannya keuntungan secara politik sehingga tampil sebagai pemenang Pemilu 1955.

  • 4.    Metode Penelitian

Ada tiga metodologi yang dipadukan dan kemudian diaplikasikan dalam penelitian ini. Metode yang pertama adalah metode Genealogi Michael Foucault. Dalam hal ini, Genealogi adalah sebuah cara menelanjangi diri sendiri atau kritik ontologis diri sendiri, dalam rangka membongkar berbagai bentuk relasi kekuasaan di baliknya. Genealogi berusaha menelanjangi segala sesuatu, khususnya sumber awal (origin), fungsi permulaan, konteks lingkungan, landasan kehendak, dan relasi kekuasaan di balik sebuah pengetahuan, yang selama ini ditutupi,      disembunyikan,      atau

dibungkam. Genealogi menampakkan segala sesuatu yang sebelumnya disembunyikan itu (Piliang, 2004: 489).

Dalam    penulisan     sejarah

pascastrukturalisme, sebenarnya dengan menggunakan metode genealogis saja sudah cukup, karena di dalamnya sudah terkandung metodologi dan epistemologi, ilmu tentang ilmu (Rabinow, 2002:17).

Akan tetapi metode genealogi tidak memberikan sebuah model yang memungkinkan untuk menentukan sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengkaji objek penelitian. Mengingat objek penelitian ini adalah kemenangan PNI dalam Pemilu 1955, maka yang akan digunakan adalah model sejarah politik ala Sartono Kartodirdjo.

Melalui metodologi sejarah politik ala Sartono Kartodirdjo ini, akan dapat diketahui bahwa proses politik sebagai kompleksitas hubungan antara pemimpin dan pengikut, otoritas dan ideologi, ideologi dan mobilisasi, solidaritas dan loyalitas, dan lain sebagainya, kesemuanya akan mampu mengungkapkan pola distribusi pengaruh dan kekuasaan (polity) dalam kaitannya dengan pola distribusi komoditi (economy) serta dengan society sendiri (pola distribusi hubungan sosial). Dengan peralatan analisis itu proses politik di tingkat subnasional pun, umpamanya di tingkat lokal, dapat ditelaah dan diuraikan (Sartono, 1992: 46-47).

Sejarah Politik sendiri dalam pembagiannya memiliki delapan pendekatan, dari delapan pendekatan tersebut kemudian dipilih Sejarah intelektual. Dari delapan pilihan tersebut pendekatan sejarah intelektual dipilih karena berkesesuaian dengan metode genealogi yang sesungguhnya juga sebuah sejarah intelektual, seperti yang dikatakan oleh Ritzer. Dia mengatakan, genealogi adalah jenis sejarah intelektual yang sangat khas sifatnya, cara mengaitkan kandungan-kandungan historis ke dalam lintasan teratur dan tertata yang bukan pengungkapan serta sederhana asal usulnya atau realisasi niscaya dari tujuan-tujuan mereka (Ritzer, 2012: 654).

Selain itu, dipilihnya pendekatan sejarah intelektual karena ada upaya untuk mengungkapkan pemikiran-

pemikiran (ideologi) yang memengaruhi perilaku-perilaku masyarakat politik dan masyarakat sipil, pada dekade awal pengakuan kedaulatan Indonesia. Sebagai konsekuensi dari pendekatan sejarah intelektual yang disebutkan di atas, digunakan pula dalam penelitian ini metodologi ketiga yakni metodologi sejarah Intelektual. Menurut F.R. Ankersmit yang menjadi objek penelitian sejarah Intelektual adalah sesuatu yang oleh budi manusia tercapai pada masa-masa yang silam. Perhatian utama dalam metodologi ini pada sejarah teori politik. Selain itu, sejarah intelektual menurutnya juga berfungsi untuk menyusun kembali perbekalan intelektual dalam suatu kurun waktu tertentu (Ankersmit, terj., Dick Hartoko,, 1987: 302-303).

  • 4.1    Landasan Berpikir

Dalam proses penelitian, kata Genealogi didapati dari metodologi Genealogi Michael Foucault yang menjadi suatu landasan berfikir yang berasal dari Teori Sosial Kritis yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam pengertian Foucault, Genealogi memiliki tiga model pengertian, yakni ursprung, herkunft, dan entstechung (Wijaya, Makalah, 2017). Melalui penggunaan herkunft dan entstechung sebagai media pengertian yang kemudian digabungkan menjadi satu kesatuan, maka kemudian ditemukan jalan keluar untuk memahami genealogi kekuasaan kemenangan PNI dalam Pemilu 1955. Jalan keluar tersebut dalam penelitian ini kemudian membuktikan bahwa kemenangan PNI dalam Pemilu 1955 di Bali adalah akibat dari suatu sebab yakni kemampuan masyarakat dan elite politik PNI dalam menangkap setiap wacana publik yang dianggap potensial untuk dijadikan kekuasaan yang dianggap sebagai suatu kebenaran.

Teori yang merupakan suatu pokok landasan berfikir, dalam penelitian ini digunakan sebanyak dua buah. Sebagai suatu studi penelitian sejarah tentu untuk menjawab pertanyaan introgatif, yaitu apa, kapan, siapa, dimana, dan bagaimana suatu peristiwa terjadi digunakan teori Sejarah. Seperti yang telah dipaparkan Ida Bagus Sidemen dalam majalah Widya Pustaka, ada lima masalah pokok yang menjadi bahasan dalam teori Sejarah. Kelima masalah pokok itu yakni historical understanding, historical explanation, historical objectivity, historical determinsm (Sidemen, Widya Pustaka, Tahun VIII No.2, Januari 1991: 32-48). Mengingat studi ini merupakan sejarah pascastrukturalisme, maka tidak semua teori sejarah strukturalisme tersebut di atas bisa digunakan. Pengikut aliran pascastrukturalis mengatakan sejarah terkait dengan kekuasaan dan kebenaran (Alexander Aur, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (eds.), 2006: 149). Oleh karena itu, dalam studi ini dari kelima masalah pokok tersebut yang kemudian dipakai hanyalah satu, historical explanation digunakan karena masih ada relevansinya. Seperti dijelaskan oleh H. Wals eksplanasi dilakukan dengan cara mengumpulkan bukti kejadian sejarah, selanjutnya menempatkannya dalam keterkaitan yang intrinsik kemudian dihubung-kaitkan dengan konteks sejarah (Sidemen, Widya Pustaka, Tahun VIII No.2, Januari 1991: 38-39).

Teori ini digunakan dalam penelitian ini terutama untuk membantu menjelaskan hubungan antara kuasa-pengetahuan yang memungkinkan PNI dalam sebagai pemenang Pemilu padahal begitu banyak terjadi di diskontinuitas dalam wacana publik. Historical objectivity teori ini akan dapat membantu menganalisis keobjektifan dari penelitian

ini berdasarkan sumber yang ada, berupa buku referensi, hasil wawancara dan sumber lainnya. Historical causation digunakan dalam studi ini karena terkait dengan penjelasan sebab-akibat dalam sejarah dengan dua langkah yakni, memperhatikan dua kejadian atau lebih dan menegaskan bahwa ada hubungan antara kejadian-kejadian itu. Akan tetapi sebagai sebuah sejarah pascastrukturalism, maka dalam studi ini yang akan dicari adalah sebab-sebab terdekat dari suatu peristiwa.

Sementara, untuk menjawab pertanyaan mengapa dalam penelitian ini digunakan bantuan dari teori ilmu sosial kritis, yakni teori Kekuasaan Michael Foucault, dengan fokus kepada penggunaan metodologi Genealogi Foucault sebagai landasan berfikir untuk menjawab pertanyaan mengapa. Teori ini dalam pengerjaannya akan memungkinkan suatu analisis terhadap wacana-pengetahun-kekuasaan, yakni suatu cara pandang untuk menjelaskan relasi yang tidak tampak di berbagai wacana, yaitu relasi kekuasaan. Setiap wacana menyatu dengan kekuasaan yang beroperasi di baliknya; dan juga tidak bisa dipisahkan dari relasi kekuasaan yang tersembunyi di baliknya, yang merupakan produk dari praktik kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud Foucault bersifat plural tidak sentralistik, yang tumbuh dari berbagai ruang periferal, dan ada di mana-mana (Wijaya, Disertasi, 2009: 223).

Dalam proses analisisnya metodologi Genealogi dapat dijabarkan secara abstrak dengan menggunakan tiga buah konsep yakni, wacana, pengetahuan, dan kekuasaan. Konsep wacana dapat dipakai sebagai landasan berpikir untuk menunjukkan adanya suatu tindak bahasa yang terlihat melalui wacana-wacana publik sepanjang tahun

1951-1955 yang akan ditanggapi secara berbeda sesuai tingkat pengetahuan, pengalaman, dan penalaran individu-individu yang menangkapnya untuk dijadikan kekuasaan. Konsep pengetahuan, dilingkupi oleh epistème. Menurut Ankersmit, epistème adalah struktur yang dibuat oleh Foucault untuk memahami masa lampau yang disebutnya sebagai suatu lautan (kumpulan) kata dan bahasa, yang dipakai oleh suatu masyarakat dalam keadaan yang beraneka ragam (Ankersmit, terj., Dick Hartoko, 1987: 310-311).

Ada tiga sifat utama dalam epistème, satu, epistème menentukan bagaimana manusia melihat dan mengalami kenyataan yang sangat ditentukan oleh latar belakangnya (keilmuannya), penalarannya, sehingga setiap orang yang berbeda ilmu bisa menafsirkan sebuah gambar yang sama dengan caranya sendiri-sendiri. Dua, Foucault mengkaitkan epistème dengan larangan, penyangkalan, dengan pengesampingan. Ketiganya menjadi pintu pembuka untuk mengetahui epistème yang menyelimuti pengetahuan seseorang Tiga, dalam epistème diungkapkan bagaimana suatu hubungan tertentu antara bahasa dan kenyataan. Bahasa menurut Foucault, bukan sebuah medium yang transparan, yang membuka jalan untuk dapat berbicara mengenai kenyataan serta serta menelitinya (Ankersmit, terj., Dick Hartoko, 1987: 311-312).

Dari tiga model epistème yang menyelimuti pengetahuan itu, yang paling cocok dengan studi ini adalah model yang pertama, bahwa masyarakat politik di Bali dari sejak awal pemilu dicanangkan dan dilaksanakan (19511955), mempunyai cara yang berbeda-beda di dalam menangkap pengetahuan yang tersembunyi dalam wacana-wacana yang berkembang di masyarakat, karena

mereka mengalami kenyataan yang berbeda-beda satu sama lain. Kenyataan tersebut bisa terbentuk melalui aliran ideologi     politik     masing-masing

(Ankersmit, terj., Dick Hartoko, 1987: 311-312).

Konsep kekuasaan merupakan tema sentral dalam pemikiran Foucault. Foucault mengajarkan cara membaca kekuasaan secara berbeda, sebab kekuasaan itu tidak bersifat subjektif. Kekuasaan menyebar tanpa bisa dilokalisasi dan meresap dalam seluruh jalinan perhubungan sosial. Kekuasaan beroperasi dan bukan dimiliki oleh oknum siapa pun dalam relasi-relasi pengetahuan, ilmu, lembaga-lembaga. Lagipula sifatnya bukanlah represif, melainkan        produktif        dan

menormalisasikan     susunan-susunan

masyarakat (Redaksi, Basis, No. 01-02, Thn ke-51, Februari 2002: 6). Konsep di atas akan dipakai sebagai landasan berfikir terkait adanya suatu kekuasaan yang tidak bersifat subjektif, melainkan objektif yang akan menentukan proses berjalannya Pemilu 1955. Konsep ini membantu untuk memahami bahwa kekuasaan yang timbul dalam Pemilu 1955 bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang, melainkan sesuatu dampak dari hubungan-hubungan atau relasi-relasi yang saling terkait berdasar pemahaman masing-masing individu dalam menangkap suatu wacana publik antara 1951- 1955.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

    • 5.1. Terbentuknya           Epistème

Masyarakat Politik di Bali

  • a.    Epistème yang telah terbentuk di jaman     pemerintah     kolonial

memberikan modal yang cukup kuat bagi masyarakat politik dan masyarakat pendukung PNI dalam menangkap pengetahuan yang

tersembunyi dalam setiap wacana-wacana publik yang dianggap akan memberikan keuntungan politik kepada PNI.

  • b.    Masyarakat politik dan elite partai PNI mengatur dirinya sendiri dan para pendukung partainya, melalui produksi pengetahuan antara lain melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan cara mengangkat orang menjadi subjek dan kemudian memerintah     subjek     dengan

pengetahuan yang tersembunyi dalam setiap wacana yang mereka lontarkan.

  • c.    Kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan dalam setiap wacana politik yang mereka lontarkan, bukan karena persekongkolan anggota elite masyarakat, karena ini merupakan kesengajaan aktor.

  • d.    Tidak semua wacana politik ditangkap pengetahuannya untuk dijadikan kuasa, melainkan hanya terbatas pada wacana-wacana publik yang    sekiranya memberikan

keuntungan pada kepentingan politik mereka. Termasuk pula di dalamnya wacana mengenai  musuh-musuh

rakyat yang meliputi pola perilaku para politisi dan  reaksi aparat

kemanan terhadap situasi kemanan masyaarakat. Termasuk pula wacana konfrontasi agama dan politik.

  • 5.2    Proses Pemenangan Partai Nasional Indonesia Dalam Pemilu 195 di Bali

  • a.    PNI dengan cerdik tidak mau menyinggung peristiwa 17 Oktober 1952 yang disebut sebagai aksi demonstrasi militer yang disinyalir sebagai usaha coup oleh pihak militer tersebut.

  • b.    PNI juga bisa mengambil keuntungan dari masyarakat politik dan masyarakat pendukungnya yang

duduk di DPRDS daerah Bali yang berhasil menciptakan wacana-wacana yang dapat menghibur atau menyenangkan hati berbagai kalangan di masyarakat.

  • c.    PNI di Bali terlihat begitu piawai menangkap relasi wacana dan kuasa pengetahuan     terkait     dengan

dukungan dan tantangan yang dihadapinya selama periode pemilu 1955. PNI begitu banyak mendapat dukungan dari rakyat, terutama dengan berdirinya ormas - ormas mereka.

  • 5.3.    Implikasi Strategi Pemenangan Partai Nasional Indonesia Dalam Pemilu 1955 Di Bali

  • a.    Rupanya keputusan masyarakat politik dan masyarakat pendukung PNI dalam menyeleksi masalah publik punya implikasi luas terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat.

  • b.    Banyak persoalan yang luput dari perhatian masyarakat politik dan masyarakat pendukung PNI dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yang menunjukkan adanya sikap-sikap ambivalensi di dalam masyarakat. Beberapa     contoh     persoalan

diantaranya adalah:

  • 1.    banyak orang yang  menilai

penampilan seseorang  menjadi

ukuran dari mentalitas orang yang bersangkutan.

  • 2.    Seorang pejabat tinggi yang memiliki kuasa untuk menentukan seorang pegawai negeri, begitu saja mengangkat pihak-pihak yang dimasa revolusi termasuk di dalam kelompok rekasinoer (golongan NICA). Hal ini menimbulkan rasa  tidak puas

kelompok-kelompok republiken yang tergabung dalam Yayasan Kebaktian Pejuang.

  • 3.    PNI tidak berani menangkap relasi kuasa yang terdapat dalam masalah krisis Subak, yang terjadi di tahun 1950-an, karena jika itu diangkat seperti yang sudah disebutkan diatas akan merugikan dirinya sendiri.

  • 4.    Adanya diskriminasi di antara pegawai pusat dan pegawai daerah.

  • 5.    Persoalan di bidang pendidikan juga tidak tersentuh pula oleh PNI, salah satunya masih kuatnya sikap feodalisme di dalam masyarakat    yang    sampai

mencoreng instansi pendidikan.

  • 6.    Rusaknya rambu lalu lintas, terutama yang terjadi di Singaraja, pegawai negeri yang mangkir dari tugas.

  • 7.    Praktik     kekerasan     yang

dilakukan oleh para atasan, terutama di salah satu wilayah keperbekalan di Sinagaraja, yang memberikan sanksi berupa kekerasan fisik mirip seperti yang terjadi di jaman Jepang.

  • 6.    Simpulan

Kemenangan politik PNI dalam Pemilu 1955 lebih banyak disebabkan oleh kemampuan mereka untuk menangkap relasi kuasa pengetahuan yang tersembunyi di dalam suatu wacana publik. Akan tetapi, mereka melakukan semacam politik tebang pilih sehingga tidak semua wacana mendapat perhatian yang sama. Hal ini memunculkan perhatian yang berlebihan terhadap hal yang mereka pilih dan kemudian telah mengakibatkan suatu pengabaian terhadap berbagai masalah di tengah masyarakat Bali pada tahun 1951-1955, dengan demikian intisari kesimpulannnya adalah telah terjadi semcam latihan berdemokrasi tahap awal dari Partai Nasional Indonesia di Bali.

  • 7.    Saran

Penggunaan sejarah Pascastrukturalisme yang memungkinkan para sejarawan untuk      meminjam      teori-teori

pascastrukturaslisme sebagai landasan berpikir terbukti telah menjadi pintu masuk untuk memahami peristiwa sejarah secara lebih menyeluruh, apalagi disertai dengan memperluas jangkauan sumber sejarah dengan memasukan wacana-wacana publik yang tertuang di media massa, sebagai bagian penting dari sebuah dokumen yang menjadi pokok penelitian sejarah.

  • 8.    Daftar Pustaka

Ankersmit, F.R. Refleksi Tentang Sejarah :   Pendapat-Pendapat Modern

Tentang Filsafat Sejarah, terj. Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia, 1987.

I Nyoman Wijaya. “Cincin Emas Di Jari Manis Istri Raja : Berdiri dan Jatuhnya Kerjaan Ksatria.” Makalah        yang dibawakan

dalam Seminar National Nilai-nilai Kearifan dalam Konteks Sejarah Lokal Di Bali, Denpasar, Bali, 17 April 2017.

Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, ed. Teori-teori Kebudayaan. Alexander Aur, “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog          Antarperadaban”.

Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Rabinow, Paul. Pengetahuan dan Metode:   Karya-karya Penting

Foucault.  Yogyakarta:  Adipura,

2002.

Ritzer, George. Teori Sosiologi: dari Sosilogi      Klasik      sampai

Perkembangan          Terakhir

Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Sartono Kartodirjo. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:  PT Gramedia Pustaka

Utama, 1992.

Sidemen, Ida Bagus, “Lima Masalah Pokok dalam Teori Sejarah,” Widya Pustaka No. 2, Th. VIII, Januari 1991.

Wijaya, Nyoman. “Mencintai Diri Sendiri: Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali 19102007.”       Disertasi, Sekolah

Parcasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009.

Yasraf Amir Piliang. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan         .Yogyakarta:

Jalasutra, 2004.

187